Sebuah konten yang beredar di Facebook [arsip], menyatakan bahwa mengkonsumsi ikan nila berbahaya bagi masyarakat.
Di dalam konten tersebut tidak disertai keterangan bahaya apa yang dimaksud dan apa penyebab bahaya itu. Narasi hanya bersifat menakut-nakuti disertai tautan yang mengarah ke salah satu lokapasar.
Namun, bagaimana sesungguhnya tingkat keamanan konsumsi nila pada tubuh manusia?
(GFD-2025-25745) Keliru: Narasi yang Mengatakan Konsumsi Ikan Nila Berbahaya
Sumber:Tanggal publish: 10/02/2025
Berita
Hasil Cek Fakta
Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Lailatul Muniroh mengatakan narasi yang beredar tersebut hoaks. Tidak ada penelitian yang menyatakan secara spesifik ikan nila berbahaya saat dikonsumsi.
“Secara spesifik (mengatakan ikan nila berbahaya) tidak ada. Kecuali jika dikonsumsi berlebihan, atau juga kemungkinan ada risiko kontaminasi. Tapi tidak spesifik khusus ikan nila saja (bahan makanan lain juga demikian),” kata Lailatul melalui pesan, Senin, 10 Februari 2025.
Dilansir Healthline.com, satu porsi 3,5 ons ikan nila mengandung kalori 128, karbohidrat 0 gram, protein 26 gram, lemak 3 gram, niasin 24% dari RDI, vitamin B12 31% dari RDI, fosfor 20% dari RDI, selenium 78% dari RDI, dan kalium 20% dari RDI.
Nila adalah spesies ikan asal benua Afrika. Namun, saat ini telah tersebar di kolam budidaya atau hidup liar di lebih dari 135 negara. Saat ini, Cina adalah eksportir ikan nila terbesar dengan jumlah ekspor 1,6 juta metrik ton per tahun.
Di sisi lain, kontaminasi merupakan risiko bahaya konsumsi ikan budidaya, termasuk nila. Cara beternak yang tidak tepat, serta memberikan pakan kotoran hewan atau pakan tak sehat lainnya, bisa menyebabkan ikan terkontaminasi zat beracun.
Kontaminan berbahaya yang mungkin dikandung ikan yang dibudidayakan secara keliru adalah salmonella, kata Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair, Prof Dr Mustofa Helmi Effendi drh DTAPH, dalam artikelnya di website resmi Unair.
Dia mengatakan pakan buatan sendiri digunakan pembudidaya untuk mengurangi biaya pemeliharaan ikan. Biasanya pakan buatan sendiri terdiri dari jeroan ayam dan produk sampingan yang dihasilkan selama pemrosesan unggas, limbah dapur, dan produk sampingan lainnya dari industri makanan.
Di sisi lain, sayangnya pakan buatan sendiri dapat menjadi sumber potensial patogen bawaan makanan, terutama bakteri salmonella, yang kemudian dapat ditularkan ke ikan budidaya dan berlanjut pada manusia.
“Adanya kadar Salmonella sp. yang lebih tinggi pada ikan nila (karena proses budidaya yang tidak tepat), menyebabkan beberapa gejala pada kesehatan manusia seperti diare, mual, muntah, dan sakit perut. Salmonella sp. pada ikan nila diperoleh dari pembusukan kotoran hewan dan sisa pakan selama proses budidaya tradisional,” tulis Mustofa.
“Secara spesifik (mengatakan ikan nila berbahaya) tidak ada. Kecuali jika dikonsumsi berlebihan, atau juga kemungkinan ada risiko kontaminasi. Tapi tidak spesifik khusus ikan nila saja (bahan makanan lain juga demikian),” kata Lailatul melalui pesan, Senin, 10 Februari 2025.
Dilansir Healthline.com, satu porsi 3,5 ons ikan nila mengandung kalori 128, karbohidrat 0 gram, protein 26 gram, lemak 3 gram, niasin 24% dari RDI, vitamin B12 31% dari RDI, fosfor 20% dari RDI, selenium 78% dari RDI, dan kalium 20% dari RDI.
Nila adalah spesies ikan asal benua Afrika. Namun, saat ini telah tersebar di kolam budidaya atau hidup liar di lebih dari 135 negara. Saat ini, Cina adalah eksportir ikan nila terbesar dengan jumlah ekspor 1,6 juta metrik ton per tahun.
Di sisi lain, kontaminasi merupakan risiko bahaya konsumsi ikan budidaya, termasuk nila. Cara beternak yang tidak tepat, serta memberikan pakan kotoran hewan atau pakan tak sehat lainnya, bisa menyebabkan ikan terkontaminasi zat beracun.
Kontaminan berbahaya yang mungkin dikandung ikan yang dibudidayakan secara keliru adalah salmonella, kata Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair, Prof Dr Mustofa Helmi Effendi drh DTAPH, dalam artikelnya di website resmi Unair.
Dia mengatakan pakan buatan sendiri digunakan pembudidaya untuk mengurangi biaya pemeliharaan ikan. Biasanya pakan buatan sendiri terdiri dari jeroan ayam dan produk sampingan yang dihasilkan selama pemrosesan unggas, limbah dapur, dan produk sampingan lainnya dari industri makanan.
Di sisi lain, sayangnya pakan buatan sendiri dapat menjadi sumber potensial patogen bawaan makanan, terutama bakteri salmonella, yang kemudian dapat ditularkan ke ikan budidaya dan berlanjut pada manusia.
“Adanya kadar Salmonella sp. yang lebih tinggi pada ikan nila (karena proses budidaya yang tidak tepat), menyebabkan beberapa gejala pada kesehatan manusia seperti diare, mual, muntah, dan sakit perut. Salmonella sp. pada ikan nila diperoleh dari pembusukan kotoran hewan dan sisa pakan selama proses budidaya tradisional,” tulis Mustofa.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan ikan nila berbahaya bila dikonsumsi masyarakat adalah klaim yang keliru.
Ikan nila liar atau budidaya mengandung banyak gizi yang dibutuhkan manusia dan tidak berbahaya bila dikonsumsi secara tidak berlebihan, dan tidak terkontaminasi zat berbahaya.
Ikan nila liar atau budidaya mengandung banyak gizi yang dibutuhkan manusia dan tidak berbahaya bila dikonsumsi secara tidak berlebihan, dan tidak terkontaminasi zat berbahaya.
Rujukan
- https://www.facebook.com/AbangL123/posts/pfbid02tjWYNsbeTVxvv8V67rwFz3AadVxgkQMNdGcXXHYQK82pzwxMRXy6sm2GhdDfDokwl?_rdc=1&_rdr
- https://mvau.lt/media/a99d0516-9916-4412-b6fa-c957f6d56525
- https://www.healthline.com/nutrition/tilapia-fish
- https://unair.ac.id/salmonella-sp-pada-ikan-nila-oreochromis-niloticus/ /cdn-cgi/l/email-protection#d8bbbdb3beb9b3acb998acbdb5a8b7f6bbb7f6b1bc
(GFD-2025-25744) Keliru: Great Reset 2030, Jaringan Internet dan Listrik akan Mati Secara Global
Sumber:Tanggal publish: 10/02/2025
Berita
Sebuah video tentang The Great Reset 2030 atau dunia tanpa internet dan listrik pada 2030, diunggah akun media sosial Instagram [arsip] dan Facebook. Narasi pada video menyarankan agar masyarakat mengalihkan aset uang di perbankan dalam bentuk emas dan perak.
Video tersebut mengutip potongan siniar Dharma Pongrekun yang menyebut bahwa suatu saat internet di dunia akan dimatikan secara global. Selain video Dharma, juga terdapat pernyataan Ustadz Zulkifli M. Ali yang mengatakan agar dana yang ada di rekening bank agar dialihkan menjadi tabungan emas. “Karena ketika teknologi musnah, hantaman meteor terjadi, uang yang di bank tidak bisa ditarik.”
Benarkah lebih baik menyimpan emas dan perak untuk Agenda Reset 2030?
Video tersebut mengutip potongan siniar Dharma Pongrekun yang menyebut bahwa suatu saat internet di dunia akan dimatikan secara global. Selain video Dharma, juga terdapat pernyataan Ustadz Zulkifli M. Ali yang mengatakan agar dana yang ada di rekening bank agar dialihkan menjadi tabungan emas. “Karena ketika teknologi musnah, hantaman meteor terjadi, uang yang di bank tidak bisa ditarik.”
Benarkah lebih baik menyimpan emas dan perak untuk Agenda Reset 2030?
Hasil Cek Fakta
Istilah mengenai Great Reset muncul sebagai gagasan pada Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada bulan Juni 2020 di Davos, Swiss. Namun istilah ini kemudian dengan cepat menjadi teori konspirasi. Padahal WEF menyebut, gagasan Great Reset berpaku pada tiga hal yaitu akan mengarahkan pasar menuju hasil yang lebih adil, memastikan bahwa investasi memajukan tujuan bersama, dan memanfaatkan inovasi Revolusi Industri.
Dikutip dari BBC, saat itu, Pangeran Wales dan pimpinan pertemuan menyerukan agar pandemi dilihat sebagai peluang untuk apa yang mereka sebut sebagai Great Reset ekonomi global. Pendiri inisiatif ini lainnya adalah Prof Klaus Schwab, kepala WEF, yang berbicara tentang "pajak kekayaan" dan mengakhiri subsidi bahan bakar fosil. Namun cakupannya sangat luas, meliputi teknologi, perubahan iklim, masa depan pekerjaan, keamanan internasional, dan tema-tema lainnya, dan sulit untuk melihat dengan tepat apa yang dimaksud dengan Great Reset dalam praktiknya.
Proposal tersebut, beserta WEF sendiri, menghadapi kritik yang sah dari berbagai sumber, menurut BBC. Tokoh politik konservatif dan media massa menuduh organisasi tersebut mendorong kebijakan lingkungan yang akan merugikan ekonomi. Ketidakjelasan dari konsep Great Reset dan kritik yang mengalir tersebut, melahirkan teori konspirasi yang tidak berbasis fakta dan menyesatkan, seperti menghubungkan pandemi Covid-19 hasil rekayasa sebagai agenda Great Reset.
Tahun 2030 dihubungkan sebagai waktu terjadinya Great Reset, yang sebenarnya tidak pernah disebut oleh World Economic Forum.
Tahun 2030 sebenarnya merujuk pada pada Agenda Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Agenda 2030 diadopsi oleh semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015, menyediakan cetak biru bersama untuk perdamaian dan kesejahteraan bagi manusia dan planet ini, sekarang dan di masa depan.
Teori konspirasi baru soal Great Reset
Setelah pandemi, narasi bahwa dunia tanpa listrik dan internet sebagai agenda Great Reset 2030 menjadi teori konspirasi baru. Dosen Binus University Dr. Moch. Doddy Ariefianto, mengatakan bahwa mematikan internet secara global tidak mungkin terjadi karena jaringan internet tidak dikuasai oleh entitas tunggal.
Meski mematikan atau membatasi internet bisa dilakukan oleh masing-masing negara, akan tetapi mematikan jaringan internet secara global adalah mustahil. “Tersedianya internet merupakan ruangan-ruangan yang dibangun secara kolektif oleh jutaan pelaku,” kata Doddy dihubungi Tempo pada 7 Februari 2025.
Sedangkan anjuran untuk meninggalkan uang, dan mengganti dengan tabungan emas dan perak, kata Doddy, tidak berdasarkan data. Sebab sistem keuangan saat ini sudah mapan dan teruji ribuan tahun.
Mengganti sistem uang dengan emas dan perak juga tidak berkaitan dengan Great Reset. Menurut Doddy, emas menjadi aset yang bebas resiko, yang akan diburu saat kondisi ekonomi atau politik yang tidak pasti.
Akan tetapi, hanya mengandalkan investasi pada emas, juga beresiko. “Salah satu prinsip lain dari investasi adalah portofolio. Jadi kita menyebarkan, jangan taruh telur semua dalam satu keranjang, begitu filosofinya. Kita punya saham, kita punya obligasi, kita punya deposito, kita punya emas,” katanya.
Dikutip dari BBC, saat itu, Pangeran Wales dan pimpinan pertemuan menyerukan agar pandemi dilihat sebagai peluang untuk apa yang mereka sebut sebagai Great Reset ekonomi global. Pendiri inisiatif ini lainnya adalah Prof Klaus Schwab, kepala WEF, yang berbicara tentang "pajak kekayaan" dan mengakhiri subsidi bahan bakar fosil. Namun cakupannya sangat luas, meliputi teknologi, perubahan iklim, masa depan pekerjaan, keamanan internasional, dan tema-tema lainnya, dan sulit untuk melihat dengan tepat apa yang dimaksud dengan Great Reset dalam praktiknya.
Proposal tersebut, beserta WEF sendiri, menghadapi kritik yang sah dari berbagai sumber, menurut BBC. Tokoh politik konservatif dan media massa menuduh organisasi tersebut mendorong kebijakan lingkungan yang akan merugikan ekonomi. Ketidakjelasan dari konsep Great Reset dan kritik yang mengalir tersebut, melahirkan teori konspirasi yang tidak berbasis fakta dan menyesatkan, seperti menghubungkan pandemi Covid-19 hasil rekayasa sebagai agenda Great Reset.
Tahun 2030 dihubungkan sebagai waktu terjadinya Great Reset, yang sebenarnya tidak pernah disebut oleh World Economic Forum.
Tahun 2030 sebenarnya merujuk pada pada Agenda Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Agenda 2030 diadopsi oleh semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015, menyediakan cetak biru bersama untuk perdamaian dan kesejahteraan bagi manusia dan planet ini, sekarang dan di masa depan.
Teori konspirasi baru soal Great Reset
Setelah pandemi, narasi bahwa dunia tanpa listrik dan internet sebagai agenda Great Reset 2030 menjadi teori konspirasi baru. Dosen Binus University Dr. Moch. Doddy Ariefianto, mengatakan bahwa mematikan internet secara global tidak mungkin terjadi karena jaringan internet tidak dikuasai oleh entitas tunggal.
Meski mematikan atau membatasi internet bisa dilakukan oleh masing-masing negara, akan tetapi mematikan jaringan internet secara global adalah mustahil. “Tersedianya internet merupakan ruangan-ruangan yang dibangun secara kolektif oleh jutaan pelaku,” kata Doddy dihubungi Tempo pada 7 Februari 2025.
Sedangkan anjuran untuk meninggalkan uang, dan mengganti dengan tabungan emas dan perak, kata Doddy, tidak berdasarkan data. Sebab sistem keuangan saat ini sudah mapan dan teruji ribuan tahun.
Mengganti sistem uang dengan emas dan perak juga tidak berkaitan dengan Great Reset. Menurut Doddy, emas menjadi aset yang bebas resiko, yang akan diburu saat kondisi ekonomi atau politik yang tidak pasti.
Akan tetapi, hanya mengandalkan investasi pada emas, juga beresiko. “Salah satu prinsip lain dari investasi adalah portofolio. Jadi kita menyebarkan, jangan taruh telur semua dalam satu keranjang, begitu filosofinya. Kita punya saham, kita punya obligasi, kita punya deposito, kita punya emas,” katanya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan bahwa klaim lebih baik menyimpan emas dan perak untuk Agenda Reset 2030 adalah keliru.
Rujukan
- https://www.instagram.com/reel/DFXp0O8Sagr/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading
- https://mvau.lt/media/c2d272eb-6e2b-4e4f-b496-60761728f3e6
- https://www.facebook.com/reel/591824446977076
- https://www.weforum.org/stories/2020/06/now-is-the-time-for-a-great-reset/
- https://www.bbc.com/news/blogs-trending-57532368
- https://sdgs.un.org/goals /cdn-cgi/l/email-protection#b3d0d6d8d5d2d8c7d2f3c7d6dec3dc9dd0dc9ddad7
(GFD-2025-25743) Benar: Video yang Memperlihatkan Presiden RI ke-7 Jokowi di Uni Emirat Arab
Sumber:Tanggal publish: 07/02/2025
Berita
Sebuah video beredar di Twitter atau X, Facebook dan Instagram, yang diklaim bahwa Joko Widodo atau Jokowi saat berkunjung ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA).
Video itu memperlihatkan Jokowi dan mantan Menteri Pariwisata Wishnutama Kusubandio, serta sejumlah orang berjalan di dalam ruangan mirip pusat perbelanjaan pada 5 Februari 2025.
Di Twitter, konten itu memantik perdebatan. Sejumlah warganet meyakini bahwa konten itu benar. Sedangkan beberapa akun, menilai video itu hoaks. Kunjungan Jokowi tersebut dipercaya terjadi saat dia masih menjabat sebagai presiden Indonesia. “Ini video ketika Jokowi berkunjung ke Dubai masih jabat Presiden. Lu ga lihat jas yg dipake masih pake peneng bahwa dia Presiden RI. Lu mau buat hoax..,” tulis salah satu akun.
Namun, benar atau keliru video yang diklaim kunjungan Jokowi ke Abu Dhabi itu terjadi pada 5 Februari 2025?
Video itu memperlihatkan Jokowi dan mantan Menteri Pariwisata Wishnutama Kusubandio, serta sejumlah orang berjalan di dalam ruangan mirip pusat perbelanjaan pada 5 Februari 2025.
Di Twitter, konten itu memantik perdebatan. Sejumlah warganet meyakini bahwa konten itu benar. Sedangkan beberapa akun, menilai video itu hoaks. Kunjungan Jokowi tersebut dipercaya terjadi saat dia masih menjabat sebagai presiden Indonesia. “Ini video ketika Jokowi berkunjung ke Dubai masih jabat Presiden. Lu ga lihat jas yg dipake masih pake peneng bahwa dia Presiden RI. Lu mau buat hoax..,” tulis salah satu akun.
Namun, benar atau keliru video yang diklaim kunjungan Jokowi ke Abu Dhabi itu terjadi pada 5 Februari 2025?
Hasil Cek Fakta
Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bahwa video kunjungan Joko Widodo tersebut memang benar terjadi pada 5 Februari 2025, atau setelah Jokowi tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI.
Dokumentasi kunjungan Jokowi ke Abu Dhabi itu diunggah oleh Kedutaan Besar Indonesia di Abu Dhabi di Instagram @indonesiainabudhabi. Aktivitas itu dikatakan terlaksana pada 5 Februari 2025.
Publikasi Dubes Indonesia di Abu Dhabi itu memperlihatkan foto yang sama, dari segi ruangan dan orang-orang yang terekam. Kunjungan tersebut berada di hypermarket LULU di Mushrif Mall, Abu Dhabi. Jokowi juga datang ke kantor pusat LULU Group.
Selain Jokowi, ada CEO LULU Group Mr. Saifee Rupawala yang berdasi merah, dan Duta Besar RI untuk UAE, H.E. Husin Bagis yang berpeci hitam. Mereka melihat rambutan dan produk permen asal Indonesia di sana.
“Mantan Presiden Joko Widodo memberikan dorongan strategis agar lebih banyak komoditas Indonesia menembus pasar Timur Tengah melalui LULU Group. Beliau juga meninjau hypermarket LULU di Mushrif Mall, melihat langsung produk Indonesia yang telah hadir di rak-rak ritel global,” potongan keterangan dalam unggahan Dubes Indonesia di Abu Dhabi.
Dokumentasi kunjungan Jokowi ke Abu Dhabi itu diunggah oleh Kedutaan Besar Indonesia di Abu Dhabi di Instagram @indonesiainabudhabi. Aktivitas itu dikatakan terlaksana pada 5 Februari 2025.
Publikasi Dubes Indonesia di Abu Dhabi itu memperlihatkan foto yang sama, dari segi ruangan dan orang-orang yang terekam. Kunjungan tersebut berada di hypermarket LULU di Mushrif Mall, Abu Dhabi. Jokowi juga datang ke kantor pusat LULU Group.
Selain Jokowi, ada CEO LULU Group Mr. Saifee Rupawala yang berdasi merah, dan Duta Besar RI untuk UAE, H.E. Husin Bagis yang berpeci hitam. Mereka melihat rambutan dan produk permen asal Indonesia di sana.
“Mantan Presiden Joko Widodo memberikan dorongan strategis agar lebih banyak komoditas Indonesia menembus pasar Timur Tengah melalui LULU Group. Beliau juga meninjau hypermarket LULU di Mushrif Mall, melihat langsung produk Indonesia yang telah hadir di rak-rak ritel global,” potongan keterangan dalam unggahan Dubes Indonesia di Abu Dhabi.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan narasi yang mengatakan Jokowi berkunjung ke Abu Dhabi, UEA, pada 5 Februari 2025, adalah klaim yang benar. Hal itu dikonfirmasi akun Instagram Dubes Indonesia untuk Abu Dhabi.
Rujukan
- https://x.com/tham878/status/1887095703287271429
- https://web.facebook.com/permalink.php?story_fbid=pfbid02o39XerxznLXy2vrrh2XbX27bT73bRfZrdRYNo5XMCv4hYTMEAZRf16M2gYoDZb27l&id=1585839761
- https://www.tiktok.com/@menujuindonesiamaju/video/7467862983704677637
- https://www.instagram.com/p/DFugql8vouZ/?img_index=9 /cdn-cgi/l/email-protection#ea898f818c8b819e8baa9e8f879a85c48985c4838e
(GFD-2025-25742) Keliru: Klaim soal Dampak Pemanasan Global dan Potensi Jakarta Tenggelam Hanya Isu
Sumber:Tanggal publish: 07/02/2025
Berita
Sebuah narasi beredar di Instagram [arsip] dan TikTok yang menyatakan bahwa pemanasan global atau perubahan iklim yang berkontribusi pada potensi Jakarta tenggelam hanyalah isu.
Isu tersebut diklaim disebarkan agar para pengusaha properti bisa memagari laut dan membangun perumahan mewah di kawasan pantai.
Namun, benarkah pemanasan global berdampak pada Jakarta tenggelam hanya isu yang disebarkan untuk kepentingan pengusaha properti?
Isu tersebut diklaim disebarkan agar para pengusaha properti bisa memagari laut dan membangun perumahan mewah di kawasan pantai.
Namun, benarkah pemanasan global berdampak pada Jakarta tenggelam hanya isu yang disebarkan untuk kepentingan pengusaha properti?
Hasil Cek Fakta
Potensi Jakarta tenggelam bukanlah isu, melainkan telah diteliti oleh banyak pakar. Dua faktor mengapa potensi tersebut terjadi antara lain karena penurunan air tanah dan naiknya permukaan laut. Sehingga keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim, meski terkait langsung dengan potensi tenggelamnya Jakarta, dapat berdampak pada percepatan penanganan pemanasan global.
Faktor penurunan tanah diteliti oleh oleh Tim dari geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas, di Jakarta Utara setiap tahunnya telah terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25 cm.
Hal itu berarti dalam sepuluh tahun, terjadi penurunan tanah sedalam 2,5 meter di sana. Bila tidak dilakukan upaya pencegahan yang tepat, pada tahun 2050, diperkirakan 95 persen wilayah Jakarta Utara akan terendam air.
Penurunan tanah tidak hanya terjadi di Jakarta Utara, tetapi di seluruh DKI Jakarta. Jakarta Barat turun sampai 15 cm per tahun. Jakarta Timur, 10 cm setiap tahunnya. Penurunan tanah sedalam 2 cm terjadi di Jakarta Pusat. Sementara, di Jakarta Selatan penurunannya sekitar 1cm per tahun.
Menurut Heri, penurunan tanah itu akibat penggunaan air tanah dalam secara berlebihan dan terus-menerus. Air tanah dalam adalah air tanah yang terletak di kedalaman sekitar 80 sampai 300 meter di bawah permukaan tanah.
BBC telah menginvestigasi potensi tenggelamnya Jakarta, salah satunya berdasarkan riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Faktor kedua karena naiknya permukaan air laut. Dalam riset Hamlington dkk (2024) berjudul The rate of global sea level rise doubled during the past three decades, berdasarkan pengukuran permukaan laut global oleh satelit, ketinggian permukaan laut pada tahun 1993 hingga akhir tahun 2023, telah meningkat sebesar 111 mm.
Selain itu, laju kenaikan permukaan laut rata-rata global selama tiga dekade tersebut telah meningkat dari ~2,1 mm/tahun pada tahun 1993 menjadi ~4,5 mm/tahun pada tahun 2023. Jika lintasan kenaikan permukaan laut ini terus berlanjut selama tiga dekade ke depan, permukaan laut akan meningkat sebesar 169 mm secara global, sebanding dengan proyeksi permukaan laut jangka menengah dari IPCC AR6. Kenaikan permukaan laut adalah salah satu indikator perubahan iklim.
Riset Greenpeace (2021) berjudul “The Projected Economic Impact of Extreme Sea-Level Rise in Seven Asian Cities in 2030”, memetakan potensi dampak kenaikan permukaan air laut tersebut pada 2030 terhadap tujuh kota padat dengan ekonomi besar di Asia, termasuk Jakarta. Berdasarkan skenario yang dibuat oleh riset tersebut menunjukkan, hampir 17% dari total luas daratan Jakarta berada di bawah level kenaikan air laut jika banjir 10 tahunan terjadi pada tahun 2030. Bagian utara Jakarta paling berisiko terkena banjir akibat kenaikan muka air laut karena memiliki elevasi yang rendah.
Analisis riset tersebut memproyeksikan bahwa di Jakarta, kenaikan permukaan laut yang ekstrem dan banjir berikutnya pada tahun 2030 dapat membahayakan pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar US$68,20 miliar dan 1,80 juta orang terdampak.
Postgraduate student Earth and Environment, University of Leeds, Anistia Malinda Hidayat menjelaskan kenaikan air laut yang salah satu penyebabnya pemanasan global, berpengaruh sangat sedikit pada tenggelamnya Jakarta di masa mendatang.
“Ada (dampaknya ke Jakarta), tapi sangat kecil jika dibandingkan dengan land subsidence (penurunan tanah). Proyeksi menggunakan pemodelan hidrodinamik yang dilakukan Takagi et al. (2016) menyebutkan jika 88% penyebab perluasan area coastal flood (banjir rob) di Jakarta adalah akibat penurunan tanah, sisanya diakibatkan oleh kenaikan muka laut yang dapat terasosiasi dengan perubahan iklim atau adanya anomali tinggi gelombang pasang,” kata Anistia, Minggu, 9 Februari 2025.
Dia juga mengatakan, berdasarkan data riil observasi survei dan satelit INSAR, laju penurunan tanah di Jakarta dalam kurun waktu 1974-2010 bervariasi mulai dari 3-10 cm/tahun (Abidin et al, 2015).
Penyebab penurunan tanah sendiri di wilayah Jakarta bisa dikaitkan dengan 4 hal; Ekstraksi air tanah; beban konstruksi seperti pemadatan tanah dengan tingkat kompresibilitas tinggi akibat padatnya dan 'beratnya' bangunan di atasnya; karakteristik tanahnya, biasanya terkait dengan konsolidasi alami tanah alluvial; dan tektonik.
“Berdasarkan riset Mas Abidin (tersebut), faktor pertama sampai ketiga yang paling berpengaruh jika menyangkut dengan penurunan tanah di Jakarta. Jadi, memang aktivitas pembangunan di Jakarta yang sejauh ini memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan efek dari pemanasan global itu sendiri,” kata Anistia lagi.
Faktor penurunan tanah diteliti oleh oleh Tim dari geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas, di Jakarta Utara setiap tahunnya telah terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25 cm.
Hal itu berarti dalam sepuluh tahun, terjadi penurunan tanah sedalam 2,5 meter di sana. Bila tidak dilakukan upaya pencegahan yang tepat, pada tahun 2050, diperkirakan 95 persen wilayah Jakarta Utara akan terendam air.
Penurunan tanah tidak hanya terjadi di Jakarta Utara, tetapi di seluruh DKI Jakarta. Jakarta Barat turun sampai 15 cm per tahun. Jakarta Timur, 10 cm setiap tahunnya. Penurunan tanah sedalam 2 cm terjadi di Jakarta Pusat. Sementara, di Jakarta Selatan penurunannya sekitar 1cm per tahun.
Menurut Heri, penurunan tanah itu akibat penggunaan air tanah dalam secara berlebihan dan terus-menerus. Air tanah dalam adalah air tanah yang terletak di kedalaman sekitar 80 sampai 300 meter di bawah permukaan tanah.
BBC telah menginvestigasi potensi tenggelamnya Jakarta, salah satunya berdasarkan riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Faktor kedua karena naiknya permukaan air laut. Dalam riset Hamlington dkk (2024) berjudul The rate of global sea level rise doubled during the past three decades, berdasarkan pengukuran permukaan laut global oleh satelit, ketinggian permukaan laut pada tahun 1993 hingga akhir tahun 2023, telah meningkat sebesar 111 mm.
Selain itu, laju kenaikan permukaan laut rata-rata global selama tiga dekade tersebut telah meningkat dari ~2,1 mm/tahun pada tahun 1993 menjadi ~4,5 mm/tahun pada tahun 2023. Jika lintasan kenaikan permukaan laut ini terus berlanjut selama tiga dekade ke depan, permukaan laut akan meningkat sebesar 169 mm secara global, sebanding dengan proyeksi permukaan laut jangka menengah dari IPCC AR6. Kenaikan permukaan laut adalah salah satu indikator perubahan iklim.
Riset Greenpeace (2021) berjudul “The Projected Economic Impact of Extreme Sea-Level Rise in Seven Asian Cities in 2030”, memetakan potensi dampak kenaikan permukaan air laut tersebut pada 2030 terhadap tujuh kota padat dengan ekonomi besar di Asia, termasuk Jakarta. Berdasarkan skenario yang dibuat oleh riset tersebut menunjukkan, hampir 17% dari total luas daratan Jakarta berada di bawah level kenaikan air laut jika banjir 10 tahunan terjadi pada tahun 2030. Bagian utara Jakarta paling berisiko terkena banjir akibat kenaikan muka air laut karena memiliki elevasi yang rendah.
Analisis riset tersebut memproyeksikan bahwa di Jakarta, kenaikan permukaan laut yang ekstrem dan banjir berikutnya pada tahun 2030 dapat membahayakan pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar US$68,20 miliar dan 1,80 juta orang terdampak.
Postgraduate student Earth and Environment, University of Leeds, Anistia Malinda Hidayat menjelaskan kenaikan air laut yang salah satu penyebabnya pemanasan global, berpengaruh sangat sedikit pada tenggelamnya Jakarta di masa mendatang.
“Ada (dampaknya ke Jakarta), tapi sangat kecil jika dibandingkan dengan land subsidence (penurunan tanah). Proyeksi menggunakan pemodelan hidrodinamik yang dilakukan Takagi et al. (2016) menyebutkan jika 88% penyebab perluasan area coastal flood (banjir rob) di Jakarta adalah akibat penurunan tanah, sisanya diakibatkan oleh kenaikan muka laut yang dapat terasosiasi dengan perubahan iklim atau adanya anomali tinggi gelombang pasang,” kata Anistia, Minggu, 9 Februari 2025.
Dia juga mengatakan, berdasarkan data riil observasi survei dan satelit INSAR, laju penurunan tanah di Jakarta dalam kurun waktu 1974-2010 bervariasi mulai dari 3-10 cm/tahun (Abidin et al, 2015).
Penyebab penurunan tanah sendiri di wilayah Jakarta bisa dikaitkan dengan 4 hal; Ekstraksi air tanah; beban konstruksi seperti pemadatan tanah dengan tingkat kompresibilitas tinggi akibat padatnya dan 'beratnya' bangunan di atasnya; karakteristik tanahnya, biasanya terkait dengan konsolidasi alami tanah alluvial; dan tektonik.
“Berdasarkan riset Mas Abidin (tersebut), faktor pertama sampai ketiga yang paling berpengaruh jika menyangkut dengan penurunan tanah di Jakarta. Jadi, memang aktivitas pembangunan di Jakarta yang sejauh ini memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan efek dari pemanasan global itu sendiri,” kata Anistia lagi.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan dampak pemanasan global atau meningkatnya permukaan air laut pada proses Jakarta tenggelam hanya isu adalah klaim yang keliru.
Rujukan
- https://www.instagram.com/p/DFXPRC6zFY_/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading
- https://mvau.lt/media/1777a1cf-73ce-4ee7-b4d8-dd9cfb2b9064
- https://www.tiktok.com/@farhaenis2/video/7463489555140840710?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7273033263064335880
- https://www.bbc.com/indonesia/resources/idt-3928e4ca-f33b-4657-aa35-98eb5987f74e
- https://www.nature.com/articles/s43247-024-01761-5
- https://www.greenpeace.org/static/planet4-eastasia-stateless/2021/06/966e1865-gpea-asian-cites-sea-level-rise-report-200621-f-3.pdf /cdn-cgi/l/email-protection#b2d1d7d9d4d3d9c6d3f2c6d7dfc2dd9cd1dd9cdbd6
Halaman: 99/5896