• (GFD-2020-8126) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Jenazah di Video Ini adalah Pasien Covid-19 yang Organ Dalamnya Telah Diambil?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/06/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan jenazah seorang pria dengan jahitan di bagian perut hingga dadanya beredar di YouTube dan Facebook. Jenazah dalam video itu diklaim sebagai pasien Covid-19 yang seluruh organ dalamnya telah diambil hingga tak bersisa.
    Di YouTube, video itu diunggah oleh kanal SEMUA ADA DI SINI pada 7 Juni 2020. Video tersebut diberi judul "Di Balik Covid-19/Corona Ternyata Isi Nya Sudah Habis". Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 34 ribu kali.
    Video itu pun dibagikan ke Facebook. Salah satu akun yang mengunggahnya adalah akun Baco Puraga, yakni pada 8 Juni 2020. Di Facebook, terlihatthumbnailvideo ini yang diberi narasi "Setelah Di Buka Peti Yang Katanya Terkenak Covid-19/Corona Ternyata Dalam Nya Ludes".
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Baco Puraga.
    Apa benar jenazah dalam video di atas adalah pasien Covid-19 yang organ dalamnya telah diambil?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula mengambil gambar tangkapan layar video itu, kemudian menelusurinya denganreverse image toolYandex. Lewat penelusuran ini, ditemukan bahwa video itu pernah diunggah oleh kanal YouTube GG Langkat Chanell pada 27 November 2018.
    Video tersebut diberi keterangan, "Sebuah rumah sakit melakukan kejahatan dengan mengambil organ tubuh dari mayat yg di otopsi, keluarga mengamuk dan tidak terima. Seramm!!!! yang gak nonton rugi. Hati hati buat keluarga Anda kalau di otopsi jangan di kasi."
    Berdasarkan petunjuk tersebut, Tempo melakukan pencarian dengan kata kunci "rumah sakit organ otopsi 2018". Lewat pencarian ini, ditemukan bahwa video tersebut juga pernah diunggah oleh kanal YouTube Tribunnews.com pada 22 April 2018 dengan judul "Keluarga Ngamuk dan Histeris di Ruang Jenazah RS Kandou Malalayang, Minta Organ Dalam Dikembalikan".
    Dalam keterangannya, tertulis bahwa video itu diunggah secara langsung oleh akun Facebook Gerry Marchell Maramis Rey pada 22 April 2018 dini hari. Peristiwa dalam video tersebut terjadi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Kandou Malalayang, Manado.
    Dilansir dari Akurat.com, jenazah dalam video itu adalah Jecky Geraldy Payow, 21 tahun, warga Desa Mariri Lama, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Dalam video tersebut, terlihat keributan saat keluarga menyaksikan jahitan di perut hingga dada jenazah.
    Keributan itu terjadi karena keluarga tidak terima dengan otopsi yang dilakukan rumah sakit terhadap Jecky yang merupakan korban penikaman. Menurut mereka, otopsi dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga. Bahkan, salah satu dari mereka meminta dokter mengembalikan organ dalam jenazah.
    Dikutip dari iNews.id, Humas RSUP Kandou Malalayang, Meike Dondokambey, mengatakan bahwa rumah sakit telah melakukan tugas sesuai prosedur yang berlaku. Menurut dia, otopsi dilakukan oleh rumah sakit atas permintaan kepolisian setempat.
    Meike mengatakan jenazah Jecky diotopsi karena merupakan korban pembunuhan. Hal ini merupakan kewajiban rumah sakit yang telah diatur dalam undang-undang. "Kami diminta pihak kepolisian, dan hasil otopsi juga bakal diserahkan ke polisi," ujar Meike seperti dilansir dari Tribunnews.com.
    Terkait bekas jahitan di perut korban, kata Meike, adalah bekas otopsi. Dia pun menyatakan tidak ada pencurian organ seperti isu yang berkembang. "Hanya ada otopsi, dan otopsi yang kami lakukan sesuai prosedur, tak ada pengambilan organ," tuturnya.
    Kepala Polresta Manado, Komisaris Besar FX Surya Kumara mengatakan otopsi jenazah korban pembunuhan di Malalayang, yakni Jecky, sudah dilakukan sesuai dengan prosedur. Mengenai persetujuan dari keluarga, menurut Surya, sudah ada. "Pastilah," ujar Surya pada 22 April 2018.
    Adapun dokter forensik RSUP Kandou Malalayang, Jemmy Tomuka, menyatakan tidak pernah ada penjualan organ manusia jika yang diotopsi sudah tidak bernyawa. "Tidak ada orang yang telah meninggal diambil organnya untuk dipakaikan ke orang yang masih hidup," tuturnya seperti dikutip dari iNews.id.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa jenazah dalam video di atas adalah pasien Covid-19 yang organ dalamnya telah diambil menyesatkan. Video itu merupakan video yang direkam pada April 2018, jauh sebelum munculnya virus Corona Covid-19 pada akhir Desember 2019. Jenazah dalam video itu merupakan korban pembunuhan. Jahitan di perut hingga dada jenazah merupakan bekas otopsi. Pihak rumah sakit yang mengotopsi jenazah tersebut membantah bahwa ada pencurian organ.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8125) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Virus Flu Babi Lebih Ganas Ketimbang Virus Corona Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/06/2020

    Berita


    Akun Instagram @crazyrichsurabayans mengunggah sebuah tabel dari Business Insider yang berjudul "Wuhan coronavirus compared to other major viruses". Tabel ini berisi perbandingan wabah dan pandemi yang pernah terjadi, termasuk pandemi Covid-19. Akun itu pun memberikan narasi bahwa virus H1N1 penyebab flu babi lebih ganas ketimbang virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
    “Virus corona ternyata tidak seganas yang anda pikirkan kalau dibandingin sama virus h1n1/ yang kita kenal influenza lebih kejam jauh,” demikian narasi yang ditulis oleh akun @crazyrichsurabayans pada 3 Maret 2020 yang hingga kini masih viral dan telah disukai lebih dari seribu kali.
    Adapun dalam tabel itu, tertulis bahwa wabah virus H1N1 yang muncul pada 2009 menginfeksi lebih dari 700 juta orang. Jumlah kematian yang disebabkan oleh virus tersebut mencapai 284.500 orang dengan tingkat kematian 0,02 persen. Wabah ini pun menyebar ke 214 negara.
    Sedangkan untuk virus Corona baru (2019-nCov yang kemudian diganti namanya menjadi SARS-CoV-2), hanya menginfeksi 11.871 orang dan menewaskan 259 orang. Adapun tingkat kematian kasus ini mencapai 2,2 persen dan menyebar ke 24 negara. Angka itu adalah angka per 31 Januari 2020.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @crazyrichsurabayans.
    Apa benar virus H1N1 penyebab flu babi lebih ganas ketimbang virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2?

    Hasil Cek Fakta


    Dilansir dari LiveScience, pandemi flu pada 2009 adalah pandemi virus H1N1 kedua yang terjadi di dunia setelah flu Spanyol pada 1918. Pandemi flu yang disebut flu babi ini disebabkan oleh strain baru dari H1N1 yang berasal dari Meksiko pada musim semi 2009 sebelum akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Pada Juni 2009, dengan banyaknya kasus yang terjadi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan flu babi sebagai pandemi.
    CDC memperkirakan, antara April 2009-April 2010, terdapat 60,8 juta (kisaran: 43,3-89,3 juta) kasus flu babi yang terjadi di Amerika Serikat, dengan 274.304 (kisaran: 195.086-402.719) pasien rawat inap dan 12.469 (kisaran:8.868-18-306) kematian.
    Akan tetapi, menurut laporan LiveScience, virus H1N1 2009 tidak lebih menular ketimbang virus Corona baru, SARS-CoV-2. Angka reproduksi dasar atau R0 virus H1N1 2009 adalah 1,46. Ini berarti setiap individu yang terinfeksi dapat menularkan virus tersebut kepada 1-2 orang.
    Sementara itu, untuk SARS-CoV-2, R0-nya adalah 2,5. Artinya, seseorang yang terinfeksi bisa menularkan virus itu kepada 2-3 orang. Hal ini disebabkan oleh masa inkubasi SARS-CoV-2 yang berkisar antara 4-14 hari, sehingga seseorang dapat membawa dan menyebarkan virus yang sudah masuk ke tubuhnya hingga dua minggu sebelum mengalami gejala.
    Tingkat kematian flu babi pun hanya sekitar 0,02 persen. Sekitar 80 persen kematian terjadi pada orang berusia di bawah 65 tahun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang tua yang memiliki kekebalan, menunjukkan bahwa H1N1 atau sesuatu yang serupa kemungkinan telah menginfeksi sejumlah besar orang beberapa dekade sebelumnya.
    Menurut CDC, meskipun pandemi H1H1 2009 utamanya menyerang anak-anak, dewasa muda, dan setengah baya, dampak dari virus ini terhadap populasi global selama setahun pertama tidak separah pandemi sebelumnya. Diperkirakan, 0,001-0,007 persen populasi dunia meninggal akibat komplikasi pernapasan yang terkait dengan virus H1N1 selama 12 bulan pertama virus tersebut beredar.
    Adapun angka kematian Covid-19 secara global, menurut WHO per 3 Maret 2020, adalah sekitar 3,4 persen. "Sebagai perbandingan, flu musiman umumnya membunuh jauh lebih sedikit dari 1 persen dari mereka yang terinfeksi," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
    Dilansir dari MedicalNewsToday, tingginya angka infeksi dan kematian Covid-19 tersebut menimpa semua kelompok umur, terutama orang dewasa yang lebih tua yang memiliki penyakit penyerta. Dikutip dari World0Meters, per 9 Juni 2020, Covid-19 telah menginfeksi 7.198.634 orang di 215 negara. Jumlah kematian pun telah mencapai 408.734 orang dalam waktu 6 bulan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa virus H1N1 penyebab flu babi lebih ganas ketimbang virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, keliru. Menurut tabel yang menyertai klaim itu, sudah tercantum bahwa fatality rate atau tingkat kematian SARS-CoV-2 adalah 2,2 persen, lebih tinggi dibandingkan tingkat kematian virus H1N1 2009 yang hanya 0,02 persen. Selain itu, data dalam tabel tersebut adalah data per 31 Januari 2020 yang belum bisa menggambarkan sebaran penyakit Covid-19 saat ini. Hingga Juni 2020, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 7,1 juta orang di 215 negara dengan jumlah kematian 408.734 orang.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8124) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Vodka Bisa Kurangi Risiko Terinfeksi Virus Corona Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/06/2020

    Berita


    Narasi bahwa vodka bisa mengurangi risiko terinfeksi virus Corona Covid-19 beredar di media sosial. Narasi ini terdapat dalam sebuah surat yang diterbitkan pada 7 Maret 2020 di Kansas, Missouri, Amerika Serikat. Di Instagram, foto surat tersebut salah satunya dibagikan oleh akun @donkey_yurino, yakni pada 12 Maret 2020.
    Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa menurut penelitian yang dilakukan oleh pembuat surat itu konsumsi minuman beralkohol bisa membantu mengurangi risiko terinfeksi virus Corona Covid-19. "Vodka is the most recommended for drinking, cleaning and sanitizing," demikian narasi dalam surat berbahasa Inggris tersebut.
    Adapun dalam keterangannya, akun @donkey_yurino menuliskan narasi, "stay safe guys... perbanyak minum alkohol agar tidak terkena corona." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah disukai lebih dari 29 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @donkey_yurino.
    Apa benar vodka dapat mengurangi risiko terinfeksi virus Corona Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri foto surat tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, ditemukan sebuah foto serupa, namun dengan kop surat yang memuat logo Saint Luke's Hospital of Kansas City. Berdasarkan petunjuk ini, Tempo menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan kata kunci "Saint Luke's Hospital vodka coronavirus".
    Dilansir dari AFP Fact Check, juru bicara Saint Luke's Hospital, Lindsey Stitch, menyatakan bahwa surat yang beredar itu adalah surat palsu. "Vodka tidak memiliki pengaruh terhadap virus Corona," kata Stitch kepada AFP melalui email pada 12 Maret 2020.
    Melalui akun Facebook resminya, Saint Luke’s Health System, Saint Luke's Hospital juga telah mengklarifikasi informasi tersebut pada 12 Maret 2020. Mereka menyatakan bahwa laporan yang menyebut konsumsi minuman beralkohol dapat mengurangi risiko terinfeksi virus Corona Covid-19 tidak benar.
    "Saint Luke mengikuti panduan CDC, yakni mempraktekkan kebersihan tangan yang baik; mencuci tangan minimal 20 detik, terutama setelah menggunakan kamar kecil, sebelum makan, dan setelah bersin atau batuk; jika sabun dan air tidak tersedia, gunakan hand sanitizer dengan kandungan alkohol minimal 60 persen; hindari kontak dekat dengan orang yang sakit dan tinggal di rumah saat Anda sakit; hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut; tutup batuk dan bersin dengan tisu, lalu buang tisu ke tempat sampah; bersihkan dan disinfeksi benda dan permukaan yang sering disentuh dengan semprotan pembersih rumah tangga biasa," demikian narasi yang ditulis oleh Saint Luke's Hospital.
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 7 Maret 2020, salah satu produsen vodka Tito's asal Austin, Texas, Amerika, pun melarang masyarakat menggunakan vodka sebagaihand sanitizer. "Menurut CDC, pembersih tangan harus mengandung alkohol minimal 60 persen. VodkahomemadeTito mengandung alkohol 40 persen, dan karena itu tidak memenuhi rekomendasi CDC saat ini."
    Sebelumnya, pernah beredar klaim bahwa minum alkohol bisa membunuh virus Corona Covid-19. Klaim itu disertai dengan gambar tangkapan layar sebuah video berita yang berjudul "Alcohol kills coronavirus". Dalam gambar itu, terdapat pula logo stasiun televisi asing, CNN, dan salah satunews anchorsenior, Wolf Blitzer.
    Tim CekFakta Tempo telah memverifikasi klaim tersebut dan menyatakannya sebagai klaim yang keliru. Pasalnya, gambar tangkapan layar itu palsu. Gambar tersebut berasal dari situs pembuattemplatememe.Templateitu sengaja diproduksi untuk dipakai sebagai parodi.
    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah menyatakan bahwa tidak benar minum alkohol bisa membunuh virus Corona Covid-19. Ketika virus telah memasuki tubuh seseorang, menyemprotkan alkohol atau bahkan meminumnya tidak akan bisa membunuh virus tersebut.
    WHO menegaskan bahwa alkohol dan klorin bisa dipakai untuk mendesinfeksi permukaan sebuah benda. Namun, keduanya tetap harus digunakan di bawah rekomendasi yang tepat. "Jadi, salah jika Anda mengatakan bahwa mengkonsumsi produk alkohol atau bir dapat membantu mencegah Covid-19," ujar WHO.
    Para dokter pun memperingatkan bahwa alkohol tidak berpengaruh terhadap penularan virus Corona Covid-19. Menurut mereka, cara untuk menghindari penyebaran virus Corona adalah dengan mematuhi imbauan kesehatan serta tidak melakukan kontak dengan pasien yang terinfeksi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vodka dapat mengurangi risiko terinfeksi virus Corona Covid-19 adalah klaim yang keliru. Surat yang menyertai klaim tersebut adalah surat palsu. Minuman beralkohol, termasuk vodka, pun tidak memiliki pengaruh terhadap virus Corona Covid-19. Ketika virus telah memasuki tubuh seseorang, menyemprotkan alkohol atau bahkan meminumnya tidak akan bisa membunuh virus tersebut.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8123) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pesan Berantai Soal Petugas Rapid Test Covid-19 yang Tak Ganti Sarung Tangan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 08/06/2020

    Berita


    Pesan berantai yang berjudul "Rapid Tes Mendadak" beredar di media sosial dan grup-grup percakapan WhatsApp dalam beberapa hari terakhir. Pesan berantai ini menyinggung tentang petugas rapid test virus Corona Covid-19 yang tidak mengganti sarung tangan setelah menangani pasien.
    Di Facebook, pesan berantai ini dibagikan salah satunya oleh akun Elfrida Dalimunthe, yakni pada 5 Juni 2020. Berikut narasi lengkapnya:
    *RAPID TES MENDADAK*_*Mohon menjadi PERHATIAN bagi diri Anda maupun keluarga*_
    Bila Anda tiba-tiba terjebak dalam operasi *RAPID TES* dadakan.Tiba2 datang Petugas yang meng *HARUS* kan Anda mengikuti Rapid Tes, maka yang perlu diperhatikan adalah *SARUNG TANGAN* Petugas.
    Kalau sarung tangan yang dipakai hanya itu-itu saja (satu) *tanpa ganti*, dimana setelah Petugas itu pegang orang/pasien yang di Rapid Tes, kemudian tanpa ganti sarung tangan, Petugas lalu memegang Anda, maka disinilah letak rawannya *PENULARAN VIRUS*, karena kita tidak tahu dan Petugas pun tidak tahu, apakah orang yang dipegang sebelum kita tadi *REAKTIF, POSITIF* atau *NEGATIF*
    Jadi *PENULARAN* bukan karena kita berada ditempat umum saja, akan tetapi saat Rapid Tes dilakukan massal atau perkelompok, Petugasnya *TIDAK GANTI2 SARUNG TANGAN* _(bisa terjadi)_
    Untuk itu agar aman, silahkan anda minta *GANTI sarung tangan Petugas* (Anda berhak), dan jika Petugas tidak berkenan, Anda boleh *MENOLAK di Rapid Tes* (berhak) demi keselamatan dan kesehatan Anda.
    *salam sehat*_semoga bermanfaat_#copas
    Hingga artikel ini dimuat, pesan berantai yang diunggah oleh akun tersebut telah dibagikan lebih dari 900 kali dan disukai lebih dari 400 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Elfrida Dalimunthe.
    Bagaimana kebenaran dari pesan berantai soal petugas rapid test Covid-19 yang tak ganti sarung tangan tersebut?

    Hasil Cek Fakta


    Dilansir dari Timesindonesia.co.id, pesan berantai tersebut sempat beredar di grup-grup WhatsApp warga Semarang, Jawa Tengah. Merespons pesan berantai itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, Abdul Hakam, menegaskan bahwa setiap petugas DKK Semarang, dalam melakukan tes swab ataupun rapid test kepada pasien, dipastikan mematuhi prosedur operasional standar terkait penggunaan alat pelindung diri (APD).
    "Petugas rapid atau swab test DKK Semarang selalu mengganti sarung tangan setiap kali ganti pasien. Jadi, masyarakat tidak perlu resah atau khawatir dengan isu penularan Covid-19 melalui sarung tangan petugas seperti yang diberitakan dalam pesan kaleng tersebut," ujar Abdul pada 1 Juni 2020.
    Abdul juga memastikan bahwa setiap pasien yang diperiksa oleh tim penjaringan lapangan yang melakukan tes massal sudah memenuhi protokol kesehatan, seperti cuci tangan baik sebelum maupun sesudah tes. "Demikian juga halnya pasien diharuskan cuci tangan dengan sabun atau memakai hand sanitizer setelah mendapatkan pelayanan, sehingga tidak terjadi penularan virus," tuturnya.
    Dilansir dari Suara.com, Wiwin Sulistyawati, petugas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, bercerita soal perlindungan berlapis yang dikenakannya ketika melakukan tes swab terhadap pasien. Saat melakukan tes swab, ia harus memakai tiga setel baju, yakni satu setel pakaian operasi, satu setel APD lengkap, dan satu setel jubah.
    Tak hanya itu, perlengkapan berlapis dikenakan untuk melindungi tangan hingga mata, mulai dari sarung tangan yang menutup sampai lengan hingga mengenakan kacamata khusus yang dilapisi face shield atau pelindung wajah. "Kurang lebih butuh waktu setengah jam hanya untuk melakukan semua persiapan pengambilan swab itu," ujar Wiwin pada 5 Mei 2020.
    Biasanya, estimasi waktu yang dibutuhkan Wiwin untuk mengambil sampel dari hidung dan tenggorokan berkisar antara 5-10 menit, tergantung kondisi pasien. Wiwin mengaku pernah mengambil swab sebanyak empat pasien dalam sehari. Dari pasien satu ke pasien lainnya, setiap mengambil swab, Wiwin harus mengganti sarung tangan lapisan ketiga.
    Dilansir dari Kompas.com, Tonang Dwi Ardyanto, Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian sekaligus Juru Bicara Satgas Covid-19 RS Universitas Sebelas Maret atau UNS, Solo, Jawa Tengah, menjelaskan penggunaan sarung tangan oleh petugas medis. Ia mengatakan bahwa penggantian sarung tangan selalu dilakukan.
    Namun, ketika petugas medis harus menangani pasien atau orang dalam jumlah banyak, tidak efisien jika langsung mengganti sarung tangan. "Kalau satu pasien dengan pasien lain jedanya cukup panjang, kami istirahat dulu, kami lepas sarung tangan dan cuci tangan," ujar Tonang pada 5 Juni 2020.
    "Tapi, begitu ada pasien baru ya ganti sarung tangan. Tapi, kalau harus ambil pasien yang berurutan banyak, tidak efisien kalau mengganti sarung tangan," tuturnya. Meski demikian, ia memastikan bahwa petugas medis melakukan standar kebersihan sesuai ketentuan.
    Dalam melakukan rapid test pun, menurut Tonang, petugas medis memiliki standar sterilisasi. "Di rumah sakit, ada standar kebersihan. Ada lima momen, salah satunya, saat menangani pasien dan akan menyentuh pasien berikutnya, harus cuci tangan," ujarnya.
    Tonang menjelaskan, dengan rutin mencuci tangan sebelum dan setelah mengurus pasien, rantai penularan dari satu pasien ke pasien lain dapat diputus. "Prinsip dasarnya itu cuci tangan, dan sudah bukan hal baru lagi. Kalau sudah menjadi kebiasaan, jadi tidak akan lupa," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, isi pesan berantai soal petugas rapid test virus Corona Covid-19 yang tak ganti sarung tangan di atas keliru. Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Abdul Hakam, mengatakan bahwa petugas rapid atau swab test selalu mengganti sarung tangan setiap kali berganti pasien. Wiwin Sulistyawati, petugas tes swab RSUD Wates, juga bercerita soal sarung tangan yang dikenakannya. Dari pasien satu ke pasien lainnya, setiap mengambil swab, Wiwin harus mengganti sarung tangan lapisan ketiga. Adapun Juru Bicara Satgas Covid-19 RS UNS, Tonang Dwi Ardyanto, menjelaskan bahwa petugas rumah sakit harus cuci tangan saat menangani pasien dan akan menyentuh pasien berikutnya. Dengan rutin mencuci tangan sebelum dan setelah mengurus pasien, rantai penularan dari satu pasien ke pasien lain dapat diputus.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan