• (GFD-2019-3332) [KLARIFIKASI] “Sosok misterius Oligarki?”

    Sumber: Sosial Media
    Tanggal publish: 25/11/2019

    Berita

    Yang ditanyakan oleh SUMBER adalah patung Jenderal Sudirman, pada tahun 2013 (masa Presiden SBY) patung tersebut sudah menempati posisinya seperti saat ini.

    NARASI

    “Sosok misterius siapa ini di belakang Pak Jokowi? Oligarki?”

    Hasil Cek Fakta

    PENJELASAN



    “Patung Jenderal Sudirman berukuran cukup besar mengenakan pakaian ciri khasnya dengan bentuk pose sedang berdiri tegap dan tangan kanannya memegang tongkat. Pada bagian bawah patung tersebut terdapat plakat berisi keterangan patung tersebut. Tidak diketahui persis sejak kapan patung tersebut berada di dalam Istana Merdeka namun pada tahun 2013 (masa Presiden SBY) patung tersebut memang sudah menempati posisinya seperti saat ini.”

    Selengkapnya di http://bit.ly/2D6dQLk / http://archive.md/vitLp (arsip cadangan).

    ======

    REFERENSI

    (1) Beberapa artikel dengan foto dan video yang berkaitan,


    * detikNews: “Jokowi Diminta Tepati Janji, Prabowo Diminta Tobat”, selengkapnya di http://bit.ly/2OCkBJZ / http://archive.md/qsQDJ (arsip cadangan).

    * CNN Indonesia: “Surya Paloh Duga Demo Besar karena Ada yang Tak Suka Jokowi”, selengkapnya di http://bit.ly/2OgAyqB / http://archive.md/Lj4RB (arsip sumber).


    * Merdeka.com: “Gerindra ingin hubungan SBY dan Megawati seperti Jokowi dan Prabowo”, selengkapnya di http://bit.ly/339bkyx / http://archive.md/zflBg.

    * TEMPO.CO: “Begini Imbauan Jokowi dan Jusuf Kalla soal Demo 4 November”, selengkapnya di http://bit.ly/2XC4S1Q.


    * CNN Indonesia: “Melongok Istana Bersolek Jelang Hari Kemerdekaan” (galeri, foto ke 9), selengkapnya di http://bit.ly/34kioK8 / http://archive.md/lwvbw.

    Rujukan

  • (GFD-2019-3331) [SALAH] Gara-gara Tamu Asing Sering ke Kantor Anies daripada ke Istana Presiden, Ibukota pun Dipindah

    Sumber: Sosial Media
    Tanggal publish: 23/11/2019

    Berita

    Bukan karena tamu asing sering ke kantor Anies Baswedan. Alasan rencana pemindahan ibukota pemerintahan karena pemerintah menilai beban di Pulau Jawa terlalu berat. Rencana pemindahan ibukota ini sendiri sebenarnya sudah berulang kali diwacanakan sejak era pemerintahan Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia.


    Beredar artikel berjudul “Gara-gara Tamu Asing Sering ke Kantor Anies daripada ke Istana Presiden, Ibukota pun Dipindah” yang dimuat di situs mediavalid.online.

    Berikut isi artikel tersebut:

    “Laman media sosial Anies Baswedan sering memposting foto-foto tamu asing yang sedang berkunjung. Terlihat Gubernur DKI Jakarta tersebut dengan luwes bercengkrama.

    Sangat berbeda dengan Presiden RI yang terlihat kaku jika berkomunikasi dengan tamu asing. Bahkan cenderung menghindari acara-acara resmi yang digelar di luar negeri.
    Bahkan karena terlalu seringnya Anies menerima kunjungan dari negara luar, Jokowi disebut warganet ngambek dan ingin memindahkan Ibukota Jakarta.

    “Mengapa tamu dari luar negeri nggak mau singgah ke istana presiden? Kok malah ke kantor Gubernur DKI Jakarta?,” tanya seorang warganet dengan usil.
    “Gara-gara itu ibukota Jakarta mau dipindah ke luar Jawa,” sambung yang lain.”

    Hasil Cek Fakta

    PENJELASAN

    Berdasarkan hasil penelusuran dengan menggunakan kata kunci “alasan pemindahan ibukot Indonesia”, tidak ditemukan klaim yang sama dengan judul dan artikel yang dimuat di situs itu.

    Alasan pemerintah memindahkan ibukota pemerintahan salah satunya dimuat di situs nasional.republika.co.id pada Senin 26 Aug 2019 15:18 WIB dengan judul “Presiden Jokowi: Beban Pulau Jawa Terlalu Berat”

    Pemerintah telah memutuskan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur sebagai kawasan ibu kota baru pemerintahan karena menilai beban di Pulau Jawa terlalu berat.

    “Beban Pulau Jawa yang semakin berat dengan penduduk sudah 150 juta atau 54 persen dari total penduduk Indonesia dan 58 persen PDB ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa,” kata Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers terkait rencana pemindahan ibu kota di Istana Negara, Jakarta pada Senin (26/8).

    Menurut Jokowi, beban Kota Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan dan bisnis sudah sangat padat. Pemerintah telah melakukan kajian kepada sejumlah calon kawasan ibu kota dan menilai jika ibu kota pemerintahan tetap di Pulau Jawa maka bebannya akan semakin berat.

    Indonesia, ujar Presiden, membebankan pusat ekonomi dan pusat pemerintahan di Pulau Jawa sehingga kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan air sudah sangat parah.

    “Ini bukan kesalahan pemerintah Provinsi DKI, bukan. Tapi karena besarnya beban yang diberikan perekonomian Indonesia kepada Pulau Jawa dan Kota Jakarta. Kesenjangan ekonomi antara Pulau Jawa dan luar Jawa yang terus meningkat meski pun sejak 2001 sudah dilakukan otonomi daerah,” ujar Presiden menjelaskan perlunya pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa.

    Pemerintah telah melakukan kajian rencana pemindahan ibu kota selama tiga tahun terakhir.

    “Hasil kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, ” kata Presiden. Terdapat lahan seluas 180 ribu hektare di Provinsi Kaltim yang dimiliki oleh pemerintah.

    Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menjelaskan diperlukan lahan seluas 3.000 hektare untuk pembangunan kantor pemerintahan sebagai tahap pertama pembangunan kawasan ibu kota.

    Selain itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan salah satu skema pembiayaan untuk pembangunan sarana infrastruktur antara lain jalan, bandara dan pelabuhan di ibu kota baru akan dibiayai BUMN dalam bentuk investasi.

    Sedangkan estimasi cost project dan pembiayaan fisik ibu kota baru akan menggunakan pembiayaan dari tiga sumber yakni APBN, skema kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan skema kerja sama pemanfaatan atau pihak swasta. Menurut Kementerian PPN, estimasi total biaya proyek (cost project) dan pembiayaan fisik ibu kota negara mencapai Rp466 triliun.

    Estimasi total biaya itu terdiri atas tiga sumber pembiayaan yakni APBN sebesar Rp 74,44 triliun, skema KPBU Rp 265,2 triliun, dan swasta melalui skema kerja sama pemanfaatan sebesar Rp 127,3 triliun.

    Jokowi mengatakan pemindahan Ibu Kota bukanlah wacana baru. “Gagasan pemindahan Ibu Kota sudah lama muncul sejak era Presiden Soekarno. Sampai di setiap era presiden pasti muncul gagasan itu,” kata Jokowi.

    Menurut mantan Gubernur DKI itu, wacana pemindahan selalu timbul lalu tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang. Padahal, beberapa negara sudah mulai mengantisipasi perkembangan negaranya di masa yang akan datang dengan memindahkan pusat pemerintahan. “Saya kira kita contohkan banyak sekali, baik Malaysia, Korea Selatan, Brasil, Kazakhstan. Kita ingin kita berpikir visioner untuk kemajuan negara ini,” ujarnya.

    Pemindahan Ibu Kota negara pernah disebut dua kali oleh Presiden pertama, Sukarno. Pertama, saat meresmikan Palangka Raya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Saat itu, Bung Karno ingin merancangnya menjadi ibu kota negara. Hal itu menurut Bung Karno sudah tertuang dalam masterplan yang ia buat sendiri dalam pembangunan kota tersebut pada masa kemerdekaan.

    Kedua, dengan gaya retorikanya Bung Karno kembali menyebut Palangka Raya sebagai calon ibu kota negara pada Seminar TNI-AD I di Bandung pada 1965.

    Di era kepemimpinan Soeharto, gagasan pemindahan ibu kota muncul kembali dengan mengusulkan daerah Jonggol, Bogor, sebagai Ibu Kota negara.

    Pemindahan ibu kota kembali ramai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2010. Waktu itu SBY menawarkan tiga opsi untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota maupun pusat pemerintahan dengan pembenahan total.

    Kedua, Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain. Presiden waktu itu mencontohkan Malaysia, yang beribu kota di Kuala Lumpur tapi pusat pemerintahannya di Putrajaya. Terakhir, membangun ibu kota baru, seperti Canberra (Australia) dan Ankara (Turki).

    Opsi itu muncul kembali setelah Jakarta dilanda banjir besar pada 2013. “Presiden tak tabu membicarakan pemindahan ibu kota,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah di era SBY, Velix Wanggai.

    Di era pemerintahan Jokowi, wacana tersebut muncul pada 2017, kemudian dibahas lagi pada 2018, dan terakhir dalam ratas pada Senin kemarin. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menawarkan tiga alternatif kajian pemindahan Ibu Kota. Alternatif pertama, ibu kota tetap di Jakarta, namun dibangun distrik khusus pemerintahan di Istana dan Monas. Alternatif kedua, ibu kota berada di kawasan Jabodetabek. Sedangkan alternatif ketiga berada di Pulau Jawa.

    Dari ketiga alternatif tersebut, Jokowi memilih alternatif terakhir yaitu memindahkan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. “Kalau saya, alternatif satu dan dua sudah tidak,” katanya.

    Rujukan

  • (GFD-2019-3330) [SALAH] Maruf Ingin Cegah Radikalisme Sejak Tingkat PAUD, “Jauhkan Anak-Anak Dari Al-Quran”

    Sumber: Media Online
    Tanggal publish: 23/11/2019

    Berita

    Beredar sebuah artikel melalui Blogspot yang mempunyai logo mirip dengan salah satu media daring di Indonesia. Dalam artikel yang diterbitkan, terdapat judul yang diberi tanda kutip mengenai perintah agar Al-Quran dijauhkan dari anak-anak. Namun apabila dibaca lebih lanjut mengenai isi yang terdapat dalam artikel, tidak ditemukan kutipan seperti halnya yang tertera dalam judul.

    Hasil Cek Fakta



    PENJELASAN: Beredar sebuah artikel yang disebarkan melalui blogspot dengan logo yang dibuat mirip dengan salah satu media daring di Indonesia yakni merdeka.com. Artikel merdekaind.blogspot.com mempunyai logo yang serupa dengan merdeka.com. Artikel yang disebarkan kali ini merujuk kepada pemberitaan Ma’ruf Amin yang ingin melakukan pencegahan radikalisme sejak tingkat PAUD.

    Merdekaind.blogspot.com menerbitkan artikel dengan judul “Ma’ruf Ingih Cegah Radikalisme Sejak Tingkat PAUD, “Jauhkan Anak-Anak Dari Al-Quran””. Judul tersebut tentu bisa menggiring opini bahwa Ma’ruf Amin memberikan instruksi untuk menjauhkan anak-anak dari Al-quran. Padahal jika melihat isi artikel, tidak ditemukan ucapan Ma’ruf Amin terkait dengan menjauhkan Al-quran dari anak-anak.

    Dan jika melakukan pencarian mengenai pemberitaan serupa, diketahui bahwa isi dalam artikel merdekaind.blogspot.com serupa dengan isi berita yang diterbitkan oleh cnnindonesia.com. Apabila cnnindonesia.com memberi judul “Ma’ruf Ingin Cegah Radikalisme Sejak Tingkat PAUD”, lain halnya dengan merdekaind.blogspot.com yang ditambah dengan kutipan yang tidak sesuai dengan fakta.

    Lantaran tidak ditemukan pernyataan seperti halnya yang terdapat dalam judul pemberitaan merdekaind.blogspot.com. Hal tersebut pun mengacu kepada koneksi yang salah. Dalam artian, judul pemberitaan yang juga terdapat kutipan tidak sesuai dengan isi di dalam konten.

    Rujukan

  • (GFD-2019-3329) [SALAH] Anies Diberi Gelar Kehormatan oleh Perkumpulan Tiong Hoa dg Nama Liem Ay Bon

    Sumber: Sosial Media
    Tanggal publish: 23/11/2019

    Berita

    Tidak ada pemberian gelar kepada Anies Baswedan. Foto yang diunggah sumber adalah ketika Anies menghadiri acara Festival Pecinan Cap Go Meh di Grogol, Jakarta Barat, Sabtu 3 Maret 2018. Aksara mandarin yang dipegang Anies berbunyi “Feng Tiao Yu Shun”. Kalimat itu berisi pribahasa yang berarti “Angin dan Hujan Cocok untuk Pertumbuhan Tanaman”, ini bisa merujuk pada makna perdamaian dunia.

    Akun Joe Paijoe (fb.com/stefanus.robbie.3) menunggah sebuah gambar dengan narasi :

    “Haiiiyaaa…Selamat kpd Wan Abud atas gelar Kehormatannya & punya nama Tiong Hoa: “LIEM AY BON”
    Panggilannya Engkong Ay Bon
    #LemAiBon.”

    Serta narasi dalam gambar :

    “Anies Diberi Gelar Kehormatan oleh Perkumpulan Tiong Hoa dg Nama Liem Ay Bon”

    Di dalam gambar tersebut, tampak Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang sedang mengangkat semacam kain merah. Kain merah itu bertuliskan aksara mandarin.

    Hasil Cek Fakta

    PENJELASAN

    Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh Tim Cek Fakta Medcom.id, foto Anies mengangkat kain merah bertuliskan aksara mandarin diambil saat acara Festival Pecinan Cap Go Meh di Grogol, Jakarta Barat, Sabtu 3 Maret 2018.

    Foto identik ditemukan pada beberapa situs berita, seperti tayang di Inews.id melalui artikel berjudul “Anies-Sandi Pakai Baju Cheongsam Warna Emas di Festival Cap Go Meh”. Foto serupa juga ditemukan di IDN Times lewat artikel berjudul “Festival Pecinan Cap Go Meh”.

    Pada versi foto utuh, tak hanya Anies, mantan Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno juga hadir dalam acara tersebut. Terlihat, Sandi juga memegang kain merah bertuliskan aksara mandarin.

    Aksara mandarin yang dipegang Anies berbunyi “Feng Tiao Yu Shun”. Kalimat itu berisi pribahasa yang berarti “Angin dan Hujan Cocok untuk Pertumbuhan Tanaman”, ini bisa merujuk pada makna perdamaian dunia.

    Sementara itu, aksara mandarin yang dipegang Sandi berbunyi “Guo Tai Min An”. Kalimat ini bermakna “Negara Damai, Rakyat Bahagia”.

    Foto Anies memegang kain bertuliskan aksara mandarin adalah benar. Namun, klaim yang menyertai foto tersebut bahwa Anies mendapat gelar kehormatan dan diberi nama tionghoa ‘Liem Ai Bon’ adalah hoaks.

    Kabar bohong tersebut masuk dalam kategori satire atau parodi. Konten hoaks jenis ini biasanya tidak memiliki potensi atau kandungan niat jahat, namun bisa mengecoh.

    Satire merupakan konten yang dibuat untuk menyindir pada pihak tertentu. Kemasan konten berunsur parodi, ironi, bahkan sarkasme. Secara keumuman, satire dibuat sebagai bentuk kritik terhadap personal maupun kelompok dalam menanggapi isu yang tengah terjadi.

    Sebenarnya, satire tidak termasuk konten yang membahayakan. Akan tetapi, sebagian masyarakat masih banyak yang menanggapi informasi dalam konten tersebut sebagai sesuatu yang serius dan menganggapnya sebagai kebenaran.

    Rujukan