(GFD-2020-8431) Keliru, Klaim Ini Video Ratusan Pasien Covid-19 yang Dirawat di Istora Senayan
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/12/2020
Berita
Video yang diklaim sebagai video ratusan pasien Covid-19 yang dirawat di Istora Senayan, Jakarta, viral. Dalam video berdurasi 26 detik ini, terlihat ratusan orang yang terbaring di atas tikar dan kasur di sebuah gelanggang olahraga (GOR). Di sejumlah titik, tampak beberapa petugas yang mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap.
Terdapat pula sebuah ruangan terpisah di salah satu bagian GOR itu yang disekat dengan triplek. Sementara GOR tersebut memiliki tribun penonton di keempat sisinya. Pagar tribun penonton itu pun diberi kawat berduri. Sebelumnya, video ini diklaim diambil dari GOR Lembupeteng, Tulungagung, Jawa Timur.
Gambar tangkapan layar video yang beredar di media sosial dan WhatsApp yang disebarkan dengan klaim keliru bahwa video itu diambil di Istora Senayan, Jakarta.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri dengan reverse image tool Source dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa video di atas bukan video ratusan pasien Covid-19 di Istora Senayan maupun di GOR Lembupeteng. Video itu diambil di Stadium Sukpa Indera Mahkota, Malaysia.
Video yang identik pernah diunggah ke Facebook oleh akun Kuantan pada 17 Desember 2020. Akun ini menulis narasi, “Stadium Sukpa Kuantan - Indera Mahkota....”
Tempo kemudian menelusuri pemberitaan tentang penempatan pasien Covid-19 di Stadium Sukpa, Kuantan, Malaysia. Hasilnya, ditemukan berita dari situs media Malaysia, Harian Metro, yang memuat foto Stadium Tertutup, Sukpa Indera Mahkota. Interior stadion ini sama dengan yang terlihat dalam video yang beredar, termasuk kawat berduri yang dipasang di pagar tribun. Warna lantai stadion ini pun sama dengan yang terlihat dalam video yang beredar.
Foto itu dimuat oleh Harian Metro pada 16 Desember 2020 dalam beritanya yang berjudul "312 pesakit Covid-19 ditempatkan di PKRC Sukpa, MAEPS". Foto itu pun diberi keterangan "PUSAT Kuarantin dan Rawatan Covid-19 (PKRC) di Stadium Tertutup, SUKPA Indera Mahkota. Foto arkib NTSP."
Menurut laporan Harian Metro, Direktur Dewan Keamanan Negara (MKN) Pahang Mohd Zairasyahli Shah Zakaria mengatakan, PKRC Sukpa bisa menampung 200 pasien Covid-19 risiko rendah. PKRC Sukpa mulai menerima dan merawat pasien Covid-19 risiko rendah sejak 11 Desember 2020.
Berdasarkan arsip berita Tempo, Kepala Unit Istora Senayan Jujuk Bandung Windargo pun telah membantah kabar adanya pasien Covid-19 yang menempati area lapangan indoor Istora GBK (Gelora Bung Karno). "Itu video hoaks," kata Jujuk saat dihubungi pada 28 Desember 2020. Menurut Jujuk, saat ini, tidak ada penghuni di Istora Senayan. "Kosong, tidak ada apa-apa karena belum ada event atau kegiatan," ujarnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia juga menyatakan tak tahu-menahu ihwal video tersebut. Dia berujar, lokasi yang dihuni orang-orang itu bukan tempat isolasi tambahan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pasien Covid-19. "Bukan (tempat isolasi tambahan dari DKI)," ujarnya.
Dilansir dari Jatim Times, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tulungagung Galih Nusantoro juga memastikan video itu hoaks. “Hasil penelusurannya enggak di sekitar sini, enggak ada kontruksi itu di sekitar sini (Tulungagung),” ujar Galih pada 23 Desember 2020.
Dari posisi tribun (kursi penonton), tampak berbeda dibandingkan dengan tribun di GOR Lembupeteng. Dalam video itu, terlihat tribun berada di empat sisi GOR. Sementara di GOR Lembupeteng, tribun hanya berada di dua sisi, sisi utara dan sisi selatan.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video ratusan pasien Covid-19 yang dirawat di Istora Senayan, Jakarta, keliru. Video tersebut diambil di Stadium Sukpa Indera Mahkota, Malaysia, yang dijadikan lokasi perawatan dan isolasi pasien Covid-19 sejak pertengahan Desember 2020 lalu.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8430) Keliru, Screenshot Berita yang Memuat Pernyataan Gibran bahwa Jadi Pemimpin Tak Perlu Pintar
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/12/2020
Berita
Gambar tangkapan layar atau screenshot berita dengan judul yang memuat pernyataan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, beredar di media sosial. Menurut judul itu, Gibran menyatakan bahwa menjadi pemimpin tidak perlu pintar. Judul tersebut berbunyi "Gibran: Kata Bapak Jadi Pemimpin Itu Tidak Perlu Pintar, Makanya Saya Akan Mencalonkan Diri Menjadi Walikota".
Dalam gambar tangkapan layar itu, terlihat bahwa berita tersebut dimuat pada 24 April 2020 pukul 11.46 WIB. Berita yang diketahui dimuat oleh situs media Kompas.com juga memuat foto Gibran yang mengenakan peci. Salah satu akun yang membagikan gambar itu adalah akun Facebook Afrie AR, tepatnya pada 20 Desember 2020. Akun ini pun menulis, "Gak perlu pintar."
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Afrie AR yang memuat klaim keliru terkait foto yang diunggahnya.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri sumber foto dalam gambar tangkapan layar berita tersebut dengan reverse image tool Source dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa gambar tangkapan layar di atas merupakan hasil suntingan.
Foto tersebut pernah dimuat oleh Kompas.com pada 24 April 2020 pukul 11.46 WIB, sama seperti yang terlihat dalam gambar tangkapan layar itu. Namun, judul asli berita ini adalah "Gibran: Bila Patuh Anjuran Pemerintah, Wabah Corona Segera Usai".
Redaksi Kompas.com pun telah memastikan bahwa gambar tangkapan layar yang beredar itu merupakan hoaks dan telah disunting bagian judulnya oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam berita yang aslinya, pada 24 April 2020, putra sulung Presiden Jokowi itu mengimbau agar para pemudik yang berada di perantauan untuk menahan diri terlebih dahulu seiring dengan adanya imbauan dari pemerintah terkait penyebaran Covid-19.
"Bagi teman-teman yang sedang berada di perantauan mohon menahan diri untuk tidak mudik terlebih dahulu. Karena kita tak tahu, jangan-jangan kita adalah OTG (Orang Tanpa Gejala)," kata Gibran dalam sebuah video di Solo, Jawa Tengah.
Alasan Gibran ikut pilkada
Gibran maju sebagai calon Wali Kota Solo dalam Pilkada 2020 setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Gibran dipasangkan dengan Teguh Prakosa. Dalam Pilkada Solo 2020, pasangan ini melawan Bagyo Wahyono-FX Supardjo.
Dilansir dari Kompas.com, Gibran memutuskan maju di Pilkada Solo setelah bertemu dengan Wali Kota Surakarta sekaligus Ketua DPC PDIP Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo. Dirinya menyatakan siap terjun ke dunia politik.
"Beberapa tahun terakhir ini saya mulai bertemu banyak orang. Saya beranggapan bahwa kalau begini-gini terus, orang yang bisa saya bantu itu cuma ya begini-gini saja," kata Gibran di Solo, Jawa Tengah, pada 1 November 2019.
"Misal, saya punya CSR, saya punya les Inggris gratis muridnya sudah ribuan. Kalau saya cuma jadi pengusaha, yang bisa saya bantu cuma ribuan saja. Kalau saya bisa masuk politik, yang bisa saya bantu ya kalau di Solo 600 ribu orang melalui kebijakan saya," katanya.
Sebagai wujud keseriusannya maju dalam Pilkada Solo 2020, Gibran pun mengatakan akan menyerahkan beberapa bisnis kepada sang adik, Kaesang Pengarap, anak ketiga Presiden Jokowi.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, gambar tangkapan layar berita yang memuat pernyataan Gibran bahwa jadi pemimpin tak perlu pintar, keliru. Redaksi Kompas.com telah memastikan bahwa gambar tangkapan layar yang berasal dari Kompas.com tersebut merupakan hasil suntingan. Judul asli berita itu adalah “Gibran: Bila Patuh Anjuran Pemerintah, Wabah Corona Segera Usai”, dimuat pada 24 April 2020 pukul 11.46 WIB.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8429) Tidak Terbukti, Vaksin Cina Akan Bunuh Warga Karena Timbulkan Efek ADE
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 23/12/2020
Berita
Video berita dengan teks yang mengklaim bahwa warga akan dibunuh dengan vaksin Cina beredar di Facebook. Video itu adalah video berita dari CNN Indonesia Jawa Timur yang berjudul "Potensi Bahaya Vaksin Covid-19". Video ini berisi penjelasan Chairul Anwar Nidom, guru besar Universitas Airlangga yang juga Ketua Tim Laboratorium Professor Nidom Foundation, tentang fenomena antibody-dependent enhancement (ADE).
ADE adalah peristiwa di mana peningkatan antibodi tidak efektif menetralisir virus yang dituju sehingga virus tersebut bisa tetap masuk ke sel, dan malah membuat infeksi di dalam sel lebih parah. Video ini pun diberi tulisan tambahan berwarna kuning yang berbunyi: "hati2,,, rakyat akan dibunuh vaksin Cina,,,!" Video ini dibagikan salah satunya oleh akun Tony Arianto, tepatnya pada 17 Desember 2020.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Tony Arianto yang memuat klaim yang belum terbukti kebenarannya terkait vaksin.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, video berita tersebut memang pernah dirilis CNN Indonesia pada 18 September 2020. Namun, dalam video tersebut, tidak ada penjelasan bahwa vaksin dari Cina akan membunuh warga, termasuk di Indonesia.
Berita tersebut memuat penjelasan seputar hasil penelitian Professor Nidom Foundation (PNF) tentang potensi antibody-dependent enhancement (ADE) pada virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Artinya, terdapat potensi peningkatan keganasan virus setelah vaksinasi.
Tempo pun meminta penjelasan lebih lanjut kepada Chairul Anwar Nidom terkait fenomena ADE itu. Menurut dia, efek ADE bisa terjadi pada SARS-CoV-2, tapi bisa juga tidak. Sehingga, hal ini perlu menjadi pertimbangan utama sebelum vaksin, apapun jenisnya, diberikan kepada masyarakat.
Menurut dia, ada dua macam vaksin yang akan diedarkan secara global, yaitu vaksin yang hanya membentuk antibodi humoral (darah), seperti vaksin Sinovac dan vaksin Sinopharm, serta vaksin yang membentuk antibodi humoral sekaligus antibodi selular, seperti vaksin Pfizer.
“Selama ini, yang pernah terjadi adanya efek ADE adalah pada vaksin yang menghasilkan antibodi humoral, seperti vaksin demam berdarah serta kandidat vaksin SARS yang diberikan kepada hewan monyet yang menimbulkan kerusakan paru (pneumonia) yang hebat,” kata Nidom pada 23 Desember 2020.
Menurut dia, penggunaan vaksin atas virus baru, seperti SARS-CoV-2, diperlukan kehati-hatian yang tinggi. “Jangan hanya mempertimbangkan proses pembuatan vaksinnya saja, tapi juga reaksi virusnya,” katanya. Vaksinasi, menurut dia, juga seharusnya bukan satu-satunya cara yang diambil.
Pasalnya, pengendalian Covid-19 dengan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak sudah sangat efektif, asal dilakukan dengan disiplin yang tinggi dari semua level masyarakat. “Masih ada kematian itu banyak terjadi akibat komorbid dan mekanisme di hilir (rumah sakit, dan lain-lain).”
Namun, kekhawatiran Nidom terkait ADE tersebut dibantah oleh Kusnandi Rusmil, profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menurut dia, fenomena ADE tidak terjadi pada SARS-CoV-2. Dia menegaskan fenomena ADE sudah menjadi perhatian dalam riset pengembangan vaksin Covid-19.
Hal itu termasuk vaksin Sinovac yang riset uji klinisnya di Bandung, Jawa Barat, dipimpin oleh Kusnandi. "ADE sejauh ini hanya terlihat pada Dengue dan sejenisnya dan tidak pada virus lain," kata Kusnandi dalam keterangan tertulisnya pada 5 Oktober 2020.
Fenomena ADE yang terlihat pada kasus MERS, SARS, Ebola, dan HIV, seperti juga dinyatakan dalam literatur Nidom, kata Kusnandi, hanya ditemukan in silico dan in vitro atau percobaan di cawan petri laboratorium. "Tidak menggambarkan fenomena di manusia," kata guru besar Ilmu Kesehatan Anak itu.
Untuk SARS-CoV-2, menurut Kusnandi, telah diselidiki sejak uji praklinis, dan kandidat vaksin yang ada dinyatakan aman dari fenomena ADE. Baik pada tikus maupun monyet yang menjadi model percobaan, tidak didapati patologi pada darah maupun paru-paru yang mungkin terjadi bila efek ADE eksis.
"Saat ini, sudah lebih dari 140 calon vaksin dibuat, sebagian di antaranya sudah dalam tahap uji klinis pada manusia, dan hingga saat ini belum ada bukti terjadinya ADE," katanya sambil menambahkan, "Namun, kewaspadaan dan monitoring terhadap keamanan vaksin tetap harus dilakukan."
Tidak ditemukan efek ADE dalam hasil uji klinis vaksin lain
Menurut organisasi cek fakta yang fokus pada isu kesehatan, Health Feed Back, dalam artikelnya pada 21 November 2020, meski secara teoritis ADE bisa muncul karena efek vaksin Covid-19, hasil uji klinis beberapa vaksin belum menunjukkan bahwa peserta yang menerima vaksin mengalami peningkatan keparahan penyakit dibandingkan yang tidak divaksin. Para ilmuwan terus mendorong pemantauan keamanan yang ketat untuk sepenuhnya menyingkirkan ADE sebagai efek samping potensial.
Sanjay Mishra, staf ilmuwan Pusat Medis Universitas Vanderbilt, menjelaskan belum ada peran pasti ADE dalam Covid-19, meski kekhawatiran atas hal itu muncul. Kandidat vaksin utama yang sejauh ini telah memasuki tahap uji coba fase 3 skala besar, seperti Moderna, Pfizer, dan AstraZeneca, tidak menunjukkan masalah keamanan yang serius. Namun, dia menyarankan untuk tetap mencermati bukti yang lebih baik untuk sepenuhnya menyingkirkan ADE, meski sejauh ini belum ada bukti ADE yang ditemukan.
Sebagai catatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat ( FDA ) telah memberikan izin penggunaan darurat vaksin Covid-19 yang dibuat oleh Pfizer bersama BioNTech. Keputusan ini didasarkan pada data lebih dari 43 ribu relawan yang telah menerima suntikan vaksin kedua. Vaksin itu disebut aman, di mana uji coba menemukan efek samping yang umum terjadi, seperti kelelahan, sakit kepala, demam, dan empat kasus bell’s palsy. Tidak ditemukan keparahan penyakit karena fenomena ADE.
Angeline Rouers, peneliti di Jaringan Imunologi Singapura, menjelaskan potensi ADE pada virus Corona baru lewat demonstrasi in vitro (simulasi komputer). Mekanisme in vivo mungkin berbeda, dan juga tidak ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat menginfeksi makrofag, sel yang berfungsi untuk menstimulasikan limfosit dan sel imun lainnya untuk merespon patogen.
"Faktanya, ADE adalah respons imun yang terkenal di kalangan ilmuwan dan dijelaskan dalam buku teks imunologi. ADE harus dinilai dari tahap paling awal pengembangan vaksin. Tidak ada yang disembunyikan dari publik. Jika ADE terdeteksi selama pengembangan vaksin, uji coba itu akan dihentikan. Kami tidak pernah bisa yakin 100 persen bahwa ini tidak akan terjadi pada tahap uji klinis selanjutnya. Tapi, dalam seluruh sejarah vaksin, fenomena ini sangat jarang terjadi,” kata Rouers.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Cina akan bunuh warga karena timbulkan efek ADE, belum terbukti. Meski pemerintah Indonesia telah mendatangkan 1,2 juta vaksin Sinovac, vaksin ini belum mengantongi izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sehingga belum diedarkan. Belum ada pula temuan di mana relawan uji coba vaksin Sinovac mengalami keparahan penyakit karena efek ADE. Selain itu, hasil uji klinis sementara pada vaksin Pfizer yang telah digunakan di Amerika Serikat dan Inggris juga tidak menunjukkan efek ADE. Meski begitu, pemantauan terhadap keamanan vaksin tetap harus menjadi perhatian utama.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin
- https://archive.is/NTNSb
- https://www.cnnindonesia.com/tv/20200918110220-403-547992/video-potensi-bahaya-vaksin-covid-19
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-pfizer
- https://tekno.tempo.co/read/1393160/guru-besar-unpad-bantah-profesor-unair-soal-fenomena-ade-virus-covid-19/full&view=ok
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://healthfeedback.org/claimreview/no-evidence-that-covid-19-vaccines-cause-more-severe-disease-antibody-dependent-enhancement-has-not-been-observed-in-clinical-trials/
- https://www.nature.com/articles/d41586-020-03542-4
- https://www.tempo.co/tag/cina
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-sinovac
(GFD-2020-8428) Keliru, Klaim Ini Foto Pohon Natal yang Dipasang di Halaman Istana Negara pada 2020
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 22/12/2020
Berita
Foto yang diklaim sebagai foto pohon Natal yang dipasang di halaman Istana Negara pada Desember 2020 beredar di media sosial. Menurut klaim yang menyertai foto tersebut, dipasangnya pohon Natal di halaman Istana Negara ini adalah untuk yang pertama kalinya sejak Indonesia merdeka pada 1945.
"Puji Tuhan untuk pertama kalinya pohon Natal di pasang di halaman Istana Negara Indonesia! Semenjak Indonesia merdeka di tahun 1945! Pemerintahan Jokowi hebaatt," demikian narasi yang tertulis di bawah foto itu.
Di Facebook, foto tersebut diunggah salah satunya oleh akun Hadi Wijaya, tepatnya pada 19 Desember 2020. Akun ini menulis narasi, "#INFO_VALID." Hingga artikel ini dimuat, foto tersebut telah mendapatkan lebih dari 3 ribu reaksi dan 400 komentar serta dibagikan lebih dari 100 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hadi Wijaya yang memuat klaim keliru terkait foto unggahannya.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, ditemukan informasi bahwa foto tersebut telah beredar sejak 2014. Foto itu pun diambil di halaman Balai Kota DKI Jakarta, bukan di halaman Istana Negara.
Foto yang identik dengan kualitas yang lebih baik pernah diunggah ke Twitter oleh akun @muhtarom pada 14 Desember 2014. Akun ini juga menulis narasi bahwa dua pohon Natal itu berdiri di halaman Istana Negara. Pohon-pohon Natal itu berada di sisi kiri dan kanan kolam serta tiang bendera. Pohon tersebut dilengkapi dengan ornamen dan lampu hias khas Natal.
Namun, tata letak halaman ini bukan tata letak halaman Istana Negara, melainkan halaman Balai Kota DKI Jakarta. Foto-foto halaman dengan pohon Natal yang serupa pernah dimuat oleh situs media Aktual.com pada 16 Desember 2014. Foto itu terdapat dalam berita yang berjudul "Jakarta Dipimpin Ahok, Halaman Kantor Gubernur Berdiri 2 Pohon Natal".
Tempo kemudian menelusuri pemberitaan tentang pemasangan dua pohon Natal di Balai Kota DKI Jakarta di era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu. Berdasarkan arsip berita Tempo, Ahok mengatakan pemasangan dua pohon Natal di halaman kantornya ini dilakukan oleh Panitia Perayaan Natal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Panitia, kata Ahok, sudah meminta izin kepadanya untuk meletakkan pohon Natal di depan Pendapa Utama Blok B Balai Kota. "Saya bilang silakan saja," tutur Ahok di Balai Kota, Senin, 22 Desember 2014. Pantauan Tempo, sepasang pohon Natal setinggi 3 meter itu diletakkan di sisi kolam air mancur. Pohon tersebut dilengkapi dengan ornamen dan lampu hias khas Natal.
Staf rumah tangga Pemerintah DKI Jakarta, Mansyur, mengatakan pemasangan pohon Natal di halaman Balai Kota tersebut merupakan yang pertama kalinya. Sebelumnya, kata dia, hanya ada pohon Natal setinggi sekitar 1,5 meter yang diletakkan di lobi Blok G. "Tahun ini, pertama kalinya dipasang pohon Natal setinggi itu," tuturnya di Balai Kota pada 22 Desember 2014.
Masih dari arsip berita Tempo, menurut Ahok, pohon Natal tidak hanya dipajang di halaman kantornya, tapi juga di halaman rumah dinasnya di Jalan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Penghiasnya adalah Tim Pembinaan Kesejahteraan Keluarga DKI. Soal kritik dan ancaman lantaran memasang pohon Natal itu, Ahok mengaku tak khawatir. “Ah, biar saja,” ujarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas adalah foto pohon Natal yang dipasang di halaman Istana Negara pada Desember 2020, keliru. Dua pohon Natal dalam foto tersebut dipasang di halaman Balai Kota DKI Jakarta, bukan di halaman Istana Negara. Pohon-pohon Natal itu dipasang pada Desember 2014 saat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
Halaman: 4659/6183