Pesan berantai tentang produk makanan kaleng Thailand mengandung virus HIV beredar di aplikasi percakapan whatsapp. Masyarakat diminta untuk tidak mengkonsumsi makanan kaleng, terutama buah-buahan yang berasal dari negara Gajah Putih tersebut.
“Tolong beritahu adek2, suami, isteri dan semua teman2 Perhatian ; Mulai saat ini jangan makan makanan kaleng ,terutama buah2an , khususnya produksi Thailand. Karena di negara itu ada kira2 200 orang pengidap aids kerja di pabrik kalengan, dan mereka masukkan darah mereka ke dalam kalengan2 itu,” demikian isi sebagian pesan berantai yang diterima Tempo, Senin 20 Juni 2022.
Disebutkan bahwa sumber informasi tersebut berasal dari Ibu Dubes KBRI di Kuala Lumpur. Tercantum nama pula nama Rita Toisuta Arifson yang diklaim dari Kementerian Kesehatan
Tangkapan layar pesan berantai yang berisi klaim bahwa makanan kaleng dari Thailand terkontaminasi darah dan virus HIV.
Makanan Thailand
(GFD-2022-10350) Keliru, Makanan Kaleng Asal Thailand Terkontaminasi Darah dan Virus HIV
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 21/06/2022
Berita
Hasil Cek Fakta
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI serta Pemerintah Thailand telah membantah pesan berantai yang beredar sejak 2014 tersebut. Produk makanan kaleng dari Thailand dinyatakan aman dikonsumsi dan tidak mengandung darah HIV/AIDS. Selain itu, HIV tidak dapat dihidup di luar tubuh manusia.
Tim Cek Fakta Tempo menelusuri link berita yang tercantum dalam informasi di atas. Hasilnya, alamat berita tersebut tidak bisa diakses dan muncul keterangan bahwa alamat server tidak ditemukan.
Klaim makanan kaleng asal Thailand terkontaminasi darah penderita AIDS beredar sejak 2014. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia telah merilis pernyataan resmi untuk mengklarifikasi klaim tersebut pada 12 November 2014.
BPOM RI menyatakan tidak pernah menemukan kandungan darah dan virus HIV dalam makanan kaleng. Sebab virus HIV sendiri tidak mampu bertahan hidup di luar host (tubuh manusia). “Jadi pemberitaan tersebut adalah HOAX yang menyesatkan,” tulis BPOM dalam keterangan tertulisnya.
Selama ini, Badan POM melakukan evaluasi terhadap keamanan, mutu, dan gizi produk pangan impor sebelum diedarkan di wilayah Indonesia (pre-market evaluation). Selain itu, lembaga ini juga rutin melakukan pengawasan terhadap produk pangan yang beredar di wilayah Indonesia (post-market control).
Pada 2016, pesan berantai dalam versi bahasa Inggris beredar lebih luas. Pemerintah Thailand di Malaysia dan Indonesia secara resmi telah mengeluarkan bantahan atas hal itu. Dikutip dari UNTV News edisi 31 Desember 2016, Kedutaan Besar Kerajaan Thailand di Indonesia mengatakan lembaga yang terlibat dalam industri makanan Thailand telah membuktikan bahwa produk makanan negara tersebut aman dan bersertifikat sesuai dengan standar internasional. Sementara itu, Kedutaan Thailand di Malaysia mengatakan pesan itu jelas bertujuan untuk mendiskreditkan eksportir makanan Thailand.
Penularan HIV/AIDS
Dikutip dari laman Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, bahwa Human Immunodeficiency Virus (HIV), adalah virus yang menyerang sel CD4. Virus ini menjadikan sel CD4 sebagai tempat berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Dengan demikian, HIV tidak bisa hidup di luar tubuh manusia karena membutuhkan sel CD4.
Sedangkan penularan HIV secara umum melalui hubungan seks penetratif tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina); atau tercampurnya cairan sperma dengan cairan rectal.
Cara lain adalah melalui transfusi darah / produk darah yang sudah tercemar HIV, pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV. Dimungkinkan pula penularan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina; kemudian menyusui bayinya dengan ASI.
Tim Cek Fakta Tempo menelusuri link berita yang tercantum dalam informasi di atas. Hasilnya, alamat berita tersebut tidak bisa diakses dan muncul keterangan bahwa alamat server tidak ditemukan.
Klaim makanan kaleng asal Thailand terkontaminasi darah penderita AIDS beredar sejak 2014. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia telah merilis pernyataan resmi untuk mengklarifikasi klaim tersebut pada 12 November 2014.
BPOM RI menyatakan tidak pernah menemukan kandungan darah dan virus HIV dalam makanan kaleng. Sebab virus HIV sendiri tidak mampu bertahan hidup di luar host (tubuh manusia). “Jadi pemberitaan tersebut adalah HOAX yang menyesatkan,” tulis BPOM dalam keterangan tertulisnya.
Selama ini, Badan POM melakukan evaluasi terhadap keamanan, mutu, dan gizi produk pangan impor sebelum diedarkan di wilayah Indonesia (pre-market evaluation). Selain itu, lembaga ini juga rutin melakukan pengawasan terhadap produk pangan yang beredar di wilayah Indonesia (post-market control).
Pada 2016, pesan berantai dalam versi bahasa Inggris beredar lebih luas. Pemerintah Thailand di Malaysia dan Indonesia secara resmi telah mengeluarkan bantahan atas hal itu. Dikutip dari UNTV News edisi 31 Desember 2016, Kedutaan Besar Kerajaan Thailand di Indonesia mengatakan lembaga yang terlibat dalam industri makanan Thailand telah membuktikan bahwa produk makanan negara tersebut aman dan bersertifikat sesuai dengan standar internasional. Sementara itu, Kedutaan Thailand di Malaysia mengatakan pesan itu jelas bertujuan untuk mendiskreditkan eksportir makanan Thailand.
Penularan HIV/AIDS
Dikutip dari laman Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, bahwa Human Immunodeficiency Virus (HIV), adalah virus yang menyerang sel CD4. Virus ini menjadikan sel CD4 sebagai tempat berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Dengan demikian, HIV tidak bisa hidup di luar tubuh manusia karena membutuhkan sel CD4.
Sedangkan penularan HIV secara umum melalui hubungan seks penetratif tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina); atau tercampurnya cairan sperma dengan cairan rectal.
Cara lain adalah melalui transfusi darah / produk darah yang sudah tercemar HIV, pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV. Dimungkinkan pula penularan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina; kemudian menyusui bayinya dengan ASI.
Kesimpulan
Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan pesan berantai dengan klaim makanan kaleng asal Thailand terkontaminasi darah dan virus HIV adalah keliru. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI serta Pemerintah Thailand telah membantah pesan berantai yang beredar sejak 2014 tersebut. Produk makanan kaleng dari Thailand dinyatakan aman dikonsumsi dan tidak mengandung darah HIV/AIDS. Selain itu, HIV tidak dapat dihidup di luar tubuh manusia.
Rujukan
(GFD-2022-10349) Keliru, Aspartame Mengandung Racun Penyebab Wabah Pengerasan Otak
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 21/06/2022
Berita
Pesan berantai yang beredar melalui WhatsApp mengklaim bahwa Ikatan Dokter Indonesia menyatakan terjadi wabah pengerasan otak (kanker otak), diabetes dan pengerasan sumsum tulang belakang. Wabah itu disebut karena aspartame yang terdapat dalam minuman instan dalam kemasan yang beredar di Indonesia.
“Mohon ijin info Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menginformasikan bahwa saat ini sedang ada wabah Pengerasan Otak (Kanker Otak), Diabetes dan Pengerasan Sumsum Tulang Belakang (Mematikan sumsum tulang belakang),” tulis pesan berantai itu.
Untuk menghindari penyakit tersebut, pesan berantai itu meminta warga menghindari 19 jenis minuman seperti extra-joss, M-10, kopi susu, kiranti hingga aqua splash fruit. Selain menyebut IDI, pesan berantai itu juga mencantumkan nama Dr. H. Ismuhadi, MPH sebagai narasumber.
Tangkapan layar pesan berantai yang berisi klaim Aspartame Mengandung Racun Penyebab Wabah Pengerasan Otak
Hasil Cek Fakta
Pesan berantai tersebut telah beredar sejak tahun 2010. Faktanya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun Dr. H Ismuhadi tidak pernah mengeluarkan informasi tersebut. Selain itu, aspartame dalam kadar tertentu dinyatakan aman digunakan dalam minuman kemasan.
Bantahan dari IDI
Pada 12 Februari 2010, Tempo telah mempublikasikan pernyataan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI bahwa pemanis buatan berjenis aspartam sebagai bahan tambahan pangan, aman dikonsumsi.
"Aspartam dikategorikan aman berdasarkan keputusan Codex Stan 192-195 Rev. 10 Tahun 2009," papar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan saat itu, Kustantinah dalam rilis yang diterima pada 12 Februari 2010.
BPOM menyatakan bahwa IDI tidak pernah menyatakan hal tersebut. Setahun kemudian, pesan berantai itu kembali beredar melalui pesan pendek (SMS). Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia saat itu Priyo Sidipratomo mengatakan, bahwa SMS tersebut tidak berasal dari IDI. Dalam berita Tempo 19 Februari 2011, IDI menyatakan bahwa nama Dr. H. Ismuhadi, MPH dicatut.
Aspartam aman dikonsumsi
Badan Pengawas Obat Dan Makanan (BBPOM) Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Nomor HK . 04.01.42.421.12.17.1666 tentang Batas Maksimum Penggunaan Pemanis Buatan yang Diizinkan dalam Produk Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan. Dalam surat edaran itu, BPOM mengatur bahwa aspartam (aspartame) dapat digunakan dalam batas maksimum 5500 mg/kg produk.
BPOM menyatakan, berdasarkan Keputusan Codex stan 192-1995 Rev. 10 Tahun 2009, Aspartam dikategorikan aman. Codex Alimentarius Commision (CAC) merupakan Lembaga Internasional yang ditetapkan FAO/WHO untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin perdagangan yang jujur.
CAC juga menyebutkan aspartam dapat digunakan untuk berbagai jenis makanan dan minuman antara lain minuman berbasis susu, permen, makanan dan minuman ringan.
Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara juga mengatur batas aman penggunaan aspartam dalam makanan. Dikutip dari American Cancer Society, organisasi kesehatan nirlaba yang berpusat di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat menyebutkan aspartame merupakan pemanis buatan yang telah digunakan sejak awal 1980-an. Aspartame digunakan dalam industri makanan karena jauh lebih manis dari gula, sehingga dengan jumlah sedikit memberikan tingkat kemanisan yang sama dengan gula.
Food and Drug Administration (FDA), Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat menyatakan Aspartam disetujui dan dinyatakan aman untuk digunakan dalam makanan dan minuman sebagai pemanis nutrisi. Ada lebih dari 100 penelitian mendukung hal ini.
Otoritas Keamanan Pangan Eropa, The European Food Safety Authority (EFSA ) juga menyatakan "Studi tidak menunjukkan peningkatan risiko yang terkait dengan konsumsi aspartam untuk leukemia, tumor otak atau berbagai kanker, termasuk kanker otak, limfatik dan hematopoietik (darah)."
[CEK FAKTA] Tangkapan layar surat BPOM berisi batasan maksimum produk yang menggunakan kandungan Aspartame
Meski aman dikonsumsi, Ilmuwan FDA mengatakan orang dengan penyakit keturunan langka fenilketonuria (PKU) yang mengalami kesulitan metabolisme fenilalanin dan komponen aspartam harus mengontrol asupan fenilalanin dari semua sumber, termasuk aspartam.
Kesimpulan
Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan bahwa pesan berantai aspartame mengandung racun yang menyebabkan wabah pengerasan otak adalah keliru. Kandungan Aspartame dalam minuman instan kemasan aman untuk dikonsumsi dengan batas maksimum 5500 mg/kg produk. Pesan berantai tersebut tidak berasal dari Ikatan Dokter Indonesia.
Rujukan
- https://nasional.tempo.co/read/225416/bahan-pemanis-aspartam-dinyatakan-aman
- https://nasional.tempo.co/read/314517/hati-hati-pesan-hoax-soal-bahaya-aspartam
- https://asrot.pom.go.id/img/Peraturan/Surat%20Edaran%20Pemanis_2017.pdf
- https://www.cancer.org
- https://www.fda.gov/food/food-additives-petitions/additional-information-about-high-intensity-sweeteners-permitted-use-food-united-states
- https://www.efsa.europa.eu/en/corporate/pub/factsheetaspartame
(GFD-2022-10348) Menyesatkan, Varian Baru Covid-19 dari India Hanya Bisa Dideteksi dengan Scan Paru-Paru
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 21/06/2022
Berita
Beredar informasi yang menyatakan bahwa rapid tes, swab antigen dan swab PCR tidak dapat mendeteksi varian baru Covid-19 dari India B.1.617. Varian tersebut diklaim hanya dapat dideteksi dengan scan paru-paru atau low dose CT scan paru.
Selain itu, juga disebut bahwa varian tersebut memiliki gejala unik yang tidak menimbulkan gejala panas, tapi menyerang langsung ke paru.
“Kepada teman-teman yang cari nafkah di bidang yang sering "bertemu dengan orang",
varian baru yang ditemukan di India (B 1617) memiliki gejala yang unik tidak menimbulkan panas tapi virus varian baru ini menyerang langsung ke paru-paru. Tes-tes yang ada (rapid, swab antigen maupun swab PCR), semua hasilnya negatif,
hanya LDCT (low dose CT Scan paru) Scan paru-paru yang bisa mendeteksi varian baru ini. Biasanya langsung sesak napas dan 1~2 hari meninggal dunia,” demikian isi pesan berantai tersebut.
Pesan berantai itu menyebutkan sumber informasi berasal dari situs berita Kompas.com berjudul Kemenkes: Varian B.1.1.7, B.1.617, dan B.1.351 Sudah Masuk Indonesia.
Tangkapan layar pesan berantai dengan klaim Varian Baru Virus Corona dari India Hanya Bisa Dideteksi dengan Scan Paru-Paru.
Hasil Cek Fakta
Tempo memeriksa berita dari Kompas.com berjudul Kemenkes: Varian B.1.1.7, B.1.617, dan B.1.351 Sudah Masuk Indonesia. Berita tersebut dimuat pada 3 Mei 2021. Di dalam berita tersebut tidak menyebutkan varian baru virus Corona B.1.617 asal India atau yang dinamai varian delta hanya dapat dideteksi dengan scan paru-paru. Juga tidak ada keterangan bahwa varian baru tersebut langsung menyerang paru-paru tanpa menimbulkan gejala panas.
Berita Kompas.com tersebut memuat pernyataan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Dia menerangkan tiga varian virus corona dari luar negeri kini telah masuk di Indonesia. Ketiganya yakni varian B.1.1.7 asal Inggris, varian mutasi ganda B.1.617 asal India, serta B.1.351 yang berasal dari Afrika Selatan.
Pada 18 Juni 2021, Tempo telah mempublikasikan pernyataan ahli yang membantah klaim dalam pesan berantai tersebut. Ahli patologi klinik Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Ardyanto. Menurutnya, Kementerian Kesehatan India sudah menegaskan bahwa pada dasarnya Covid-19 varian Delta memiliki sifat yang sama dengan varian asli.
Tonang menjelaskan bahwa varian Delta memang mampu menghindar dari imun tubuh (evade the immune system) karena ada perubahan terutama pada bagian protein S. Perubahan itu lebih dalam hal bentuk dari Receptor Binding Domain (RBD) dan posisinya. “RBD ini yang menjadi titik ikatan dengan ACE-2 receptor dalam sel tubuh manusia,” ujar dia saat dihubungi, Jumat, 18 Juni 2021.
Dengan perubahan bentuk dan posisi itu, jadi tersembunyi dari pengawasan sistem imun, sehingga bisa berikatan dengan ACE receptor. Bila sudah berikatan, berarti bisa "menguasai sel" kemudian berkembang dan menyebar. Karena sistem imun luput mengawasi, maka tidak timbul gejala.
“Baru ketika persebaran sudah meluas, timbul gejala. Akibatnya memberi kesan ‘kok langsung berat’. Karena beratnya akibat pada jaringan, maka terdeteksi dengan teknik pencitraan (imaging),” tutur Tonang.
Sementara, cara PCR mendeteksi Covid-19, menggunakan pengenalan target gen dengan susunan nukleotida empat huruf, ACTG. Varian virus masih bisa terdeteksi karena dua alasan. Pertama, walaupun ada perubahan dari susunan ACTG, tapi sampai batas tertentu, PCR masih bisa membacanya. Kecuali, kata Tonang, kalau perubahannya sudah begitu kompleks.
Kedua, PCR untuk tes Covid-19 menggunakan target tidak hanya 1 gen. WHO mensyaratkan minimal 2 target gen. Bahkan kadang sampai 3 target. Maka, seandainya terjadi mutasi pada gen S, masih ada target lain yang rendering tidak signifikan mutasinya.
Di Indonesia, hampir semua tidak menggunakan target gen S. Rata-rata menggunakan target N, E, RdRp dan Orf1ab. Maka sampai saat ini masih mampu mendeteksi adanya varian tersebut. “Tentu, tetap harus terus dipantau seberapa pergerakan mutasi itu, apakah sudah sampai ke target-target gen selain gen S, dan seberapa kompleks perubahannya.”
Untuk tes antigen, rata-rata menggunakan target protein N. Dari RNA jadi protein ada proses translasi. Menurut Tonang yang juga dosen ilmu patologi klinik di UNS itu, ada penyandian code setiap 3 nucleotide menjadi asam amino.
Hanya saja, dia berujar, satu asam amino itu bisa disandi oleh beberapa kombinasi kode 3 huruf. Maka ketika terjadi mutasi, hampir tidak sampai mengubah asam amino yang dihasilkan. Maka protein yang terbentuk juga masih sama.
“Masalah baru timbul bila mutasi di protein N untuk antigen tersebut mengalami perubahan kompleks sampai berubah struktur proteinnya,” kata Tonang.
Dan untuk tes antibodi, menyesuaikan bentuk protein dari virus. Bila memang sudah teridentifikasi suatu mutasi dan perubahannya yang signifikan mengganggu tes antibodi, secara teknologis segera bisa dilakukan penyesuaian terhadap probe (penjejak) untuk tes antibodi. “Sekali lagi, apapun variannya, apapun mutasinya, yang penting hindari masuk tubuh kita,” ujar dia menambahkan.
Sementara, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menanggapi singkat saja, dan menyatakan bahkan tes swab PCR masih mampu mendeteksi varian Delta. “Tidak benar (pesan itu), masih bisa kok (PCR deteksi Covid-19 varian Delta),” tutur Ari yang juga Dekan FKUI itu.
Gejala varian delta
Dikutip dari laman Primaya Hospital, secara umum varian delta memiliki gejala yang sama dengan varian virus corona lainnya. Namun gejala yang dialami satu orang sangat mungkin berbeda dengan gejala orang lain. Bahkan ada orang yang terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala sama sekali. Gejala umum Covid-19 meliputi demam, batuk berkelanjutan, napas pendek, kelelahan ekstrem, kehilangan daya penciuman dan perasa.
Namun beberapa riset menyebutkan ada beberapa gejala lain yang khas, misalnya nyeri otot, sakit kepala, radang tenggorokan, hidung tersumbat atau meler, diare, sakit perut, kehilangan nafsu makan dan kemampuan pendengaran berkurang.
Kesimpulan
Dari pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa varian delta hanya dapat dideteksi dengan scan paru-paru, adalah menyesatkan. Informasi tersebut tidak berasal dari dari Kompas.com, sebagaimana yang diklaim sebagai sumber. Faktanya, varian delta masih bisa dideteksi dengan tes antigen dan PCR.
Rujukan
(GFD-2022-10347) Tidak Terbukti, Kulit Lemon 10.000 Kali Lebih Kuat Daripada Kemoterapi untuk Membunuh Sel Kanker
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 20/06/2022
Berita
Klaim bahwa kulit lemon beku memiliki kemampuan ajaib untuk membunuh sel kanker beredar melalui pesan berantai. Klaim tersebut dibagikan dengan narasi bahwa senyawa yang terkandung dalam kulit lemon menunjukkan efek 10.000 kali lebih baik daripada produk Adriamycin, obat kemoterapi yang biasa digunakan untuk memperlambat pertumbuhan sel kanker.
Informasi tersebut diklaim bersumber dari salah satu produsen obat terbesar di dunia telah melakukan lebih dari 20 tes laboratorium sejak tahun 1970. Ekstrak kulit lemon disebutkan dapat menghancurkan sel-sel ganas di 12 kanker, termasuk usus besar, payudara, prostat, paru-paru & pankreas.
[CEK FAKTA] Tangkapan layar pesan berantai dengan klaim Kulit Lemon 10.000 Kali Lebih Kuat Daripada Kemoterapi untuk Membunuh Sel Kanker
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo menelusuri informasi terkait melalui sejumlah situs kredibel dengan menggunakan kata kunci “kulit lemon terbukti melawan kanker” pada mesin pencari Google. Hasilnya, klaim tersebut telah beredar sejak 2011 dan belum ada penelitian yang pernah dilakukan institusi ilmiah maupun medis yang kredibel untuk membandingkan efektivitas lemon dengan kemoterapi.
Dilansir dari center4research.org, klaim bahwa kulit lemon 10.000 kali lebih baik dari pada kemoterapi untuk membunuh sel kanker, tidak benar. Lemon bukanlah "obat yang terbukti melawan semua jenis kanker," dan tidak ada penelitian yang pernah dilakukan yang membandingkan efektivitas lemon dengan kemoterapi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lemon dan buah jeruk lainnya memiliki zat alami yang mungkin memiliki sifat melawan kanker, yaitu pektin jeruk yang dimodifikasi dan limonoid. Sifat-sifat ini belum diuji pada manusia.
Limonoid adalah bahan kimia yang ditemukan dalam kulit jeruk yang bertanggung jawab atas rasa pahit lemon. Penelitian telah menemukan bahwa pada tingkat yang sangat tinggi, limonoid mampu memperlambat pertumbuhan sel kanker dan menginduksi apoptosis (kematian sel).
Namun, penelitian telah difokuskan pada hewan dan kultur kanker payudara manusia in vitro (sel kanker payudara dikeluarkan dari tubuh manusia dan dipelajari di laboratorium). Akibatnya, ada sedikit informasi tentang efektivitas limonoid dalam mencegah atau memerangi kanker pada manusia.
Meskipun lemon memiliki manfaat kesehatan, klaim bahwa "lemon adalah obat yang terbukti melawan semua jenis kanker" dan "lemon 10.000 kali lebih kuat daripada kemoterapi" tentu saja salah.
Selain itu, sementara beberapa penelitian telah melihat sifat anti-karsinogenik dari pektin dan limonoid jeruk yang dimodifikasi dan menemukan beberapa hasil yang menjanjikan, namun tidak cukup penelitian yang dilakukan untuk membuktikan efeknya pada manusia.
Dilansir dari nationalacademies.org, harapan bahwa lemon dapat membantu mengobati kanker sebagian besar didasarkan pada molekul yang disebut limonene. Limonene ditemukan dalam minyak di kulit lemon dan buah jeruk lainnya.
Namun, tidak ada bukti yang konsisten bahwa penderita kanker yang mengonsumsi limonene—baik dalam bentuk suplemen atau dengan mengonsumsi buah jeruk—menjadi lebih baik atau lebih mungkin untuk disembuhkan.
Klaim bahwa limonene dapat melawan kanker didasarkan pada penelitian laboratorium tentang sel kanker yang tumbuh di piring. Dalam beberapa penelitian tersebut, limonene tampaknya memperlambat, memblokir, atau membantu membunuh beberapa jenis sel kanker yang tumbuh di laboratorium.
Beberapa penelitian pada tikus juga menunjukkan bahwa limonene dapat memperlambat pertumbuhan beberapa tumor, termasuk kanker hati, usus besar, dan pankreas.
Hasil dalam tes laboratorium dan tikus tidak selalu mencerminkan bagaimana sesuatu akan bekerja pada manusia. Beberapa uji klinis kecil telah menguji apakah limonene dapat membantu penderita kanker, tetapi tidak ada yang menunjukkan bahwa limonene membantu mencegah atau mengobati kanker manusia.
Lemon dapat menjadi bagian dari diet sehat selama pengobatan kanker. Namun, mereka belum terbukti efektif dalam mengobati atau menyembuhkan kanker.
Pada 2011, organisasi cek fakta Snopes.org telah memeriksa klaim tersebut. Menurut Snopes, hal terbaik yang dapat dikatakan pada saat ini adalah bahwa buah jeruk berpotensi mengandung sifat anti-kanker yang dapat membantu menangkal kanker.
Tidak ada penelitian ilmiah atau medis yang bereputasi telah melaporkan bahwa lemon secara pasti telah ditemukan sebagai "obat yang terbukti melawan semua jenis kanker," juga tidak ada "produsen obat terbesar di dunia" (yang tidak disebutkan namanya) yang melaporkan menemukan bahwa lemon "10.000 kali lipat. lebih kuat dari kemoterapi” dan bahwa konsumsinya dapat “menghancurkan sel-sel [kanker] ganas”.
Semua klaim tersebut adalah hiperbola dan berlebihan yang tidak didukung oleh fakta.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa kulit lemon 10.000 Kali lebih kuat daripada kemoterapi untuk membunuh sel kanker, tidak terbukti. Klaim tersebut telah beredar sejak 2011 dan belum ada penelitian yang pernah dilakukan institusi ilmiah maupun medis yang kredibel untuk membandingkan efektivitas lemon dengan kemoterapi.
Rujukan
Halaman: 4838/6838




