• (GFD-2020-8178) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tidak Ada Kematian yang Murni Disebabkan oleh Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 10/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Sony H. Waluyo membagikan sebuah tulisan panjang yang menyinggung keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menarik negaranya sebagai anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam tulisan itu, terdapat pula tudingan bahwa WHO hanya menciptakan ketakutan tanpa memberikan bukti adanya kematian yang murni disebabkan oleh penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru, Covid-19.
    Tulisan yang dibagikan pada 8 Juli 2020 ini juga berisi sejumlah klaim terkait Covid-19, mulai dari adanya kekeliruan tes Covid-19 dengan antibodi dan tidak perlunya menunggu vaksin Covid-19 karena selama ini pasien Covid-19 berhasil sembuh tanpa vaksin.
    Untuk mendukung narasi-narasi dalam tulisannya, akun Sony H. Waluyo menyertakan sejumlah gambar tangkapan layar artikel berita. Klaim bahwa tidak ada kematian yang murni disebabkan oleh Covid-19 misalnya, dikutip dari dokter Stoian Alexov di situs Zaidpub.com. Selain itu, terdapat artikel yang memuat pernyataan Trump serta juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Ahmad Yurianto.
    Gambar tangkapan layar sebagian isi tulisan panjang (kiri) dan gambar-gambar tangkapan layar (kanan) yang diunggah oleh akun Facebook Sony H. Waluyo.
    Bagaimana kebenaran klaim-klaim terkait Covid-19 dalam tulisan akun Sony H. Waluyo tersebut?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Telah banyak kritikan yang mengatakan bahwa data korban tidak valid dan murni sebab selalu ada penyakit lain yang menyertai/komplikasi. Narasi ini dilengkapi dengan gambar tangkapan layar artikel dari situs Zaidpub.com berisi pernyataan dokter Stoian Alenov bahwa tidak ada kematian di Eropa yang murni disebabkan oleh Covid-19.
    Fakta:
    Hingga 10 Juli 2020 pukul 14.00 WIB, tingkat kematian kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 3.417 orang dari total kasus sebanyak 70.736 orang. Jumlah kematian yang diumumkan oleh pemerintah pusat tersebut adalah kasus yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 sesuai hasil tespolymerase chain reaction(PCR).
    Covid-19 memang memperburuk kondisi kesehatan pasien yang memiliki penyakit penyerta, sehingga menyebabkan kematian lebih dini. Namun, meski tingkat kematian Covid-19 lebih tinggi terjadi pada mereka yang memiliki penyakit penyerta, ditemukan juga pasien yang meninggal tanpa penyakit penyerta.
    Dikutip dari Detik.com, Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Rita Rogayah, mengatakan ada 76 pasien Covid-19 yang meninggal dari sebanyak 205 pasien positif Covid-19 di rumah sakitnya pada April 2020. Dari jumlah pasien yang meninggal itu, 65 pasien (86 persen) memiliki penyakit penyerta, sementara 11 pasien (14 persen) lainnya tanpa penyakit penyakit.
    Kemudian, di Surabaya, Jawa Timur, hingga 15 Juni 2020, terdapat 328 pasien positif Covid-19 yang meninggal. Sebanyak 300 orang di antaranya memiliki penyakit penyerta, sementara 28 orang lainnya tidak mempunyai penyakit bawaan alias meninggal murni karena Covid-19.
    Pernyataan dokter Stoian Alenov di situs Zaidpub.com pun telah dibantah oleh organisasi pemeriksa fakta Lead Stories. Menurut temuan mereka, sekitar 44.600 orang di Inggris meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru tersebut.
    Sumber: Kemenkes, Detik.com, IDN Times, dan Lead Stories
    Klaim 2: Dokter Andrew Kaufman menyatakan sampel uji Covid-19 tidak dimurnikan sehingga ada kekeliruan identifikasi antara virus dengan exosome yang adalah materi genetik antibodi. Inilah mengapa tes Covid-19 sering merujuk pada antibodi reaktif sebagai acuan untuk deteksi infeksi virus. Tentu saja hasilnya menjadi sering meleset sebab antibodi reaktif dapat timbul karena berbagai sebab dan bukan hanya karena oleh Covid-19.
    Fakta:
    Uji antibodi di Indonesia dengan rapid test tidak digunakan untuk mendeteksi Covid-19, melainkan hanya untuk penapisan atau screening. Untuk mendeteksi Covid-19, tes yang digunakan di banyak negara, termasuk yang direkomendasikan oleh WHO, adalah tes PCR.
    Tes PCR tidak mendeteksi virus melalui antibodi, melainkan melalui potongan-potongan materi genetik virus yang terdapat pada lendir, air liur, dan sel-sel di bagian paling belakang rongga hidung. Setelah sampel dikumpulkan, suatu bahan kimia dipakai untuk menghilangkan materi-materi lain sehingga hanya menyisakan materi genetik virus yang disebut RNA. 
    Lalu, enzim ditambahkan ke dalam sampel melalui proses kimia untuk menyalin RNA menjadi DNA, yang kemudian dapat diproses di dalam mesin dan disalin berulang kali. Dengan salinan DNA yang cukup, para ilmuwan kemudian dapat menerapkantag fluorescentpada sampel yang mengikat potongan spesifik bahan genetik untuk mendeteksi adanya SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
    Meski memiliki akurasi yang lebih tinggi ketimbang tes antibodi (rapid test), tes PCR tetap memiliki potensi negatif palsu. Namun, potensi ini bukan diakibatkan seperti klaim di atas. Negatif palsu bisa terjadi karena tiga hal. Pertama, jika infeksi yang terjadi pada seseorang yang dites masih terlalu dini atau malah terlambat sehingga tidak terdapat virus dalam jumlah yang cukup di sel mereka. Kedua, jika layanan kesehatan tidak mengumpulkan jumlah sampel yang cukup, misalnya swab kurang. Ketiga, jika jarak waktu antara pengambilan sampel dan tes terlalu lama, yang membuat RNA virus terurai.
    Sumber: Live Science dan The Conversation
    Klaim 3: Takut, khawatir, dan stres juga dialami para nakes sehingga tidak leluasa menangani pasien dengan akibat justru pasien yang perlu pertolongan dengan segera tidak tertangani. Sering kali kemudian hasil uji lab mendapati mereka yang meninggal tak tertolong ternyata negatif Covid-19 namun dimakamkan dengan protokol Covid-19 dan terlanjur diberitakan sebagai korban Covid-19.
    Fakta:
    Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Doni Monardo menegaskan penerapan protokol pemakaman Covid-19 juga harus dilakukan pada pasien dalam pengawasan (PDP), untuk menghindari adanya penularan akibat salah penangangan. "Selama belum ada kepastian tes dari dinas kesehatan di daerah, maka pasien itu tetap diberikan status pasien Covid," ujar Doni pada 20 April 2020.
    Doni mengatakan tak ingin ada kejadian yang terulang, di mana pasien suspek yang meninggal dimakamkan biasa, kemudian belakangan diketahui hasil tes pasien tersebut positif Covid-19. Karena itu, perlakuan bagi PDP akan sama dengan pasien positif hingga hasil tes lab keluar. Nantinya, Kementerian Kesehatan yang bakal mengumumkan pasien tersebut dinyatakan positif atau negatif.
    "Untuk menghindari agar tidak terjadi lagi pasien yang meninggal non-Covid-19 atau Covid-19 salah dalam melakukan analisis atau mengambil keputusan," kata Doni. Hal ini, menurut Doni, juga menjawab sejumlah pertanyaan mengenai banyaknya pemakaman tertutup dengan protokol Covid-19. Mereka memang tak seluruhnya sudah dinyatakan positif, namun bisa jadi PDP yang meninggal sebelum hasil tesnya keluar atau bahkan belum dites.
    Sumber: Tempo
    Klaim 4: Fakta di lapangan menyatakan dengan gamblang bahwa semua orang di seluruh dunia selama ini yang didiagnosa terinfeksi jelas berhasil sembuh tanpa vaksin. Dari cara kerja vaksin sebenarnya juga sangat jelas dan gamblang bahwa vaksin juga bukan obat melainkan virus yang dilemahkan untuk memicu antibodi. Ini artinya sangat jelas bahwa antibodilah yang tetap menjadi ujung tombak untuk menangani virus, baik pada orang yang divaksin ataupun tidak.
    Fakta:
    Hadirnya vaksin telah mencegah setidaknya 10 juta kematian pada 2010-2015. Jutaan orang di seluruh dunia pun terlindungi dari penderitaan dan kecacatan yang terkait dengan penyakit seperti pneumonia, diare, batuk rejan, campak, dan polio. Program imunisasi yang berhasil juga memungkinkan prioritas nasional, seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi, dapat bertahan.
    Dikutip dari CDC, vaksin memberikan kekebalan pada tubuh untuk melawan penyakit tertentu. Sistem kekebalan mengenali virus atau kuman yang masuk ke dalam tubuh sebagai "penyerbu asing" (disebut antigen), dan tubuh menghasilkan protein yang disebut antibodi untuk melawannya.
    Saat seorang anak terinfeksi untuk pertama kalinya oleh antigen spesifik (misalnya virus campak), sistem kekebalan bakal menghasilkan antibodi yang dirancang untuk melawannya. Namun, sistem kekebalan biasanya tidak bekerja cukup cepat untuk mencegah antigen yang menyebabkan penyakit, sehingga si anak akan tetap sakit. Namun, sistem kekebalan “mengingat” antigen itu. Jika masuk ke tubuh lagi, bahkan setelah bertahun-tahun, sistem kekebalan dapa

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi dalam tulisan yang diunggah oleh akun Sony H. Waluyo menyesatkan. Klaim bahwa tidak ada kematian yang murni disebabkan oleh Covid-19 pun tidak akurat karena ditemukan sejumlah pasien Covid-19 yang meninggal yang tidak memiliki penyakit penyerta.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8177) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Erdogan Sebut Jika Jokowi Tak Terjun ke Politik Maka Penjahatlah yang Akan Mengisinya?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 10/07/2020

    Berita


    Gambar berisi kutipan yang berbunyi “Jika Joko Widodo tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya” beredar di media sosial. Di bawah kutipan tersebut, terdapat tulisan "Recep Tayyip Erdogan". Terdapat pula tulisan "Presiden Turki" dan foto Erdogan di gambar itu.
    Di Facebook, gambar tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Bayes Dika pada 3 Juli 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Bayes Dika di halaman Dukung Prabowo_Sandiaga Presiden RI 2019_2024 ini telah dikomentari sebanyak 54 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Bayes Dika.
    Apa benar Erdogan mengatakan "Jika Jokowi tidak terjun ke politik, maka penjahatlah yang akan mengisinya"?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto Erdogan dalam gambar unggahan akun Bayes Dika tersebut denganreverse image toolSource, TinEye, dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa foto itu telah beredar di internet sejak 2014.
    Foto Erdogan tersebut pernah dimuat oleh situs Yunani, Kathimerini.gr, pada 12 Desember 2014. Situs lain yang pernah memuat foto itu adalah Armedia.am, yakni pada 17 April 2017. Adapun situs Indonesia yang pernah memuat foto tersebut adalah Okezone.com, yakni pada 23 Desember 2019. Foto ini merupakan foto milik kantor berita Reuters.
    Terkait kutipan dalam gambar unggahan akun Bayes Dika, kutipan tersebut berasal dari pernyataan Erdogan yang telah diubah. Pernyataan asli Erdogan itu salah satunya pernah dimuat oleh situs Rilis ID, tepatnya dalam rubrik Nukilan, pada 4 November 2018.
    Pernyataan asli Erdogan berbunyi: “Jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya.” Dalam pernyataannya itu, Erdogan tidak menyinggung soal Jokowi.
    Kutipan Erdogan tersebut juga ditemukan dalam unggahan halaman Facebook Sahabat Erdogan pada 20 November 2017. Kutipan ini terdapat dalam gambar dengan foto Erdogan yang sama dengan foto dalam gambar unggahan akun Bayes Dika.
    Gambar unggahan halaman Sahabat Erdogan itu pun pernah dimuat oleh situs Kabar Serasan, dalam artikel di rubrik editorialnya, pada 6 Juli 2018. Artikel tersebut berjudul "Orang Baik Sebaiknya Berpolitik?".
    Menurut artikel itu, penggalan kalimat tersebut berasal dari pelopor politik asal Jerman, Friedrich Naumann. Naumann pernah mengatakan, "Ketika orang-orang baik menjaga jarak dari politik, tak perlu heran jika politik menjadi tidak baik."
    Kutipan itu pun melegenda dan sering dikutip oleh para politikus dunia untuk mengajak orang-orang baik terjun ke dunia politik, bukan malah menjauhinya. Salah satu di antaranya adalah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.
    Untuk memverifikasi informasi tersebut, Tempo menelusuri pernyataan Naumann itu dengan mesin pencarian Google. Hasilnya, ditemukan bahwa kutipan tersebut memang berasal dari Naumann. Salah satu situs yang pernah menulis artikel tentang kutipan itu adalah situs resmi Friedrich Naumann Foundation (FNF).
    Artikel yang dimuat pada 8 November 2017 ini berjudul “Menjadi Orang Baik dan Literasi dalam Berpolitik”. Artikel tersebut diawali dengan sebuah kutipan dari Naumann yang berbunyi: "Ketika orang-orang baik menjaga jarak dari politik, tak perlu heran jika politik menjadi tidak baik."

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan "Jika Jokowi tidak terjun ke politik, maka penjahatlah yang akan mengisinya" keliru. Kutipan itu bersumber dari pernyataan Erdogan yang telah diubah. Kutipan aslinya berbunyi: “Jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya.”
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8176) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Bocah Laki-laki yang Disalami Bung Karno Ini adalah Barack Obama?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/07/2020

    Berita


    Sebuah foto yang memperlihatkan Presiden Sukarno tengah memegang tangan dua bocah, laki-laki dan perempuan, beredar di media sosial. Menurut narasi yang menyertai foto itu, bocah laki-laki yang disalami oleh Bung Karno tersebut merupakan mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
    Di Facebook, foto itu dibagikan salah satunya oleh akun Zuriel Bram Lisangan. Akun ini menulis narasi, "Presiden Pertama RI Soekarno pasti tdk menyangka kalau anak SD Menteng yg disalaminya kelak menjadi Presiden Amerika Serikat selama 2 Periode."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Zuriel Bram Lisangan.
    Apa benar bocah laki-laki yang disalami Bung Karno dalam foto di atas adalah Barack Obama?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto di atas dengan reverse image tool. Hasilnya, ditemukan sejumlah media yang pernah memuat foto itu dalam artikelnya. Situs Brilio.net misalnya, pernah memakai foto tersebut pada 1 Juli 2017 dalam artikelnya yang berjudul "Beredar foto mirip Obama kecil bersalaman dengan Bung Karno, benarkah?". Pada Juni 2017, Obama memang sempat berkunjung ke Indonesia.
    Namun, dikutip dari akun Twitter @SejarahRI, kedua anak yang tengah bersalaman dengan Bung Karno itu adalah Adi Nasution dan Ida Nasution, anak dari Mualif Nasution, sekretaris pribadi Bung Karno yang juga penyusun buku "Sarinah" dan "Di Bawah Bendera Revolusi". Foto tersebut diyakini dijepret saat Hari Raya Idul Fitri 1962. Sementara Obama mulai tinggal di Indonesia lima tahun sesudahnya, yakni pada 1967.
    Situs Suara.com, pada 2 Juli 2017, juga pernah memuat foto tersebut dalam artikelnya yang berjudul "Heboh Foto Obama Cilik Disalami Bung Karno, Benarkah?". Seperti yang dijelaskan dalam artikel di situs Brilio.net di atas, kedua bocah dalam foto itu merupakan Adi Nasution dan Ida Nasution, anak sekretaris pribadi Bung Karno, Mualif Nasution.
    Dikutip dari situs Cekfakta.com, Ida Nasution pun membenarkan bahwa foto itu merupakan foto dirinya bersama kakak kembarnya, Adi Nasution. "Itu foto saya bersama kakak kembar, Adi Nasution. Foto yang sedang viral itu diambil saat lebaran tahun 1962, bertempat di ruang depan Istana Negara," ujar Ida pada 2 Juli 2017.
    Ketika itu, menurut Ida, mereka berusia 9 tahun. Dia pun bercerita, lebaran di Istana Negara pada 1962 itu dihadiri oleh seluruh pegawai Istana dan masyarakat umum. "Itu hanya acara bersalaman, tidak ada angpau, tidak ada bingkisan, apalagi acara makan-makan,” tuturnya. “Kami tinggal di kompleks Istana Negara sejak 1950 hingga 1965," ujar Ida.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa bocah laki-laki yang disalami Bung Karno dalam foto di atas adalah Barack Obama keliru. Foto tersebut merupakan foto saat Bung Karno menyalami Adi Nasution dan Ida Nasution, anak Mualif Nasution, sekretaris pribadi Bung Karno yang juga penyusun buku "Sarinah" dan "Di Bawah Bendera Revolusi".
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8175) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Putusan MA Batalkan Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 Tahun 2019 membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019 beredar di media sosial. Klaim itu salah satunya dibagikan oleh akun Facebook Navias Tanjung, yakni pada 7 Juli 2020. Akun ini pun menulis bahwa Jokowi-Ma'ruf harus segera melepaskan jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden karena putusan itu.
    Di bagian awal unggahannya, akun Navias Tanjung menulis, "RE: BREAKING NEWS....!!! Keputusan MA No.44 Tahun 2019 Sifatnya Mengikat (Binding) Secara Hukum, JOKOWI-MA'RUF Harus Segera Melepas Jabatan Presiden dan Wakil Presiden, Keputusan dan Ketetapan KPU Pilpres 2019 Batal Demi HUKUM, Kemenangan JKW-MA'RUF Tidak Memenuhi Syarat Yang Ditetapkan Oleh UU Nomer 7 Tahun 2017."
    Akun ini juga menulis agar Jokowi-Ma’ruf membentuk pemerintahan transisi dan menyerahkan kekuasaannya kepada Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Luar Negeri. “Pemerintahan transisi menyiapkan PILPRES ulang (revoting) antara JKW-MA'RUF Vs. PS-SANDI atau menyiapkan special presidential election dalam waktu 3 bulan dan tidak lebih dari 6 bulan dari pemerintahan transisi dimulai.”
    Unggahan itu pun dilengkapi dengan gambar tangkapan layar dokumen Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 yang di dalamnya memuat enam poin putusan. Di poin pertama, MA mengabulkan permohonan pengujian hak materiil dari tujuh pemohon, salah satunya politikus Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri.
    Adapun di poin ketiga, yang dalam gambar itu dilingkari merah, MA menyatakan ketentuan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Navias Tanjung.
    Apa benar Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula mengunduh Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 yang terbit pada 28 Oktober 2019 itu dari situs Direktori Putusan Mahkamah Agung. Putusan ini baru diunggah di situs tersebut pada Juli 2020. Dokumen itu bisa diunduh di tautan ini.
    Poin-poin putusan dalam dokumen tersebut sama dengan poin-poin putusan dalam gambar unggahan akun Navias Tanjung, termasuk poin 3 bahwa ketentuan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 yang digugat itu berbunyi: "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyaksebagai Pasangan Calon terpilih."
    Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 3 Ayat 7 ini bertentangan dengan Pasal 416 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 416 Ayat 1 ini mengatur bahwa paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari 50 persen provinsi di Indonesia.
    Akan tetapi, Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tersebut tidak berlaku surut sehingga tidak mempengaruhi penetapan hasil Pilpres 2019. Putusan itu terbit setelah Jokowi-Ma’ruf Amin dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019.
    Berikut ini alasan mengapa Putusan MA ini tidak mempengaruhi penetapan Pilpres 2019:
    Hasil Pilpres 2019 sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945
    Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945 telah mengatur bahwa paslon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
    Kemudian, Pasal 6A Ayat 4 mengatur bahwa, dalam hal tidak ada paslon terpilih, dua paslon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
    Komisioner KPU Hasyim Asy'ari mengatakan hasil Pilpres 2019 sudah sesuai dengan ketentuan formula pemilihan yang ditetapkan Pasal 6A UUD 1945 itu. Jokowi-Ma'ruf mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres. Suara sah pasangan ini berjumlah 85.607.362 suara atau 55,5 persen.
    Selain itu, Jokowi-Ma'ruf mendapatkan suara sedikitnya 20 persen di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. "Yaitu menang di 21 provinsi dengan perolehan suara lebih dari 50 persen di setiap provinsinya," katanya. Sementara lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menang di 13 provinsi.
    Putusan MA tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
    Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan ada ketidaksesuaian antara Putusan MA itu dengan Putusan MK Nomor 50 Tahun 2014. Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 416 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 416 Ayat 1 ini mengatur bahwa paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari 50 persen provinsi di Indonesia.
    Adapun Putusan MK Nomor 50 Tahun 2014 menafsir bahwa Pasal 416 Ayat 1 tersebut harus dimaknai jika terdapat lebih dari dua paslon dalam pilpres. MK menafsir syarat suara minimal 50 persen dengan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi itu tak berlaku jika pilpres hanya diikuti oleh dua paslon. Namun, Titi mengatakan, jika pun syarat sebaran suara tersebut diterapkan, Jokowi-Ma'ruf tetap memenuhi ketentuan untuk memenangi pemilu seperti diatur dalam Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945. Dengan demikian, Putusan MA teranyar itu tak berdampak pada hasil Pilpres 2019.
    Putusan MK bersifat mengikat
    Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menjelaskan Putusan MA tersebut tidak berimplikasi yuridis terhadap kedudukan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang Pilpres 2019. Hasil sengketa Pilpres 2019 yang telah diputuskan MK bersifat mengikat. Hasil sengketa itu menolak gugatan Prabowo-Sandi serta mengukuhkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf.
    Putusan MA tidak berlaku surut
    Dosen tata negara Universitas Pamulang, Tohadi, mengatakan Putusan MA tersebut tidak berlaku surut. Putusan MA itu terbit belakangan setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang Pilpres 2019 dan MPR melantik pasangan ini sebagai Presiden-Wakil Presiden Periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019. Uji materi terhadap Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 ini baru diputuskan MA sekitar sepekan setelah pelantikan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019 adalah klaim yang keliru. Pertama, Putusan MA tersebut tidak berlaku surut. Putusan itu terbit sekitar sepekan setelah Jokowi-Ma’ruf dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Sengketa Pilpres 2019 pun telah selesai lewat putusan MK. Putusan ini bersifat mengikat, menolak gugatan Prabowo-Sandi serta mengukuhkan kemenangan Jokowi-Ma-ruf. Selain itu, hasil Pilpres 2019 telah sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan