• (GFD-2021-8687) Keliru, Klaim Ini Video Sri Mulyani Vaksinasi Covid-19 Palsu karena Jarum Suntik yang Dipakai Kosong

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/06/2021

    Berita


    Video yang memperlihatkan seorang dokter sedang menyuntikkan vaksin Covid-19 ke lengan seorang perempuan beredar di media sosial. Menurut klaim yang menyertai video tersebut, perempuan ini merupakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang menjalani vaksinasi Covid-19 hanya sebagai pencitraan karena jarum suntik yang digunakan kosong.
    Di Facebook, video berdurasi 28 detik itu dibagikan salah satunya oleh akun ini, tepatnya pada 21 Juni 2021. Akun tersebut pun menulis narasi sebagai berikut: “Mari kita ketawa!!! Sri Mulyani suntik vaksin utk pencitraan tp kamera gak bisa boong. Di jarum suntik ga ada isi vaksin nya, perhatikan jarum suntik nya!”
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya. Perempuan yang divaksinasi Covid-19 dalam video ini bukan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, perempuan yang menerima vaksinasi dalam video di atas bukan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, melainkan Benedita Oliveira, Sekretaris Kesehatan Kota Quixada di Brasil. Video tersebut telah beredar di internet sejak Januari 2021.
    Untuk memverifikasi klaim di itu, Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar ini ditelusuri jejak digitalnya dengan reverse image tool Google dan Yandex.
    Hasilnya, ditemukan bahwa proses vaksinasi dalam video itu pernah disiarkan secara langsung oleh akun Facebook resmi Pemerintah Kota Quixada pada 19 Januari 2021. Video ini diberi keterangan bahwa "Wali Kota Ricardo Silveira Mengumumkan Tindakan untuk Memerangi Covid-19 di Quixada. Balai Kota Quixada memulai vaksinasi terhadap Covid - 18/01/2021".
    Video yang identik juga pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Cidade Alerta CE pada 21 Januari 2021 dengan judul “Vacinacao contra a Covid-19 em Quixada gera polemica”. Dalam keterangannya, tertulis bahwa video vaksinasi Covid-19 itu viral di jejaring sosial, karena jarum suntik yang digunakan oleh Sekretaris Kesehatan Kota Quixada, Benedita Oliveira.
    Dalam video ini, di dalam jarum suntik, tidak terlihat adanya dosis vaksin Covid-19 saat jarum tersebut diinjeksi ke lengan Oliveira. Sepanjang hari, jurnalis dan editor Cidade menganalisis dengan cermat semua konten yang direkam oleh tim dari Pemerintah Kota Quixada.
    "Yang bisa kita lihat adalah kebocoran dosis pada spuit. Perhatikan bahwa, ketika petugas kesehatan mengambil jarum suntik untuk mengisinya dengan dosis vaksin Covid-19, embuler kembali dan mengembalikan cairan ke dalam ampul. Petugas mengubah posisi jarum suntik dan, sekali lagi, menarik gagangnya. Lihat pada gambar bahwa dosis masuk ke jarum suntik yang diberikan kepada wali kota. Namun, sebelum divaksin, dokter melakukan asepsis pada lengan sekretaris kesehatan, dan saat akan memberikan dosis, setetes produk jatuh. Dan jelas terlihat jarum suntiknya kosong. Mungkin ada kebocoran dosis, itu sebabnya Anda tidak melihat cairan di dalam jarum suntik. Ini menunjukkan bahwa mungkin ada kesalahan dalam menangani vaksin atau bahkan cacat pada jarum suntik," demikian penjelasan Cidade.
    Namun, dalam rilis persnya, Pemerintah Kota Quixada telah menyatakan bahwa klaim yang beredar di jejaring sosial adalah berita palsu. Mereka pun telah mengajukan pengaduan ke kantor polisi sipil kota, dan bakal mengambil tindakan hukum sesuai perundang-undangan.
    Sementara Kementerian Publik Negara Bagian Ceara, Brasil, menjelaskan bahwa mereka belum menerima keluhan apa pun tentang dugaan vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan jarum suntik kosong di Quixada. Sementara polisi sipil negara bagian menginformasikan bahwa mereka telah menerima pengaduan dari Pemerintah Kota Quixada terkait hal itu dan sedang menyelidiki kasus tersebut.
    Hal ini pun diberitakan oleh Opovo. Dalam laporannya, Opovo menulis bahwa video vaksinasi Covid-19 di Kota Quixada itu beredar di jejaring sosial dengan klaim bahwa telah terjadi vaksinasi palsu di wilayah tersebut. Sekretaris Kesehatan Kota Quixada, Benedita Oliveira, tampak divaksinasi. Namun, dalam prosesnya, dosis tidak terlihat disuntikkan. Dalam sebuah pernyataan, Pemerintah Kota Quixada mengatakan bahwa itu adalah berita palsu, namun tidak mengklarifikasi apa yang terjadi dan tidak menyatakan bahwa video itu diedit.
    Dalam update-nya, Opovo menulis bahwa Pemerintah Kota Quixada menginformasikan video yang beredar itu telah diedit, dan bukan konten yang dapat diandalkan. Menurut mereka, karena dosisnya hanya 0,5 militer, ada kemungkinan cairan vaksin menjadi "hampir tidak terlihat". Pemerintah Kota Quixada pun merilis sebuah video yang menunjukkan seorang petugas kesehatan tengah mempersiapkan dosis vaksin Covid-19 yang digunakan.
    Pemerintah Kota Quixada juga menerbitkan pernyataan: “Pemerintah Kota Quixada menyesali sikap mereka yang bertanggung jawab dalam memproduksi berita palsu ini dan menolak setiap dan semua tindakan yang membahayakan kesadaran penduduk sehubungan dengan kebijakan imunisasi yang dilakukan untuk memerangi pandemi Covid-19 dan menyelamatkan nyawa. Ini adalah kebohongan serius yang secara substansial dapat merusak kinerja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Quixada terhadap Covid-19.”
    “Mengenai video yang disebarluaskan di jejaring sosial oleh sejumlah situs dan akun media sosial, Pemerintah Kota Quixada menginformasikan bahwa video tersebut adalah berita palsu. Jaksa Agung Kota Quixada telah mengajukan pengaduan ke Kantor Polisi Sipil Daerah Quixada, Kementerian Umum Negara Bagian Ceara, serta portal AntiFake, yang dikelola oleh Pemerintah Negara Bagian Ceara, selain mempersiapkan tindakan hukum yang tepat terhadap para penyebar," demikian isi pernyataan tersebut.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video tersebut adalah video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menjalani vaksinasi Covid-19 palsu karena jarum suntik yang digunakan kosong, keliru. Perempuan yang menerima vaksinasi dalam video tersebut bukan Sri Mulyani, melainkan Benedita Oliveira, Sekretaris Kesehatan Kota Quixada di Brasil. Tudingan vaksinasi palsu terhadap Oliveira telah beredar di internet sejak Januari 2021. Pemerintah Kota Quixada pun telah menyatakan bahwa klaim tersebut adalah berita palsu.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8686) Keliru, Pesan Berantai tentang Adanya Genosida Umat Islam Lewat Vaksin Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/06/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berjudul "Genosida Umat Islam Indonesia dengan Vaksin Covid-19" beredar di Facebook. Pesan ini berisi sejumlah klaim yang meragukan pandemi Covid-19 di dunia, termasuk di Indonesia. Di bagian awal pesan itu, disebutkan bahwa Inggris dan para ahli medis Eropa telah menyatakan Covid-19 tidak lagi dikategorikan sebagai pandemi maupun penyakit berisiko tinggi.
    Kemudian, terdapat klaim-klaim lainnya, seperti bahwa orang-orang di Cina dan negara-negara Eropa tidak ada yang mau memakai masker lagi karena seluruh warganya sudah sehat, bahwa Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam menolak vaksin, bahwa rumah sakit adalah tempat genosida umat Islam, dan bahwa melepas masker saat berbicara wajib karena, kalau tidak, akan menelan racun karbon dioksida atau CO2.
    Akun ini membagikan pesan berantai tersebut pada 26 Juni 2021. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun itu telah mendapatkan 99 reaksi dan 57 komentar serta dibagikan lebih dari 200 kali.
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim-klaim keliru terkait Covid-19 dan vaksin.

    Hasil Cek Fakta


    Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai pemberitaan dan hasil penelitian untuk memverifikasi lima klaim tersebut. Hasilnya, ditemukan bahwa kelima klaim itu tidak disertai dengan bukti-bukti yang akurat. Berikut penjelasan atas kelima klaim tersebut:
    Klaim 1: Inggris dan para ahli medis Eropa telah menyatakan Covid-19 tidak lagi dikategorikan sebagai pandemi maupun penyakit berisiko tinggi. Di Eropa dan Amerika Serikat, status virus Corona telah diubah menjadi penyakit menular biasa seperti influenza.
    Fakta:
    Dikutip dari laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO Eropa, Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, setelah tercatat adanya 118 ribu kasus di 114 negara dengan 4.291 kematian. Hingga kini (29 Juni 2021), pandemi belum dinyatakan berakhir. Sesuai grafik yang dipublikasikan oleh kantor berita Deutsche Welle, situasi pandemi saat ini justru sedikit memburuk, di mana 71 negara telah melaporkan lebih banyak kasus dalam dua minggu terakhir dibandingkan 14 hari sebelumnya.
    Klaim bahwa Eropa dan AS telah mengubah status virus Corona sebagai penyakit menular biasa seperti influenza juga tidak akurat. Berdasarkan penjelasan Pusat Pencegahan dan Penanganan Penyakit Eropa (ECDC), Covid-19 memiliki proporsi kasus infeksi parah yang lebih tinggi dan kematian yang lebih tinggi daripada influenza musiman. Beberapa orang yang pernah terinfeksi Covid-19 juga mengalami efek jangka panjang, dengan gejala pernapasan dan neurologis yang berkelanjutan.
    Selain itu, Covid-19 lebih menular daripada influenza musiman, di mana satu individu yang terinfeksi menyebabkan jumlah infeksi sekunder yang lebih tinggi daripada influenza. Karena SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, adalah virus baru, tidak ada kekebalan yang telah terbentuk sebelumnya pada orang yang tertular. Hal ini membuat seluruh populasi rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 di awal pandemi. Perbedaan antara Covid-19 dan flu musiman ini juga dimuat dalam situs resmi CDC AS.
    Sumber: WHO Eropa, Deutsche Welle, ECDC, CDC
    Klaim 2: Orang-orang di Cina dan negara-negara Eropa tidak ada yang mau memakai masker lagi karena seluruh warganya sudah sehat
    Fakta:
    Otoritas Beijing, ibukota Cina, memang pernah melonggarkan kebijakan pemakaian masker setelah kota itu berhasil menekan kasus Covid-19 pada April dan Agustus 2020 lalu. Namun, meski terdapat pelonggaran, seperti dikutip dari kantor berita Reuters, penduduk setempat tetap memilih menggunakan masker karena lebih aman dan mendapatkan tekanan sosial.
    Dalam sebuah video yang memperlihatkan warga Cina pergi untuk mendapatkan vaksin misalnya, mereka tampak masih menggunakan masker. Video berjudul "China’s Covid-19 vaccination drive hits 1 billion mark" ini dipublikasikan oleh South China Morning Post (SCMP) pada 21 Juni 2021. Demikian juga dalam foto-foto yang dimuat oleh Voice of America (VoA) pada 3 Juni 2021, terlihat bahwa warga Beijing tetap menggunakan masker saat menjalani vaksinasi.
    Sementara negara-negara di Eropa mulai mewajibkan pemakaian masker medis seiring dengan penyebaran varian baru virus Corona yang dianggap lebih cepat menular dan datangnya musim dingin. Pemerintah Prancis misalnya, dikutip dari CNN, mewajibkan warga memakai masker bedah FFP1 sekali pakai, respirator pelindung wajah FFP2 yang lebih protektif, atau masker kain yang memenuhi spesifikasi "Kategori 1" yang dapat menyaring lebih dari 90 persen partikel di seluruh tempat umum.
    Keputusan Prancis itu mengikuti kebijakan pemerintah Jerman sebelumnya yang mengharuskan semua orang untuk memakai masker FFP1 atau FFP2 saat berada di transportasi umum, di tempat kerja, dan di toko-toko.
    Sumber: Reuters, YouTube SCMP, VoA, CNN
    Klaim 3: Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam menolak vaksin
    Fakta:
    Lima negara tersebut telah menjalankan program vaksinasi Covid-19. Dikutip dari Asean Briefing, Malaysia telah menandatangani kesepakatan dengan Pfizer untuk 12,8 juta dosis vaksin Covid-19. Vaksin tersebut diberikan kepada masyarakat dalam dua tahap, di mana program vaksinasi dimulai pada kuartal 1 2021. Malaysia memiliki target untuk menyuntik antara 80-100 persen warganya.
    Brunei Darussalam telah bergabung dengan skema Covax global dan berharap bisa mendapatkan vaksin Covid-19 pada kuartal 2021, setelah mendapatkan pasokan yang cukup untuk bagi 50 persen populasi. Filipina juga telah memulai program vaksinasinya per Juni 2021, dan berharap bisa memvaksinasi sekitar 25 juta warga (sekitar 25 persen dari populasinya) sepanjang tahun ini. Lebih dari 30 perusahaan lokal menandatangani perjanjian untuk membeli setidaknya 2,6 juta dosis vaksin AstraZeneca.
    Thailand pun telah menandatangani kontrak senilai 2,38 miliar baht dengan AstraZeneca untuk vaksin Covid-19. Mereka menargetkan dosis tersebut akan mencakup 13 juta warga dari populasinya yang mencapai sekitar 69 juta orang. Sementara Vietnam telah menandatangani perjanjian dengan Medigen Vaccine, perusahaan vaksin yang berbasis di Taipei, Taiwan, untuk mengamankan pasokan 3-10 juta dosis vaksin Covid-19 pada 2021.
    Sumber: Asean Briefing
    Klaim 4: Rumah sakit adalah tempat genosida umat Islam
    Fakta:
    Kematian pasien Covid-19 di rumah sakit bukanlah genosida. Jumlah kematian saat ini meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah pasien yang terinfeksi Covid-19. Dikutip dari CNBC Indonesia, kematian rentan dialami oleh pasien Covid-19, terutama yang memiliki gejala berat dan penyakit bawaan. Meningkatnya jumlah kasus Covid-19 ini pun menyebabkan keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit melonjak.
    Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga 26 Juni 2021, DKI Jakarta mencatatkan BOR paling tinggi, yakni 93 persen. Banten mencatatkan keterisian tertinggi berikutnya, yakni 91 persen, disusul dengan Jawa Barat sebesar 89 persen, Jawa Tengah sebesar 87 persen, dan Yogyakarta sebesar 86 persen.
    Jumlah kasus Covid-19 naik berlipat-lipat salah satunya akibat virus Corona varian Delta. WHO menyebut varian ini sangat menular, termasuk jenis varian yang tercepat dan terkuat yang pernah ada. "(Varian Delta) menjadi lebih mematikan karena lebih efisien dalam caranya menularkan antar manusia. Dan pada akhirnya akan menemukan individu-individu yang rentan yang akan menjadi sakit parah, harus dirawat di rumah sakit, dan berpotensi meninggal," kata Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Mike Ryan.
    Sumber: CNBC Indonesia, Tempo, Detik.com

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang berjudul "Genosida Umat Islam Indonesia dengan Vaksin Covid-19" itu keliru. Lima klaim yang terdapat dalam pesan berantai itu tidak didukung dengan bukti-bukti yang ada.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8685) Keliru, Klaim Ini Foto Pria yang Disiksa di Penjara Cina karena Memeluk Islam

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/06/2021

    Berita


    Foto yang memperlihatkan seorang pria dengan kondisi tubuh terkekang dalam sebuah kursi besi beredar di media sosial. Foto tersebut dibagikan dengan klaim bahwa pria tersebut merupakan seorang tahanan di Cina yang disiksa karena beragama Islam.
    Di Facebook, foto tersebut dibagikan salah satunya oleh akun ini pada 7 Juni 2021. Berikut narasi yang ditulis oleh akun itu, yang telah diterjemahkan dari bahasa Hindi:
    "Muslim China. Orang yang terlihat duduk di kursi ini tidak lain adalah bapak dari umat ini, adalah saudara kita yang beragama Islam. Tidak tahu berapa banyak orang seperti itu yang terlibat dalam satu atau lain cara dan satu-satunya kesalahan mereka adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang percaya pada kalma lailahaillallah. Ini gambar penjara di China di sini Muslim Uyghur ini diperlakukan seperti ini. Mereka benar-benar terikat di kursi, bahkan mereka tidak bisa bergerak. Mereka disimpan seperti ini selama berminggu-minggu, orang-orang malang ini tidur di atasnya, makan di atasnya."
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait foto yang diunggahnya. Penangkapan dan interogasi yang terlihat dalam foto itu sama sekali tidak terkait dengan Islam.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto tersebut dengan reverse image tool Source, Google, dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut merupakan gambar tangkapan layar dari sebuah video penahanan dan interogasi oleh personel polisi Cina terhadap seorang pria yang dituduh telah mengkritik polisi lalu lintas Cina saat menangkap seorang pengendara motor.
    Video interogasi tersebut pernah diunggah ke YouTube oleh kanal China Min TV pada 8 Agustus 2018. Menurut kanal itu, pria bernama Zhuifengluhua tersebut melontarkan kritiknya di sebuah grup WeChat pada malam sebelum ia ditangkap. Keesokan harinya, pria ini dibawa oleh polisi untuk diinterogasi. Namun, ia menolak untuk mengakuinya, dan mengatakan bahwa ia telah minum terlalu banyak. Ia pun terus meminta maaf kepada polisi.
    Video yang identik juga pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Lieutenants Loft pada 3 Desember 2019. Video ini diberi judul “China Police Interrogate Man For Social Media Comments”. Situs Bichute.com juga pernah memuat video tersebut pada 4 Desember 2019. Menurut keterangan video tersebut, pria itu dikurung di kursi besi dan diinterogasi oleh polisi Cina karena komentar yang dia bikin secara online.
    Hal ini pun diberitakan oleh Reclaimthenet.org. Dalam laporannya, Reclaimthenet.org juga menulis bahwa pria itu diborgol ke kursi besi dan diinterogasi karena mengkritik polisi Cina di media sosial. Dia diketahui mengeluh tentang polisi di QQ dan WeChat. Ia pun ditanyai tentang nama akunnya, serta aktivitasnya di grup WeChat.
    “Mengapa Anda mengeluh tentang polisi di QQ dan WeChat ?” tanya seorang polisi kepada pria tersebut. “Mengapa Anda berbicara tentang polisi lalu lintas secara online? Apa yang salah dengan polisi yang menyita motor? Mengapa Anda menjelek-jelekkan polisi? Apakah kamu membenci polisi?” Pria itu pun ketakutan dan meminta maaf, "Maaf, saya salah. Saya tahu, saya tahu itu sekarang. Tolong maafkan saya, saya tidak akan melakukannya lagi."
    Terkait kursi besi dalam foto itu, dikutip dari France24, kursi tersebut kerap disebut “kursi harimau”, yang diklasifikasikan sebagai alat penyiksaan dalam laporan Human Rights Watch pada 2015. Kursi ini memiliki cincin yang digunakan untuk melumpuhkan tahanan dan menjaga mereka dalam posisi yang sangat tidak nyaman. Menurut Human Rights Watch, polisi Cina terkadang menyiksa tahanan dengan meninggalkan mereka di kursi ini selama beberapa hari.
    Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merekomendasikan kursi ini dilarang. Tapi pihak berwenang Cina membela diri dengan mengatakan bahwa kursi itu merupakan "tindakan perlindungan untuk memastikan bahwa tersangka tidak melarikan diri, melukai diri sendiri, atau menyerang personel".

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas merupakan foto pria yang disiksa di penjara Cina karena beragama Islam, keliru. Foto itu memang diambil dari sebuah video penahanan dan interogasi oleh personel polisi Cina. Namun, penangkapan dan interogasi tersebut sama sekali tidak terkait dengan agama pria tersebut. Pria ini ditahan dan diinterogasi polisi Cina karena melontarkan kritik di sebuah grup WeChat tentang kinerja polisi lalu lintas Cina yang menahan seorang pengendara motor.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8684) Keliru, Pesan Berantai yang Klaim Ada Ketidakwajaran pada Isu Covid-19 di Indonesia

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/06/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berjudul “Tiga Kejanggalan dan Ketidak Wajaran terhadap Isu Corona yang Terjadi di Negeri +62” beredar di Facebook pada 24 Juni 2021. Dalam pesan berantai itu, terdapat beberapa klaim yang dilontarkan. Pertama, Cina disebut mengakui bahwa virus Corona penyebab Covid-19 bukan virus yang membahayakan, melainkan hanya virus flu biasa.
    Kedua, menurut pesan berantai tersebut, semua virus dan bakteri tidak bisa berkembang biak di tempat yang bersih dan suci. Sementara klaim ketiga adalah, jika Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi, kasus kematian seharusnya ada di mana-mana. "Korban yang mati pada bergelimpangan di rumah-rumah, apartemen di pasar-pasar dan di tempat mereka berada."
     Gambar tangkapan layar pesan berantai di Facebook yang berisi sejumlah klaim keliru terkait Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim-klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri infomrasi dari otoritas resmi dan pemberitaan dari media-media kredibel. Berikut fakta atas tiga klaim tersebut:
    Klaim 1: Cina mengakui virus Corona bukan virus yang membahayakan, melainkan hanya virus flu biasa
    Fakta:
    Tenaga kerja asing atau TKA Cina yang datang ke Indonesia hingga 18 Mei 2021 mencapai 8.700 orang. Dikutip dari CNN Indonesia, banyak TKA Cina yang datang ke Indonesia karena terdapat banyak investasi dari negara tersebut ke Indonesia. Selain TKA Cina, TKA dari negara lain yang juga banyak masuk ke Indonesia adalah TKA Korea Selatan, sebanyak 1.600 orang, dan TKA Jepang, sebanyak 1.400 orang.
    Meskipun kedatangan para TKA itu meningkatkan risiko penularan Covid-19, bukan berarti Cina mengakui bahwa virus Corona hanyalah virus flu biasa. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah menjelaskan perbedaan antara Covid-19 dengan flu biasa.
    Selain virusnya, tingkat kematian juga berbeda. Untuk Covid-19, menurut data yang tersedia hingga kini, rasio kematian kasarnya (jumlah kematian yang dilaporkan dibagi dengan kasus yang dilaporkan) sekitar 3-4 persen. Sementara untuk flu musiman, rasio kematian biasanya di bawah 0,1 persen.
    Adapun terkait tingkat infeksinya, untuk Covid-19, 80 persen infeksi ringan atau tanpa gejala, 15 persen infeksi berat yang membutuhkan oksigen, dan 5 persen infeksi kritis yang memerlukan ventilator. Fraksi infeksi parah dan kritis ini akan lebih tinggi daripada yang diamati untuk influenza.
    Varian baru virus Corona  Covid-19 yang saat ini muncul pun lebih cepat menular dibandingkan varian sebelumnya. Varian-varian itu, yang ada dalam daftar Variant of Concern WHO, terbukti memiliki kemampuan untuk menular lebih luas. Untuk varian Alpha (B.1.1.7) misalnya, memiliki tingkat penularan 29 persen lebih tinggi dibandingkan varian awal Covid-19. Sementara untuk varian Beta (B.1.351) lebih tinggi sebesar 25 persen, untuk varian Gamma (P.1) lebih tinggi 38 persen, dan untuk varian Delta (B.1.617.2) lebih tinggi 97 persen.
    Selama ini, Cina juga telah mengambil berbagai langkah untuk memutus rantai penularan Covid-19, salah satunya dengan memberlakukan penguncian wilayah (lockdown). Dikutip dari BBC, Cina melakukan lockdown terhadap Wuhan, yang dipercaya sebagai tempat pandemi bermula, sepanjang Januari-Juni 2020.
    Lockdown ini, meski berbiaya mahal, efektif membendung penularan virus. Cina hanya mencatat kurang dari 100 ribu kasus Covid-19, dengan hanya sekitar 4.800 kematian. Metode yang digunakan di Wuhan digunakan secara rutin pada bulan-bulan berikutnya ketika Cina menangani wabah di kota-kota besar lainnya seperti Beijing dan Shanghai.
    Klaim 2: Semua virus dan bakteri tidak bisa berkembang biak di tempat yang bersih dan suci
    Fakta:
    Pusat-pusat keramaian, termasuk tempat ibadah, tetap berpotensi menjadi lokasi penularan Covid-19. Dikutip dari WHO, hal tersebut terjadi karena orang yang terinfeksi Covid-19 dapat meninggalkan droplet yang bisa menginfeksi pada benda dan permukaan ketika mereka bersin, batuk, atau menyentuh benda dan permukaan tersebut.
    Kasus Covid-19 pun telah dilaporkan terjadi di beberapa tempat tertutup, seperti restoran, klub malam, tempat ibadah, atau kantor, di mana orang mungkin berteriak, berbicara, atau bernyanyi. Di tengah pandemi ini, khususnya di dalam ruangan di mana orang yang terinfeksi menghabiskan waktu lama dengan orang lain, penuh sesak, dan ventilasinya tidak memadai, penularan aerosol tidak dapat diabaikan.
    Sepanjang Mei-November 2020, seperti dikutip dari Detik.com, DKI Jakarta mencatat 17 klaster Covid-19 yang terkait dengan tempat ibadah atau kegiatan keagamaan.
    Klaim 3: Jika Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi, seharusnya banyak korban yang mati bergelimpangan di mana-mana
    Fakta:
    Pandemi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), berarti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Sementara menurut WHO, pandemi adalah penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia.
    Dari pengertian tersebut, pandemi bukan ditunjukkan dari banyaknya orang yang mati bergelimpangan di mana-mana. Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi karena, hingga saat ini, penyakit itu telah menyebar ke hampir semua negara, dengan total kasus mencapai lebih dari 180 juta dan jumlah kematian lebih dari 3,9 juta.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang berjudul “Tiga Kejanggalan dan Ketidak Wajaran terhadap Isu Corona yang Terjadi di Negeri +62” itu keliru. Pertama, Covid-19 berbeda dan lebih berbahaya dibandingkan flu biasa. Kedua, pusat-pusat keramaian, termasuk tempat ibadah, tetap berpotensi menjadi lokasi penularan Covid-19. Ketiga, pandemi bukan ditunjukkan dari banyaknya orang yang mati bergelimpangan di mana-mana. Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi karena, hingga saat ini, penyakit itu telah menyebar ke hampir semua negara.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan