• (GFD-2020-8190) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Megawati Minta Mundur Sebagai Ketua PDIP di Tengah Polemik RUU HIP?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/07/2020

    Berita


    Gambar-gambar tangkapan layar dari video berita tvOne yang berjudul "Megawati Minta Mundur" beredar di media sosial. Gambar-gambar tersebut dibagikan dengan narasi bahwa Megawati Soekarnoputri meminta mundur sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di tengah polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar serta narasi itu dibagikan salah satunya oleh akun Evi Margaretha Ompusunggu, yakni pada 7 Juli 2020. Akun ini menulis, "Mak Banteng Minta Mundur.. Alih-alih Bertanggung Jawab Atas RUU HIP Yang Digagasnya.. siMbok Malah Mundur.. Mau Kemana..? Kabur..?#TangkapInisiatorRUUHIP #TangkapMegawatiBubarkanPDIP#TolakRUUHIP #BatalkanRUUHIP."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Evi Margaretha Ompusunggu.
    Apa benar Megawati minta mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri video berita tvOne yang berjudul "Megawati minta mundur" di YouTube. Hasilnya, kanal YouTube milik tvOne, tvOneNews, memang pernah mengunggah video dengan judul tersebut, di mana Megawati memakai baju batik berwarna hijau yang sama dengan yang terlihat dalam foto unggahan akun Evi Margaretha Ompusunggu.
    Namun, video itu merupakan video pada 16 November 2018, jauh sebelum munculnya polemik RUU HIP. Dalam video berdurasi sekitar 3 menit itu, disebutkan bahwa Megawati menyatakan keinginannya untuk mundur sebagai Ketua PDIP saat pembekalan calon anggota legislatif (caleg) PDIP pada 15 November 2018. Alasannya, usia Megawati sudah tidak muda lagi dan saat ini ia bertugas sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
    "Kalau dilihat-lihat, perjalanan politik saya sudah cukup lama. Saya menjadi ketua umum partai yang sekarang paling senior sudah sekian lama, belum diganti-ganti, padahal saya sudah berharap untuk diganti karena akibat umur saya yang plus 17, tapi hari ini pun akan ditambahi tugas untuk pembinaan ideologi Pancasila," kata Megawati dalam video itu.
    Keinginan Megawati untuk tidak lagi menjabat sebagai Ketua PDIP ini juga pernah diberitakan oleh Republika.co.id pada 17 November 2018. Menurut Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, soal diganti atau tidaknya Megawati akan ditentukan lewat keputusan kongres. "Ya tergantung arus bawah, menurut saya, ketika keputusan kongres menghendaki Ibu Mega menjadi ketum," ujar Hasto pada 16 November 2018.
    Megawati menjabat sebagai Ketua PDIP sejak partai tersebut masih bernama PDI pada 1993. Kursinya sempat digoyang oleh Soerjadi lewat Kongres Luar Biasa PDI pada 1996. Namun, Megawati tidak menerima hasil kongres tersebut dan akhirnya PDI di bawah kepemimpinannya berubah nama menjadi PDIP. Sejak saat itu, kursi Megawati tidak pernah goyah. Dalam Kongres PDIP pada 2015 di Bali pun, Megawati masih terpilih secara aklamasi.
    Hasto menyebut panjangnya masa jabatan yang disandang Megawati sebagai sebuah dedikasi. Dia mengatakan terpilihnya kembali Megawati juga melalui kongres, bukan karena orang per orang, apalagi karena ambisi. Menurut Hasto, sulit bagi putri presiden Indonesia pertama ini untuk turun tahta. Dia mengatakan Megawati masih mendapat dukungan dan akan mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari bawah.
    Isu bahwa Megawati mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP juga telah diverifikasi oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Menurut laporan Mafindo di situsnya, Turnbackhoax.id, video yang digunakan untuk menyebarkan isu tersebut merupakan video berita tvOne pada 2018. Dalam video itu, Megawati mengungkapkan keinginannya untuk mundur sebagai Ketua PDIP karena persoalan usia.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Megawati minta mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP menyesatkan. Video yang digunakan untuk menyebarkan klaim tersebut merupakan video pada 2018, ketika Megawati memberikan pembekalan bagi calon anggota legislatif (caleg) PDIP.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8189) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Demo Tolak RUU HIP pada 16 Juli Tidak Disiarkan di TV?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 18/07/2020

    Berita


    Video pendek yang memperlihatkan ratusan orang berpakaian putih yang  sedang berjalan kaki di sebuah jalan raya beredar di media sosial. Di pinggir jalan raya itu, terdapat belasan polisi yang berjaga. Video ini diklaim sebagai video demonstrasi yang menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP di depan gedung DPR, Jakarta, pada 16 Juli 2020 lalu.
    Di Facebook, video tersebut dibagikan oleh akun Mulyadi Mulyana pada 16 Juli 2020. Video itu diberi narasi, “Gedung MPR dikepung dan nyaris ricuh, kok TV enggak ada yang muat ya? Selamat tinggal TV."
    Hingga artikel ini dimuat atau sehari setelah video tersebut diunggah, video itu telah ditonton lebih dari 63 ribu kali dan dibagikan lebih dari 2.500 kali. Mayoritas warganet yang mengomentari video tersebut percaya dengan narasi narasi yang dibagikan akun Mulyadi Mulyana.
    “Enggak ada media TV yang menyiarkan ini demo kayak gini, ke mana media sih?” demikian komentar yang ditulis oleh akun Jim Malay. Adapun akun Totok Kraksaan menulis, “Media TV sekarang melebihi zaman mbah dulu, macam kena kebiri.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mulyadi Maulana.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa apakah demonstrasi dalam video itu terjadi di Jakarta, Tim CekFakta Tempo memeriksa lokasi pengambilan video tersebut melalui Google Maps. Tempo menemukan bahwa video itu diambil dari atas jalan layang di Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta.
    Jalan raya yang berada di bawah jalan layang itu, yang dilewati oleh demonstran, adalah jalan yang menuju depan gedung DPR di Jalan Gatot Soebroto. Hal ini diketahui dari pagar jalan layang yang berwarna kuning-hijau serta dan papan jalan berwarna biru yang berada di pinggir jalan raya yang dilewati oleh demonstran.
    Dengan demikian, benar bahwa demonstrasi tersebut berlangsung di Jakarta.
    Gambar tangkapan layar video yang dibagikan oleh akun Facebook Mulyadi Maulana.
    Foto dari Google Maps yang merupakan lokasi pengambilan video unggahan akun Facebook Mulyadi Maulana.Dengan memeriksa komentar warganet, Tempo mendapatkan petunjuk bahwa demonstrasi itu dilakukan untuk menolak Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sempat ditayangkan oleh tvOne pada 16 Juli sekitar pukul 19.55 WIB. Lewat pencarian di kanal YouTube tvOne, ditemukan bahwa benar berlangsung demonstrasi yang menolak RUU HIP oleh Aliansi Nasional Anti-Komunis di depan gedung DPR, Jalan Gatot Soebroto.
    Aliansi ini adalah gabungan dari Persaudaraan Alumni (PA) 212, Front Pembela Islam (FPI), dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF). Dalam sebuah video yang diambil dari udara, terlihat sejumlah peserta memakai pakaian dan surban putih seperti juga terdapat dalam video yang dibagikan oleh akun Mulyadi Maulana.
    Sebelum berdemonstrasi pada 16 Juli 2020, aliansi tersebut juga pernah menggelar unjuk rasa yang menolak RUU HIP di depan gedung DPR pada 24 Juni 2020. Akun Mulyadi Maulana pun membagikan video demontrasi itu yang diambil dari kejauhan pada tanggal yang sama. Akun tersebut memang sering mengunggah narasi terkait penolakannya terhadap RUU HIP.
    Benarkah aksi penolakan RUU HIP tidak tayang di televisi?
    Tempo memasukkan kata kunci “demonstrasi menolak RUU HIP” di Google untuk memeriksa seberapa banyak televisi yang memberitakan aksi tersebut. Hasilnya, ditemukan sejumlah stasiun televisi yang menayangkan aksi itu, baik yang terjadi pada 24 Juni maupun 16 Juli 2020. Ini belum termasuk pemberitaan di media online.Berikut ini daftar tautan tayangan demonstrasi tolak RUU HIP di media:
    - Aksi 16 Juli 2020
    - Aksi 24 Juni 2020

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa demo tolak RUU HIP tidak disiarkan di televisi keliru. Sedikitnya empat stasiun televisi menayangkan aksi penolakan RUU HIP pada 16 Juli 2020. Adapun demonstrasi pada 24 Juni 2020, terdapat sedikitnya lima stasiun televisi yang menayangkannya.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8188) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Masuk Kawasan Pantai Indah Kapuk Harus Pakai Paspor?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa masuk kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) harus memakai paspor beredar di media sosial. Klaim itu dibagikan bersama gambar tangkapan layar artikel di situs Geloranews yang memuat foto beberapa pesepada serta cuitan di Twitter yang berisi klaim tersebut.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar itu diunggah salah satunya oleh akun Raf Rafaini pada 15 Juli 2020 dengan narasi, “Kalo bener, hebat banget bangsa ini. Ada negara dalam negara, dgn penduduk etnis tertentu. Luar biasa. Buat yg selalu teriak NKRI harga mati, sana gih main-main ke PIK.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Raf Rafaini.
    Apa benar masuk kawasan Pantai Indah Kapuk harus memakai paspor?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, foto pesepeda yang dimuat di situs Geloranews tersebut merupakan gambar tangkapan layar video yang dibikin oleh seorang pesepeda yang mengaku dimintai paspor oleh penjaga portal saat hendak memasuki kawasan PIK.
    Video tersebut ramai di media sosial sejak 14 Juli 2020. Di Twitter, video berdurasi 39 detik ini diunggah salah satunya oleh akun Zulkifli Lubis. Dalam video itu, terdengar seorang pesepeda yang berkata:
    "Jadi, seperti tadi sudah saya sampaikan bahwa kalau memasuki tempat ini di atas jam 9 harus pakai paspor, harus minta izin kepada pemilik di kantor marketing. Karena ini sudah dikuasai pihak swasta, jadi kita sebagai rakyat tidak bisa. Mobil yang bebas, Pak. Jadi, harus pakai paspor ya. Ini kalau kita ke Pantai Indah Kapuk itu seperti turis di negeri sendiri. Parah."
    Dilansir dari Detik.com, pengelola PIK 2, Agung Sedayu Group, membantah bahwa masuk kawasan Pantai Indah Kapuk harus memakai paspor. "Isu paspor sama sekali tidak benar," ujar Township Management Director Agung Sedayu Group, Restu Mahesa, pada 15 Juli 2020.
    Restu mengatakan warga yang hendak masuk atau berolahraga di kawasan PIK 2 memang harus melapor ke petugas. Namun, kebijakan ini bukan pelarangan warga untuk masuk, melainkan hanya mendata warga agar yang masuk ke PIK 2 aman mengingat masih adanya pembangunan di kawasan itu.
    "Proyek kami masih berjalan di beberapa lokasi, masih belum bisa diakses secara umum. Karena membahayakan bilamana pengunjung masuk ke area tersebut, masih banyak alat berat, masih banyak truk di sana, sehingga kami berikan kebijakan yang akan olahraga tetap minta izin sehingga tercatat semuanya," ujar Restu.
    Dilansir dari Suara.com, Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko juga menjelaskan bahwa pengelola PIK 2 tengah melakukan pengaturan jadwal kendaraan masuk karena sedang ada pengerjaan proyek. Berbagai kendaraan berat, seperti truk, akan lalu lalang di atas pukul 09.00 dan pesepeda dilarang melintas demi keselamatan.
    "Info security, ada pengaturan untuk giat olahraga atau bersepeda di kawasan tersebut dalam rangka aspek keselamatan mengingat di lokasi masih banyak alat berat beroperasi dan mobilisasi truk besar," kata Sigit. Ia juga menyebut, tepat di dekat pos keamanan tempat pesepeda itu dihentikan, ada pemberitahuan jadwal kendaraan.
    Sigit menduga para pesepeda tersebut tidak melihatnya. Karena terlanjur kesal, menurut dia, pesepeda itu akhirnya mengeluarkan sindiran bahwa untuk bisa masuk PIK 2 harus menggunakan paspor. "Yang bersangkutan tidak jelaskan waktu ada di lokasi, padahal di belakang jelas ada spanduk yg mengatur penggunaan jalur untuk bersepeda," tuturnya.
    Dilansir dari Kumparan.com, Camat Penjaringan, Jakarta Utara, Depika Romadi, pun melakukan pengecekan lapangan pada 14 Juli 2020. Dalam video klarifikasi yang dikirimkan oleh Depika, terlihat bahwa ia mengunjungi sejumlah lokasi untuk mengecek laporan dalam video yang viral itu.
    Pertama, ia melihat suasana dari PIK 1 menuju Pantai Maju melalui jembatan sekitar pukul 19.15. Terlihat sejumlah orang yang bersepeda. Ia mengatakan tidak ada penutupan jalan menuju Pantai Maju. Depika juga mengecek bagian sisi timur tanggul Pantai Maju, tepatnya di Jalasena. Terlihat sejumlah masyarakat yang beraktivitas, mulai dari jalan-jalan hingga bersepeda, termasuk di area bundaran Pantai Maju. 
    Selain melakukan pengecekan, Depika juga bertanya kepada petugas soal spanduk yang berisi aturan terkait akses menuju PIK 2 bagi pengguna sepeda. Petugas menjelaskan, akses ke jembatan tersebut belum dibuka untuk umum karena area proyek di mana banyak mobil besar maupun alat berat. 
    Kemudian, Depika menanyakan soal aturan untuk pesepeda yang tertulis dalam spanduk, yakni waktu bersepeda di pagi hari pukul 06.00-09.00 dan sore hari pukul 16.00-17.00. "Jadi, bilamana ada kegiatan bersepeda yang menggunakan seperti di sini dikatakan izin khusus (menunjukkan spanduk) kami akan menyesuaikan aturan di sini," ujar petugas kepada Depika.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa masuk kawasan Pantai Indah Kapuk harus memakai paspor keliru. Pengelola PIK 2, Agung Sedayu Group, telah membantah bahwa masuk kawasan PIK harus memakai paspor. Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko pun menjelaskan bahwa pengelola PIK 2 tengah melakukan pengaturan jadwal kendaraan masuk karena sedang ada pengerjaan proyek. Berbagai kendaraan berat, seperti truk, akan lalu lalang di atas pukul 09.00 dan pesepeda dilarang melintas demi keselamatan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8187) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Covid-19 Diciptakan untuk Hambat Kebangkitan Umat Islam?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Bee membagikan sebuah tulisan panjang terkait Covid-19 yang berjudul "Dahsyatnya Fitnah Corona". Inti dari seluruh klaim dalam tulisan itu adalah bahwa Covid-19 hanyalah fitnah yang digunakan untuk menghambat kebangkitan umat Islam.
    Tulisan tersebut berisi 12 klaim. Dalam salah satu klaim, disebutkan bahwa virus Corona jenis baru itu merupakan bentuk ketakutan para elite global akan kebangkitan umat Islam yang sudah di depan mata. "Mereka begitu takut umat Islam bersatu, berkumpul menyuarakan keadilan.
    Akun tersebut juga menulis klaim bahwa, dalam menangani Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikendalikan oleh Amerika Serikat dan Yahudi. Hingga artikel ini dimuat, tulisan yang diunggah pada 13 Juli 2020 itu telah dibagikan lebih dari 400 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Bee.
    Apa benar Covid-19 diciptakan untuk menghambat kebangkitan umat Islam?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Covid-19 sifatnya self limited desease. Artinya, manusia bisa sembuh sendiri dengan antibodi yang dimilikinya. Bagi yang punya penyakit berat memang rentan, namun tidak selamanya membawa kematian.
    Fakta:
    Virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV2, hingga 16 Juli 2020, telah menginfeksi lebih dari 13 juta orang di seluruh dunia, dengan sekitar 586 ribu di antaranya meninggal dunia. Sedangkan di Indonesia, kasus positif Covid-19 telah mencapai 80.094 kasus dengan 3.797 kematian. Covid-19 menginfeksi semua umur, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua.
    Dalam kasus Covid-19, tidak semua pasien bisa memulihkan dirinya sendiri dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Tingkat rawat inap pasien Covid-19 di AS pada Maret 2020 misalnya, mencapai 4,6 per 100 ribu populasi serta 89,3 persen pasien yang dirawat memiliki penyakit penyerta. Di Indonesia, tingkat hunian hunian rumah sakit yang diperuntukkan bagi pasien Covid-19 mencapai 60 persen. 
    Selain itu, bukan hanya mereka yang punya penyakit berat (penyakit penyerta) yang rentan terhadap Covid-19, melainkan juga anak-anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, per 18 Mei 2020, setidaknya 3.324 anak berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan 129 anak berstatus PDP meninggal dunia, sementara jumlah anak yang positif Covid-19 mencapai 584 anak.
    Dengan demikian, klaim pertama di atas tidak sepenuhnya benar.
    Sumber: Worldometers, CDC, Kompas, Tempo, Kemenkes
    Klaim 2: Banyak tenaga medis yang meninggal karena kecapekan. Bukankah ini (kelelahan) juga yang disinyalir menjadi penyebab kematian 600 petugas KPPS saat Pilpres 2019?
    Fakta:
    Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, hingga Juli 2020, sebanyak 61 dokter meninggal dunia karena Covid-19.  Di Jawa Timur, angka kematian dokter dan tenaga medis akibat Covid-19 berada di atas 10 persen. IDI menjelaskan setidaknya ada delapan faktor yang menyebabkan tingginya kasus kematian pada tenaga medis, yakni minimnya alat pelindung diri (APD) di fasilitas kesehatan; lemahnya skrining pasien, termasuk skrining untuk petugas; belum dibuatnya alur layanan yang berbeda untuk pasien Covid-19 dan non-Covid-19; lemahnya deteksi/isolasi/terapi kasus; adanya faktor risiko dan kerentanan seperti usia, penyakit, dan komorbid lainnya; adanya riwayat kontak dengan pasien Covid-19 maupun pasien umum yang tanpa gejala; terlambatnya tes dan lamanya hasil tes; serta terbatasnya jumlah fasilitas kesehatan dan rumah sakit rujukan Covid-19. 
    Sumber: Kompas dan Kontan
    Klaim 3: WHO adalah badan kesehatan di bawah PBB yang dikendalikan oleh AS dan dikuasai Yahudi Israel.
    Fakta:
    WHO didirikan pada 7 April 1948 dan menjadi organisasi independen di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). WHO berkantor pusat di Jenewa, Swiss, dan kini memiliki 150 negara anggota. AS merupakan salah satu anggota dan pendonor tetap WHO, tapi bukan satu-satunya. Pendonor WHO berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari negara anggota, organisasi internasional, sektor swasta, dan sumber lainnya. Pendonor utama WHO selain AS adalah PBB, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, Bill Gates Foundation, GAVI Alliance, National Philanthropic Trust Inggris, Bloomberg dan, Komisi Uni Eropa. 
    Namun, di tengah pandemi Covid-19, Presiden AS Donald Trump berkonflik dengan WHO yang dipicu oleh meningkatnya ketegangan dengan Cina terkait pandemi Covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina, pada akhir 2019. Trump telah menghentikan pendanaan AS terhadap WHO sejak April 2020. Trump pun menyatakan bahwa AS akan keluar dari WHO pada 2021, mengakhiri keanggotaannya selama 70  tahun. Namun, AS harus melalui masa tenggang satu tahun sebelum resmi keluar dari WHO dan membayar seluruh iuran yang telah disepakati dalam resolusi bersama Kongres AS pada 1948. Saat ini, AS berutang lebih dari 200 juta dolar AS kepada WHO.
    Dengan demikian, klaim bahwa keputusan WHO terkait pandemi Covid-19 dipengaruhi oleh AS tidak benar.
    Sumber: WHO dan Katadata
    Klaim 4: Covid-19 adalah bentuk ketakutan elite global akan kebangkitan umat Islam.
    Fakta:
    Tidak ada bukti bahwa virus Corona penyebab Covid-19 sengaja diciptakan, termasuk dengan tujuan untuk menghambat bangkitnya umat Islam. Menurut artikel Nature pada 17 Maret 2020, penelitian terhadap struktur genetik SARS-CoV-2 menunjukkan bahwa virus itu bukanlah manipulasi laboratorium. Para ilmuwan memiliki dua penjelasan tentang asal usul virus tersebut, yakni seleksi alam pada inang hewan atau seleksi alam pada manusia setelah virus melompat dari hewan.
    Faktanya lainnya, sepuluh negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia adalah negara-negara yang populasi umat Islamnya lebih kecil ketimbang umat agama lain. Sepuluh negara ini adalah AS, Brasil, India, Rusia, Peru, Cili, Meksiko, Afrika Selatan, Spanyol, dan Inggris. Sementara negara-negara dengan populasi mayoritas muslim, seperti Arab Saudi, berada di posisi 14. Yang lainnya, Bangladesh di urutan 17, Irak di posisi 24, dan Indonesia di peringkat 26. 

    Selain itu, Covid-19 bukan satu-satunya pandemi mematikan. Jurnal Science mencatat setidaknya ada 20 epidemi dan pandemi mematikan dalam sejarah manusia sejak abad prasejarah hingga masa sekarang, seperti Zika (2015), Ebola (2014), dan flu burung (2009).
    Dengan demikian, klaim bahwa virus penyebab Covid-19 sengaja diciptakan dengan tujuan menghambat bangkitnya umat Islam keliru.
    Sumber: Worldometers dan Livescience
    Klaim 5: Parlemen Italia telah membongkar data ribuan orang yang meninggal karena Covid-19 adalah fiktif. 
    Fakta:
    Tidak ada pemberitaan yang menyebutkan informasi tersebut. Pada 24 April 2020, memang beredar klaim di media sosial yang mengutip pernyataan politikus Italia bahwa terdapat sekitar 25 ribu orang yang tidak meninggal karena Covid-19, dan 96,3 persen dari mereka yang meninggal disebabkan oleh penyakit lain. Menurut klaim itu, data tersebut berasal dari Higher Institute of Health. 
    Berdasarkan pemeriksaan fakta Full Fact, klaim tersebut keliru. Laporan sebenarnya yang dirilis oleh Higher Institute of Health pada 20 April 2020 tidak menampilkan proporsi kematian akibat Covid-19. Laporan tersebut menyebut bahwa 96,3% persen pasien positif Covid-19 yang meninggal memiliki penyakit penyerta (komorbid) dan 3,7 persen tanpa komorbiditas. Artinya, Covid-19 menyebabkan kematian pada mereka yang tidak memiliki penyakit penyerta dan mempercepat kematian pada pasien dengan komorbid. 
    Hingga 16 Juli 2020, Italia mencatatkan kasus kematian akibat Covid-19 sebanyak 34.997 orang. Kematian ini menimpa mereka yang sudah didiagnosa positif Covid-19.
    Sumber: Full Fact dan Kesimpulan

    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim-klaim dalam tulisan berjudul "Dahsyatnya Fitnah Corona" yang diunggah oleh akun Bee keliru. Virus Corona penyebab Covid-19 pun bukanlah rekayasa untuk menghambat bangkitnya umat Islam. Data menunjukkan sepuluh negara dengan kasus Covid-19 tertinggi adalah negara-negara yang populasi muslimnya minoritas. Klaim bahwa WHO dikendalikan oleh AS dalam menangani Covid-19 juga tidak merujuk pada fakta. Kini, AS sedang berkonflik dengan WHO, di mana mereka telah menghentikan pendanaan sejak April 2020 dan mengumumkan akan keluar dari keanggotaan WHO.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan