• (GFD-2021-8534) Sesat, Klaim yang Kaitkan Kasus Vaksin Covid-19 Palsu Ini dengan Vaksinasi di Indonesia

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 10/03/2021

    Berita


    Klaim yang mengaitkan vaksinasi Covid-19 di Indonesia dengan sejumlah berita tentang terbongkarnya kasus vaksin Covid-19 palsu beredar di Facebook. Dalam berita-berita tersebut, diketahui bahwa modus pelaku pemalsuan vaksin itu adalah memasukkan larutan garam atau air mineral ke dalam jarum suntik dan menjajakannya sebagai vaksin Covid-19.
    Berita-berita ini dibagikan dalam bentuk gambar tangkapan layar. Berita pertama berasal dari BBC Indonesia yang berjudul "Polisi bongkar 'jaringan pemalsu vaksin', seberapa besar masalah vaksin palsu?". Sementara berita kedua berasal dari CNN Indonesia yang berjudul "Sindikat Pembuat Vaksin Covid-19 Palsu Ditangkap".
    Dalam gambar tangkapan layar video berita dari CNN Indonesia itu, terlihat sejumlah pria yang sedang memasukkan sejumlah kotak kardus ke dalam mobil box. Terdapat pula seorang pria yang mengenakan pakaian polisi berwarna coklat dan seorang pria yang memakai pakaian hitam dengan tulisan "Gegana" di bagian belakangnya. Gegana merupakan satuan dalam Korps Brimob Polri.
    Akun ini membagikan klaim beserta gambar tangkapan layar berita tersebut pada 7 Maret 2021. Akun itu menulis, "Bagus banget! Sementara dipaksa vaksin dengan ancaman karir sampai pidana. Terus ga taunya dapat yang palsu. Kan tambah amsyong ini namanya jadi rakyat +62." Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 391 reaksi dan dibagikan 121 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim sesat terkait kasus vaksin Covid-19 palsu.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, BBC Indonesia dan CNN Indonesia memang pernah memuat berita dengan judul seperti yang terlihat dalam tangkapan layar di atas. Namun, kasus vaksin Covid-19 palsu yang terbongkar yang dimuat dalam kedua berita tersebut bukan terjadi di Indonesia.
    Gambar tangkapan layar pertama, yang berasal dari BBC Indonesia, berasal dari unggahan kantor berita tersebut di akun Facebook resminya pada 5 Maret 2021. Sementara gambar tangkapan layar kedua, yang berasal dari CNN Indonesia, merupakan gambar tangkapan layar dari video beritanya yang diunggah ke kanal YouTube resminya pada 4 Maret 2021.
    Dalam artikelnya, BBC Indonesia menulis bahwa jaringan pemalsu vaksin Covid-19 itu ditangkap di Cina dan Afrika Selatan, menurut laporan Interpol. Di Cina, polisi menangkap 80 orang di sebuah pabrik yang diduga membuat vaksin palsu. Dalam penangkapan ini, polisi juga menyita sedikitnya 3 ribu dosis vaksin.
    Sementara di Afrika Selatan, sebanyak tiga warga negara Cina dan seorang warga Zambia ditahan di sebuah gudang di Kota Gauteng, tempat di mana ampul-ampul berisi 2.400 dosis vaksin palsu ditemukan. Namun, belum diketahui secara pasti kapan penangkapan itu terjadi. Penemuan di Afrika Selatan ini dilaporkan oleh surat kabar Sunday Times pada Desember 2020.
    Saat mengumumkan pembekukkan jaringan vaksin yang diduga palsu tersebut, Interpol menekankan bahwa tidak ada vaksin yang disetujui yang "saat ini tersedia untuk dijual secaraonline". "Setiap vaksin yang diiklankan di internet atau situs web gelap, bukan merupakan vaksin yang sah, tidak teruji, dan mungkin berbahaya," kata Interpol.
    Dalam video beritanya, CNN Indonesia juga memaparkan informasi yang sama. Menurut CNN Indonesia, Interpol baru-baru ini membongkar sindikat pembuat vaksin Covid-19 palsu. Vaksin palsu tersebut tidak memiliki izin edar dan dijual secara daring. Tiga warga negara Cina dan satu warga Zambia ditangkap terkait kasus ini.
    Mengenai sejumlah pria yang tampak sedang memasukkan sejumlah kotak kardus ke dalam mobil box dan dikawal oleh polisi dalam gambar tangkapan layar di atas, berasal dari detik ke-37 dalam video berita CNN Indonesia tersebut. Ketika itu, narator tengah menjelaskan bagaimana langkah pemerintah Indonesia untuk mencegah beredarnya vaksin Covid-19 palsu.
    Salah satu langkah pencegahan yang diambil, menurut juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, adalah dengan pengadaan vaksin satu pintu. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah memiliki mekanisme pengawasan peredaran daring untuk mencegah penyebaran vaksin Covid-19 palsu.
    Dilansir dari arsip berita Tempo, Satgas Penanganan Covid-19 juga telah menyatakan bahwa tidak ada vaksin Covid-19 palsu yang beredar di Indonesia, termasuk sindikatnya. "Pemalsuan vaksin Covid-19 adalah sebuah kejahatan yang membahayakan kehidupan masyarakat. Dan sekarang tidak ada sindikat vaksin yang ditemukan di Indonesia," ujar juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pada 8 Maret 2021.
    Wiku menyampaikan pembelian vaksin Covid-19 dilakukan dengan cara G2G (government to government). Dengan demikian, keaslian vaksin terjamin. "Meskipun begitu, pemerintah tetap mengawasi peredaran vaksin di Indonesia. Pemerintah juga akan berkoordinasi dengan perusahaan vaksin untuk memastikan keaslian vaksin," katanya. Ia menambahkan vaksin juga harus mendapatkan izin darurat atau memiliki nomor distribusi dari BPOM.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim yang mengaitkan kasus vaksin Covid-19 palsu dalam berita-berita di atas dengan vaksinasi Covid-19 yang sedang berlangsung di Indonesia, menyesatkan. Kedua berita tersebut memang berisi informasi tentang terbongkarnya jaringan vaksin Covid-19 palsu. Namun, peristiwa itu terjadi di Cina dan Afrika Selatan, bukan di Indonesia.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8533) Keliru, DKI Alihkan Dana Banjir untuk Bebaskan Rizieq Shihab dari Penjara

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 10/03/2021

    Berita


    Klaim bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalihkan dana penanggulangan banjir untuk membebaskan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dari penjara beredar di media sosial. Menurut klaim tersebut, jumlah dana penanggulangan banjir tersebut mencapai Rp 160 miliar.
    Di Facebook, klaim itu diunggah oleh akun ini pada 3 Maret 2021. Akun tersebut menulis, "Dana 160M yg Seharusnya digunakan untuk penanggulangan banjir DKI JKT Malah Buat membebaskan Rizieq Dari penjara Arab Angel angel." Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 65 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru soal dana penanggulangan banjir milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan terkait di mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan berita yang berisi informasi bahwa Pemprov DKI Jakarta mengalihkan dana banjir senilai Rp 160 miliar untuk membebaskan Rizieq Shihab.
    Justru, Tempo menemukan artikel di situs media informasi dan klarifikasi yang dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta, Jala Hoaks, yang telah menjelaskan bahwa klaim itu keliru. Dana sebesar Rp 160 miliar tersebut disiapkan untuk membebaskan 118 bidang tanah di sekitar Sungai Ciliwung.
    Menurut arsip berita Tempo pada 7 Januari 2020, dalam rangka menanggulangi banjir di ibukota, Pemprov DKI bakal membebaskan 118 bidang lahan di bantaran Kali Ciliwung pada 2020. Lahan yang akan dibebaskan tersebar di Kelurahan Tanjung Barat, Pejaten Timur, Cililitan, dan Bale Kembang.
    Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air Juaini Yusuf pada 6 Januari 2020, setelah lahan tersebut dibebaskan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bisa kembali melakukan normalisasi Sungai Ciliwung. "Kami hanya membebaskan lahannya saja," ujar Juaini.
    Awalnya, pemerintah ingin membebaskan lahan tersebut pada 2019. Namun, rencana itu dibatalkan karena adanya efisiensi anggaran. Pada akhir 2019, Pemprov DKI akhirnya mengalokasikan Rp 160 miliar untuk membebaskan lahan di empat kelurahan tersebut.
    Dilansir dari Beritasatu.com, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memastikan pembebasan lahan untuk melakukan normalisasi dan membangun sodetan Sungai Ciliwung akan dilanjutkan pada 2020. Karena itu, Pemprov DKI menyiapkan payung hukum untuk pembayaran pembebasan lahan warga tersebut.
    Untuk normalisasi Sungai Ciliwung, menurut Juaini, yang baru dibebaskan lahannya dan dikerjakan normalisasinya mencapai 16 kilometer dari total 33 kilometer. Dari sisa lahan yang belum dinormalisasi itu, masih ada 118 bidang tanah dari empat kelurahan yang perlu dibebaskan.
    Keempat kelurahan itu adalah Tanjung Barat, Pejaten Timur, Cililitan, dan Bale Kambang. "Kalau tahun kemarin, sudah disediakan anggaran Rp 160 miliar untuk pembebasan lahan di 118 bidang tersebut. Tapi tahun ini kan nilai jual objek pajak (NJOP) akan berubah, jadi kita harus hitung ulang lagi."
    Kasus Rizieq Shihab
    Pemimpin FPI Rizieq Shihab ditahan oleh Polda Metro Jaya pada 13 Desember 2020, jauh setelah disiapkannya dana sebesar Rp 160 miliar oleh Pemprov DKI untuk membebaskan 118 bidang tanah di sekitar Sungai Ciliwung. Rizieq ditahan terkait kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat, pada 14 November 2020.
    Polisi menjerat Rizieq dengan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang menghasut masyarakat supaya melakukan perbuatan pidana sehingga terjadi kedaruratan kesehatan di masyarakat dan Pasal 216 KUHP, dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara.
    Dalam perkembangannya, menurut arsip berita Tempo pada 29 Januari 2021, Rizieq Shihab diperkarakan dalam tiga kasus yang berbeda. Dua kasus terkait kerumunan di Petamburan dan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Sementara satu kasus terjadi di Rumah Sakit Ummi Bogor.
    Dalam kasus Petamburan, polisi menetapkan Rizieq bersama lima orang lainnya sebagai tersangka lantaran menghasut dan melawan petugas. Rizieq dijerat Pasal 160 KUHP dan Pasal 216 KUHP. Sedangkan lima tersangka lainnya dijerat Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
    Untuk kasus Megamendung, polisi menetapkan Rizieq sebagai tersangka dengan alasan yang sama. Berbeda dengan kasus Petamburan, hanya Rizieq yang dijadikan tersangka. Dalam perkara ini, Rizieq dijerat Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular serta Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.
    Adapun dalam kasus RS Ummi Bogor, selain Rizieq, polisi menetapkan Direktur Utama Rumah Sakit Ummi Bogor Andi Tatat dan Hanif Alatas (menantu Rizieq) sebagai tersangka. Ketiganya disangkakan dengan Pasal 14 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular, Pasal 216 KUHP, serta Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 atas dugaan menghalang-halangi kerja Satgas Penanganan Covid-19 untuk memeriksa Rizieq.
    Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, sidang perdana Rizieq Shihab bakal digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pekan depan. Dikutip dari CNN Indonesia, perkara untuk dugaan tindak pidana kekarantinaan kesehatan atas nama Rizieq dan beberapa pihak lain itu telah dilimpahkan pada 9 Maret 2021.
    "Atas nama terdakwa Mohammad Rizieq dan kawan-kawan ke PN Jaktim sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan mengadili perkara," kata Leonard.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Pemprov DKI Jakarta mengalihkan dana penanggulangan banjir senilai Rp 160 miliar untuk membebaskan Riziq Shihab dari penjara, keliru. Tidak ditemukan berita yang berisi informasi bahwa Pemprov DKI mengalihkan dana penanggulangan banjir senilai Rp 160 miliar untuk membebaskan Rizieq. Pemprov DKI memang menyiapkan anggaran Rp 160 miliar pada 2020, namun untuk membebaskan 118 bidang tanah warga di bantaran Kali Ciliwung. Rizieq pun baru ditahan oleh Polda Metro Jaya pada 13 Desember 2020, jauh setelah disiapkannya dana tersebut pada Januari 2020.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8532) Keliru, Tersangka Kasus KM 50 dari Laskar FPI Dihukum Gantung

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/03/2021

    Berita


    Klaim bahwa tersangka kasus KM 50 dari Laskar FPI dijatuhi hukuman gantung beredar di Facebook. Kasus KM 50 yang dimaksud adalah kasus yang melibatkan enam anggota Laskar FPI (Front Pembela Islam) dan petugas kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50 pada 7 Desember 2020.
    Belakangan, oleh polisi, enam anggota Laskar FPI itu dinyatakan sebagai tersangka kasus penyerangan polisi dalam insiden tersebut. Akun ini membagikan klaim tersebut pada 5 Maret 2021. Akun itu menulis, "Viral..... Tersangka penyerangan polisi di km 50 dijatuhi hukuman gantung."
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait enam anggota Laskar FPI yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan kata kunci "tersangka kasus KM 50 dihukum gantung" ke mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan berita yang memuat informasi bahwa para anggota Laskar FPI yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi terkait insiden itu dihukum gantung.
    Pada 3 Maret 2021, seperti dilansir dari Detik.com, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memang menetapkan enam anggota Laskar FPI yang tewas dalam insiden di Tol Cikampek KM 50 tersebut sebagai tersangka. Keenamnya diduga melakukan kekerasan. Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi, enam anggota Laskar FPI itu tetap bisa dinyatakan sebagai tersangka meskipun sudah meninggal.
    Namun, sehari setelahnya, pada 4 Maret 2021, Bareskrim resmi menghentikan penyidikan kasus penyerangan polisi terhadap enam anggota Laskar FPI yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu. Dengan demikian, seluruh penyidikan perkara dan status tersangka pada enam anggota Laskar FPI tersebut sudah tidak berlaku di mata hukum.
    Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan penghentian penyidikan kasus ini mengacu pada Pasal 109 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena tersangka sudah meninggal. "Kasus penyerangan di Tol Jakarta-Cikampek dihentikan. Dengan begitu, penyidikan serta status tersangka sudah gugur," ujar Argo.
    Kasus penembakan Laskar FPI
    Pada 8 Januari 2021, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memaparkan hasil akhir investigasinya terkait insiden tewasnya enam anggota Laskar FPI di Tol Cikampek KM 50. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan dua mobil Laskar FPI sebenarnya bisa kabur dari pengintaian polisi sebelum terjadinya insiden di Tol Cikampek KM 50. Dua mobil itu sempat berkejaran dengan polisi yang membuntuti rombongan pimpinan FPI Rizieq Shihab.
    "Kedua mobil FPI tersebut berhasil membuat jarak dan memiliki kesempatan untuk kabur dan menjauh, namun mengambil tindakan menunggu," kata Anam. Akibatnya, kedua mobil tersebut bertemu kembali dengan mobil petugas. Kemudian, terjadi kejar-mengejar, saling serempet dan seruduk, yang berujung saling serang dan kontak tembak antara mobil FPI dan mobil petugas. Insiden ini terjadi di Jalan Internasional Karawang Barat dan diduga hingga Tol Cikampek KM 49.
    Dari penelusuran, Komnas HAM menemukan beberapa barang bukti seperti selongsong peluru dan pecahan bagian mobil. Mereka lantas menggelar uji balistik. Dari temuan ini, Komnas HAM menyebut ada dua selongsong peluru yang diduga merupakan senjata rakitan milik anggota Laskar FPI. Selain itu, ada juga tiga selongsong peluru yang diduga milik polisi.
    Anam mengatakan empat dari enam anggota Laskar FPI masih hidup ketika berada di Tol Cikampek KM 50. Dua orang lainnya meninggal diduga karena luka tembak saat mobil mereka berkejaran dengan mobil polisi dan saling serang. Empat orang itu kemudian diturunkan dari mobil ke jalan. Mereka diduga mendapatkan kekerasan dari petugas. Penelurusan Komnas HAM juga menemukan bahwa petugas ditengarai mengambil CCTV dari sebuah warung dan menghapus jejak darah.
    Menindaklanjuti temuan Komnas HAM itu, kepolisian menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai terlapor terkait kasus unlawful killing terhadap empat anggota Laskar FPI tersebut. Pada 10 Maret 2021 besok, Bareskrim berencana menggelar gelar perkara soal penentuan status dalam kasus unlawful killing ini.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tersangka kasus KM 50 dari Laskar FPI dijatuhi hukuman gantung, keliru. Tidak ditemukan berita yang memuat informasi bahwa enam anggota Laskar FPI yang tewas dalam insiden di Tol Cikampek KM 50 dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dihukum gantung. Pada 3 Maret 2021, Bareskrim Polri memang menetapkan enam anggota Laskar FPI tersebut sebagai tersangka kasus penyerangan polisi. Namun, pada 4 Maret 2021, Bareskrim resmi menghentikan penyidikan kasus itu dengan alasan tersangka sudah meninggal. Dengan demikian, seluruh penyidikan perkara dan status tersangka pada enam anggota Laskar FPI tersebut sudah tidak berlaku.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8531) Sesat, Pria Oregon Ini Dipenjara Karena Kumpulkan Air Hujan untuk Kehidupan Sehari-hari

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/03/2021

    Berita


    Klaim bahwa seorang pria asal Oregon, Amerika Serikat, dipenjara dan didenda sebesar US$ 1.500 karena mengumpulkan air hujan untuk dipakai di kehidupan sehari-harinya beredar di Facebook pada 4 Maret 2021. Klaim itu terdapat dalam sebuah gambar yang juga berisi foto yang memperlihatkan seorang pria berusia lanjut yang sedang melambaikan tangannya sebelum memasuki sebuah ruangan.
    Teks yang tertulis dalam gambar itu adalah sebagai berikut: "Pria asal Oregon, AS ini dipenjara dan didenda $1500 karena mengumpulkan air hujan untuk dipakai di kehidupan sehari-harinya, alasan polisi menangkap dia adalah 'air hujan adalah properti milik negara'." Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari seribu respons dan 117 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim menyesatkan terkait kasus yang menjerat seorang pria asal Oregon, Amerika Serikat, terkait pemanfaatan air.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan hasil verifikasi Tim CekFakta Tempo, peristiwa yang dijabarkan dalam unggahan tersebut merupakan peristiwa pada 2012. Pria itu menerima hukuman seperti yang telah disebutkan tidak hanya karena telah mengumpulkan air hujan, tapi juga membuat tiga waduk ilegal yang memblokir aliran air menuju sebuah sungai yang digunakan pemerintah untuk memasok air.
    Untuk memeriksa klaim itu, Tempo menelusuri berita terkait dari sejumlah media asing. Dikutip dari berita CNS News pada 26 Juli 2012, pria yang bernama Gary Harrington, yang berasal dari Eagle Point, Ore, dijatuhi hukuman 30 hari penjara dan denda sebesar US$ 1.500 karena membangun "tiga waduk ilegal" di propertinya untuk menampung dan memanfaatkan air hujan dan limpasan salju.
    Kasus itu pertama kali mencuat pada 2002, ketika pengelola air negara bagian memberi tahu Harrington bahwa ada keluhan tentang tiga waduknya yang dibuat di atas tanah seluas lebih dari 170 hektare. Menurut undang-undang air Oregon, semua air dimiliki oleh publik. Karena itu, siapa pun yang ingin menyimpan air jenis apa pun di propertinya harus mendapat izin dari pengelola air.
    Awalnya, Departemen Sumber Daya Air negara bagian menyetujui izin yang sempat diajukan oleh Harrington pada 2003. Namun, izin tersebut kemudian dibatalkan oleh pengadilan negara bagian. Menurut Harrington, kasusnya berpusat pada undang-undang 1925 yang menyatakan Kota Medford memiliki hak eksklusif atas "semua sumber inti air" di Daerah Aliran Sungai (DAS) Big Butte Creek dan anak-anak sungainya.
    Harrington mengatakan undang-undang 1925 ini sama sekali tidak menyinggung pengumpulan air hujan atau pencairan salju. Dia pun menolak tuduhan yang dijatuhkan kepadanya tersebut. "Mereka mencoba untuk mengembangkan (kasusnya) dengan memasukkan masalah air hujan itu, dan mereka menggunakan saya sebagai kambing untuk melakukannya," ujar Harrington.
    Tom Paul, administrator Departemen Sumber Daya Air Oregon, menyatakan bahwa Harrington telah melanggar undang-undang penggunaan air negara bagian dengan mengalihkan air dari aliran yang mengalir ke Big Butte Creek. "Undang-undang yang sebenarnya dia langgar bukanlah ketentuan tahun 1925, tapi undang-undang yang menyatakan bahwa semua air di negara bagian Oregon adalah air publik."
    Menurut Paul, jika ingin menggunakan air itu, untuk mengalihkan atau menyimpannya, warga harus mendapatkan izin dari negara bagian Oregon sebelumnya. Namun, Paul juga mengakui bahwa ketentuan tahun 1925 diberlakukan karena Harrington membangun bendungan untuk memblokir anak sungai Big Butte Creek, yang digunakan Kota Medford untuk memasok air.
    Pada 2007, hakim Pengadilan Sirkuit Jackson County menolak izin Harrington dan menemukan bahwa dia telah "menarik air yang dipermasalahkan dari pengambilan selain untuk Kota Medford" secara ilegal. Menurut Paul, ketika itu, Harrington mengaku bersalah. Ia menerima konsekuensi untuk menjalani masa percobaan selama tiga tahun dan diperintahkan untuk membuka pintu air.
    Namun, tak beberapa lama setelah masa percobaannya berakhir, Harrington kembali menutup pintu air dan mengisi waduknya. "Jadi, ini telah berlangsung selama beberapa waktu, dan saya pikir pengadilan merasa bahwa Tuan Harrington tidak menerima pesan mereka. Jadi, saya pikir pengadilan ingin, rasanya perlu, memberikan hukuman yang lebih keras untuk menarik perhatiannya," ujar Paul.
    Dikutip dari AOL.com, Harrington telah mengumpulkan hampir 13 juta galon air di waduknya. Jumlah ini cukup untuk mengisi 20 kolam renang ukuran Olimpiade. Harrington pun dinyatakan bersalah karena telah melanggar undang-undang Oregon yang melarang pengumpulan air pribadi. Dia dijatuhi hukuman 30 hari penjara dan dikenai denda sebesar US$ 1.500.
    Departemen Sumber Daya Air Oregon mengatakan, meskipun memasang tong penampung air hujan di atap atau permukaan buatan lainnya adalah legal, waduk yang dibuat Harrington jauh melampaui itu dan membutuhkan izin. "Tuan Harrington telah mengoperasikan tiga waduk ini dengan pelanggaran mencolok terhadap hukum Oregon selama lebih dari satu dekade," kata Tom Paul.
    Organisasi pemeriksa fakta Amerika Serikat, Snopes, juga telah memverifikasi klaim serupa pada 13 April 2015. Siaran pers yang diterbitkan oleh Departemen Sumber Daya Air Oregon pada 29 Juli 2012 menyatakan "legal untuk mengumpulkan air hujan dari permukaan seperti atap atau terpal, (tapi) pemilik properti membutuhkan izin sebelum mengubah atau mengumpulkan aliran air".
    Kasus Harrington, menurut Snopes, jauh melebihi kumpulan sederhana air hujan. Harrington menyimpan dan menggunakan air secara ilegal dengan menempatkan bendungan yang melintasi saluran di propertinya dan mencegah aliran air keluar dari waduk tersebut. Hal ini dilakukan oleh Harrington tanpa izin hak atas air dari negara bagian Oregon.
    Ketinggian setiap bendungan berbeda-beda. Dua bendungan tingginya sekitar sepuluh kaki, dan yang ketiga tingginya sekitar 20 kaki. Jumlah air yang terkumpul di bendungan-bendungan ini sekitar 40 hektare kaki. Waduk buatan tersebut juga memiliki dermaga dan perahu, serta diisi dengan ikan trout dan bluegill untuk rekreasi memancing.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Gary Harrington, warga Oregon, Amerika Serikat, dipenjara dan didenda sebesar US$ 1.500 karena mengumpulkan air hujan untuk dipakai di kehidupan sehari-harinya, menyesatkan. Pria itu menerima hukuman tersebut tidak hanya karena telah mengumpulkan air hujan, tapi juga membuat tiga waduk ilegal yang memblokir aliran air menuju sebuah sungai yang digunakan pemerintah untuk memasok air. Jika ingin menggunakan air tersebut, warga harus mendapatkan izin sebelumnya.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan