• (GFD-2020-8355) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Pembakaran Kantor Kedubes Prancis di Sudan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/11/2020

    Berita


    Video pendek yang diklaim sebagai video pembakaran kantor Kedutaan Besar Prancis di Sudan beredar di media sosial. Video ini menyebar di tengah munculnya berbagai kecaman terhadap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait pernyataannya soal Islam sebagai tanggapan atas pemenggalan terhadap seorang guru Prancis yang bernama Samuel Paty.
    Dalam video itu, terlihat puluhan warga kulit hitam yang berlari ke arah sebuah gedung. Kedatangan mereka ke bangunan tersebut dihadang oleh sejumlah petugas. Kericuhan pun terjadi. Massa melempari gedung tersebut dengan batu. Massa juga membakar sebuah bangunan kecil yang terdapat di halaman gedung itu.
    Salah satu akun di Facebook  membagikan video berdurasi sekitar 2 menit itu pada 27 Oktober 2020. Akun ini kemudian menulis, "Pembakaran kedutaan Perancis di Sudan untuk menolak gambar Nabi yang menghina, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan lebih dari 31 ribu reaksi dan dikomentari sebanyak 91 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook ????????? ????.
    Apa benar video tersebut adalah video pembakaran kantor Kedubes Prancis di Sudan?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, video tersebut bukanlah video pembakaran kantor Kedubes Prancis di Sudan, melainkan video unjuk rasa yang berakhir ricuh di Kedubes Jerman di Khartoum, ibukota Sudan, pada 14 September 2012.
    Untuk memeriksa klaim di atas, Tempo mula-mula memfragmentasi video itu menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Lalu, gambar-gambar tersebut ditelusuri jejak digitalnya dengan reverse image tool Yandex.
    Hasilnya, ditemukan foto yang dipublikasikan oleh situs media Australia, ABC, pada 14 September 2012 yang memperlihatkan seorang demonstran tengah berorasi di depan kobaran api. Momen ini sama dengan yang terlihat dalam video yang beredar, tepatnya pada menit 1:51.
    Gambar tangkapan layar video yang beredar pada menit 1:51 (kiri) dan foto yang diunggah oleh ABC pada 14 September 2012 (kanan).
    ABC menulis bahwa foto tersebut bersumber dari Reuters, dan diberi keterangan “A still image take from video footage shows demonstrators shouting next to the German embassy in Khartoum” atau "Foto yang diambil dari rekaman video yang menunjukkan para demonstran berteriak di sebelah kedutaan Jerman di Khartoum".
    Berbekal informasi ini, Tempo menggunakan kalimat “demonstrators shouting next to the German embassy in Khartoum” sebagai kata kunci pencarian di YouTube. Lewat cara ini, ditemukan video yang dipublikasikan CNN pada 14 September 2012. Cuplikan pada detik ke-8 hingga menit 1:15 video ini sama dengan cuplikan pada awal hingga menit 1:49 video yang beredar.
    Gambar tangkapan layar video yang beredar pada detik ke-2 (kiri) dan video yang diunggah oleh CNN pada detik ke-12 (kanan).
    Sama halnya dengan ABC, CNN memberikan keterangan bahwa, dalam video itu, para pengunjuk rasa mampu menembus pasukan keamanan yang berjaga dan menerobos masuk ke Kedubes Jerman di Khartoum, Sudan.
    Kantor berita Jerman Deutsch Welle melaporkan, pada 14 September 2012, sekitar 5 ribu pengunjuk rasa di ibukota Sudan menyerbu Kedubes Inggris dan Jerman. Mereka marah atas film amatir Amerika Serikat yang berjudul "Innocence of Muslims". Film ini menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang wanita, homoseksual, dan melecehkan anak-anak.
    Serbuan demonstran ini membuat pasukan kepolisian Sudan yang berjaga menggunakan gas air mata untuk menghentikan mereka. Namun, beberapa pengunjuk rasa tetap berhasil melewati gerbang Kedubes Jerman.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video pembakaran Kedubes Prancis di Sudan keliru. Video tersebut adalah video lama pada 14 September 2012, jauh sebelum Presiden Prancis Emmanuel Macron melontarkan pernyataan yang kontroversial soal Islam sebagai tanggapan atas pemenggalan terhadap seorang guru Prancis yang bernama Samuel Paty. Video itu memperlihatkan aksi protes warga Sudan di Kedubes Jerman pada 14 September 2012. Ketika itu, sekitar 5 ribu demonstran berunjuk rasa pasca rilisnya sebuah film amatir yang dianggap menghina Islam.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8354) [Fakta atau Hoaks] Benarkah CDC Sebut Covid-19 Tak Menyebar Lewat Udara sehingga Pakai Masker Tak Berguna?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/11/2020

    Berita


    Klaim bahwa Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyebut virus, dalam hal ini virus Corona penyebab Covid-19, tidak menyebar lewat udara beredar di Facebook. Karena itu, menurut klaim tersebut, CDC menyatakan bahwa pemakaian masker tidak berguna.
    Salah satu akun yang membagikan klaim tersebut adalah akun Facebook Nellie Niloufar Holden, tepatnya pada 18 Oktober 2020. Dalam unggahannya, akun ini menulis, “Here we go again. CDC says virus was never airborne rendering masks worthless.” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 68 reaksi dan dibagikan sebanyak 94 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Nellie Niloufar Holden.
    Apa benar CDC menyebut virus Corona Covid-19 tidak menyebar lewat udara sehingga pemakaian masker tidak berguna?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan kata kunci “CDC says virus was never airborne rendering masks worthless” di mesin pencarian Google. Namun, tidak ditemukan berita di situs media apa pun yang memuat informasi bahwa CDC menyebut virus Corona Covid-19 tidak menyebar lewat udara sehingga pemakaian masker tidak berguna.
    Tempo kemudian menelusuri informasi tentang penyebaran Covid-19 melalui udara di situs resmi CDC. Menurut penjelasan CDC yang diperbarui pada 28 Oktober 2020, Covid-19 paling sering menyebar melalui kontak fisik yang berdekatan, yaitu sekitar 6 kaki atau 1,8 meter. Saat penderita Covid-19 batuk, bersin, bernapas, berbicara, atau bernyanyi, mereka menghasilkan tetesan atau droplet.
    Droplet menyebabkan infeksi saat terhirup atau terpapar pada selaput lendir yang melapisi bagian dalam hidung dan mulut. Ketika terdapat jarak dengan penderita Covid-19, sehingga droplet bergerak lebih jauh, konsentrasi virus dalam droplet lebih rendah. Droplet dengan ukuran besar jatuh dari udara karena gravitasi. Adapun droplet dengan ukuran kecil bisa menyebar di udara.
    Menurut CDC, droplet berukuran kecil dapat bertahan di udara selama beberapa menit hingga jam. Terdapat bukti bahwa, dalam kondisi tertentu, penderita Covid-19 tampaknya telah menginfeksi orang lain yang jaraknya lebih dari 6 kaki. Transmisi ini terjadi di ruang tertutup yang memiliki ventilasi kurang memadai. Terkadang, orang yang terinfeksi mengalami sesak napas, misalnya saat bernyanyi atau berolahraga.
    Dalam keadaan ini, para ilmuwan percaya bahwa jumlah droplet berukuran kecil yang menular, yang diproduksi oleh penderita Covid-19, menjadi cukup terkonsentrasi untuk menyebarkan virus ke orang lain. “Orang-orang yang terinfeksi berada di ruang yang sama dalam waktu yang sama atau tidak lama setelah penderita Covid-19 pergi,” demikian penjelasan CDC.
    Meskipun begitu, CDC menegaskan bahwa data-data yang tersedia hingga saat ini menunjukkan penyebaran virus Corona Covid-19 lewat kontak dekat jauh lebih umum ketimbang lewat transmisi udara. Penjelasan CDC terkait potensi penularan Covid-19 melalui transmisi udara yang lebih detail dapat diakses di tautan ini, yang diperbarui pada 5 Oktober 2020.
    Selain CDC, Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) dalam pernyataannya pada 9 Juli 2020 menyatakan bahwa transmisi virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, melalui udara diakibatkan oleh penyebaran droplet nuclei (aerosol) yang tetap menular saat melayang di udara dan bergerak hingga jarak yang jauh. Namun, belum diketahui berapa banyak jumlah droplet nuclei yang dihembuskan serta dosis SARS-CoV-2 hidup yang diperlukan untuk menyebabkan infeksi pada orang lain.
    Laporan-laporan klinis terbaru, di mana tenaga kesehatan terpapar Covid-19 pada prosedur-prosedur yang menghasilkan aerosol, tidak menemukan transmisi nosokomial atau transmisi yang terjadi di lingkungan rumah sakit jika diterapkan kewaspadaan kontak atau jarak fisik serta mengenakan masker medis sebagai bagian dari alat pelindung diri (APD).
    Di luar fasilitas medis, beberapa laporan kejadian luar biasa (KLB) di ruangan yang padat dan tidak berventilasi cukup mengindikasikan kemungkinan transmisi aerosol, yang disertai transmisi droplet, misalnya dalam latihan paduan suara, di restoran, atau di kelas kebugaran. Dalam hal ini, kemungkinan terjadinya transmisi aerosol tidak dapat dikesampingkan, terutama jika kebersihan tangan tidak dijaga, masker tidak digunakan, dan jaga jarak fisik tidak dilakukan.
    Dalam Journal of American Medical Association (JAMA), CDC meninjau bukti ilmiah terbaru dan menegaskan bahwa masker kain adalah alat yang penting dalam mengurangi penyebaran Covid-19, terutama ketika digunakan secara universal dalam komunitas. Terdapat semakin banyak bukti bahwa masker kain membantu mencegah orang yang mengidap Covid-19 menyebarkan virus ke orang lain.
    Dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan pada 9 Juni 2020, anggota tim komunikasi publik Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro mengatakan, ''Pemakaian masker hanya dapat efektif apabila kita menerapkan protokol kesehatan lainnya dengan aktif, seperti cuci tangan pakai sabun dan jaga jarak fisik.''
    Dikutip dari BBC, Fernandez dan Amy Mueller, insinyur di Universitas Northeastern, meneliti efektivitas berbagai masker buatan sendiri. Menurut penelitian mereka, masker yang paling efektif memiliki banyak lapisan, meskipun sedikit kurang efektif jika dibandingkan dengan N95 dan masker bedah. Namun, menambahkan nilon pada lapisan masker dapat meningkatkan efektivitas, hingga mampu menahan 80 persen partikel.
    Dilansir dari Kompas.com, juru bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan masker scuba dan buff kurang efektif menangkal virus Corona Covid-19. "Masker scuba atau buff adalah masker dengan satu lapisan saja dan terlalu tipis, sehingga kemungkinan untuk tembus lebih besar," ujar Wiku.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa “CDC menyebut virus Corona Covid-19 tidak menyebar lewat udara sehingga pemakaian masker tidak berguna” keliru. CDC menyatakan bahwa salah satu penyebaran virus Corona Covid-19 adalah melalui transmisi udara, meskipun penyebaran lewat kontak dekat jauh lebih umum ketimbang lewat transmisi udara. Transmisi ini bisa terjadi dalam kondisi tertentu, terutama di ruang tertutup yang memiliki ventilasi kurang memadai. CDC juga menyatakan pemakaian masker kain penting dalam mengurangi penyebaran Covid-19, terutama ketika digunakan secara massal dalam komunitas.
    SITI AISAH
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8353) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Macron Memohon-mohon Timur Tengah Akhiri Seruan Boikot Produk Prancis?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/10/2020

    Berita


    Klaim bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron memohon-mohon agar negara-negara Timur Tengah mengakhiri seruan boikot produk Prancis beredar di Facebook. Klaim ini disertai dengan sebuah video yang memperlihatkan peristiwa boikot serta slide judul-judul berita terkait boikot produk Prancis.
    Akun yang membagikan klaim beserta video tersebut adalah akun Suara Rakyat Fesbuk, tepatnya pda 27 Oktober 2020. Akun ini menulis, "Presiden Prancis Emmanuel Macron memohon-mohon negara-negara Timur Tengah agar mengakhiri seruan boikot produk prancis." Dalam video, terdapat pula judul berita yang berbunyi "Macron Memohon-mohon Jangan Boikot Produk-produk Asal Prancis".
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Suara Rakyat Fesbuk.
    Apa benar Presiden Macron memohon-mohon agar negara-negara Timur Tengah mengakhiri seruan boikot produk Prancis?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait di situs media kredibel dengan memasukkan kata kunci "Macron mohon Timur Tengah akhiri boikot" di mesin pencarian Google. Hasilnya, ditemukan sejumlah berita, baik dari media dalam negeri maupun media asing, bahwa Prancis memang meminta seruan boikot terhadap produk-produknya dihentikan. Namun, pernyataan itu dilontarkan oleh Kementerian Luar Negeri Prancis, bukan Presiden Emmanuel Macron.
    Dilansir dari Kompas.com, yang mengutip BBC pada 26 Oktober 2020, Kementerian Luar Negeri Prancis mendesak negara-negara Timur Tengah mengakhiri seruan boikot terhadap produk Prancis. Menurut kementerian, saat ini, terdapat seruan "tidak berdasar" untuk memboikot barang-barang Prancis yang "didorong oleh minoritas radikal".
    Produk Prancis telah dihapus dari beberapa toko di Kuwait, Yordania, dan Qatar. Reaksi dari beberapa negara di Timur Tengah ini muncul setelah Macron mengomentari pemenggalan seorang guru Prancis, Samuel Paty, yang mempertunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas. Macron mengatakan Paty "dibunuh karena Islamis menginginkan masa depan kami", tapi Prancis "tidak akan melepaskan kartun kami".
    Penggambaran Nabi Muhammad dapat dianggap pelanggaran yang serius bagi umat Islam, karena tradisi Islam secara eksplisit melarang gambar Muhammad dan Allah (Tuhan). Namun, sekulerisme negara dianggap sebagai pusat identitas nasional bagi Prancis, sehingga membatasi kebebasan berekspresi untuk melindungi perasaan satu komunitas tertentu, kata negara, merusak persatuan.
    Dikutip dari berita di CNN Indonesia pada 26 Oktober 2020, Kementerian Luar Negeri Prancis meminta agar seruan boikot terhadap produk mereka yang dilakukan di berbagai negara Timur Tengah segera dihentikan. Dalam sebuah pernyataan pada 25 Oktober malam, Kementerian Luar Negeri Prancis berkata diplomatnya sedang bergerak untuk menanyakan negara-negara di mana boikot dilakukan atau seruan kebencian diliontarkan.
    "Di banyak negara di Timur Tengah, seruan untuk boikot produk Prancis dan secara lebih umum, seruan untuk berdemonstrasi melawan Prancis, dalam istilah yang terkadang penuh kebencian, telah disebarkan di media sosial," kata Kementerian Luar Negeri Prancis seperti dilansir dari Associated Press.
    Dilansir dari Reuters, pada 25 Oktober 2020, Prancis mendesak negara-negara Timur Tengah untuk menghentikan perusahaan ritel yang memboikot produk Prancis. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan, dalam beberapa hari terakhir, terdapat seruan untuk memboikot produk Prancis, terutama produk makanan, di beberapa negara Timur Tengah.
    Menurut Kementerian Luar Negeri Prancis, terdapat pula seruan untuk demonstrasi melawan Prancis atas penerbitan kartun satir Nabi Muhammad. "Seruan untuk boikot ini tidak berdasar dan harus segera dihentikan, serta semua serangan terhadap negara kita, yang didorong oleh minoritas radikal," demikian bunyi pernyataan itu.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "Presiden Macron memohon-mohon agar negara-negara Timur Tengah mengakhiri seruan boikot produk Prancis" menyesatkan. Desakan untuk menghentikan seruan boikot produk Prancis dilontarkan oleh Kementerian Luar Negeri Prancis, bukan Presiden Emmanuel Macron. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Prancis berkata, "Seruan untuk boikot ini tidak berdasar dan harus segera dihentikan, serta semua serangan terhadap negara kita, yang didorong oleh minoritas radikal."
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8352) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video saat Polisi Prancis Tutup Masjid atas Perintah Macron?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/10/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan momen ketika sekumpulan orang di dalam sebuah ruangan dipaksa keluar oleh puluhan polisi beredar di media sosial. Dua pria yang dipaksa keluar tampak mengenakan peci. Adapun para wanita dalam ruangan itu terlihat memakai jilbab. Dalam video itu, terlihat pula seorang pria yang memegang bendera Prancis. Video ini diklaim sebagai video saat polisi menutup masjid di Prancis atas perintah Presiden Emmanuel Macron.
    Di Facebook, video berdurasi sekitar 2 menit tersebut diunggah salah satunya oleh akun RQ Al-mustaqim Ncera pada 27 Oktober 2020. Akun ini pun menulis narasi, “Francis: Polisi Francis terus menutup semua masjid atas perintah Macron, sementara Jemaat menolak penutupan masjid. Mari kita berdoa semoga Allah memberikan Macrona kematian yang sehina hinanya.. HASBUNALLAH WANIKMAL WAKIL NIKMAL MAULA WANIKMANNASHIIR."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook RQ Al-mustaqim Ncera.
    Apa benar video tersebut adalah video saat polisi Prancis menutup masjid atas perintah Presiden Macron?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa video tersebut telah beredar di internet sejak 2017, dan tidak terkait dengan keputusan pemerintah Prancis untuk menutup sebuah masjid di Paris lantaran mengunggah kecaman terhadap Samuel Paty di laman Facebook-nya menjelang pembunuhan keji terhadap guru bahasa Prancis tersebut.
    Video yang identik pernah diunggah ke Twitter oleh akun @QaillaAsyiqah pada 29 Oktober 2020. Akun ini menulis, “Msh banyak seliweran video ini~ Polisi Prancis mengevakuasi sekitar 50 orang jamaah Masjid (UAMC). Evakuasi dilakukan krn masa perpanjangan sewa bangunan tdk diberikan lg pihak balai kota Clichy. Video ini benar terjadi di Prancis tp bukan soal Macron.” Dalam cuitannya, akun ini menyertakan tautan video tersebut yang diunggah di YouTube.
    Video itu dibagikan oleh kanal milik situs media Prancis Rifonline.net, RifOnline TV, pada 23 Maret 2017. Video ini memiliki durasi yang lebih panjang, yakni sekitar 10 menit, dan kualitas gambar yang lebih baik. Video tersebut diberi judul “Poignant ! Évacuation musclée de la mosquée du centre-ville de Clichy-la-Garenne”, yang jika diterjemahkan berarti “Menyentuh hati ! Evakuasi masjid di pusat kota Clichy-la-Garenne”.
    Video dari peristiwa yang sama juga pernah diunggah oleh kanal YouTube HARRAG FI PARIS pada 22 Maret 2017 dengan judul “Fermeture de la mosquée de clichy par CRS..paris”, yang jika diterjemahkan berarti "Masjid Clichy ditutup oleh CRS..paris".
    Untuk memastikan informasi itu, Tempo menelusuri pemberitaan tentang peristiwa di sebuah masjid di Kota Clichy tersebut. Dilansir dari surat kabar Prancis, Le Parisien, pada 22 Maret 2017, jemaah di sebuah masjid di Rue d'Estienne-d'Orves, Clichy, Paris, memang dievakuasi oleh polisi dan petugas dari perusahaan keamanan.
    Evakuasi ini dilakukan setelah empat bulan sebelumnya, pada November 2016, pemerintah kota mengumumkan bahwa asosiasi agama di masjid tersebut harus pergi dari situ karena masa sewanya telah berakhir pada Juni. Permintaan asosiasi agama untuk membatalkan perintah penggusuran tersebut pun ditolak oleh pengadilan administrasi Cergy-Pontoise pada 10 Agustus 2016.
    "Kami berjanji akan mengembalikan kunci pada 30 Juni, setelah Ramadan dan agar anak-anak menyelesaikan tahun ajaran," kata penanggung jawab masjid yang juga menampung hampir 300 anak itu. “Kami menawarkan mereka rumah asosiasi untuk kursus dan tenda sementara untuk berdoa. Mereka menolak semuanya. Kami tidak punya pilihan selain menegakkan putusan pengadilan,” ujar Wali Kota Clichy Rémi Muzeau.
    Masih dari Le Parisien, bangunan milik pemerintah kota yang dijadikan masjid tersebut selama ini dikelola oleh asosiasi muslim melalui sewa tidak tetap. Adalah mantan Wali Kota Clichy Gilles Catoire yang mempercayakan pengelolaan bangunan itu ke asosiasi pada Mei 2013. Sewa hanya bisa diperbarui sekali, pada Juni 2015. Namun, wali kota yang baru, Rémi Muzeau, ingin menjadikan bangunan itu sebagai perpustakaan, dan mengarahkan asosiasi ke masjid lain yang dibuka di Rue des Trois-Pavillons.
    Kebijakan Macron menutup masjid
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 21 Oktober 2020, otoritas Prancis menutup sebuah masjid di pinggiran Paris, Masjid Pantin, sebagai tindak lanjut peristiwa pemenggalan Samuel Paty, seorang guru bahasa Prancis yang mengajarkan diskusi tentang kartun Nabi Muhammad pada murid-muridnya. Penutupan masjid akan berlangsung selama enam bulan.
    Polisi menempelkan pemberitahuan tentang perintah penutupan di luar masjid. "Dengan tujuan tunggal untuk mencegah tindakan terorisme", demikian bunyi pemberitahuan yang dikeluarkan oleh kepala departemen Seine-Saint-Denis seperti dikutip dari Reuters pada 21 Oktober 2020.
    Otoritas menduga pengurus masjid di timur laut Paris itu menyebarkan video di halaman Facebook resmi yang mengecam tindakan Samuel Paty beberapa hari sebelum pembunuhan terjadi. Pemerintah Prancis sebelumnya berjanji bakal bersikap tegas terhadap penyebar pesan kebencian, penceramah radikal, dan orang asing yang diyakini menimbulkan ancaman keamanan bagi Prancis.
    Kepala Masjid Panin, M'hammed Henniche, akhir pekan kemarin mengungkapkan penyesalannya karena membagikan video tersebut di media sosial. Terlebih lagi setelah diketahui bahwa Paty menjadi korban intimidasi keji secara online sebelum ia dibunuh.
    Hal ini juga diberitakan oleh  Kompas.com. Menurut laporannya, pemerintah Prancis menutup sebuah masjid di Pantin, Paris, lantaran mengunggah kecaman terhadap Samuel Paty di laman Facebook-nya menjelang pembunuhan keji terhadap guru bahasa Prancis tersebut. Masjid ini berada di sebuah kawasan padat penduduk di Paris.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video saat polisi Prancis menutup masjid atas perintah Presiden Macron, keliru. Video itu menunjukkan peristiwa pada 2017, jauh sebelum pemerintah Prancis memutuskan untuk menutup sebuah masjid di Paris lantaran diduga sebagai kantong kaum radikal, usai aksi teror pemenggalan seorang guru yang bernama Samuel Paty. Video tersebut merupakan video ketika polisi mengevakuasi jemaah dari bangunan milik pemerintah Kota Clichy, Paris, Prancis, yang dijadikan masjid oleh asosiasi muslim setempat. Evakuasi itu dilakukan karena masa sewa asosiasi tersebut telah habis, dan pemerintah bermaksud menjadikannya sebagai perpustakaan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan