• (GFD-2020-8081) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Polisi AS Sebut Kematian Bing Liu Terkait Risetnya Soal Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 11/05/2020

    Berita


    Narasi bahwa kematian Bing Liu, peneliti dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, terkait dengan risetnya soal virus Corona Covid-19 beredar di media sosial. Menurut narasi itu, kaitan antara pembunuhan Bing Liu dan penelitiannya terkait Covid-19 ditegaskan oleh kepolisian AS.
    Di Instagram, narasi tersebut dibagikan salah satunya oleh akun @sobatqolbu. Akun ini mengunggah foto Bing Liu yang di bawahnya diberi tulisan "Nyaris ungkap temuan penting seputar virus Corona, profesor ini tewas dibunuh. Jenazah ditemukan dengan sejumlah luka tembakan di kepala, leher dan perut".
    Adapun dalam caption-nya, akun ini menjelaskan bahwa pelaku yang dipercaya membunuh Bing Liu bernama Hao Gu, 46 tahun. Ia ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa setelah diduga melakukan bunuh diri. Pihak kepolisian mengatakan bahwa Hao Gu diduga membunuh Bing Liu di kediamannya sebelum akhirnya bunuh diri di mobilnya. Polisi meyakini pelaku dan korban saling mengenal satu sama lain.
    Akun ini juga menulis bahwa pembunuhan Bing Liu tersebut menimbulkan misteri terkait temuan penting yang akan diungkapkannya. Ia diketahui merupakan peneliti komputasi dan sistem biologi di Sekolah Kesehatan Universitas Pittsburgh. "Kepolisian setempat telah menegaskan jika pembunuhan Bing Liu ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukannya seputar Covid-19," demikian narasi yang ditulis akun itu.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @sobatqolbu.
    Apa benar polisi AS menyebut kematian Bing Liu terkait dengan risetnya soal Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo membandingkannya dengan pemberitaan di media-media arus utama, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dilansir dari USA Today, Bing Liu, asisten profesor dari Universitas Pittsburgh, 37 tahun, memang ditemukan tewas di dalam sebuah rumah di Pennsylvania, AS, pada 2 Mei 2020, dengan luka tembak di kepala, leher, dan dadanya.
    Satu jam kemudian, polisi menemukan Hao Gu, 46 tahun, dalam sebuah mobil dengan jarak kurang dari 1 mil dari lokasi ditemukannya Bing Liu. Menurut Detektif Sersan Brian Kohlhepp dari Departemen Kepolisian Ross, penyidik meyakini Hao Gu membunuh Bing Liu di rumahnya sebelum mengendarai mobilnya dan bunuh diri.
    Bing Liu mendapat gelar PhD dalam ilmu komputasi dari Universitas Nasional Singapura, lalu melanjutkan studi pascadoktoralnya di Universitas Carnegie Mellon. Kemudian, Bing Liu menjadi peneliti di Sekolah Kedokteran Universitas Pittsburgh. Para koleganya menuturkan bahwa Bing Liu merupakan seorang peneliti yang produktif yang telah mempublikasikan lebih dari 30 makalah dan merupakan mentor yang luar biasa.
    "Bing Liu berada di ambang penemuan yang sangat signifikan untuk memahami mekanisme seluler yang mendasari infeksi SARS-CoV-2 (virus Corona baru penyebab Covid-19) dan basis seluler dari komplikasi tersebut. Kami akan berupaya untuk menyelesaikan apa yang telah dia mulai dalam rangka memberikan penghormatan pada keahlian ilmiahnya," ujar para koleganya dalam sebuah pernyataan resmi.
    Namun, Kohlhepp menuturkan bahwa pembunuhan Bing Liu tidak ada kaitannya dengan risetnya soal Covid-19. Polisi meyakini Bing Liu dan Hao Gu saling mengenal satu sama lain dan, kata Kohlhepp, pembunuhan itu adalah "hasil dari perselisihan panjang terkait pasangan intim".
    Menurut Kohlhepp, polisi tidak menemukan bukti apapun bahwa pembunuhan Bing Liu berhubungan dengan pekerjaannya di Universitas Pittsburgh. "Kami telah menemukan nol bukti bahwa peristiwa tragis ini ada hubungannya dengan pekerjaannya di Universitas Pittsburgh atau pekerjaan apapun yang terkait dengan Universitas Pittsburgh, dan krisis kesehatan saat ini yang mempengaruhi AS dan dunia (Covid-19)," kata Kohlhepp.
    Penjelasan yang sama juga dilaporkan oleh CNN pada 6 Mei 2020. Kepolisian AS meyakini Bing Liu dan Hao Gu saling kenal. Namun, Detektif Sersan Brian Kohlhepp menyatakan "tidak ada indikasi bahwa Bing Liu sengaja ditarget karena dia orang Cina".
    Demikian pula dalam arsip pemberitaan Tempo pada 7 Mei 2020. Berdasarkan keterangan Kepolisian Ross, jenazah Bing Liu ditemukan di rumahnya dengan luka tembak di kepala, leher, dan dada. "Kasus ini masih kami selidiki. Sejauh ini, tidak ada indikasi bahwa Liu diincar karena dia berasal dari Cina," ujar Detektif Sersan Brian Kohlhepp pada 6 Mei 2020.
    Kohlhepp melanjutkan, menurut dugaan sementara, Bing Liu adalah korban aksi pembunuhan dan bunuh diri. Sebab, tak jauh dari lokasi tewasnya Bing Liu, polisi menemukan seorang pria yang tewas di dalam mobilnya. Walaupun begitu, kata Kohlhepp, polisi masih menyelidiki apakah keduanya saling kenal.
    Universitas Pittsburgh, dalam keterangan persnya, menyatakan rasa berdukanya atas kematian Bing Liu. Mereka menyayangkan kematian Bing Liu mengingat ia tengah melakukan penelitian terkait cara kerja virus Corona Covid-19 yang akan membantu proses penanganannya ke depan. "Bing Liu hampir mendapatkan temuan penting soal bagaimana memahami cara kerja sel dalam penularan virus Corona," ujar salah satu koleganya.
    Kematian Bing Liu ini pun kembali memicu diskusi warganet terkait sejumlah teori konspirasi mengenai asal-usul virus Corona Covid-19, baik itu buatan Cina atau buatan AS. Ada pula yang mengaitkan kematian tersebut dengan nama pendiri Microsoft, Bill Gates. Sejumlah klaim bahwa virus ini buatan laboratorium ataupun teori konspirasi soal Bill Gates sudah pernah dibantah oleh Tim CekFakta Tempo.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi bahwa polisi Amerika Serikat menyebut kematian Bing Liu terkait dengan risetnya soal Covid-19 adalah narasi yang menyesatkan. Kepolisian menyatakan tidak ada indikasi bahwa Bing Liu diincar karena berasal dari Cina ataupun karena sedang mengerjakan riset soal virus Corona Covid-19. Pembunuhan Bing Liu diduga kuat karena perselisihan terkait pasangan intim.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8080) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pendiri Alibaba Jack Ma Sebut Tahun 2020 Hanyalah Tahun untuk Bertahan Hidup?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 11/05/2020

    Berita


    Sebuah kutipan yang diklaim bersumber dari pendiri perusahaan teknologi Alibaba, Jack Ma, beredar di media sosial. Menurut kutipan itu, tahun 2020 hanyalah tahun untuk bertahan hidup. Kutipan ini beredar di tengah pandemi virus Corona Covid-19 yang muncul sejak akhir 2019 lalu.
    Berikut narasi lengkap dalam kutipan tersebut: "For people in business, 2020 is really just a year for staying alive. Don't even talk about your dreams or plans. Just make sure you stay alive. If you can stay alive, then you would have made a profit already. - Jack Ma, Alibaba Group".
    Di Facebook, kutipan tersebut terdapat dalam sebuah poster berlatar belakang hitam yang dilengkapi dengan foto Jack Ma. Poster tersebut diunggah salah satunya oleh halaman Facebook Jack.Ma pada 1 Mei 2020. Sejak diunggah, poster ini telah dibagikan sebanyak lebih dari 1.500 kali.
    Sementara di Twitter, kutipan itu dicuitkan salah satunya oleh akun @AbdulAbmJ pada 1 Mei 2020. Kutipan serupa juga beredar dalam versi bahasa Indonesia, seperti yang dibagikan salah satunya oleh akun @yan_widjaya pada 1 Mei 2020.
    Berikut narasi lengkapnya: "Jack Ma bilang: Tahun ini jangan cerita untung atau rugi, utamakan bisa hidup lalu berkembang. Harus mikir cara gimana bisa hidup. Jangan cerita yenyang berkembang. Tahun ini adalah tahun pelindung nyawa, jika kamu bisa tahan hidup kamu sudah beruntung..."
    Gambar tangkapan layar unggahan di halaman Facebook Jack.Ma (kiri) dan akun Twitter Yan Widjaya (kanan).
    Apa benar Jack Ma menyebut bahwa tahun 2020 hanyalah tahun untuk bertahan hidup?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menghubungi Director of Corporate Affairs Alibaba Group Indonesia, Dian Safitri. Menurut Dian, kutipan tentang tahun 2020 hanyalah tahun untuk bertahan hidup itu tidak berasal dari Jack Ma. "Tidak ada catatan bahwa Jack Ma pernah menyampaikan pesan tersebut," kata Dian pada 8 Mei 2020.
    Dian juga memastikan bahwa halaman Facebook Jack.Ma yang mengunggah poster berisi kutipan tersebut bukanlah akun milik Jack Ma. "Terkait akun media sosial resmi Jack Ma, saat ini, Jack Ma hanya memiliki akun resmi di Weibo dan Twitter. Untuk Facebook resmi Jack Ma, tidak ada," ujar Dian.
    Kutipan yang terdapat dalam poster yang disertai foto Jack Ma itu diduga bersumber dari video hasil editan dengan suara yang bukan suara Jack Ma. Video tersebut diunggah oleh akun yang menggunakan nama Jack Ma di Douyin atau TikTok versi Cina.
    Berdasarkan penelusuran Tempo dengan reverse image tool Yandex, video aslinya pernah diunggah di platform video Cina, iQiyi, pada 9 September 2019, sebelum munculnya virus Corona Covid-19 pada Desember 2019. Menurut keterangannya, video itu merupakan video pidato Jack Ma soal wirausaha. "Jangan berhenti memulai bisnis, kejar impian Anda."
    Di akun Twitter-nya, Jack Ma juga tidak pernah menyinggung bahwa tahun 2020 hanyalah tahun untuk bertahan hidup. Berdasarkan pencarian lanjutan pada akun @JackMa di Twitter dengan kata kunci "2020 staying alive", dinyatakan bahwa "tidak ada yang muncul untuk pencarian tersebut".
    Pada 19 April 2020, dalam wawancara dengan televisi Cina CGTN, Jack Ma menyatakan bahwa pandemi virus Corona Covid-19 bakal mengubah cara masyarakat berbisnis dalam jangka panjang. Secara bertahap, masyarakat akan beralih ke bisnis online.
    Menurut dia, penerapan teknologi e-commerce bisa menjadi kunci untuk mempertahankan pelanggan. Masyarakat harus menemukan cara inovatif untuk beradaptasi dengan situasi saat ini. "Tidak ada negara atau perusahaan yang bisa diisolasi dari internet," katanya.
    Jack Ma juga menuturkan e-commerce bakal menjadi kunci bagi perusahaan untuk bertahan hidup, bagi negara-negara untuk makmur, dan bagi ekonomi dunia untuk bergerak. Virus ini merupakan alarm bagi negara-negara untuk meningkatkan langkah mereka dalam memperkuat sistem ekonominya.
    Menurut Jack Ma, pandemi Covid-19 pun tidak akan berakhir dalam waktu singkat. Selain itu, pandemi ini hanya bisa menghilang dengan mengandalkan terobosan teknologi, inovasi, dan penelitian medis. "Jadi, kita harus melakukan persiapan jangka panjang," tuturnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, kutipan soal tahun 2020 hanyalah tahun untuk bertahan hidup bukan berasal dari Jack Ma. Kutipan tersebut bersumber dari sebuah video hasil editan dengan suara yang bukan suara Jack Ma. Video aslinya pernah diunggah di platform video Cina, iQiyi, pada 9 September 2019, sebelum munculnya virus Corona Covid-19 pada Desember 2019.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8079) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaim Judy Mikovits Soal Virus Corona dalam Film Dokumenter Plandemic?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 11/05/2020

    Berita


    Sebuah film dokumenter yang berjudul Plandemic viral di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Film yang mengangkat kisah seorang saintis dan ahli virus Judy Mikovits itu mengungkap sejumlah teori konspirasi mengenai asal-muasal virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
    Film dokumenter berdurasi sekitar 25 menit tersebut diunggah di Facebook salah satunya oleh akun Cerdas Geopolitik, yakni pada 8 Mei 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah ditonton lebih dari 115 ribu kali dan dibagikan lebih dari 4 ribu kali.
    "Plandemic. Film dokumenter ini sejak tadi malam dihapus-hapusin sama Yutub, lalu diupload lagi sama netizen, dihapus lagi. Mimin selametin deh, plus kasih terjemahan, buat sobat-sobat pejuang follower fenpej ini. Isi filmnya dahsyat. Tentang Covid-19. Tonton sendiri. Saran mimin: sobat-sobat donlot lalu upload di akun masing-masing (jaga-jaga kalau fb ikut-ikutan main hapus video ini)," demikian narasi yang ditulis oleh akun Cerdas Geopolitik dalam unggahan itu.
    Film itu pun memicu kontroversi karena menyerang sejumlah tokoh, seperti kepala gugus tugas Covid-19 Amerika Serikat sekaligus Ketua Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID) Anthony Fauci, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan AS (CDC) dan pendiri Microsoft, Bill Gates. Adapun Judy Mikovits menuding bahwa virus Corona baru ini tidak muncul secara alamiah, melainkan berasal dari laboratorium, salah satunya laboratorium di Wuhan, Cina.
    "Saya tidak akan menggunakan kata 'dibuat'. Tapi Anda tidak bisa mengatakan bahwa virus itu terjadi secara alami jika itu melalui laboratorium. Jadi, sangat jelas virus ini dimanipulasi. Keluarga virus ini dimanipulasi dan dipelajari di laboratorium tempat hewan-hewan itu dibawa ke laboratorium, dan inilah yang dilepaskan, entah disengaja atau tidak. Itu tidak mungkin terjadi secara alami. Seseorang tidak pergi ke pasar, membeli kelelawar, virus tidak melompat langsung ke manusia. Bukan begitu cara kerjanya. Itu mempercepat evolusi virus. Jika virus itu adalah kejadian alami, akan memakan waktu hingga 800 tahun untuk terjadi."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Cerdas Geopolitik.
    Bagaimana kebenaran klaim-klaim Judy Mikovits dalam film dokumenter Plandemic tersebut?

    Hasil Cek Fakta


    Judy Mikovits memulai karirnya sebagai teknisi laboratorium di Institut Kanker Nasional AS (NCI) pada 1988. Dia kemudian menjadi seorang ilmuwan dan memperoleh gelar PhD dalam biokimia dan biologi molekuler dari George Washington University pada 1991.
    Pada 2009, Mikovits menjabat sebagai direktur penelitian di Institut Whittemore Peterson (WPI), pusat penelitian swasta di Reno, Nevada, AS. Namun, sebagian besar komunitas ilmiah tidak mengenalnya. Pada tahun ini, Mikovits mendadak menjadi kontroversi setelah terlibat dalam penulisan makalah di Jurnal Science yang menyarankan agen tak jelas bernama xenotropic murine leukemia virus-related virus (XMRV) sebagai penyebab sindrom kelelahan kronis (CFS). Kontroversi ini berakhir saat Jurnal Science menarik makalah itu pada 2011 karena kredibilitas hasil penelitian Mikovits diragukan.
    Sejak 2012, Mikovits tidak lagi menerbitkan literatur apa pun. Namun, dia kembali mempromosikan hipotesis XMRV di tengah berbagai tuntutan hukum dari institusinya. Kini, ia muncul ke publik sebagai salah satu penulis buku "Plague of Corruption: Restoring Faith in the Promise of Science" dan narasumber dalam video dokumenter viral, Plandemic.
    Untuk memeriksa klaim terkait Mikovits ataupun klaim yang dilontarkan oleh Mikovits dalam film Plandemic tersebut, Tempo mengutip hasil pemeriksaan fakta yang dipublikasikan oleh tiga lembaga, yakni ScienceMag, Snopes, dan PolitiFact.
    Klaim 1:Judy Mikovits adalah salah satu ilmuwan paling sukses di generasinya. Di puncak karirnya, Mikovits menerbitkan artikel blockbuster di Jurnal Science. Artikel kontroversial itu mengejutkan komunitas ilmiah karena mengungkapkan bahwa penggunaan umum hewan dan jaringan janin manusia melepaskan wabah penyakit kronis yang menghancurkan.
    Fakta: Mikovits telah menulis 40 makalah ilmiah, namun tidak dikenal secara luas di komunitas ilmiah sebelum ia menerbitkan makalah di Jurnal Science pada 2009 yang menghubungkan CFS dengan retrovirus yang disebut XMRV. Ilmuwan lain melaporkan bahwa mereka tidak bisa menemukan bukti adanya retrovirus dalam darah pasien dengan CFS. Sebuah tim ilmiah pun menerbitkan sebuah penelitian yang berisi bukti bahwa XMRV muncul karena adanya kontaminasi laboratorium. Pada Desember 2011, para editor Science menarik makalah Mikovits dan mengatakan bahwa mereka telah "kehilangan kepercayaan terhadap laporan itu serta validitas kesimpulannya".
    Klaim 2:Mikovits ditahan di penjara, tanpa tuduhan.
    Fakta: Pengacara distrik Washoe, Nevada, mengajukan pengaduan pidana terhadap Mikovits yang diduga melakukan pengambilan data komputer secara ilegal dan properti terkait dari WPI. Selain itu, WPI mengajukan gugatan perdata terhadap Mikovits untuk memaksanya mengembalikan "peralatan mereka yang disalahgunakan." Mikovits sempat ditangkap sebagai buron di California, AS.
    Klaim 3:Mikovits mengatakan bahwa vaksin akan membunuh jutaan orang. Dia juga menyebut tidak ada vaksin saat ini yang sesuai untuk virus RNA.
    Fakta: Vaksin tidak membunuh jutaan orang. Sebaliknya, vaksin telah menyelamatkan jutaan nyawa. Banyak vaksin yang bekerja untuk melawan virus RNA yang dijual di pasaran, termasuk untuk influenza, campak, gondong, rubela, rabies, demam kuning, dan Ebola.
    Klaim 4:SARS-CoV-2 dimanipulasi di laboratorium.
    Fakta: Menurut perkiraan ilmiah, virus terdekat dengan SARS-CoV-2 adalah virus Corona kelelawar yang diidentifikasi oleh Institut Virologi Wuhan (WIV). "Jarak" waktu evolusi ke SARS-CoV-2 adalah sekitar 20-80 tahun. Tidak ada bukti virus kelelawar ini dimanipulasi.
    Menurut artikel di Nature pada 17 Maret 2020, penelitian terhadap struktur genetik SARS-CoV-2 juga menunjukkan bahwa tidak ada manipulasi laboratorium. Para ilmuwan memiliki dua penjelasan tentang asal usul virus tersebut, yakni seleksi alam pada inang hewan atau seleksi alam pada manusia setelah virus melompat dari hewan. "Analisis kami dengan jelas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 bukan hasil konstruksi laboratorium atau virus yang dimanipulasi secara sengaja."
    Klaim 5:SARS-CoV-2 muncul dalam satu dekade setelah SARS-CoV. Ini bukan sesuatu yang alami terjadi.
    Fakta: Klaim ini keliru. Sebab, Covid-19 adalah penyakit baru dan tidak berasal dari SARS (Severe Acute Respiratory Syndrom). Dalam beberapa hal, SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 memang mirip dengan SARS-CoV penyebab SARS. Keduanya adalah jenis virus Corona pada manusia yang berasal dari kelelawar yang menyebabkan penyakit pernapasan dan menyebar melalui batuk dan bersin. Namun, menurut para peneliti, SARS-CoV-2 hanya memiliki 79 persen kesamaan genetik dengan SARS-CoV. Secara genetik, SARS-CoV-2 lebih mirip dengan virus Corona lain yang diturunkan oleh kelelawar daripada SARS-CoV.
    Klaim 6:SARS-CoV-2 berasal dari laboratorium di Wuhan.
    Fakta: Tidak ada bukti bahwa SARS-CoV-2 berasal dari laboratorium di Wuhan. Pendanaan NIAID bagi kelompok peneliti AS yang bekerja dengan laboratorium di Wuhan pun telah dihentikan, yang mana hal ini membuat marah banyak ilmuwan.
    Klaim 7:Italia memiliki populasi yang sangat tua. Mereka sangat menderita dengan gangguan peradangan. Pada awal 2019, mereka mendapat vaksin influenza baru yang belum diuji, yang terdiri atas empat jenis influenza, termasuk H1N1 yang sangat patogen. Vaksin itu ditanam dalam garis sel, garis sel anjing. Anjing memiliki banyak virus Corona.
    Fakta: Tidak ada bukti yang menghubungkan vaksin influenza, atau virus Corona pada anjing, dengan pandemi Covid-19 Italia.
    Klaim 8:Menurut Mikovits, vaksin flu meningkatkan peluang seseorang terinfeksi Covid-19 hingga 36 persen. Dia menunjukkan studi yang menemukan bahwa personel Departemen Pertahanan AS yang mendapatkan vaksin flu pada 2017 dan 2018 lebih besar kemungkinannya terkena Covid-19 daripada personel yang tidak divaksin.
    Fakta: Mikovits merujuk ke penelitian yang diterbitkan pada Januari di jurnal peer-review Vaccine. Tapi klaim Mikovits ini keliru. Penelitian tersebut digelar sebelum munculnya pandemi Covid-19. Dalam penelitian itu, juga tidak terdapat penjelasan bahwa vaksin flu meningkatkan peluang seseorang terinfeksi virus Corona hingga 36 persen. Selain itu, menurut CDC, sebagian besar vaksin flu di AS melindungi warga dari empat jenis virus, yakni influenza A H1N1, influenza A H3N2, dan dua virus influenza B. Tidak ada virus Corona dalam suntikan vaksin flu. Selain itu, belum ada vaksin virus Corona untuk manusia.
    Klaim 9:Mengenakan masker benar-benar mengaktifkan virus Anda sendiri. Anda menjadi sakit karena ekspresi virus Corona yang Anda aktifkan kembali. Dan jika itu SARS-CoV-2, maka Anda mendapat masalah besar.
    Fakta: Tidak jelas apa yang dimaksud Mikovits dengan "ekspresi virus Corona". Tidak ada bukti bahwa memakai masker dapat mengaktifkan virus dan membuat orang sakit. CDC menyarankan semua orang yang pergi ke tempat umum untuk memakai masker. Tujuannya, untuk mencegah penyebaran virus Corona yang tidak disadari lewat batuk dan bersin mengingat butuh waktu hingga 14 hari bagi seseorang yang terinfeksi untuk menunjukkan gejala.
    Memakai masker mencegah penyebaran virus Corona. Hal ini tidak membuat seseorang lebih rentan terhadapnya. "Tidak ada hal apapun terkait pemakaian masker yang memiliki dampak biologis yang relevan terhadap aktivitas virus. Mengenakan masker hanya akan menangkap droplet sebelum mencapai mulut atau hidung kita. Ini bukan ilmu yang tinggi, dan Dr. Mikovits seharusnya tahu itu," kata Richard Peltier, asisten profesor ilmu kesehatan lingkungan di University of Massachusetts, Amherst, AS.
    Klaim 10:Anda memiliki mikroba penyembuh di lautan, di air asin.
    Fakta: Tidak ada bukti bahwa mikroba di lautan dapat menyembuhkan pasien Covid-19.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, tujuh klaim terkait Judy Mikovits maupun klaim yang dilontarkannya dalam film dokumenter Plandemic adalah klaim yang keliru. Sementara itu, tiga klaim lainnya tidak terbukti.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8078) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaster Penyebaran Corona Terbesar di Indonesia adalah 10 ribu Pendeta GBI dan GPIB?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/05/2020

    Berita


    Narasi bahwa klaster penyebaran virus Corona Covid-19 terbesar di Indonesia adalah 10 ribu pendeta GBI (Gereja Bethel Indonesia) dan GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) beredar di media sosial. Narasi itu juga menuding bahwa para pendeta tersebut membawa virus Corona dari Italia dan Israel.
    Salah satu akun di Facebook yang membagikan narasi tersebut adalah akun Rae Chandra, yakni pada 5 Mei 2020. Narasi ini disertai dengan sejumlah gambar tangkapan layar berita media online tentang sejumlah pendeta dari berbagai gereja yang menularkan Covid-19 kepada jemaatnya. Gereja-gereja itu adalah Gereja Bethel Bandung, Gereja Shinceonji, dan gereja di Korea Selatan.
    "Ternyata Klaster penyebar Covid-19 terbanyak dgn jejaring terbesar di Indonesia adalah 10.000 lebih pendeta GBI & GPIB dari seluruh Indonesia yang bawa covid-19 dari Itali dan Israel. Itu laporan ke pekerja medis pemerintah, tapi kenapa itu tak diberitakan melalui media agar semua jadi waspada demi mengurangi penyebaran lebih lanjut dari kelompok terpapar?" demikian bunyi narasi tersebut.
    Dalam narasinya, akun itu kemudian menuding bahwa ada diskriminasi dari media karena hanya mengekspos kelompok Islam Jamaah Tabligh sebagai klaster penyebar Covid-19. "Yang di-'blow up' di media nasional malah kelompok Islam 'jamaah tabligh' yang hanya beberapa orang, diwajib kan semua kyai untuk di Rapid Test (semuanya terbukti negatif) dan digaungkannya perintah menutup mesjid dan larangan sholat jamaah di mesjid termasuk di daerah2 yg bukan zona beresiko. Tak hanya aneh, tapi juga ngeri."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rae Chandra.
    Apa benar klaster penyebaran Corona terbesar di Indonesia adalah 10 ribu pendeta GBI dan GPIB?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim bahwa 10 ribu pendeta GBI dan GPIB menjadi klaster terbesar penyebaran virus Corona Covid-19 tidak memiliki dasar. Sebab, dari total kasus positif Covid-19 di Indonesia per 8 Mei 2020 yang mencapai 13.112 kasus, jumlah pendeta GBI dan GPIB yang positif Covid-19 tidak mencapai 10 ribu orang.
    Dua kegiatan GBI dan GPIB memang menjadi salah satu klaster awal penyebaran Covid-19 di Jawa Barat, yakni Persidangan Sinode Tahunan GPIB di Hotel Aston, Bogor, pada 28-29 Februari 2020 dan seminar keagamaan GBI di Lembang, Bandung, pada 3-5 Maret 2020.
    Dilansir dari Kompas.com, dari Persidangan Sinode Tahunan GPIB yang dihadiri 600 perserta itu, terdapat satu peserta dari Bandar Lampung dan empat jemaat dari Bogor yang dinyatakan positif Covid-19. Wali Kota Bogor Bima Arya juga dinyatakan positif Covid-19 usai menghadiri acara itu.
    Adapun dari seminar keagamaan GBI tersebut, salah satu pimpinan GBI yang menghadiri seminar itu dinyatakan positif Covid-19 dan meninggal dunia. Kemudian, dari hasil rapid test terhadap 637 jemaat GBI, 226 di antaranya dinyatakan positif Covid-19.
    Beragamnya klaster penularan Covid-19
    Meskipun begitu, dua kegiatan GBI dan GPIB itu bukan satu-satunya klaster penularan Covid-19 di Jawa Barat. Klaster lainnya di Jawa Barat adalah Seminar Masyarakat Tanpa Riba di Hotel Darmawan Park, Sentul, pada 25-28 Februari 2020 yang dihadiri oleh 200 orang serta Musyawarah Daerah Hipmi Jawa Barat di Hotel Swiss-Belinn, Karawang, pada 9-10 Maret 2020.
    Episentrum Covid-19 pun sudah menyebar hampir ke semua provinsi dengan klaster beragam. Di Jawa Timur misalnya, pada pekan pertama April 2020, terdapat sedikitnya 21 klaster penularan Covid-19. Klaster terbesar adalah kegiatan pelatihan petugas haji di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 8-19 Maret 2020. Hingga 25 April 2020, dari kegiatan itu, terdapat 81 orang yang tertular. Adapun klaster terbaru di Jawa Timur adalah pabrik rokok Sampoerna di Surabaya di mana terdapat 65 karyawan yang positif Covid-19.
    Klaster Ijtima Gowa menjadi salah satu klaster penularan Covid-19 terbesar di Jawa Tengah. Diperkirakan, terdapat 1.500 warga Jawa Tengah yang mengikuti Ijtima Gowa di Sulawesi Selatan. Meskipun acara itu dibatalkan, sejumlah peserta terlanjur datang ke lokasi.
    Dilansir dari Solopos.com, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebut jumlah kasus Covid-19 dari klaster tersebut mencapai lebih dari 50 orang. Mereka tersebar di berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Sukoharjo, Karanganyar, Wonosobo, Banjarnegara, dan lain-lain.
    Di Kalimantan Selatan, dari 199 kasus positif Covid-19 per 5 Mei 2020, 137 di antaranya berasal dari klaster Ijtima Gowa tersebut. Adapun di Kalimantan Timur, kasus positif Covid-19 yang berasal dari klaster Ijtima Gowa mencapai 112 orang dari total kasus Covid-19 di Kalimantan Timur yang sebanyak 168 kasus.
    Tidak terkait agama tertentu
    Penularan Covid-19 sejatinya tidak terkait ataupun dibawa oleh agama tertentu. Adanya klaster GBI dan GPIB serta klaster Ijtima Gowa menunjukkan bahwa kerumunan orang dalam jumlah besar, termasuk di acara keagamaan, menyebabkan semakin cepatnya penularan Covid-19.
    Beberapa ahli menyarankan masyarakat untuk menjaga jarak sosial atau social distancing untuk mencegah penyebaran virus Corona Covid-19. Jarak sosial untuk individu, menurut Harvard Health, adalah jarak yang cukup antara satu orang dengan orang lainnya untuk mengurangi risiko terpaparnya droplet dari orang terinfeksi yang batuk atau bersin. Penelitian menunjukkan virus flu dapat menyebar sejauh 182-243 centimeter lewat batuk atau bersin.
    William Schaffner, profesor dari Universitas Vanderbilt dan penasihat untuk Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), mengingatkan bahwa Covid-19 harus menjadi perhatian utama bagi orang di atas 60 tahu dan mereka yang memiliki masalah kesehatan bawaan, seperti penyakit jantung atau paru-paru, diabetes, dan sebagainya. "Satu-satunya hal terpenting yang dapat Anda lakukan untuk menghindari virus adalah mengurangi kontak langsung dengan orang lain," ujar Schaffner.
    Menurut kepala koresponden medis CBS News Jon LaPook, meskipun mungkin tidak cukup untuk menghentikan virus sepenuhnya, menjaga jarak sosial telah terbukti membantu memperlambat penyebaran penyakit di masa lalu, termasuk saat pandemi flu 1918. "Kota-kota yang melakukan jaga jarak sosial bertahan lebih baik daripada yang tidak," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa klaster penyebaran virus Corona Covid-19 terbesar di Indonesia adalah 10 ribu pendeta GBI dan GPIB adalah klaim yang keliru. Dari total kasus positif Covid-19 di Indonesia per 8 Mei 2020 yang mencapai 13.112 kasus, jumlah pendeta GBI dan GPIB yang positif Covid-19 tidak mencapai 10 ribu orang. Klaster GBI dan GPIB pun bukan satu-satunya klaster yang dominan dalam penularan Covid-19.
    Selain itu, penularan virus Corona Covid-19 sebenarnya tidak terkait dengan agama tertentu. Klaster-klaster itu terjadi karena kegiatan keagamaan yang menjadi klaster-klaster tersebut melibatkan banyak orang atau kerumunan, yang rentan akan penularan Covid-19. Para ahli telah merekomendasikan jaga jarak aman minimal 1 meter dan menghindari kerumunan sebagai salah satu pencegahan Covid-19.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan