The largest fact-checking coalition in Indonesia, CekFakta.com, which has been actively engaged in fact-checking activities in Southeast Asia since 2018, expresses disappointment and shock regarding Meta's recent policy to end its Third Party Fact-Checking Program starting in the United States. We also deplores its CEO’s statements linking fact-checking with political bias and censorship.
Fact-checkers are held to the highest standards of non-biased reporting, transparency, integrity and accountability. We are monitored by the public and regularly assessed by independent body such as International Fact Checking Network.
As one of the largest social media platforms in the world, Facebook and Instagram have a significant influence on the spread of mis/disinformation, including in Indonesia.
As of December 2024, Facebook users in Indonesia reached at least 174 million, or about 63% of Indonesia’s total population of 275 million. Additionally, Instagram users in Indonesia, reached 90.1 million. These numbers demonstrate the immense responsibility Meta holds in ensuring its platforms are not used to disseminate false or misleading information.
Since 2018, the fact-checking program coordinated by the CekFakta.com Coalition, in collaboration with digital platforms, has been a crucial step in combating mis/disinformation in Indonesia. This program involves 100 media organizations, journalists, and independent fact-checkers committed to maintaining the integrity of public information. The presence of this program not only helps reduce the spread of hoaxes but also improves the digital literacy in our communities.
Meta’s decision to terminate the fact-checking program with third parties in the United States raises concerns about its potential impact on Meta’s commitments in other countries, including Indonesia. This policy could undermine efforts to combat the spread of false information on Meta’s platforms, especially in countries with low levels of digital literacy. It could also trigger massive spread of hoaxes and propaganda, given the extensive reach of users in Indonesia.
CekFakta.com Coalition believes this termination and its replacement with Community Notes and other content moderation program based on algorithms, are not an effective solution compared to fact-checking by independent media.
Therefore, we urges Meta to:
1. Clarify the impact of this policy change on fact-checking programs in other countries.
2. Reverse this decision and double down on supporting fact-checking programs around the world.
3. Engage more often and substantially with important stakeholders in combating mis/disinformation.
We believes that Meta’s proactive steps in supporting fact-checking programs all these years are a concrete manifestation of the company’s social responsibility toward its users worldwide. We hope Meta will reconsider this policy and continue to demonstrate its commitment to maintaining the integrity of information on its platforms, particularly in countries with large user bases like Indonesia.
For further information and interview, please contact Adi Marsiela (Coordinator Coalition) at info@cekfakta.com
======
Koalisi pemeriksa fakta terbesar di Indonesia, CekFakta.com, yang telah aktif terlibat dalam kegiatan pengecekan fakta di Asia Tenggara sejak tahun 2018, menyatakan kekecewaan dan keterkejutannya atas kebijakan Meta baru-baru ini yang mengakhiri Program Pemeriksa Fakta Pihak Ketiga yang dimulai di Amerika Serikat. Kami juga menyesalkan pernyataan CEO Meta yang mengaitkan pengecekan fakta dengan bias politik dan penyensoran.
Pemeriksa fakta memiliki standar tertinggi dalam hal pelaporan yang tidak bias, transparansi, integritas, dan akuntabilitas. Kami dipantau oleh publik dan secara teratur dinilai oleh badan independen seperti International Fact Checking Network.
Sebagai salah satu platform media sosial terbesar di dunia, Facebook dan Instagram memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyebaran misinformasi, termasuk di Indonesia.
Per Desember 2024, pengguna Facebook di Indonesia mencapai setidaknya 174 juta, atau sekitar 63% dari total populasi Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa. Selain itu, pengguna Instagram di Indonesia mencapai 90,1 juta. Angka-angka ini menunjukkan tanggung jawab besar yang dipegang Meta dalam memastikan platformnya tidak digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah atau menyesatkan.
Sejak tahun 2018, program cek fakta yang dikoordinasikan oleh Koalisi CekFakta.com, bekerja sama dengan platform digital, telah menjadi langkah penting dalam memerangi misinformasi di Indonesia. Program ini melibatkan setidaknya 100 organisasi media, jurnalis, dan pemeriksa fakta independen yang berkomitmen untuk menjaga integritas informasi publik. Kehadiran program ini tidak hanya membantu mengurangi penyebaran hoaks, tetapi juga meningkatkan literasi digital di masyarakat.
Keputusan Meta untuk menghentikan program pemeriksaan fakta dengan pihak ketiga di Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran akan potensi dampaknya terhadap komitmen Meta di negara lain, termasuk Indonesia. Kebijakan ini dapat melemahkan upaya memerangi penyebaran informasi palsu di platform Meta, terutama di negara-negara dengan tingkat literasi digital yang rendah. Kebijakan ini juga dapat memicu penyebaran hoaks dan propaganda secara masif, mengingat jangkauan pengguna yang sangat luas di Indonesia.
Koalisi CekFakta.com percaya bahwa penghentian ini dan penggantinya dengan Community Notes dan program moderasi konten lainnya yang berbasis algoritma, bukanlah solusi yang efektif dibandingkan dengan pengecekan fakta oleh media independen.
Oleh karena itu, kami mendesak Meta untuk:
1. Mengklarifikasi dampak dari perubahan kebijakan ini terhadap program pengecekan fakta di negara lain.
2. Membatalkan keputusan ini dan menggandakan dukungan terhadap program-program pemeriksaan fakta di seluruh dunia.
3. Terlibat lebih sering dan secara substansial dengan para pemangku kepentingan penting dalam memerangi mis/disinformasi.
Kami percaya bahwa langkah proaktif Meta dalam mendukung program pemeriksaan fakta selama ini merupakan wujud nyata dari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para penggunanya di seluruh dunia. Kami berharap Meta dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga integritas informasi di platformnya, terutama di negara-negara dengan basis pengguna yang besar seperti Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Adi Marsiela (Koordinator Koalisi) di info@cekfakta.com.
(GFD-2025-24981) [OPEN STATEMENT] Cekfakta.com deplore Meta's accusation of fact-checking's bias and censorship
Sumber:Tanggal publish: 10/01/2025
Berita
Hasil Cek Fakta
(GFD-2025-24980) [HOAKS] CNN Indonesia Beritakan Ledakan di Rumah Terawan
Sumber:Tanggal publish: 09/01/2025
Berita
KOMPAS.com - Situs berita CNN Indonesia diklaim memberitakan bahwa terjadi sebuah ledakan di rumah mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Namun, setelah ditelusuri konten tersebut merupakan hasil manipulasi. Konten itu hoaks dan informasinya palsu.
Narasi yang mengeklaim CNN Indonesia memberitakan soal ledakan di rumah Terawan muncul di media sosial, salah satunya dibagikan akun Facebook ini, ini, dan ini.
Akun tersebut membagikan video yang menampilkan presenter CNN Indonesia Ferdi Ilyas sedang mewawancarai Terawan.
Ferdi menyebutkan, ledakan itu diduga terjadi karena Terawan melontarkan kritik terhadap sebuah perusahaan farmasi.
Namun, setelah ditelusuri konten tersebut merupakan hasil manipulasi. Konten itu hoaks dan informasinya palsu.
Narasi yang mengeklaim CNN Indonesia memberitakan soal ledakan di rumah Terawan muncul di media sosial, salah satunya dibagikan akun Facebook ini, ini, dan ini.
Akun tersebut membagikan video yang menampilkan presenter CNN Indonesia Ferdi Ilyas sedang mewawancarai Terawan.
Ferdi menyebutkan, ledakan itu diduga terjadi karena Terawan melontarkan kritik terhadap sebuah perusahaan farmasi.
Hasil Cek Fakta
Sampai saat ini tidak ada informasi kredibel soal adanya ledakan di rumah Terawan.
Setelah ditelusuri, diketahui bahwa video tersebut identik dengan unggahan di kanal YouTube CNN Indonesia pada 29 Oktober 2019.
Video itu berjudul "Menanti Gebrakan Menkes Terawan ; Blak-blakan Menkes Terawan".
Dalam video aslinya, presenter CNN Indonesia, Ferdi Ilyas mewawancarai Terawan soal gebrakannya sebagai Menteri Kesehatan di Kabinet Indonesia Maju pada tahun 2019.
Tidak ada pembahasan soal ledakan di rumah Terawan.
Kemudian Tim Cek Fakta Kompas.com mengecek suara presenter Ferdi Ilyas dan Terawan dalam video menggunakan Hive Moderation.
Hasilnya, suara tersebut terdeteksi dihasilkan oleh artificial intelligence (AI).
Suara Ferdi Ilyas dalam video memiliki probabilitas 99 persen dihasilkan AI.
Sementera suara Terawan memiliki probabilitas 98 persen dihasilkan AI.
Setelah ditelusuri, diketahui bahwa video tersebut identik dengan unggahan di kanal YouTube CNN Indonesia pada 29 Oktober 2019.
Video itu berjudul "Menanti Gebrakan Menkes Terawan ; Blak-blakan Menkes Terawan".
Dalam video aslinya, presenter CNN Indonesia, Ferdi Ilyas mewawancarai Terawan soal gebrakannya sebagai Menteri Kesehatan di Kabinet Indonesia Maju pada tahun 2019.
Tidak ada pembahasan soal ledakan di rumah Terawan.
Kemudian Tim Cek Fakta Kompas.com mengecek suara presenter Ferdi Ilyas dan Terawan dalam video menggunakan Hive Moderation.
Hasilnya, suara tersebut terdeteksi dihasilkan oleh artificial intelligence (AI).
Suara Ferdi Ilyas dalam video memiliki probabilitas 99 persen dihasilkan AI.
Sementera suara Terawan memiliki probabilitas 98 persen dihasilkan AI.
Kesimpulan
Video yang mengeklaim CNN Indonesia memberitakan soal ledakan di rumah Terawan merupakan hasil manipulasi.
Video aslinya berisi wawancara soal gebrakan yang akan dilakukan Terawan pada 2019 ketika ia masih menjabat Menteri Kesehatan. Sampai saat ini tidak ada informasi valid soal adanya ledakan di rumah Terawan.
Video aslinya berisi wawancara soal gebrakan yang akan dilakukan Terawan pada 2019 ketika ia masih menjabat Menteri Kesehatan. Sampai saat ini tidak ada informasi valid soal adanya ledakan di rumah Terawan.
Rujukan
- https://www.facebook.com/61553799459462/videos/583617357715519/?rdid=A41EvBgMozn7gtKI
- https://www.facebook.com/61550026146251/videos/1153423619467089/?rdid=sWNqK04D0bisTXoj
- https://www.facebook.com/61559979184077/videos/1694842158074382/?_rdc=2&_rdr
- https://www.youtube.com/watch?v=SsHjCjpM8-c&ab_channel=CNNIndonesia
- https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D
(GFD-2025-24979) [KLARIFIKASI] Penjelasan soal Kasus HMPV di China dan Potensi Pandemi
Sumber:Tanggal publish: 08/01/2025
Berita
KOMPAS.com - Beredar narasi mengenai lonjakan kasus infeksi virus baru di China yang disebut mirip Covid-19.
Narasi itu mengeklaim, virus baru tersebut berpotensi menimbulkan pandemi sama seperti pandemi Covid-19.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi itu perlu diluruskan.
Narasi lonjakan kasus infeksi virus baru di China yang berpotensi menyebabkan pandemi dibagikan oleh akun Facebook ini pada Selasa (7/1/2024).
Berikut narasi yang dibagikan:
RS CHINA KEWALAHAN! TANGANI VIRUS BARU, BAKAL PANDEMI LAGI? NGERI, INI 2 JENIS VIRUSNYA!
Sementara, akun lain membagikan narasi sebagai berikut pada Senin (6/1/2024):
Virus Mirip Covid-19 Meledak dan Menyebar Cepat di China Berpotensi Pandemi Lagi 2025?
Screenshot Klarifikasi, penjelasan kasus HMPV di China dan potensi pandemi
Narasi itu mengeklaim, virus baru tersebut berpotensi menimbulkan pandemi sama seperti pandemi Covid-19.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi itu perlu diluruskan.
Narasi lonjakan kasus infeksi virus baru di China yang berpotensi menyebabkan pandemi dibagikan oleh akun Facebook ini pada Selasa (7/1/2024).
Berikut narasi yang dibagikan:
RS CHINA KEWALAHAN! TANGANI VIRUS BARU, BAKAL PANDEMI LAGI? NGERI, INI 2 JENIS VIRUSNYA!
Sementara, akun lain membagikan narasi sebagai berikut pada Senin (6/1/2024):
Virus Mirip Covid-19 Meledak dan Menyebar Cepat di China Berpotensi Pandemi Lagi 2025?
Screenshot Klarifikasi, penjelasan kasus HMPV di China dan potensi pandemi
Hasil Cek Fakta
Terkait dengan pemberitaan tentang peningkatan kasus HMPV di China, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa informasi tersebut kurang benar.
Ia pun telah mengonfirmasi hal itu kepada Pemerintah China dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut dia, peningkatan kasus flu biasa terjadi di negara dengan empat musim. Itu termasuk negara China yang juga mengalami musim dingin.
"Saya sudah lihat datanya, yang naik di China itu virusnya bukan HMPV, melainkan tipe H1N1 atau virus flu biasa. HMPV itu ranking nomor tiga di China dari sisi prevalensi, jadi itu tidak benar," ucap Budi, seperti diberitakan Kompas.id, Senin (6/1/2025).
Budi mengatakan bahwa HMPV atau Human Metapneumovirus berbeda dengan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.
Virus Covid-19 saat awal ditemukan merupakan jenis virus baru. Sementara, HMPV sudah ditemukan pada 2001 dan memiliki sifat yang mirip dengan flu.
Menurut dia, penemuan virus HMPV yang merebak di China juga dilaporkan telah ditemukan di Indonesia. Ia pun meminta masyarakat tidak panik karena virus ini bukan virus baru.
"HMPV sudah lama ditemukan di Indonesia. Kalau dicek apakah ada, itu ada. Saya sendiri kemarin melihat data di beberapa laboratorium ternyata beberapa anak ada yang terkena HMPV," tuturnya.
HMPV, kata Budi, memiliki sifat yang mirip dengan flu. Sistem imunitas tubuh manusia sudah lama mengenal virus HMPV sehingga umumnya bisa merespons penyakit ini dengan baik.
Sementara itu, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menuturkan, HMPV kurang berpotensi menjadi pandemi karena tingkat penularannya lebih lambat dan tingkat keparahan penyakitnya secara umum lebih ringan daripada Covid-19.
Penularan HMPV juga diperkirakan tidak akan semasif Covid-19 yang menular ke banyak negara dunia sejak muncul pertama kali di China pada 2019.
"Meskipun terjadi mutasi dan HMPV mudah menginfeksi, kemampuan infeksinya masih di bawah SARS-COV-2 penyebab Covid-19," kata Dicky, seperti diberitakan Kompas.com, 3 Januari 2025.
Ia pun telah mengonfirmasi hal itu kepada Pemerintah China dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut dia, peningkatan kasus flu biasa terjadi di negara dengan empat musim. Itu termasuk negara China yang juga mengalami musim dingin.
"Saya sudah lihat datanya, yang naik di China itu virusnya bukan HMPV, melainkan tipe H1N1 atau virus flu biasa. HMPV itu ranking nomor tiga di China dari sisi prevalensi, jadi itu tidak benar," ucap Budi, seperti diberitakan Kompas.id, Senin (6/1/2025).
Budi mengatakan bahwa HMPV atau Human Metapneumovirus berbeda dengan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.
Virus Covid-19 saat awal ditemukan merupakan jenis virus baru. Sementara, HMPV sudah ditemukan pada 2001 dan memiliki sifat yang mirip dengan flu.
Menurut dia, penemuan virus HMPV yang merebak di China juga dilaporkan telah ditemukan di Indonesia. Ia pun meminta masyarakat tidak panik karena virus ini bukan virus baru.
"HMPV sudah lama ditemukan di Indonesia. Kalau dicek apakah ada, itu ada. Saya sendiri kemarin melihat data di beberapa laboratorium ternyata beberapa anak ada yang terkena HMPV," tuturnya.
HMPV, kata Budi, memiliki sifat yang mirip dengan flu. Sistem imunitas tubuh manusia sudah lama mengenal virus HMPV sehingga umumnya bisa merespons penyakit ini dengan baik.
Sementara itu, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menuturkan, HMPV kurang berpotensi menjadi pandemi karena tingkat penularannya lebih lambat dan tingkat keparahan penyakitnya secara umum lebih ringan daripada Covid-19.
Penularan HMPV juga diperkirakan tidak akan semasif Covid-19 yang menular ke banyak negara dunia sejak muncul pertama kali di China pada 2019.
"Meskipun terjadi mutasi dan HMPV mudah menginfeksi, kemampuan infeksinya masih di bawah SARS-COV-2 penyebab Covid-19," kata Dicky, seperti diberitakan Kompas.com, 3 Januari 2025.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi lonjakan kasus infeksi virus baru di China berpotensi menyebabkan pandemi baru perlu diluruskan.
HMPV berbeda dengan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.Virus Covid-19 saat awal ditemukan merupakan jenis virus baru, sementara HMPV sudah ditemukan pada 2001.
Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, prevalensi HMPV di China berada di peringkat tiga. Sedangkan kasus infeksi yang naik adalah H1N1 atau virus flu biasa.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman juga menuturkan, HMPV kurang berpotensi menjadi pandemi karena tingkat penularannya lebih lambat dan tingkat keparahan penyakitnya secara umum lebih ringan daripada Covid-19.
HMPV berbeda dengan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.Virus Covid-19 saat awal ditemukan merupakan jenis virus baru, sementara HMPV sudah ditemukan pada 2001.
Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, prevalensi HMPV di China berada di peringkat tiga. Sedangkan kasus infeksi yang naik adalah H1N1 atau virus flu biasa.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman juga menuturkan, HMPV kurang berpotensi menjadi pandemi karena tingkat penularannya lebih lambat dan tingkat keparahan penyakitnya secara umum lebih ringan daripada Covid-19.
Rujukan
- https://www.facebook.com/suksesdotcom/posts/pfbid02X9j2xnKYPNPqStyPcgKWswE33x6mRzLtMcHLx32qDPgygYdxYQiWTK2zb5W9VSpAl
- https://www.facebook.com/aulia.shope.549/posts/pfbid0GazASNLxt4AMrFe8RfwopEWJZqo3Yy9BUSrcV79hq4o7Q4wh1QRL7mWCZYwP6pnWl
- https://www.kompas.id/artikel/kasus-hmpv-ditemukan-di-indonesia-semua-kasus-ditemukan-pada-anak-anak
- https://www.kompas.com/tren/read/2025/01/03/063000065/mewabah-di-china-dan-jepang-apakah-penularan-hmpv-semasif-covid-19-?page=1
- https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D
(GFD-2025-24978) Keliru, Video Kericuhan yang Diklaim Terkait Merebaknya HMPV di Cina
Sumber:Tanggal publish: 09/01/2025
Berita
Sebuah video beredar di Instagram [ arsip ] dan X yang diklaim sebagai kericuhan di Cina karena meningkatnya jumlah kasus infeksi virus Human Metapneumovirus (HMPV).
Video itu memperlihatkan sejumlah orang berseragam hazmat bertuliskan ‘POLICE’ menarik beberapa orang untuk dipaksa masuk ke dalam sebuah area gedung. Dikatakan hal itu berkaitan dengan virus HMPV yang menyerang Cina. “Virus HMPV menyerang Tiongkok. Virus ini bukan semacam COVID tapi gejala hampir sama dengan COVID. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan..Amin.”
Namun, benarkah video itu memperlihatkan kericuhan di Cina karena merebaknya HMPV?
Hasil Cek Fakta
Tempo memverifikasi narasi tersebut menggunakan layanan reverse image searchdari mesin pencari Yandex. Hasilnya, video itu tidak terkait dengan menyebarnya virus HMPV di Cina.
Video yang beredar sesungguhnya tidak memperlihatkan kericuhan karena peningkatan jumlah kasus HMPV di Cina baru-baru ini. Video itu keributan yang terjadi dari pelaksanaan strategiZero COVID di Cina tahun 2022, sebagaimana diberitakan CNN.com.
Strategi tersebut berupa peningkatan pembatasan untuk mencegah penularan Covid-19 yang menimbulkan kelaparan bagi sejumlah warga. Sebagian masyarakat memberontak atas perpanjangan masa penguncian (lock down) tersebut.
Dilansir Tempo, Menteri Kesehatan atau Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa HMPV bukan virus berbahaya seperti Covid-19. Gejalanya lebih mirip flu biasa.
“HMPV itu mematikan?Enggak. Coba di-Google saja. HMPV itu fatality rate-nya mungkin sulit ditemukan karena sangat-sangat rendah,” ujarnya Kamis, 9 Januari 2025.
Dia juga mengatakan bahwa keberadaan virus HMPV sudah lama diketahui, yakni sejak tahun 2001. Demikian juga keberadaannya di Indonesia, sudah terjadi lama. Pasien-pasien yang tercatat terinfeksi HMPV pun telah sembuh.
Selain itu, karena keberadaannya yang sudah lama, maka sistem imun tubuh manusia pun telah mengenali dan berlatih melawannya. Tidak seperti Covid-19 yang baru muncul pada akhir 2019, sehingga sistem kekebalan tubuh banyak orang masih lemah untuk menghadapinya.
Diduga Sudah Beredar 60 Tahun
Dalam artikel “ Human metapneumovirus - what we know now ” tahun 2018, HMPV adalah virus yang diidentifikasi oleh peneliti Belanda tahun 2001. Penemuan itu menggunakan sampel nasofaring dari 28 anak dengan penyakit pernafasan.
Meski begitu, lewat studi retrospektif (penelitian yang menggunakan data yang sudah ada untuk menganalisis peristiwa yang telah terjadi di masa lalu), menunjukkan jumlah individu yang memiliki antibodi hMPV tinggi di antara manusia pada tahun 1958 di Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut telah beredar dalam populasi manusia setidaknya dalam kurun 66 tahun.
Selain itu, dua studi di Kanada yang mendeteksi adanya HMPV dalam spesimen yang dikumpulkan dari pasien dengan penyakit pernapasan antara tahun 1993 dan 2001.
Kemudian sebuah studi di AS mendeteksi adanya HMPV dalam spesimen yang diambil dari pasien dalam rentang waktu 1976-2001.
Setelah penemuan HMPV di Belanda pada tahun 2001, kelompok penelitian lain di seluruh dunia juga melaporkan keberadaan virus ini dalam sampel klinis, termasuk di Amerika Utara, Australia, dan Eropa. Penelitian berikutnya berhasil mengidentifikasi lima jenis varian dari HMPV yakni A1, A2a, A2b, B1, dan B2, yang berdasarkan variasi nukleotida pada gen G, gen yang paling bervariasi sehubungan dengan identitas sekuens antara strain HMPV.
Varian A2b dianggap menjadi yang paling dominan pada pasien yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia, pertama kali terdeteksi di Spanyol, kemudian Jepang, Kroasia, dan Cina, yang menunjukkan bahwa varian baru ini mungkin menjadi varian yang dominan di seluruh dunia.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang menyatakan video yang beredar merupakan kericuhan yang terjadi di Cina disebabkan peningkatan jumlah kasus infeksi HMPV adalah klaimkeliru.
Video itu kejadian tahun 2022 di Cina saat terjadi pandemi Covid-19. Di sisi lain, virus HMPV merupakan jenis virus yang berbeda dengan Covid-19.
Rujukan
- https://www.instagram.com/reel/DEhuHWAPuvc/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading
- https://mvau.lt/media/734080c2-541e-46c2-b24e-20df950e7e1e
- https://x.com/Anlik_Analiz/status/1877093940156846394
- https://us.cnn.com/2022/11/21/china/china-covid-first-deaths-six-months-intl-hnk/index.html
- https://www.tempo.co/politik/menkes-budi-gunadi-tekankan-hmpv-bukan-virus-mematikan-seperti-flu-biasa-1191799
- https://f1000research.com/articles/7-135/v1
- https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0168170202002563
- https://www-mdpi-com.translate.goog/1999-4915/14/4/677?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=wapp /cdn-cgi/l/email-protection#6003050b06010b14012014050d100f4e030f4e0904
Halaman: 51/5658