• (GFD-2025-24979) [KLARIFIKASI] Penjelasan soal Kasus HMPV di China dan Potensi Pandemi

    Sumber:
    Tanggal publish: 08/01/2025

    Berita

    KOMPAS.com - Beredar narasi mengenai lonjakan kasus infeksi virus baru di China yang disebut mirip Covid-19.

    Narasi itu mengeklaim, virus baru tersebut berpotensi menimbulkan pandemi sama seperti pandemi Covid-19.

    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi itu perlu diluruskan.

    Narasi lonjakan kasus infeksi virus baru di China yang berpotensi menyebabkan pandemi dibagikan oleh akun Facebook ini pada Selasa (7/1/2024).

    Berikut narasi yang dibagikan:

    RS CHINA KEWALAHAN! TANGANI VIRUS BARU, BAKAL PANDEMI LAGI? NGERI, INI 2 JENIS VIRUSNYA!

    Sementara, akun lain membagikan narasi sebagai berikut pada Senin (6/1/2024):

    Virus Mirip Covid-19 Meledak dan Menyebar Cepat di China Berpotensi Pandemi Lagi 2025?

    Screenshot Klarifikasi, penjelasan kasus HMPV di China dan potensi pandemi

    Hasil Cek Fakta

    Terkait dengan pemberitaan tentang peningkatan kasus HMPV di China, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa informasi tersebut kurang benar.

    Ia pun telah mengonfirmasi hal itu kepada Pemerintah China dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    Menurut dia, peningkatan kasus flu biasa terjadi di negara dengan empat musim. Itu termasuk negara China yang juga mengalami musim dingin.

    "Saya sudah lihat datanya, yang naik di China itu virusnya bukan HMPV, melainkan tipe H1N1 atau virus flu biasa. HMPV itu ranking nomor tiga di China dari sisi prevalensi, jadi itu tidak benar," ucap Budi, seperti diberitakan Kompas.id, Senin (6/1/2025).

    Budi mengatakan bahwa HMPV atau Human Metapneumovirus berbeda dengan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.

    Virus Covid-19 saat awal ditemukan merupakan jenis virus baru. Sementara, HMPV sudah ditemukan pada 2001 dan memiliki sifat yang mirip dengan flu.

    Menurut dia, penemuan virus HMPV yang merebak di China juga dilaporkan telah ditemukan di Indonesia. Ia pun meminta masyarakat tidak panik karena virus ini bukan virus baru.

    "HMPV sudah lama ditemukan di Indonesia. Kalau dicek apakah ada, itu ada. Saya sendiri kemarin melihat data di beberapa laboratorium ternyata beberapa anak ada yang terkena HMPV," tuturnya.

    HMPV, kata Budi, memiliki sifat yang mirip dengan flu. Sistem imunitas tubuh manusia sudah lama mengenal virus HMPV sehingga umumnya bisa merespons penyakit ini dengan baik.

    Sementara itu, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menuturkan, HMPV kurang berpotensi menjadi pandemi karena tingkat penularannya lebih lambat dan tingkat keparahan penyakitnya secara umum lebih ringan daripada Covid-19.

    Penularan HMPV juga diperkirakan tidak akan semasif Covid-19 yang menular ke banyak negara dunia sejak muncul pertama kali di China pada 2019.

    "Meskipun terjadi mutasi dan HMPV mudah menginfeksi, kemampuan infeksinya masih di bawah SARS-COV-2 penyebab Covid-19," kata Dicky, seperti diberitakan Kompas.com, 3 Januari 2025.

    Kesimpulan

    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi lonjakan kasus infeksi virus baru di China berpotensi menyebabkan pandemi baru perlu diluruskan.

    HMPV berbeda dengan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.Virus Covid-19 saat awal ditemukan merupakan jenis virus baru, sementara HMPV sudah ditemukan pada 2001.

    Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, prevalensi HMPV di China berada di peringkat tiga. Sedangkan kasus infeksi yang naik adalah H1N1 atau virus flu biasa.

    Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman juga menuturkan, HMPV kurang berpotensi menjadi pandemi karena tingkat penularannya lebih lambat dan tingkat keparahan penyakitnya secara umum lebih ringan daripada Covid-19.

    Rujukan

  • (GFD-2025-24978) Keliru, Video Kericuhan yang Diklaim Terkait Merebaknya HMPV di Cina

    Sumber:
    Tanggal publish: 09/01/2025

    Berita



    Sebuah video beredar di Instagram [ arsip ] dan X yang diklaim sebagai kericuhan di Cina karena meningkatnya jumlah kasus infeksi virus Human Metapneumovirus (HMPV).

    Video itu memperlihatkan sejumlah orang berseragam hazmat bertuliskan ‘POLICE’ menarik beberapa orang untuk dipaksa masuk ke dalam sebuah area gedung. Dikatakan hal itu berkaitan dengan virus HMPV yang menyerang Cina. “Virus HMPV menyerang Tiongkok. Virus ini bukan semacam COVID tapi gejala hampir sama dengan COVID. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan..Amin.”



    Namun, benarkah video itu memperlihatkan kericuhan di Cina karena merebaknya HMPV?

    Hasil Cek Fakta



    Tempo memverifikasi narasi tersebut menggunakan layanan reverse image searchdari mesin pencari Yandex. Hasilnya, video itu tidak terkait dengan menyebarnya virus HMPV di Cina.

    Video yang beredar sesungguhnya tidak memperlihatkan kericuhan karena peningkatan jumlah kasus HMPV di Cina baru-baru ini. Video itu keributan yang terjadi dari pelaksanaan strategiZero COVID di Cina tahun 2022, sebagaimana diberitakan CNN.com.



    Strategi tersebut berupa peningkatan pembatasan untuk mencegah penularan Covid-19 yang menimbulkan kelaparan bagi sejumlah warga. Sebagian masyarakat memberontak atas perpanjangan masa penguncian (lock down) tersebut.

    Dilansir Tempo, Menteri Kesehatan atau Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa HMPV bukan virus berbahaya seperti Covid-19. Gejalanya lebih mirip flu biasa.

    “HMPV itu mematikan?Enggak. Coba di-Google saja. HMPV itu fatality rate-nya mungkin sulit ditemukan karena sangat-sangat rendah,” ujarnya Kamis, 9 Januari 2025.

    Dia juga mengatakan bahwa keberadaan virus HMPV sudah lama diketahui, yakni sejak tahun 2001. Demikian juga keberadaannya di Indonesia, sudah terjadi lama. Pasien-pasien yang tercatat terinfeksi HMPV pun telah sembuh.

    Selain itu, karena keberadaannya yang sudah lama, maka sistem imun tubuh manusia pun telah mengenali dan berlatih melawannya. Tidak seperti Covid-19 yang baru muncul pada akhir 2019, sehingga sistem kekebalan tubuh banyak orang masih lemah untuk menghadapinya.

    Diduga Sudah Beredar 60 Tahun

    Dalam artikel “ Human metapneumovirus - what we know now ” tahun 2018, HMPV adalah virus yang diidentifikasi oleh peneliti Belanda tahun 2001. Penemuan itu menggunakan sampel nasofaring dari 28 anak dengan penyakit pernafasan. 

    Meski begitu, lewat studi retrospektif (penelitian yang menggunakan data yang sudah ada untuk menganalisis peristiwa yang telah terjadi di masa lalu), menunjukkan jumlah individu yang memiliki antibodi hMPV tinggi di antara manusia pada tahun 1958 di Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut telah beredar dalam populasi manusia setidaknya dalam kurun 66 tahun. 

    Selain itu, dua studi di Kanada yang mendeteksi adanya HMPV dalam spesimen yang dikumpulkan dari pasien dengan penyakit pernapasan antara tahun 1993 dan 2001. 

    Kemudian sebuah studi di AS mendeteksi adanya HMPV dalam spesimen yang diambil dari pasien dalam rentang waktu 1976-2001.

    Setelah penemuan HMPV di Belanda pada tahun 2001, kelompok penelitian lain di seluruh dunia juga melaporkan keberadaan virus ini dalam sampel klinis, termasuk di Amerika Utara, Australia, dan Eropa. Penelitian berikutnya berhasil mengidentifikasi lima jenis varian dari HMPV yakni A1, A2a, A2b, B1, dan B2, yang berdasarkan variasi nukleotida pada gen G, gen yang paling bervariasi sehubungan dengan identitas sekuens antara strain HMPV. 

    Varian A2b dianggap menjadi yang paling dominan pada pasien yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia, pertama kali terdeteksi di Spanyol, kemudian Jepang, Kroasia, dan Cina, yang menunjukkan bahwa varian baru ini mungkin menjadi varian yang dominan di seluruh dunia. 

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang menyatakan video yang beredar merupakan kericuhan yang terjadi di Cina disebabkan peningkatan jumlah kasus infeksi HMPV adalah klaimkeliru.

    Video itu kejadian tahun 2022 di Cina saat terjadi pandemi Covid-19. Di sisi lain, virus HMPV merupakan jenis virus yang berbeda dengan Covid-19.

    Rujukan

  • (GFD-2025-24977) Keliru, Klaim bahwa Pemberian Vaksin HPV Pada Anak Supaya Seks Bebas Aman

    Sumber:
    Tanggal publish: 09/01/2025

    Berita



    Sebuah video yang beredar di Tiktok [ arsip ] , Facebook, dan X [ arsip ], memuat klaim bahwa pemberian vaksin HPV kepada anak perempuan kelas 5 SD untuk melegalkan seks bebas saat mereka dewasa.

    “Masyarakat jangan seneng, ya, anak-anak itu diberikan vaksin HPV. Itu maksudnya adalah membiarkan anak-anak melakukan seks bebas. Ketika mereka dewasa, karena sudah dibekali vaksin HPV. Ini kebijakan untuk merusak generasi muda. Memberikan vaksin HPV, memberikan alat kontrasepsi secara gratis untuk anak usia remaja. Lihat ini kebijakan ngawur yang dibuat sistem demokrasi,” kata seorang perempuan dalam video itu.



    Benarkah pemberian vaksin HPV supaya seks bebas aman?

    Hasil Cek Fakta



    Hasil pemeriksaan fakta Tempo menunjukkan bahwa pemberian vaksin HPV tidak bertujuan untuk melegalkan seks bebas. Vaksin tersebut justru untuk mencegah seseorang terinfeksi virus HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks.

    Human papillomavirus (HPV) adalah virus DNA yang dapat menyebabkan infeksi pada kulit dan selaput lendir yang berpotensi menyebabkan kutil kelamin dan kanker serviks. Penyebab infeksi HPV adalah virus human papillomavirus tipe 6,11,16, dan 18, serta dapat menyerang siapa saja, baik pria (20-24 tahun) maupun wanita (16-19 tahun).

    Infeksi virus HPV dapat menular melalui aktivitas seksual, memiliki luka terbuka di area kulit dan kerap berbagi barang pribadi dengan orang lain seperti handuk, sapu tangan, atau kaus kaki.

    Dikutip dari badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk perlindungan anak, UNICEF, lebih dari 95 persen kasus kanker serviks disebabkan oleh human papillomavirus. Kanker serviks merupakan kanker keempat yang paling umum terjadi pada wanita di seluruh dunia dan menyebabkan kematian yang cukup tinggi.

    Pada tahun 2022, sekitar 350.000 wanita meninggal karena kanker serviks dan sekitar 660.000 kasus baru muncul. Afrika Sub-Sahara, Amerika Tengah, dan Asia Tenggara memiliki tingkat kematian akibat kanker serviks tertinggi.

    Menurut data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2021, kanker serviks menempati peringkat kedua setelah kanker payudara, yaitu sebanyak 36.633 kasus atau 17,2% dari seluruh kanker pada wanita. Jumlah ini memiliki angka kematian yang tinggi sebanyak 21.003 kasus atau 19,1% dari seluruh kematian akibat kanker. Apabila dibandingkan angka kejadian kanker serviks di Indonesia pada tahun 2008, terjadi peningkatan dua kali lipat.

    Peneliti virologi dan vaksinologi dari Universitas Airlangga, Dr. Arif Nur Muhammad Ansori, M.Si, mengatakan vaksinasi HPV justru untuk mencegah seseorang terinfeksi virus HPV, sama seperti imunisasi lain yang melindungi dari penyakit tertentu. Vaksinasi tidak mendorong ke arah perilaku tertentu.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata dia, merekomendasikan vaksinasi HPV dilakukan antara usia 11-12 tahun. “Vaksin HPV paling efektif diberikan sebelum seseorang terpapar virus, yaitu sebelum memasuki usia dewasa atau sebelum memiliki aktivitas seksual,” kata Arif.

    Menurut dia, keluarga tetap memiliki peran utama dalam mendidik anak-anak tentang nilai-nilai moral dan kesehatan. “Vaksinasi adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai masyarakat untuk menjaga kesehatan generasi muda,” tegasnya.

    UNICEF menyebut lebih dari 130 negara telah mengintegrasikan vaksin HPV ke dalam jadwal imunisasi rutin mereka, tetapi itu saja belum cukup. Jutaan wanita dan anak perempuan, yang sebagian besar tinggal di negara-negara termiskin di dunia, masih kekurangan akses ke vaksin, skrining, dan pengobatan yang dapat menyelamatkan hidup mereka.

    Kesimpulan



    Berdasarkan hasil pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan bahwa klaim pemberian vaksin HPV supaya seks bebas aman adalahkeliru.

    Vaksinasi HPV dapat melindungi anak kita dari kanker tertentu di kemudian hari.

    Rujukan

  • (GFD-2025-24976) Keliru, Penyakit yang Dirasakan Masyarakat Saat Ini Disebabkan oleh Modifikasi Cuaca

    Sumber:
    Tanggal publish: 09/01/2025

    Berita



    Sebuah konten beredar di Instagram [ arsip ] dan X [ arsip ] yang menyatakan penyakit yang dirasakan masyarakat saat ini adalahchemtrail, efek dari modifikasi cuaca. Gambar itu memperlihatkan pesawat terbang dan jejak putih di belakangnya, serta orang-orang yang mengangkat tangan di bawahnya. Hal itu menggambarkan rumor tentang adanyachemtrail dari pesawat yang diklaim membahayakan kesehatan.

    Dikatakan jejak pesawatchemtrail itu adalah upaya modifikasi cuaca yang juga menyebabkan masyarakat menjadi sakit. “Jangan terus-terusan lihatgadget, lihatlah ke atas perhatikan ada apa di langit.”



    Namun, benarkah jejak pesawat adalah alat modifikasi cuaca yang merugikan kesehatan manusia?

    Hasil Cek Fakta



    Hasil verifikasi Tim Cek Fakta Tempo, modifikasi cuaca yang dilakukan selama ini di Indonesia aman bagi kesehatan manusia. 

    Perekayasa Ahli Muda Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN dari kelompok riset fisika awan dan aplikasinya (FAA), Purwadi, mengatakan modifikasi cuaca tidak menggunakan chemtrail.

    Modifikasi cuaca di Indonesia menggunakan bahan semai berupa serbuk garam (NaCl), juga flare yang lebih jarang digunakan. Operasi modifikasi cuaca (OMC) di Indonesia dilakukan saat-saat tertentu sesuai dengan tujuannya, yakni untuk mengurangi atau menambah curah hujan.

    “OMC untuk menambah curah hujan umumnya digunakan untuk menjaga pasokan air waduk irigasi/PLTA, mencegah dan menanggulangi karhutla, membasahi lahan gambut, pengairan dan lain-lain. Sedangkan pengurangan curah hujan dilakukan untuk pencegahan banjir, mengurangi curah hujan pada tambang dan untuk dukungan acara-acara kenegaraan,” kata Purwadi melalui keterangan tertulis, 8 Januari 2025.

    Dia juga menjelaskan metode penyemaian awan untuk OMC, yang dilakukan di Indonesia mengikuti prosedur standar Badan Meteorologi Dunia (WMO) serta memperhatikan saran dan dalam pengawasan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) RI.

    Penaburan garam bahan semai di udara untuk OMC dilakukan pesawat yang mampu mengangkut 800 kilogram sampai 4 ton. Garam bahan semai itu sama dengan garam dapur. Garam yang ditebar itu akan menjadi inti pembentukan tetes-tetes hujan pada awan, yang dapat memicu terjadinya hujan.

    Meskipun garam yang ditebar jumlahnya bisa mencapai 4 ton, namun konsentrasi inti kondensasi ini jauh lebih sedikit dari volume awan maupun volume air hujan yang dihasilkan. Jadi kandungan garam pada air hujan di awan yang disemai tersebut sangat kecil, dan tidak mempengaruhi makhluk hidup yang terkena air hujan tersebut.

    Purwadi juga menjelaskan riset terkait dampak lingkungan dari OMC sudah banyak dilakukan, beberapa di antaranya dilakukan oleh peneliti BRIN. Hasil penelitian-penelitian itu menunjukkan bahwa air hujan hasil penyemaian awan tidak berdampak pada lingkungan dan aman bagi manusia.

    “OMC menjadi salah satu usaha yang cukup baik dalam menambah curah hujan yang dapat menekan terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta menambah pasokan air waduk,” ujar Purwadi.

    Dilansir Tempo 18 Februari 2022, Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG yang saat itu dijabat Urip Haryoko, mengatakan bahwa narasi tentangchemtrail yang beredar digolongkan sebagai teori konspirasi.

    Teori itu menyatakan jejak asap putih di belakang pesawat adalah bahan kimia yang berbahaya. Namachemtrail dipilih dari akronimchemistry (kimia) dantrail (jejak). Namun tuduhan bahwa jejak pesawat berupa asap putih membahayakan, tidak memiliki bukti.

    Di sisi lain, laporan ilmiah dalam Journal of Geography, Environment and Earth Science International (2020), menyatakan hingga kini belum ada bukti ilmiah atas tudingan jejak asap yang dikeluarkan dari emisi pesawat terbang bersifat berbahaya.

    Sebanyak 76 orang dari 77 ilmuwan yang melakukan penelitian, mengatakan mereka tidak menemukan bukti adanya program skala besar dan bersifat rahasia di ruang atmosfer, yang menggunakan cara yang disebutchemtrail tersebut.

    Dampak Cuaca pada Kesehatan

    Chemtrail tidak digunakan untuk OMC di Indonesia dan teori konspirasinya tidak memiliki bukti nyata. Namun, perubahan cuaca pada level tertentu bisa berdampak negatif pada kesehatan manusia.

    Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof Zubairi Djoerban, menjelaskan bahwa cuaca buruk pada level tertentu di Indonesia berpotensi menyebabkan atau memperparah sakit pada masyarakat.

    Misalnya saat musim hujan di Indonesia seperti saat ini, yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya risiko sakit tenggorokan, leptospirosis/leptospira, diare, dan demam berdarah. 

    Sementara saat musim panas, risiko yang naik adalah dehidrasi, pusing, lelah, biang keringat, gatal-gatal, dan batuk pilek (batuk pilek biasa yang bukan influenza, AMPV maupun Covid-19), hingga memicu stroke.

    “Musim hujan di Indonesia kalau untuk HMPV no (tidak meningkat), jadi tidak akan jadi masalah. Kalau untuk menjadi masalah pernafasan lain (yang risikonya meningkat) juga mengenai batuk pilek bisa, namun yang bisa muncul di musim hujan ini misalnya leptospira ataupun penyakit saluran nafas yang lain, diare bisa, demam berdarah bisa naik sedikit,” kata Prof Zubairi melalui pesan suara, 7 Januari 2025.

    Ia membahas kondisi dan cara pencegahan penyakit-penyakit itu satu per satu, sebagai berikut:

    Musim Hujan

    Cuaca Panas

    Cuaca panas yang perlu diwaspadai, menurut Prof Zubairi adalah ketika suhunya mencapai 39 derajat Celcius atau lebih. Namun, ada kalanya prakiraan cuaca menyatakan suhu sebuah tempat di angka 32 derajat Celcius, namun di sana suhunya terasa panas mencapai 39 derajat Celcius. Kondisi ini juga sebaiknya diwaspadai.

    Dia juga mengatakan bahwa dalam suhu yang tinggi sekali, pada beberapa orang bisa menyebabkan stroke, terutama untuk orang-orang usia lanjut. Untuk menghindarinya masyarakat harus sering minum.

    “Kemudian mengkonsumsi buah dan sayur saat musim panas, musim hujan, musim apapun, usahakan tiga kali sehari makan buah, tiga kali sehari makan sayur. Kemudian kita perlu menghindari paparan sinar Matahari langsung,” kata Prof Zubairi lagi.

    Upaya mengurangi paparan sinar Matahari bisa dilakukan dengan mengenakan topi, memakai payung, tidak terlalu lama di luar ruangan. Saat sudah terlalu lama di luar, disarankan mencari tempat yang teduh, di bawah pohon atau masuk sebentar di ruang ber-AC yang ada di mall atau di toko swalayan. 

    Baik juga memakai pelembab kulit. Cara berpakaian juga bisa membantu seseorang menghindari tubuh terpapar panas terlalu banyak, yakni dengan mengenakan pakaian yang warna muda atau cerah, misalkan yang putih, dan menghindari warna gelap. Kemudian pakai baju yang agak longgar, tidak yang ketat.

    “Cuaca panas tinggi bisa menyebabkan stroke, tidak menyebabkan penyakit jantung, tidak menyebabkan ginjal, tidak menyebabkan kanker, namun bisa memperberat penyakit-penyakit tersebut,” kata Prof Zubairi lagi.

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan bahwa penyakit yang dirasakan masyarakat saat ini disebabkan olehchemtrail modifikasi cuaca adalah klaim yangkeliru.

    Teori yang menyatakan adanya chemtrail untuk memodifikasi cuaca dan merugikan kesehatan masyarakat tidak memiliki bukti. Sementara modifikasi cuaca di Indonesia dilakukan pada waktu-waktu tertentu sesuai tujuan, yang sebagian besar dilakukan dengan cara penaburan garam bahan semai.

    Rujukan