• (GFD-2020-8138) [Fakta atau Hoaks] Benarkah di Jerman Tiba-tiba Muncul Awan Hitam yang Disertai Suara Azan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Baharudinmajelis mengunggah sebuah video yang memperlihatkan orang-orang di jalanan sedang merekam situasi di sekitar mereka dengan kamera ponselnya. Dalam video yang diunggah pada 12 Juni 2020 tersebut, terdengar pula suara azan. Menurut akun ini, peristiwa dalam video itu adalah peristiwa munculnya awan hitam yang disertai suara azan di Jerman.
    Berikut narasi yang ditulis oleh akun Baharudinmajelis: "Di Berlin , Jerman ada kejadian aneh, tiba-tiba ada awan hitam, dan muncul suara adzan menggema. Padahal gak ada Masjid .. , ALLAHU AKBAR ....."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan video tersebut telah ditonton lebih dari 79 ribu kali, dibagikan lebih dari 2.700 kali, dan dikomentari sebanyak 147 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Baharudinmajelis.
    Apa benar di Berlin, Jerman, tiba-tiba muncul awan hitam yang disertai dengan suara azan?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video unggahan akun Baharudinmajelis tersebut menjadi sejumlah foto dengantoolInVID. Kemudian, foto-foto tersebut ditelusuri denganreverse image toolGoogle dan Yandex.
    Hasilnya, diketahui bahwa video itu telah banyak dibagikan di YouTube pada awal April 2020, terutama dengan narasi berbahasa Turki. Salah satu kanal YouTube yang pernah mengunggah video itu adalah kanal Mustafa Turna, yakni pada 3 April 2020. Kanal ini memberikan judul yang jika diterjemahkan berarti "Azan dikumandangkan dengan lantang untuk pertama kalinya di ibukota Jerman, Berlin".
    Berbekal petunjuk ini, Tempo menelusuri pemberitaan terkait peristiwa itu dengan memasukkan kata kunci “Azan in Berlin” ke mesin pencarian Google. Lewat cara ini, ditemukan bahwa sejumlah media pernah mempublikasikan video yang diambil dari peristiwa yang sama. Satu di antaranya adalah Ruptly, kantor berita yang berbasis di Berlin.
    Dalam keterangan video yang diunggah di kanal YouTube-nya, Ruptly menjelaskan bahwa video tersebut memperlihatkan ratusan warga yang berkumpul di luar Masjid Dar Assalam, Berlin, pada 3 April 2020 untuk mendengarkan panggilan salat (azan). Azan ini bergema bersamaan dengan bunyi lonceng di gereja yang berada di dekat masjid tersebut.
    Azan dan lonceng ini dibunyikan bersama-sama sebagai tanda solidaritas selama pandemi Covid-19. Namun, karena menyebabkan kerumunan orang dan melanggar aturanphysical distancing, polisi mendatangi masjid itu, berdiskusi dengan imam masjid, dan sepakat bahwa azan harus diakhiri lebih awal untuk memastikan kepatuhan atas aturanphysical distancing.
    Meskipun begitu, menurut penyelenggara acara, termasuk Pusat Antar Budaya Gereja Genezarethkirche, azan dan lonceng itu akan terus dibunyikan bersama-sama setiap hari pada jam 6 sore waktu setempat. Namun, penyelenggara memastikan bahwa hari berikutnya akan terdapat instruksi di media sosial agar umat mengikuti panggilan untuk berdoa itu secaraonline.
    Terdapat beberapa kesamaan dalam video unggahan akun Baharudinmajelis dengan video unggahan kanal Ruptly. Pertama, bentuk dan warna coklat masjid dengan sejumlah tenda berwarna putih di depannya. Kedua, bentuk dan warna gedung yang berada di kiri-kanan masjid, yakni gedung yang berwarna oranye dan merah muda.
    Gambar tangkapan layar video unggahan kanal YouTube Ruptly (kiri) dan gambar tangkapan layar video unggahan akun Facebook Baharudinmajelis (kanan).
    Dalam dokumentasi Google Street View pada Juni 2008, terlihat pula bentuk dan warna Masjid Dar Assalam yang sama dengan yang terlihat dalam video. Hanya saja, warna gedung yang berada di kanan masjid kini berubah dari sebelumnya abu-abu. Namun, bentuk gedung masih sama dengan yang terlihat dalam dokumentasi Google Street View pada Juni 2008.
    Di Jerman, aksi melantunkan azan dan membunyikan lonceng gereja secara bersamaan sebagai tanda solidaritas selama pandemi Covid-19 tidak hanya dilakukan di Masjid Dar Assalam. Masjid dan gereja di kota selain Berlin juga menggelar aksi tersebut sejak akhir Maret 2020.
    Menurut laporan Ruptly, pada 25 Maret 2020, azan juga dilantunkan di masjid Uni Turki-Islam untuk Urusan Agama (DITIB) di Duisburg bersamaan dengan pembunyian lonceng di gereja yang berlokasi di dekat masjid tersebut. Azan itu dikumandangkan pada jam 7 malam. Azan ini pertama kali dilantunkan oleh masjid DITIB sejak selesai dibangun pada 2008.
    Meskipun begitu, untuk menekan penyebaran virus Corona Covid-19 di Jerman, tempat-tempat ibadah menangguhkan sementara layanan keagamaan. Hal ini dilakukan menyusul adanya pembatasan ketat terhadap pertemuan publik oleh pemerintah Jerman yang diumumkan pada 5 April 2020.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan di atas, klaim yang ditulis oleh akun Facebook Baharudinmajelis, bahwa di Berlin, Jerman, tiba-tiba muncul awan hitam yang disertai dengan suara azan, menyesatkan. Azan yang terekam dalam video yang menyertai klaim itu memang benar merupakan azan yang berkumandang di Berlin. Namun, bukan karena munculnya awan hitam, melainkan dilantunkan oleh Masjid Dar Assalam bersamaan dengan pembunyian lonceng gereja yang berlokasi di dekat masjid tersebut. Aksi ini adalah bagian dari gerakan solidaritas di tengah pandemi Covid-19.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8137) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Narasi yang Sebut Novel Baswedan Salahkan Jokowi dan Menyuruhnya Banding?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Muhammad Bahrun Najach membagikan narasi yang menyebut penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, menyalahkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam unggahannya pada 13 Juni 2020 ini, akun itu juga meminta Novel untuk mengajukan banding.
    Berikut narasi yang ditulis oleh akun tersebut: “Dan hasil putusan pengadilan yang terbuka pun jadi salah pak jokowi? Oee klo gk puas banding dong...”
    Dalam unggahannya, akun itu pun menyertakan gambar tangkapan layar sebuah judul berita yang diklaim sebagai pernyataan Novel. Judul berita tersebut berbunyi "Novel Baswedan Muak, Marah Besar pada Jokowi: Anda Telah Membiarkan Semuanya Pak, Memang Keterlaluan!".
    Dalam gambar tangkapan layar tersebut, tercantum bahwa berita itu dimuat pada 11 Juni 2020. Penulisnya bernama Restu. Namun, tidak diketahui situs apa yang memuat berita tersebut.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Muhammad Bahrun Najach.

    Hasil Cek Fakta


    Terkait gambar tangkapan layar
    Dengan memasukkan kata kunci “Novel Baswedan Muak, Marah Besar pada Jokowi: Anda Telah Membiarkan Semuanya Pak, Memang Keterlaluan!” di mesin pencarian Google, Tim CekFakta Tempo menemukan bahwa berita tersebut dimuat oleh situs Pojok Satu pada 11 Juni 2020.
    Berita ini berisi tanggapan Novel terkait ringannya tuntutan jaksa terhadap dua terdakwa kasus penyiraman air keras yang menimpanya. Dua terdakwa itu, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, hanya dituntut satu tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 11 Juni 2020.
    Dalam berita itu, terdapat tiga kutipan pernyataan Novel, yakni:
    “Hari ini kita lihat apa yg saya katakan bhw sidang serangan terhadap saya hanya formalitas. Membuktikan persepsi yg ingin dibentuk n pelaku dihukum ringan.”
    “Keterlaluan mmg... sehari2 bertugas memberantas mafia hukum dgn UU Tipikor.. tetapi jadi korban praktek lucu begini.. lebih rendah dari org menghina.. pak @jokowi, selamat atas prestasi aparat bapak. Mengagumkan..."
    “Melihat kebusukan semua yg mrk lakukan rasanya ingin katakan TERSERAH.. Tp yg mrk lakukan ini akan jadi beban diri mrk sendiri, krn semua akan dipertanggunghawabkan. Termasuk pak @jokowi yang membiarkan aparatnya berbuat spt ini.. prestasi?”
    Menurut situs Pojok Satu, pernyataan itu diambil dari cuitan Novel di akun Twitter-nya, @nazaqistsha, pada 11 Juni 2020. Tempo pun memeriksatweetNovel. Hasilnya, memang benar bahwa tiga pernyataan itu dicuitkan oleh Novel. Dalam tigatweetitu, dia menunjukkan kekecewaannya terhadap proses hukum atas kasus penyiraman air keras yang menimpanya.
    Terkait narasi
    Narasi yang ditulis oleh akun Muhammad Bahrun Najach, yakni “Dan hasil putusan pengadilan yang terbuka pun jadi salah pak jokowi? Oee klo gk puas banding dong...”, keliru. Saat ini, sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel masih dalam tahap tuntutan dari jaksa penuntut umum, belum masuk pada tahap putusan dari majelis hakim.
    Menurut tata urutan persidangan pidana, setelah tuntutan dibacakan, sidang akan dilanjutkan dengan pembelaan atau pledoi dari terdakwa. Kemudian, sidang dilanjutkan dengan replik, duplik, dan terakhir putusan majelis hakim. Setelah putusan, terdakwa maupun pelapor bisa mengajukan banding atau menerima hasil putusan.
    Pasca dibacakannya tuntutan dalam sidang pada 11 Juni 2020, Novel berharap Jokowi turun tangan agar kasusnya bisa lebih terang benderang. Sebab, menurut Novel, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, ia seharusnya bisa menanyakan hal tersebut kepada Jokowi sebagai pemegang kekuasaan pertama. Jika Jokowi ingin membangun sistem peradilan yang lebih baik, Novel berharap kasusnya bisa diinvestigasi kembali oleh Jokowi.
    "Saya yakin beliau akan turun untuk melihat fakta itu dan menginvestigasi. Idealnya begitu, saya tak yakin Presiden abai dengan fakta ini, yang hal itu akan menunjukkan potret kerja Presiden sendiri yang tak baik," kata Novel dalam arsip berita Tempo pada 15 Juni 2020.
    Menurut Novel dan juga tim advokasinya, tuntutan tersebut janggal. "Saya tidak mendapatkan tambahan informasi atau apapun yang semakin membuat yakin, sehingga saya sedikit pun tidak lebih yakin," kata Novel pada 13 Juni seperti dikutip dari arsip berita Tempo.
    Pengacara Novel, Muhammad Isnur, mengatakan kejanggalan pertama adalah digunakannya pasal penganiayaan oleh jaksa penuntut umum. Ronny dan Rahmat disebut melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 353 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ini sesuai dengan dakwaan subsider.
    Padahal, menurut Isnur, kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi menimbulkan akibat yang buruk, yakni meninggal. “Sehingga, jaksa harus mendakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," ujar Isnur.
    Selain itu, berdasarkan pantauan tim advokasi Novel, setidaknya terdapat tiga saksi yang mestinya bisa dihadirkan. Tiga saksi itu juga sudah pernah diperiksa, baik oleh penyidik Polri, Komnas HAM, maupun Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan kepolisian. Namun, saksi-saksi penting ini tidak dihadirkan jaksa di persidangan.
    Dalam fakta-fakta persidangan yang disampaikan oleh jaksa di berkas tuntutan pun, nihil informasi tentang sosok pemberi perintah. Anggota kuasa hukum Novel sekaligus Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi yang ditulis oleh akun Muhammad Bahrun Najach, bahwa Novel Baswedan salahkan Presiden Jokowi terkait putusan pengadilan atas kasusnya dan menyuruhnya banding, menyesatkan. Isi berita dalam gambar tangkapan layar yang diunggah oleh akun tersebut memang berasal dari cuitan Novel di Twitter. Namun, narasi yang menyebut Novel salahkan Jokowi soal putusan pengadilan dan memintanya banding keliru. Saat ini, sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel masih dalam tahap tuntutan dari jaksa penuntut umum, belum masuk pada tahap putusan majelis hakim.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8136) [Fakta atau Hoaks] Benarkah di RUU HIP Sila Pertama Pancasila Diubah Jadi Ketuhanan yang Berkebudayaan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa sila pertama Pancasila diubah dari "Ketuhanan yang Maha Esa" menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" beredar di Facebook. Menurut klaim tersebut, perubahan sila pertama Pancasila ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
    Salah satu akun yang membagikan narasi itu adalah akun Hafid Daeng Al Makassary, yakni pada 13 Juni 2020. Akun ini juga mengunggah foto siaran program Kabar Petang di stasiun televisi tvOne. Topik yang dibahas dalam siaran itu adalah "RUU Pancasila Buka Pintu Komunisme?".
    Terdapat pula narasumber dalam program tersebut, yakni anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah dibagikan lebih dari 200 kali.
    Gambar tangkapan layar akun Facebook Hafid Daeng Al Makassary.
    Unggahan tersebut beredar di tengah penolakan RUU HIP yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU HIP masuk ke dalam program legislasi prioritas DPR pada 2020 dan sudah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR sebagai inisiatif DPR. Persetujuan ini diperoleh setelah mayoritas fraksi memberikan dukungan.
    Salah satu ormas yang menolak RUU tersebut adalah Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Mereka menilai materi RUU HIP banyak bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah undang-undang. Hal itu berpotensi membuka kembali perdebatan ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir.
    Namun, apa benar di RUU HIP sila pertama Pancasila diubah menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan"?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memeriksa foto yang diunggah oleh akun Hafid Daeng Al Makassary dengan memasukkan kata kunci sesuai judul program yang tertera, yakni "RUU Pancasila Buka Pintu Komunisme?", ke kolom pencarian di kanal YouTube tvOne.
    Dengan cara itu, Tempo menemukan bahwa siaran program dengan narasumber anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu tersebut pernah ditayangkan pada 13 Juni 2020. Siaran itu diberi judul "Pasal 7 RUU Pancasila HIP Tuai Kontroversi, Abdul Mu'ti: Jangan Buka Sejarah yang Harusnya Dikubur".
    Dalam siaran tersebut, disinggung tentang frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" yang tertera dalam Pasal 7 RUU HIP. Frasa ini menuai kontroversi karena dianggap mereduksi arti ketuhanan. Masinton membantah hal tersebut. Menurut dia, frasa itu muncul dalam pidato Bung Karno di Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.
    "Bahwa setiap orang Indonesia hendaknya percaya pada Tuhan. Landasan kepercayaan pada Tuhan ini satu-kesatuan dengan empat sila lainnya yang menghormati kemanusiaan, kehidupan, perbedaan, dan sebagainya. Ketika kita bicara Pancasila sejak proses kelahirannya pada 1 Juni hingga 18 Agustus 1945, itu adalah satu tarikan napas, satu rangkaian proses historis bangsa kita dalam merumuskan Pancasila. Ini sudah disampaikan secara gamblang oleh Bung Karno dalam pidato di Sidang BPUPKI itu. Jadi, ini adalah sebuah penegasan dalam rangkaian proses historis itu. Nah, tentu Pancasila yang kita kenal saat ini adalah dengan urut-urutan sila yang sekarang. Namun, sebelum dia berproses menjadi urut-urutan sila yang sekarang, ada proses historis awalnya. Nah, di situlah diletakkan dalam draf RUU ini. Bukan berarti kita kemudian mengabaikan hal-hal lain yang sudah secara monumental dan bersama-sama, konsensus dasar berbangsa kita, tokoh-tokoh bangsa kita merumuskan ini dan menerima Pancasila secara bersama-sama. Maka, kesimpulannya, tidak ada yang berubah di sini. Justru saling menguatkan, menegaskan aspek historisnya," ujar Masinton.
    Tempo pun mengecek draf RUU HIP yang diunggah di situs resmi DPR. Berikut narasi lengkap Pasal 7 yang memuat frasa “Ketuhanan yang Berkebudayaan”:
    (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
    Dalam Pasal 7 tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah dari sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan". Meskipun begitu, pasal ini menyinggung rumusan trisila-ekasila yang dinilai oleh PP Muhammadiyah mereduksi Pancasila.
    RUU HIP tidak mendesak
    Selain ormas, sejumlah akademisi mengkritik RUU HIP ini. Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan RUU HIP mengandung banyak pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement.
    "Norma hukum biasanya mengatur perilaku dan kelembagaan. Di dalam UU, ada pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal yang mengatur perilaku," kata Bivitri seperti dikutip dari Tirto. Dia pun menyatakan RUU ini tidak mendesak. "Pancasila tentu amat sangat penting, tapi masalah riil yang kita hadapi adalah pandemi COVID-19."
    Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga mempermasalahkan isi RUU HIP. Ia menilai banyak pasal yang isinya multitafsir dan akhirnya mubazir. "Misalnya, Pasal 7 yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Sukarno dijadikan bunyi pasal?" kata Zainal.
    Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati sependapat dengan Bivitri. Menurut dia, RUU HIP tidak mendesak sama sekali. "Ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti Orba (Orde Baru) karena terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila," kata Asfinawati.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa di RUU HIP sila pertama Pancasila diubah menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" menyesatkan. Frasa itu memang disebutkan sebagai ciri pokok Pancasila dalam Pasal 7 RUU HIP. Namun, dalam RUU tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah dari sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan". Meskipun begitu, sejumlah pihak menilai RUU HIP tidak mendesak untuk disahkan dan secara substansi mengandung pasal-pasal yang multitafsir.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8135) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Imigrasi Tahan 300 WNA Cina yang Bawa Ribuan Senjata Api di Tengah Pandemi Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa Dinas Imigrasi menahan 300 warga negara asing atau WNA asal Cina ilegal yang membawa ribuan senjata api beredar di media sosial. Menurut klaim yang terdapat dalam gambar berlogo CNN Indonesia itu, ratusan WNA Cina tersebut baru transit di Bandara Soekarno-Hatta dengan membawa 3 ribu senjata api AK-46 serta 5 ribu peluru.
    Dalam gambar tersebut, tertulis bahwa penahanan itu terjadi pada 4 Juni 2020. Di bagian awal, tertulis narasi "Di saat rezim pemerintah menerapkan aturanlockdownyang harus dipatuhi oleh rakyat dengan tidak memberi jaminan uang untuk kebutuhan hidup sesuai undang-undang, di saat itu pula rezim menyelundupkan WNA Cina komunis ilegal secara masif terus-menerus."
    Menurut klaim tersebut, para WNA Cina ilegal itu terindikasi sebagai Tentara Merah dan para intelijen Cina. "Sepertinya aparat kepolisian menutup mata dalam hal ini, atau mungkin malahmembackingi. Kedaulatan NKRI dan rakyat asli pribumi serta seluruh umat beragama di Indonesia sudah di ambang ancaman kepunahan," demikian narasi dalam klaim tersebut.
    Dalam gambar tersebut, terdapat pula empat foto. Dua foto memperlihatkan puluhan senjata laras panjang. Satu foto memperlihatkan puluhan peluru. Sementara satu foto lainnya memperlihatkan puluhan warga Cina berbaju biru, yang beberapa di antaranya memakai helm.
    Di Facebook, gambar tersebut diunggah salah satunya oleh akun Hendra Bastari, yakni pada 7 Juni 2020. Hingga artikel ini dimuat, gambar unggahan akun Hendra Bastari ini telah dibagikan lebih dari 150 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hendra Bastari.
    Apa benar Imigrasi tahan 300 WNA asal Cina yang bawa ribuan senjata AK-46 di tengah pandemi Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo memasukkan berbagai kata kunci terkait, mulai dari "Imigrasi tahan 300 WNA Cina" hingga “WNA Cina bawa senjata”, ke mesin pencarian Google. Namun, tidak ditemukan adanya pemberitaan media terkait hal itu. Begitu pula saat Tempo melakukan pencarian di situs C NN Indonesia dengan kata kunci "Dinas Imigrasi Tahan 300 Orang WNA China Ilegal", tidak ditemukan berita dengan judul tersebut.
    Foto-foto yang dicantumkan dalam gambar itu pun tidak terkait dengan klaim bahwa Imigrasi menahan 300 WNA Cina yang membawa ribuan senjata. Berdasarkan penelusuran Tempo denganreverse image toolSource, Google, Yandex, dan TinEye, berikut fakta atas foto-foto tersebut:
    Foto I
    Foto tumpukan peluru ini pernah dimuat di situs Luckygunner.com pada 22 Juni 2012, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Foto tersebut diberi keterangan: “Can you tell which of these rounds are .223 and which are 5.56? Because .223 Rem and 5.56 NATO share the same external dimensions, it can be hard to tell the difference.”
    Foto II
    Foto tumpukan senjata laras panjang tersebut pernah dimuat di situs stok foto Getty Images pada 29 Juli 2011, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Foto itu diberi judul “Picture of part of the assault rifles se”. Adapun keterangan fotonya berbunyi: "Foto bagian dari senapan serbu yang disita oleh polisi Kolombia di Cali, Departemen Valle del Cauca, pada 29 Juli 2011. Polisi Kolombia menyita 47 senapan serbu Norinco 7,62 mm buatan Cina (replika AK-47) dan 215 amunisi. Menurut otoritas, senjata itu dimiliki oleh kelompok kriminal Los Comba. AFP PHOTO/Luis Robayo."
    Foto III
    Foto yang memperlihatkan puluhan warga Cina ini pernah dimuat di situs Antaranews.com pada 28 Januari 2020 dengan judul “Mencegah kedatangan TKA China demi menahan penyebaran corona”. Foto tersebut diberi keterangan: “Buntut merebaknya virus corona yang berasal dari kota Wuhan, China, membuat pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan serius. Keberadaan dan kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) China menjadi perhatian sejumlah daerah. Kantor Imigrasi dan Disnakertrans berupaya melakukan pencegahan, demi melindungi masyarakat Indonesia tertular virus mematikan itu. (Saharudin/Rangga Musabar/Soni Namura/Sizuka).”
    Foto IV
    Foto puluhan senjata laras panjang tersebut pernah dimuat di situs Merdeka.com pada 26 Juli 2012 dalam artikel foto yang berjudul “Puluhan senjata api diamankan Polda Metro Jaya”. Foto ini diberi keterangan: "Selain senpi, aparat juga berhasil mengamankan 56air soft gunlaras panjang dan 36 laras pendek. 1.736 Butir amunisi laras panjang dan pendek, juga amunisisoft gunsebanyak 57.605 butir diamankan."

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim dalam gambar unggahan akun Facebook Hendra Bastari, bahwa Imigrasi tahan 300 WNA asal Cina yang bawa ribuan senjata AK-46 di tengah pandemi Covid-19, keliru. Tidak ditemukan adanya pemberitaan media terkait hal itu. Di situs CNN Indonesia pun, yang logonya tercantum dalam gambar tersebut, tidak terdapat berita dengan judul yang memuat kalimat "Dinas Imigrasi Tahan 300 Orang WNA China Ilegal". Begitu pula dengan foto-foto yang dicantumkan, tidak terkait dengan klaim bahwa Imigrasi menahan 300 WNA Cina yang membawa ribuan senjata.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan