Sumber:
Tanggal publish: 27/11/2025
Berita
SEBUAH konten dengan klaim bahwa mereka yang menolak Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah keturunan Partai Komunis Indonesia diunggah di Tiktok [arsip] dan Facebook pada 23 November 2025.
“Banyak yang menolak Soeharto dijadikan pahlawan. Setelah ditelusuri yang nolak itu kebanyakan keturunan PKI dan antek-anteknya,” demikian isi narasi di TikTok.
Benarkah gelombang penolakan gelar pahlawan nasional Soeharto muncul dari keturunan PKI?
Hasil Cek Fakta
Tempo memverifikasi klaim ini dengan menelusuri pemberitaan media-media kredibel, serta mewawancarai aktivis dan peneliti.
Verifikasi tersebut menunjukkan elemen masyarakat dan aktivis menolak gelar pahlawan untuk Soeharto karena sejumlah pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi selama ia berkuasa 32 tahun. Bukan karena mereka keturunan PKI atau ingin membangkitkan komunisme.
Para penolak gelar pahlawan Soeharto berasal dari berbagai latar belakang, termasuk akademikus, tokoh agama, dan mahasiswa. Misalnya, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Mustofa Bisri. Gus Mus, panggilannya, menyatakan keberatannya pada 5 November 2025.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus di rumahnya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, sebagaimana diberitakan NU Online.
Menurut Gus Mus, NU dan banyak ulama pesantren kerap mendapat perlakuan tak adil selama Soeharto berkuasa. Ada ulama yang dimasukkan ke dalam sumur. Pun, papan nama NU tidak boleh dipasang, bahkan dirobohkan oleh kepala daerah pada era Orde Baru.
Ada juga pastor Katolik Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis. Ia mengatakan Soeharto tak layak menyandang gelar Pahlawan Nasional karena korupsi besar-besaran yang terjadi selama era Orde Baru.
“Dia memperkaya keluarga, orang lain, orang dekatnya, memperkaya diri sendiri. Itu bukan pahlawan nasional," kata Romo Magnis sebagaimana diberitakan Tempo. Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman juga menolak gelar pahlawan untuk Soeharto.
Mahasiswa dan diaspora Indonesia di luar negeri juga menggelar protes sebelum pemberian gelar itu. Di Malang, puluhan warga dari Aliansi Warga Malang (AWAM) menggelar aksi di gerbang utama Universitas Brawijaya (UB). Mereka menyebut tragedi 1998 yang kelam sebagai titik puncak perlawanan terhadap pembungkaman demokrasi pada rezim Soeharto.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil juga telah menyatakan penolakannya. Mereka antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Amnesty Internasional Indonesia.
PKI telah dibubarkan pada 12 Maret 1966 melalui Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966. Pembubaran PKI diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 pada 5 Juli 1966 yang juga melarang penyebaran ideologi komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan mereka yang menolak gelar pahlawan berasal dari beragam kalangan. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia, pernah menggalang sedikitnya 600 akademikus, tokoh agama, aktivis, hingga mahasiswa yang menolak gelar pahlawan untuk Soeharto.
Label PKI terhadap mereka, kata Usman, sering digunakan untuk memecah belah sehingga alasan penolakan menjadi kabur. “Itu tidak benar, tidak berdasar, dan memecah belah masyarakat dengan isu yang sudah usang,” katanya kepada Tempo, Rabu, 26 November 2025.
Usman menegaskan, penolakan gelar pahlawan Soeharto karena pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan korupsi selama menjadi presiden 32 tahun.
Penelusuran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjukkan setidaknya ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah kepemimpinan Soeharto. Misalnya peristiwa pembantaian 1965-1966.
Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Soeharto bertanggung jawab dalam peristiwa yang menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massa, dan pembuangan ke Pulau Buru.
Saat peristiwa penembakan misterius pada 1981-1985, setidaknya ada 5 ribu korban tewas akibat kebijakan Soeharto tersebut. Mereka tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Dalam dua tahun terakhir, Tim Cek Fakta Tempo mengidentifikasi bagaimana label PKI kerap menarget elemen masyarakat yang mengkritik kebijakan penting. Salah satunya saat penolakan terhadap revisi UU TNI pada Maret 2025.
Menurut peneliti Institute of Southeast Asian Studies-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, sejak tahun 1965, Soeharto sendiri sudah berkampanye dan membingkai PKI sebagai pengkhianat bangsa. PKI dikaitkan sebagai dalang dari Gerakan 30 September 1965 atau G30S.
Padahal, sejumlah penelitian telah meragukan keterlibatan PKI dalam peristiwa tersebut. Penelusuran sejarah dan riset tentang para penculik jenderal-jenderal korban G30S, kata Made, justru memperlihatkan bahwa semuanya berasal dari Kodam Diponegoro, tempat Soeharto pernah menjadi panglima.
“Mereka semua adalah mantan anak buah Soeharto, dan mereka memiliki hubungan dekat,” kata Made kepada Tempo pada Rabu, 27 November 2025.
Kampanye narasi anti-PKI kemudian berjalan sangat masif. Tidak hanya lewat pembuatan buku putih dan pembuatan film, tetapi juga dalam penulisan sejarah nasional.
Made menilai pihak-pihak yang membela gelar pahlawan nasional bagi Soeharto sebagai orang-orang yang tidak punya nurani dan empati pada penderitaan orang lain, namun membela sebuah kekuasaan.
“Mereka menganggap Soeharto sebagai orang suci dengan melawankannya dengan PKI. Jangan harap orang-orang seperti ini mengerti sejarah dengan obyektif,” ujarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran Tempo, klaim bahwa gelombang penolakan gelar pahlawan nasional Soeharto dilakukan oleh keturunan PKI adalah keliru.
Rujukan