(GFD-2021-8455) Keliru, Orang yang Sudah Vaksinasi Covid-19 Tak Perlu Pakai Masker dan Cuci Tangan
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/01/2021
Berita
Klaim bahwa orang yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 tidak perlu memakai masker dan mencuci tangan beredar di media sosial. Klaim itu beredar setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendapatkan vaksin Covid-19 di Istana Kepresidenan, Jakarta, dan dimulainya program vaksinasi Covid-19 tahap pertama pada 13 Januari 2021.
Di Facebook, klaim itu diunggah oleh akun Gaes Pardi pada 14 Januari 2021. Klaim tersebut dibagikan di grup Info Kecelakaan dan Kriminal Indonesia. Akun ini menyebut penyuntikan vaksin Covid-19 bertujuan untuk membuat tubuh kebal terhadap Covid-19. "Maka, Anda tidak perlu lagi pakai masker, cuci tangan, dan sebagainya karena Anda sudah kebal terhadap Covid-19," katanya.
Kemudian, akun Gaes Pardi menulis, "Jika Anda sudah disuntik vaksin Covid-19, tapi masih saja disuruh pakai masker, disuruh cuci tangan, duduk berjauhan, dan sebagainya, berarti yang disuntikkan ke Anda itu bukan vaksin, tapi vakcin (valuta keuangan Cina). Nah, Jokowi sudah disuntik vaksin Covid-19 kok masih pakai masker, tapi sudah kebal dari virus Covid-19?"
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Gaes Pardi yang memuat klaim keliru tentang vaksinasi Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, pemberian vaksin bukanlah solusi tunggal dalam mengendalikan pandemi Covid-19, baik di Indonesia maupun di dunia. Meskipun vaksin dapat memberikan manfaat berupa menumbuhkan antibodi, semua vaksin Covid-19, termasuk vaksin Sinovac, belum diketahui efektivitasnya dalam mencegah transmisi atau penularan virus pada orang lain.
Karena itu, seseorang yang telah mendapatkan vaksin Covid-19 tetap harus menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Pemerintah juga tetap harus memaksimalkan jumlah tes(testing), penelusuran kontak (tracing), dan perawatan terhadap orang-orang yang terinfeksi (treatment).
Menurut Dicky Budiman, ahli epidemiologi dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, vaksin memiliki tiga jenis manfaat atau khasiat. Pertama, efikasi untuk mendapatkan proteksi terhadap virus tertentu agar tidak terinfeksi.
Tingkat efikasi tersebut bervariasi, tergantung pada jenis vaksin yang digunakan saat uji klinis. Efikasi vaksin Sinovac yang diuji di Indonesia misalnya, adalah sebesar 65,3 persen. Sementara efikasi vaksin Pfizer dan vaksin Moderna masing-masing sebesar 95 dan 94 persen.
Dicky mengatakan, berapa pun nilai efikasi, tetap memberikan perlindungan. “Daripada tidak ada vaksin sama sekali,” katanya saat dihubungi Tempo pada 15 Januari 2021. Namun, terbentuknya antibodi untuk memberikan perlindungan membutuhkan proses yang berbeda di masing-masing orang. “Ada salah anggapan, begitu disuntik vaksin, antibodinya otomatis terbentuk. Padahal, itu butuh waktu,” ujarnya.
Jenis kedua adalah mencegah atau mengurangi keparahan atau gejala. Artinya, vaksin dapat mengurangi tingkat keparahan gejala pada seseorang yang telah divaksin yang kemudian terinfeksi. Dengan demikian, vaksin dapat membantu mengurangi jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit, bahkan mengurangi tingkat kematian.
Sementara jenis ketiga adalah memutus transmisi atau tingkat penularan. Hanya saja, saat ini, belum tersedia data yang cukup untuk mengetahui apakah semua vaksin Covid-19 memiliki efektivitas dalam memutus penularan tersebut. Sebab, untuk mengetahui efektivitas ini, dibutuhkan waktu minimal enam bulan pasca vaksinasi massal.
“Kenapa butuh waktu, karena riset vaksin Covid-19 ini luar biasa cepatnya dibandingkan jenis vaksin lainnya. Sehingga, data untuk memutus penularan butuh waktu paling cepat enam bulan pasca uji fase ketiganya berakhir,” kata Dicky.
Di tengah belum tersedianya data tersebut, dikhawatirkan seseorang yang sudah divaksin masih bisa terinfeksi virus dan menularkannya ke orang lain, meskipun mereka tidak memiliki gejala Covid-19. Karena itu, kata Dicky, orang yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19 tetap harus memakai masker dan menjaga jarak agar tidak menularkan virus ke orang lain.
Mengapa orang yang telah divaksin Covid-19 tetap punya risiko menularkan virus?
Dikutip dari The New York Times, menurut Michael Tal, ahli imunologi dari Universitas Stanford, Amerika Serikat, meskipun vaksin Pfizer dan vaksin Moderna dianggap paling baik dalam mencegah munculnya gejala serius karena Covid-19, belum jelas seberapa efektif keduanya dapat memutus penularan.
Menurut Michael, uji klinis vaksin Pfizer dan vaksin Moderna hanya melacak berapa banyak orang yang jatuh sakit setelah mendapatkan vaksin. Sehingga, ada kemungkinan bahwa mereka yang mendapatkan vaksin bisa terinfeksi tanpa gejala dan bisa menularkan Covid-19 secara diam-diam, terutama jika mereka berkontak dekat dengan orang lain atau berhenti menggunakan masker.
“Jika orang yang divaksinasi adalah penyebar virus yang diam-diam, mereka mungkin tetap menyebarkannya di komunitas mereka, menempatkan orang yang tidak divaksinasi pada risiko,” katanya.
Marion Pepper, ahli imunologi dari University of Washington, AS, menjelaskan secara teknis mengapa mereka yang divaksin tetap berpotensi bisa menularkan SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19.
Dalam sebagian besar kasus infeksi saluran pernapasan, termasuk Covid-19, hidung adalah pintu masuk utama dan tempat berkembang biak dengan cepat. Hal ini mengguncang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan sejenis antibodi yang khusus untuk mukosa, jaringan lembab yang melapisi hidung, mulut, paru-paru, dan perut.
Jika orang yang sama terpapar virus untuk kedua kalinya, antibodi tersebut, serta sel kekebalan yang mengingat virus tersebut, dengan cepat mematikan virus yang terdapat di hidung sebelum mereka menyebar dan bertahan di bagian tubuh yang lain.
Sebaliknya, vaksin Covid-19 disuntikkan jauh ke dalam otot dan merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi. Hal ini dapat menjaga orang yang divaksinasi tidak jatuh sakit saat terinfeksi Covid-19.
Beberapa dari antibodi tersebut akan bersirkulasi di dalam darah, lalu ke mukosa hidung, dan berjaga di sana. Meskipun begitu, belum jelas berapa banyak kumpulan antibodi yang dapat dimobilisasi, atau seberapa cepat mereka bisa mematikan virus di hidung.
Jika jawabannya tidak banyak, virus bisa bermunculan di hidung sehingga, ketika orang tersebut bersin atau menghembuskan nafas, dapat menginfeksi orang lain. “Ini adalah perlombaan, tergantung apakah virus dapat bereplikasi lebih cepat, atau sistem kekebalan dapat mengontrolnya lebih cepat,” kata Pepper.
Dikutip dari Business Insider, menurut ahli penyakit menular dari Ohio State University, Debra Goff, meskipun melindungi dari tertular virus, vaksin tidak akan sepenuhnya efektif sampai dosis kedua diberikan. "Demi kebaikan sesama umat manusia, Anda perlu terus memakai masker dan dan menjaga jarak fisik dari orang lain,” kata Goff.
Vaksin Covid-19 mengandung potongan kecil materi genetik yang dimaksudkan untuk mengajari sistem kekebalan cara melawan SARS-CoV-2. Bit RNA pembawa pesan ini tidak dapat membuat seseorang sakit dengan Covid-19, tapi perlu beberapa waktu bagi mereka untuk melakukan tugasnya.
Vaksin Pfizer,misalnya, hanya efektif 52 persen dalam mencegah Covid-19 setelah dosis pertama diberikan. Suntikan kedua, bila diberikan tiga minggu kemudian, akan meningkatkan efektivitas menjadi 95 persen.
Ada kemungkinan untuk tertular Covid-19 selama jeda suntikan pertama dan suntikan kedua. Faktanya, seorang perawat California dilaporkan positif Covid-19 setelah lebih dari seminggu mendapat suntikan vaksin pertamanya. Ini bisa terjadi karena seseorang mungkin tidak mengembangkan antibodi hingga 10-14 hari setelah mendapat suntikan pertama.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa seseorang yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 tidak perlu memakai masker dan mencuci tangan, keliru. Vaksin dapat memberikan manfaat berupa menumbuhkan antibodi. Vaksin juga bisa mencegah atau mengurangi gejala. Namun, belum diketahui efektivitas seluruh vaksin Covid-19 dalam mencegah transmisi atau penularan. Karena itu, mereka yang telah mendapatkan vaksin tetap harus menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://archive.is/vip8f
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-sinovac
- https://www.nytimes.com/2020/12/08/health/covid-vaccine-mask.html
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-moderna
- https://www.businessinsider.com/you-should-wear-mask-long-after-your-covid-19-vaccine-2020-12?international=true&r=US&IR=T
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-pfizer
(GFD-2021-8454) Keliru, Klaim Ini Foto Jalan Putus di Sulawesi Barat Akibat Gempa Majene
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/01/2021
Berita
Gambar tangkapan layar sebuah unggahan di Facebook yang berisi foto jalan yang terputus akibat longsor viral. Jalan yang putus itu diklaim sebagai jalan yang berada di daerah Sendana, Sulawesi Barat. Menurut klaim tersebut, jalan ini putus akibat gempa Majene pada 14 Januari 2021 yang memiliki magnitudo 5,9.
Di Facebook, gambar tangkapan layar itu diunggah salah satunya oleh akun Nasril Pratama, tepatnya pada 14 Januari 2021. Dalam gambar itu, tertulis narasi, "Info bagi anggota yang maw melintas Mamuju_majene Begitupun sebaliknya kita tunda mii dlu om bos karna ada jlan putus daerah Sendana gara2 gempa tdi."
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, diketahui bahwa jalan putus dalam foto itu berada di jalur Lahat-Pagaralam, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Jalan tersebut putus pada Februari 2019.
Foto yang identik pernah dimuat oleh situs media Jawa Pos pada 2 Februari 2019 dalam beritanya yang berjudul “Jalan Lahat-Pagaralam Putus”. Menurut Jawa Pos, tanah longsor telah menyebabkan akses jalan Lahat-Pagaralam terputus. Jalan itu berada di Desa Jati, Kecamatan Pulau Pinang, Lahat.
Peristiwa bermula pada 2 Februari 2019 dini hari. Saat itu, hujan dengan intensitas tinggi terjadi di daerah tersebut. Air kemudian menggerus gorong-gorong. Sekitar pukul 04.00 WIB, jalan itu mulai amblas dan terputus. Tidak ada korban dalam kejadian itu. Namun, lalu lintas harus dialihkan ke jalur alternatif di Kecamatan Gumai Ulu.
Dikutip dari situs media Okezone.com, jalan di sekitar lokasi longsor tersebut amblas sepanjang 20 meter dengan kedalaman 100 meter. Longsor ini sempat membuat macet karena banyaknya kendaraan di jalur Lahat-Pagaralam terjebak, sehingga kendaraan terpaksa memutar balik melalui jalur Gumai atau Muara Siban.
Gempa bumi Sulawesi Barat
Berdasarkan arsip berita Tempo, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Regional IV Makassar mencatat bahwa terjadi sebanyak 28 kali di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, sepanjang 14-15 Januari 2021. "Kalau sejak gempa berkekuatan 5,9 SR pada 14 Januari, sudah 28 kali gempa," kata Staf Pusat Gempa BMKG Regional IV Makassar, Syarifuddin, pada 15 Januari 2021.
Namun, Syarifuddin mengatakan gempa di Kabupaten Mejene yang membuat bangunan rusak hingga menimbulkan korban jiwa adalah gempa yang terjadi pada 15 Januari dini hari pukul 02.28 WITA yang berkekuatan 6,2 SR. "Setelah itu, terjadi lagi gempa susulan sebanyak 19 kali," ujarnya. Pagi tadi, pukul 08.25 WITA, terjadi gempa berkekuatan 4,4 SR di timur laut Majene dengan kedalaman 8 kilometer.
Berdasarkan informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mamuju, terdapat 24 korban luka-luka dan tiga orang meninggal serta 2 ribu warga mengungsi. Sementara laporan BPBD Kabupaten Majene menyatakan terjadi longsor di tiga titik sepanjang jalan poros Majene-Mamuju (akses jalan terputus) dan kerusakan 62 rumah, satu puskesmas, serta satu kantor Danramil Malunda.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut adalah foto jalan putus di daerah Sendana, Sulawesi Barat, akibat gempa Majene pada 14 Januari 2021, keliru. Gempa Majene pada 14-15 Januari 2021 memang menyebabkan akses jalan Majene-Mamuju terputus. Namun, jalan putus dalam foto itu adalah jalan Lahat-Pagaralam, Sumatera Selatan, yang amblas pada 2 Februari 2019.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2021-8453) Keliru, Klaim Ini Rekaman Suara Pilot dan Co-Pilot Pesawat Sriwijaya Air SJ 182
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/01/2021
Berita
Video yang memperdengarkan rekaman suara yang diklaim sebagai rekaman percakapan pilot dan co-pilot pesawat Sriwijaya Air SJ 182 beredar di media sosial. Video ini beredar tak lama setelah pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak jatuh pada 9 Januari 2021 di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Di YouTube, video berdurasi 2 menit 31 detik itu diunggah salah satunya oleh kanal Bindu Official pada 11 Januari 2021. Video tersebut diunggah dengan judul “Merinding Mendengar Suara Rekaman Pilot & Co-Pilot | Sriwijaya Sj-182”. Dalam video ini, terdapat pula transkrip percakapan yang diklaim berasal dari pilot dan co-pilot.
Berikut ini isi transkrip itu:
Pilot: Ok, dicopy disampaikan nanti InsyaAllahPilot: Oiya, beda dia sama yg di gambar ini.Co-pilot: Iya..Pilot: Ngaco dia.. BenarCo-pilot: Dah ngaco, dah emangPilot: Udah mulai kapal bambu nih..Co-pilot: ......Pilot: Mendingan kita pake yg ini aja dehCo-pilot: HehehePilot dan co-pilot berbicara dengan menara pantauCo-pilot: Turun atau naik lagi??Pilot: Naik... NaikCo-pilot: Ok captenPilot: Jangan dibelokin nih...Pilot: .....Co-pilot: Capten.. Capten... Capten...Suara peringatan pesawat berbunyiCo-pilot: Cap.... Cap..... Cap.. Lihat lihat....Situasi semakin panikPilot: Allahu AkbarCo-pilot: Allahu AkbarSuara gemuruh di ruang kendaliTerdengar suara ledakan
Gambar tangkapan layar unggahan kanal YouTube Bindu Official yang memuat klaim keliru terkait rekaman suara dalam videonya.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital rekaman tersebut dengan memasukkan kata kunci “rekaman suara pilot” di mesin pencari Google. Hasilnya, ditemukan bahwa rekaman percakapan dalam video tersebut bukan rekaman suara pilot dan co-pilot pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang mengalami kecelakaan pada 9 Januari 2021.
Kanal Bindu Official telah mengganti judul videonya itu menjadi “Merinding Mendengar Suara Rekaman Pilot & Co-Pilot Pesawat Ini”. Kolom komentar untuk unggahan video ini pun telah dinonaktifkan.
Rekaman pembicaraan yang diklaim sebagai suara pilot dan co-pilot tersebut pernah dimuat oleh kanal YouTube Parah Air pada 2 Agustus 2008, jauh sebelum jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada 9 Januari 2021. Video itu berjudul “ASLI-Rekaman Black Box Adam Air Flight 574”.
Saat pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang mengalami kecelakaan pada 29 Oktober 2018, rekaman suara ini kembali beredar di media sosial. Salah satunya adalah yang diunggah oleh kanal YouTube Arly Channel pada 8 Juni 2020.
Kotak hitam Adam Air
Berdasarkan arsip berita Tempo, kotak hitam (black box) pesawat Adam Air PK-KKW bernomor penerbangan DHI 574 yang jatuh di Majene, Sulawesi Barat, ditemukan pada 28 Agustus 2007 pada kedalaman 2 ribu meter di perairan Majene. Rekaman percakapan yang diklaim berasal dari kotak hitam pesawat Adam Air itu pun beredar di sejumlah situs pada Agustus 2008.
Dalam percakapan itu, terdengar pesawat mengalami kerusakan sistem navigasi sebelum terjatuh. Awak pesawat Adam Air terdengar sempat meminta konfirmasi koordinat pesawat kepada petugas ATC. Hal itu dilakukan karena data koordinat yang diberikan oleh petugas ATC tidak sama dengan data koordinat yang ada di layar flight management system (FMS) pesawat.
Tidak lama kemudian pilot dan co-pilot pesawat, Refri A. Widodo dan Yoga, mengetahui bahwa telah terjadi kerusakan pada alat bantu penemu jarak atau distance measuring equipment.
Terkait rekaman yang diklaim berasal dari kotak hitam Adam Air itu, dilansir dari Tempo, Kementerian Perhubungan pernah membuat rilis untuk membantahnya pada 3 Desember 2008. Dalam rilis itu, Kemenhub menyatakan bahwa rekaman yang beredar luas di internet itu palsu karena berbeda dari rekaman yang asli.
Fakta pertama, rekaman pada black box hilang pada saat pesawat berada pada ketinggian 9.920 kaki atau di 3 kilometer lebih di atas permukaan laut. Sehingga, mustahil terdengar suara dentuman sebagaimana yang terdengar dalam rekaman yang beredar.
Kedua, kecepatan pesawat yang mencapai kecepatan maksimum Mach 0.926 (hampir setara kecepatan suara), yang menghasilkan tekanan grafitasi dalam kabin mencapai hingga 3,5 g. Dengan tekanan sebesar itu, tidak menutup kemungkinan, badan pesawat telah hancur karena gesekan udara yang besar, sebelum akhirnya masuk ke dalam air.
Kejanggalan lainnya adalah suara teriakan "Allahu Akbar" berulang-ulang kali dengan volume yang sangat keras. Padahal, dalam rekaman asli, hanya terdengar sebanyak empat kali dengan suara yang tidak jelas dan terdengar blur. Terakhir, durasi rekaman asli yang disimpan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah sepanjang 32 menit 34 detik.
Kotak hitam Sriwijaya Air SJ 182
Black Box Sriwijaya Air SJ 182 baru ditemukan oleh tim Basarnas yang melakukan evakuasi di perairan Kepulauan Seribu pada 12 Januari 2021, setelah kanal Bindu Official mengunggah video tersebut ke YouTube. Kotak hitam yang ditemukan pun bertipe Flight Data Recorder (FDR) atau boks yang menyimpan soal data penerbangan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 ke komputer.
Menurut Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono pembacaan data FDR akan mengungkap penyebab error di sistem pesawat tersebut. Sementara itu, kotak hitam tipe Cockpit Voice Recorder (VCR) atau rekaman suara pilot di kokpit belum ditemukan. "Semoga segera ditemukan agar kami dapat mengungkap misteri yang jadi penyebab kecelakaan ini," kata Soerjanto.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa rekaman suara dalam video tersebut adalah rekaman percakapan pilot dan co-pilot pesawat Sriwijaya Air SJ 182, keliru. Remakan suara dalam video tersebut telah beredar sejak Agustus 2008, jauh sebelum jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada 9 Januari 2021 di K epulauan Seribu. Rekaman itu disebut-sebut berasal dari kotak hitam Adam Air PK-KKW bernomor penerbangan DHI 574 yang jatuh di Majene, Sulawesi Barat. Namun, Kemenhub menyatakan bahwa rekaman yang beredar luas di internet itu palsu karena berbeda dari rekaman yang asli.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/sriwijaya-air-sj-182
- https://archive.vn/qngGH
- https://www.tempo.co/tag/sriwijaya-air
- https://www.youtube.com/watch?v=KkPjH9WPquc
- https://www.youtube.com/watch?v=CqUpwmHeXJ4
- https://www.youtube.com/watch?v=AHSwpb_zjvo
- https://bit.ly/3ieOMFO
- https://www.tempo.co/tag/kabupaten-majene
- https://bit.ly/3bHAfRw
- https://www.tempo.co/tag/black-box-sriwijaya-air
- https://bit.ly/2XDvfW3
- https://www.tempo.co/tag/kepulauan-seribu
(GFD-2021-8452) Sesat, Siswi SD Meninggal Karena Vaksin di Tengah Pandemi Covid-19
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 14/01/2021
Berita
Kanal YouTube Amri Putra Bungsu 82 membagikan video berita dari Kompas TV pada 6 Januari 2021. Video itu diberi judul “siswi SD meninggal dunia siap suntik vaksin”. Video yang telah ditonton lebih dari 13 ribu kali ini diunggah di tengah berjalannya program vaksinasi Covid-19.
Berita Kompas TV tersebut berisi laporan tentang seorang siswi sekolah dasar di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang meninggal setelah tiga hari sebelumnya disuntik vaksin difteri. Korban mengalami panas tinggi hingga kemudian meninggal di rumah sakit.
Gambar tangkapan layar unggahan kanal YouTube Amri Putra Bungsu 82 yang berisi klaim sesat terkait video yang diunggahnya.
Berita Kompas TV tersebut berisi laporan tentang seorang siswi sekolah dasar di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang meninggal setelah tiga hari sebelumnya disuntik vaksin difteri. Korban mengalami panas tinggi hingga kemudian meninggal di rumah sakit.
Gambar tangkapan layar unggahan kanal YouTube Amri Putra Bungsu 82 yang berisi klaim sesat terkait video yang diunggahnya.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan verifikasi Tempo, peristiwa yang diberitakan oleh Kompas TV dalm video itu sebenarnya terjadi pada 11 Januari 2018. Hasil diagnosis Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang menyatakan korban mengalami sepsis, yakni infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak. Sepsis diduga terjadi karena diare akut yang diderita korban. Keluarga pun menolak autopsi sehingga klaim penyebab kematian karena vaksin tak bisa dibuktikan.
Untuk memeriksa klaim dalam unggahan kanal Amri Putra Bungsu 82, Tim CekFakta Tempo menelusuri video berita di kanal Kompas TV dengan kata kunci “siswi SD meninggal setelah divaksin”. Lewat cara ini, ditemukan bahwa video itu dimuat oleh Kompas TV di YouTube pada 11 Januari 2018 dengan judul "Polisi Menyelidiki Kasus Kematian Siswi SD Seusai Vaksin".
Menurut Kompas TV, siswi SD bernama Teariza itu meninggal setelah tiga hari sebelumnya menerima vaksin difteri di sekolahnya. Sore harinya, tubuh Teariza panas hingga dilarikan ke rumah sakit. Setelah tiga hari dirawat, dia meninggal. Saat itu, kepolisian setempat hendak menyelidiki penyebab kematian korban, namun terkendala karena pihak keluarga tidak mengizinkan jenazah diautopsi.
Dikutip dari iNews Jawa Barat, Kepala Bidang (Kabid) Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang Sri Sugiharti menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan rumah sakit, korban didiagnosis terkena sepsis. Sepsis disebabkan oleh infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak. Akibatnya, terjadi penurunan kesadaran.
“Sepsis itu karena panas dan karena infeksi, diare yang sudah akut. Sore itu, katanya, korban juga habis makan seblak (yang diduga menyebabkan diare) dan cukup banyak sambalnya. Malamnya langsung buang air besar berkali-kali, sampai akhirnya Senin dibawa ke rumah sakit dan Selasa meninggal,” kata Sri memapaparkan dugaan penyebab meninggalnya korban.
Manfaat vaksin difteri
Dikutip dari Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteriCorynebacterium diphtheria, yang terutama menginfeksi tenggorokan dan saluran udara bagian atas, serta menghasilkan racun yang mempengaruhi organ lain. Vaksin difteri menjadi upaya untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dari penyakit ini.
Penemuan vaksin merupakan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan yang terbukti memperpanjang usia harapan hidup manusia. Ikatan Dokter Anak Indonesia ( IDAI ) mencatat vaksin difteri berhasil menurunkan jumlah kematian di awal abad ke-20. Di Ontario, Kanada, misalnya, tingkat kematian akibat difteri mencapai 50 orang per 100 ribu populasi. Kematian kemudian menurun menjadi sekitar 15 orang per 100 ribu pada Perang Dunia I setelah vaksin toksoid difteri digunakan secara luas pada akhir 1920.
Di Amerika Serikat, dulunya, difteri adalah penyebab umum penyakit dan kematian pada anak-anak. Pada 1920-an, AS pernah menangani sebanyak 200 ribu kasus dalam setahun. Berkat vaksin difteri, angka itu turun 99,9 persen.
Menurut data WHO, pada 1980, jumlah kasus difteri di Indonesia mencapai 3.674 kasus dan berhasil ditekan pada 1990-an setelah digalakkannya imunisasi lengkap difteri. Namun, difteri kembali meningkat pada 2010 dengan 432 kasus dan pada 2018 dengan 1.026 kasus.
Dikutip dari The Conversation, penyebab kasus difteri kembali tinggi karena beberapa faktor. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, cakupan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) untuk anak usia 2-6 tahun di Indonesia hanya 75,6 persen. Padahal, cakupan idealnya adalah di atas 90 persen. Artinya, 24,6 persen anak Indonesia belum divaksinasi untuk ketiga penyakit tersebut.
Dugaan lainnya adalah pola distribusi vaksin dari pemerintah pusat ke daerah yang mempengaruhi suhu penyimpanan dan kondisi pengangkutan, sehingga memengaruhi efektivitas vaksin. Vaksin sangat sensitif terhadap panas, dan beberapa yang lain terhadap suhu beku.
Faktor berikutnya adalah munculnya kabar vaksin palsu yang menurunkan kepercayaan masyarakat. Ada pula beberapa kelompok masyarakat yang percaya bahwa vaksin tidak diperlukan karena kekebalan ada di setiap tubuh manusia.
Untuk memeriksa klaim dalam unggahan kanal Amri Putra Bungsu 82, Tim CekFakta Tempo menelusuri video berita di kanal Kompas TV dengan kata kunci “siswi SD meninggal setelah divaksin”. Lewat cara ini, ditemukan bahwa video itu dimuat oleh Kompas TV di YouTube pada 11 Januari 2018 dengan judul "Polisi Menyelidiki Kasus Kematian Siswi SD Seusai Vaksin".
Menurut Kompas TV, siswi SD bernama Teariza itu meninggal setelah tiga hari sebelumnya menerima vaksin difteri di sekolahnya. Sore harinya, tubuh Teariza panas hingga dilarikan ke rumah sakit. Setelah tiga hari dirawat, dia meninggal. Saat itu, kepolisian setempat hendak menyelidiki penyebab kematian korban, namun terkendala karena pihak keluarga tidak mengizinkan jenazah diautopsi.
Dikutip dari iNews Jawa Barat, Kepala Bidang (Kabid) Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang Sri Sugiharti menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan rumah sakit, korban didiagnosis terkena sepsis. Sepsis disebabkan oleh infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak. Akibatnya, terjadi penurunan kesadaran.
“Sepsis itu karena panas dan karena infeksi, diare yang sudah akut. Sore itu, katanya, korban juga habis makan seblak (yang diduga menyebabkan diare) dan cukup banyak sambalnya. Malamnya langsung buang air besar berkali-kali, sampai akhirnya Senin dibawa ke rumah sakit dan Selasa meninggal,” kata Sri memapaparkan dugaan penyebab meninggalnya korban.
Manfaat vaksin difteri
Dikutip dari Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteriCorynebacterium diphtheria, yang terutama menginfeksi tenggorokan dan saluran udara bagian atas, serta menghasilkan racun yang mempengaruhi organ lain. Vaksin difteri menjadi upaya untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dari penyakit ini.
Penemuan vaksin merupakan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan yang terbukti memperpanjang usia harapan hidup manusia. Ikatan Dokter Anak Indonesia ( IDAI ) mencatat vaksin difteri berhasil menurunkan jumlah kematian di awal abad ke-20. Di Ontario, Kanada, misalnya, tingkat kematian akibat difteri mencapai 50 orang per 100 ribu populasi. Kematian kemudian menurun menjadi sekitar 15 orang per 100 ribu pada Perang Dunia I setelah vaksin toksoid difteri digunakan secara luas pada akhir 1920.
Di Amerika Serikat, dulunya, difteri adalah penyebab umum penyakit dan kematian pada anak-anak. Pada 1920-an, AS pernah menangani sebanyak 200 ribu kasus dalam setahun. Berkat vaksin difteri, angka itu turun 99,9 persen.
Menurut data WHO, pada 1980, jumlah kasus difteri di Indonesia mencapai 3.674 kasus dan berhasil ditekan pada 1990-an setelah digalakkannya imunisasi lengkap difteri. Namun, difteri kembali meningkat pada 2010 dengan 432 kasus dan pada 2018 dengan 1.026 kasus.
Dikutip dari The Conversation, penyebab kasus difteri kembali tinggi karena beberapa faktor. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, cakupan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) untuk anak usia 2-6 tahun di Indonesia hanya 75,6 persen. Padahal, cakupan idealnya adalah di atas 90 persen. Artinya, 24,6 persen anak Indonesia belum divaksinasi untuk ketiga penyakit tersebut.
Dugaan lainnya adalah pola distribusi vaksin dari pemerintah pusat ke daerah yang mempengaruhi suhu penyimpanan dan kondisi pengangkutan, sehingga memengaruhi efektivitas vaksin. Vaksin sangat sensitif terhadap panas, dan beberapa yang lain terhadap suhu beku.
Faktor berikutnya adalah munculnya kabar vaksin palsu yang menurunkan kepercayaan masyarakat. Ada pula beberapa kelompok masyarakat yang percaya bahwa vaksin tidak diperlukan karena kekebalan ada di setiap tubuh manusia.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, unggahan kanal YouTube Amri Putra Bungsu 82 tersebut menyesatkan. Video berita yang diunggah oleh kanal itu memang pernah dimuat oleh Kompas TV, namun peristiwa meninggalnya siswi SD dalam berita tersebut terjadi pada 2018, jauh sebelum munculnya Covid-19 serta berjalannya vaksinasi Covid-19. Kematian siswi SD itu pun belum terbukti diakibatkan oleh vaksin. Keluarga menolak jenazah diautopsi. Padahal, hanya autopsi yang bisa membuktikan benar atau tidaknya klaim bahwa vaksin difteri menyebabkan korban meninggal. Diagnosis sementara Dinas Kesehatan setempat menyebut korban mengalami diare akut yang memicu sepsis, infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://archive.is/ltXVI
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://www.tempo.co/tag/vaksin
- https://www.youtube.com/watch?v=YN0W3kilmD0
- https://jabar.inews.id/berita/siswi-sd-di-karawang-meninggal-setelah-divaksin-difteri
- https://www.who.int/immunization/diseases/diphtheria/en/
- https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/persepsi-yang-salah-tentang-imunisasi
- https://www.vaccines.gov/diseases/diphtheria
- https://www.tempo.co/tag/difteri
- https://theconversation.com/indonesias-diphtheria-outbreak-problems-in-vaccination-and-antibiotics-efficacy-89036
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi
- https://www.tempo.co/tag/covid-19
Halaman: 4653/6183