(GFD-2020-8154) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video FKPPI Bandung yang Kumpul di Monas untuk Tolak RUU HIP?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 26/06/2020
Berita
Sebuah video yang diklaim sebagai video Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Bandung yang berkumpul di Monas, Jakarta, untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) viral di media sosial.
Video berdurasi sekitar 2,5 menit itu memperlihatkan ratusan orang yang berseragam loreng khas FKPPI berlari-lari kecil mengelilingi lapangan. Terdengar suara pria dalam video itu yang berkata, “Inilah Jawa Barat, siap melorengkan Monas. Saksikan, NKRI harga mati bagi kami, anak-anak TNI-Polri.”
Di Facebook, video itu dibagikan salah satunya oleh akun Julinar Sinaga pada 20 Juni 2020 dengan narasi “FKPPI dari Bandung sudah berkumpul di Monas, siap siaga segala kemungkinan terjadi apabila RUU HIP disyahkan oleh DPR. Revolusi jihad mati syahid atau hidup mulia, bela negara dari ancaman Komunisme..!”.
Adapun di YouTube, video itu dibagikan salah satunya oleh kanal TV Swasta dengan judul “Ratusan Anggota FKPPI Bandung Siap Lorengkan Monas Tolak RUU HIP”.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Julinar Sinaga.
Apa benar video di atas merupakan video FKPPI Bandung yang berkumpul di Monas untuk menolak RUU HIP?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo memasukkan kata kunci “FKPPI Jawa Barat ke Monas” dalam kolom pencarian Facebook. Hasilnya, ditemukan video yang sama yang diunggah oleh akun Erwin Nuryadin ke grup PD-X Keluarga Besar FKPPI Jawa Barat pada 9 Desember 2017. Akun itu memberikan narasi “Monas menjadi lautan loreng KB FKPPI. Mantap Saudaraku, sudah saatnya kita berikan Yang terbaik buat Ibu Pertiwi.”
Tempo kemudian mengecek video lain di grup PD-X Keluarga Besar FKPPI Jawa Barat yang dibagikan pada Desember 2017. Hasilnya, ditemukan video lain yang masih berkaitan dengan video unggahan akun Erwin Nuryadin. Video tersebut dibagikan oleh akun Muhammad Farid pada 12 Desember 2017 dengan keterangan "Pasukan Peserta Apel Kebangsaan Bela Negara dari Jawa Barat bergerak menuju Monas setelah Subuh berjamaah di Istiqlal".
Berdasarkan petunjuk waktu dan lokasi dalam kedua video itu, Tempo menelusuri pemberitaan media tentang kegiatan Apel Kebangsaan Bela Negara FKPPI di Monas pada Desember 2017 tersebut.
Berdasarkan arsip berita Tempo, Apel Kebangsaan Bela Negara FKPPI itu memang benar dilaksanakan di Monas pada 9 Desember 2017. Acara itu dihadiri oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, serta sejumlah menteri.
Dalam apel kebangsaan yang dihadiri oleh FKPPI berbagai daerah itu, Jokowi diangkat sebagai anggota kehormatan. Mendapat gelar tersebut, Jokowi mengucapkan rasa terima kasihnya. Ia juga menyatakan bangga bisa berdiri di hadapan keluarga besar FKPPI.
Menurut Jokowi, para purnawirawan di FKPPI telah berjasa bagi keamanan dan kemerdekaan Indonesia. "Saya bangga berdiri di sini, di depan keluarga besar FKPPI yang sudah 39 tahun berkomitmen memperkokoh NKRI dan menegakkan Pancasila," ujar Jokowi.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video FKPPI Bandung yang berkumpul di Monas untuk menolak RUU HIP keliru. Video itu merupakan video saat FKPPI Jawa Barat menghadiri Apel Kebangsaan Bela Negara di Monas pada 9 Desember 2017.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://web.archive.org/save/
- https://www.facebook.com/sehelaila/videos/1229698634039053/
- https://www.youtube.com/watch?v=g4hTESGge38
- https://s.id/kQNrk
- https://www.facebook.com/muhammad.farid.3158/videos/10215422518661904/?query=monas&epa=SEARCH_BOX
- https://nasional.tempo.co/read/1040792/fkppi-apel-di-monas-angkat-jokowi-sebagai-anggota-kehormatan/full&view=ok
(GFD-2020-8153) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pria di Samping Bung Karno dalam Foto Ini Ayah Rizieq Shihab?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 26/06/2020
Berita
Foto hitam putih yang memperlihatkan Presiden RI pertama, Sukarno, bersama tiga pria beredar di media sosial. Salah satu pria dalam foto itu, yakni yang berada di samping Bung Karno yang dilingkari biru, diklaim sebagai Hussein bin Muhammad Shihab atau ayah dari Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab.
Di bawah foto tersebut, terdapat narasi yang berbunyi, "Ingat sejarah biar tidak di tipu mereka. Yg di lingkaran Warna biru adalah Habib Husen Bin Syihab ayahanda dari Habib Riziq Syihab yg membantu memproklamatorkan kemerdekaan NKRI untuk memperoleh pengakuan Kedaulatan dari Negara-negara Arab (Timur Tengah)."
Salah satu akun yang membagikan foto itu adalah akun Facebook Pedongkelan Bangkit, yakni pada 22 Juni 2020. Akun ini pun menuliskan narasi, "Ingatlah sejarah wahai saudaraku." Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah disukai lebih dari 250 kali dan dibagikan sebanyak 146 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Pedongkelan Bangkit.
Apa benar pria di samping Bung Karno yang dilingkari biru dalam foto di atas adalah ayah Rizieq Shihab, Hussein bin Muhammad Shihab?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri foto unggahan akun Pedongkelan Barat dengan reverse image tool Source. Hasilnya, ditemukan bahwa pria di samping Bung Karno yang dilingkari biru dalam foto itu bukanlah ayah Rizieq Shihab, Hussein bin Muhammad Shihab.
Foto tersebut pernah dimuat di situs resmi Majelis Hikmah Alawiyah pada 14 Agustus 2019 dalam artikelnya yang berjudul "APB Mercusuar Kabar Proklamasi RI ke Dunia Internasional". Artikel ini sama sekali tidak menyinggung soal Hussein bin Muhammad Shihab.
Artikel ini menjelaskan tentang maklumat dari Presiden Sukarno dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945. Maklumat tersebut mengisyaratkan agar kabar kemerdekaan Indonesia disebarluaskan ke dunia internasional.
Dua pekan setelah maklumat Bung Karno itu, yakni pada 2 September 1945, Kantor Berita Arabian Press Board (APB) berdiri. APB kemudian berkantor di Gang Tengah Nomor 19, Jakarta Pusat. Pendirinya merupakan seorang pemuda peranakan Arab yang bernama Muhammad Asad Shahab.
Foto yang sama juga pernah dimuat di situs Detik.com pada 17 Agustus 2017 dalam artikelnya yang berjudul "Asad Shahab dan APB Kabarkan Proklamasi RI ke Timur Tengah". Foto tersebut diberi keterangan "(Kiri ke Kanan) M. Asad Shahab, Presiden Sukarno, serta dua pendiri APB, Muhammd Alhabsyi dan M. Dhya Shahab. (Foto: Koleksi A. Mutalib Shahab)".
Dilansir dari Detik.com, sebagai salah satu jurnalis yang hadir dalam Sidang PPKI pada 19 Agustus 1945, Muhammad Asad Shahab membatin bahwa dirinya bisa berbuat sesuatu seperti yang diharapkan Presiden Sukarno. Aktif di dunia jurnalistik sejak 1936 membuatnya punya banyak jaringan hingga luar negeri, khususnya Timur Tengah. Pada 1938-1942, dia tercatat sebagai kontributor media berbahasa Arab, al-Mughatttan, di Mesir.
Bersama kakaknya, M. Dzya Shahab dan sahabatnya, Husein Alhabsyi, dia lalu berembug tentang perlunya membentuk kantor berita berbahasa Arab. Hal ini ditempuh sebab saat itu sudah ada dua kantor berita, yaitu Antara yang jangkauannnya bersifat lokal dan Domei yang dikontrol oleh Jepang.
"Kalau kantor berita khusus berbahasa Arab belum ada, padahal ayah (Asad) punya banyak jaringan di negara-negara Timur Tengah," kata A. Mutalib Shahab, putra kedua Asad kepada Detik.com di kediamannya pada 16 Agustus 2017. Beberapa waktu lalu, ia merilis biografi ayahnya yang bertajuk "Sang Penyebar Berita Proklamasi RI". Asad dkk sepakat menamai kantor berita yang dimaksud dengan "Arabian Press Board (APB)".
APB resmi berdiri 19 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan atau pada 2 September 1945. Kata Arabian, menurut wartawan senior Solichin Salam di koran Angkatan Bersenjata terbitan 1 September 1993, sengaja digunakan untuk menarik perhatian dunia Islam serta negara-negara di Timur Tengah. Hal itu juga sekaligus dimaksudkan untuk mengelabui sekutu dan Belanda.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pria di samping Bung Karno yang dilingkari biru dalam foto di atas adalah ayah Rizieq Shihab, Hussein bin Muhammad Shihab, keliru. Pria di sebelah Presiden Sukarno itu bernama Muhammad Asad Shahab, seorang jurnalis yang merupakan pendiri kantor berita Arabian Press Board (APB). Melalui APB, Asad dan rekan-rekannya menyebarkan berita Proklamasi RI ke dunia internasional, khususnya negara-negara Timur Tengah.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8152) [Fakta atau Hoaks] Benarkah MPR Usul Presiden Jokowi Pimpin Indonesia Hingga 2027?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 26/06/2020
Berita
Narasi yang menyebut bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengusulkan agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin Indonesia hingga 2027 beredar di media sosial. Narasi itu terdapat dalam artikel di situs Idtoday.co yang berjudul "MPR Usul Masa Jabatan Presiden 8 Tahun, Jokowi Pimpin Indonesia hingga 2027".
Artikel tersebut dimuat pada 24 Juni 2020. Menurut artikel yang dikutip dari Tribun Manado itu, MPR sedang membahas periodesasi presiden. Ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi hanya satu periode, tapi selama delapan tahun. Ada pula yang mengusulkan bahwa presiden bisa menjabat tidak hanya selama dua periode, namun hingga tiga periode.
Di Facebook, salah satu akun yang membagikan artikel tersebut adalah akun Tjoeng Mega. Akun ini pun menulis, "Gaungkan Terus JOKOWI 3 PERIODE!!Sudah Ada Wacana di DPR dan MPR utk Merevisi UU Pilpress! Gaungkan Terus, Kita Jangan Takut atao Menyerah Sebelum Berbuat Sesuatu utk Negri Tercinta INDONESIA!!"
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Tjoeng Mega.
Apa benar MPR mengusulkan agar Presiden Jokowi memimpin Indonesia hingga 2027?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memeriksa berita di Tribun Manado yang dikutip oleh Idtoday.co. Hasilnya, diketahui bahwa berita itu merupakan berita lama, yakni pada November 2019. Dalam berita tersebut, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menuturkan bahwa lembaganya sedang menghimpun berbagai masukan terkait amandemen terbatas UUD 1945.
Salah satu masukan yang muncul adalah perubahan masa jabatan presiden menjadi hanya satu periode, namun selama delapan tahun. Menurut ketentuan saat ini, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan ada pula wacana bahwa presiden bisa dipilih kembali hingga tiga periode.
Namun, seperti dikutip dari arsip berita Tempo pada 24 November 2019, hal itu baru sekadar wacana, dan MPR pun belum satu suara terkait wacana tersebut. "Ya itu kan baru wacana ya. Ada juga wacana yang lain," kata Arsul pada 21 November 2019. Ia pun menuturkan, "Diskursus tentang penambahan masa jabatan presiden ini terlihat biasa saja sebagai sebuah wacana usulan yang memang harus ditampung oleh MPR."
Pada 24 Juni 2020, di akun Facebook -nya, Hidayat merespons artikel yang dimuat oleh Idtoday.co di atas. Menurut dia, tidak benar bahwa MPR mengusulkan masa jabatan presiden selama delapan tahun. "Yang usulkan seperti itu pihak di luar MPR. Sikap MPR jelas, ikuti aturan UUD NRI (Negara Republik Indonesia) 1945, masa jabatan presiden bukan 8 tahun, tapi 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1x saja," katanya.
Dilansir dari Kumparan.com, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menegaskan bahwa tidak ada wacana untuk memundurkan pemilu nasional 2024, yaitu pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), ke 2027. Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan wacana yang sedang digodok adalah memundurkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang awalnya dijadwalkan pada 2024 menjadi 2027.
Arief mengatakan wacana ini digodok dalam satu rangkaian dengan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu. "Masih wacana. Ini pilkada," kata Arief pada 24 Juni 2020.
Dihubungi terpisah, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tantowi menegaskan tidak mungkin pemilu nasional mundur menjadi pada 2027. Sebab, dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada masa jabatan presiden atau wakil presiden, atau bahkan anggota DPR, yang diperpanjang. "Saya rasa tidak mungkin karena belum ada sejarahnya masa jabatan presiden atau wapres, DPR dan DPD diperpanjang. Kalau diperpendek memang pernah," katanya.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa MPR mengusulkan agar Presiden Jokowi memimpin Indonesia hingga 2027 menyesatkan. Artikel yang memuat klaim itu mengutip berita lama, yakni pada November 2019. Ketika itu pun, hal tersebut masih sebatas wacana, dan MPR belum satu suara terkait wacana itu. Pada 24 Juni 2020, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan tidak benar lembaganya mengusulkan masa jabatan presiden selama delapan tahun. "Sikap MPR jelas, ikuti aturan UUD 1945, masa jabatan presiden bukan delapan tahun, tapi lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali saja," ujarnya.
IBRAHIM ARSYAD
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://idtoday.co/politik/mpr-usul-masa-jabatan-presiden-8-tahun-jokowi-pimpin-indonesia-hingga-2027/?fbclid=IwAR2bmu4cAfOQDJaQwWo_DorFrXY-D_rZGtmLlx-xetfmd6ZsyxkcPYolF3s
- http://archive.ph/bKkgo
- https://manado.tribunnews.com/2019/11/22/mpr-usul-masa-jabatan-presiden-8-tahun-jokowi-pimpin-indonesia-hingga-2027
- https://www.facebook.com/334133076684486/posts/2990932124337888/
- https://kumparan.com/kumparannews/kpu-tak-ada-wacana-mundurkan-pileg-pilpres-2024-ke-2027-1tfuMNlIpfz
(GFD-2020-8151) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Demo Tolak Kebangkitan Komunisme di Monas pada 21 Juni 2020?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 25/06/2020
Berita
Sebuah video yang diklaim sebagai video demonstrasi yang menolak kebangkitan komunisme di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, viral di Facebook. Video ini beredar saat DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP yang mendapatkan banyak penolakan.
Video itu diunggah oleh akun Kadek Mulyawan pada 21 Juni 2020. Akun ini menulis, "Luput dari pantauan media. Monas menjadi loreng oleh Pemuda Pancasila dan Ormas Islam." Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 275 ribu kali dan dibagikan lebih dari 8.400 kali.
Dalam video berdurasi 2 menit 44 detik itu, terdapat logo media BBC Indonesia. Tampak pula seorang jurnalis yang sedang mereportase sekitar 1.500 orang yang berjalan dari Monas menuju Istana Negara untuk mengingatkan bahaya kebangkitan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) meski partai tersebut sudah dibubarkan pada 1966.
Terdapat juga ribuan orang berseragam loreng coklat-hitam dalam video tersebut, yang membawa spanduk bertuliskan "Tolak Kebangkitan Komunisme". Aksi unjuk rasa itu, menurut video tersebut, digelar oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai Gerakan Bela Negara.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Kadek Mulyawan.
Apa benar video di atas adalah video demonstrasi menolak kebangkitan komunisme di Monas pada 21 Juni 2020?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo melakukan pencarian video itu di kanal YouTube BBC Indonesia dengan memasukkan kata kunci “komunisme”. Hasilnya, terdapat sebuah video yang sama dengan yang dibagikan oleh akun Kadek Mulyawan.
Video yang berjudul “Liberal=PKI, kata peserta demo anti-PKI” tersebut dipublikasikan pada 3 Juni 2016. BBC Indonesia memberikan keterangan pada video itu sebagai berikut:
"Sekitar 1.500 orang yang merupakan gabungan massa sedikitnya dari Front Pembela Islam, FKPPI, Pemuda Pancasila, Forum Umat Islam berjalan dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara untuk menggelar aksi menolak komunisme dan Partai Komunis Indonesia."
Situs BBC Indonesia melaporkan bahwa aksi gabungan tersebut merupakan puncak meluasnya penolakan berbagai pihak atas upaya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah 1965.
Simposium bertema mengamankan Pancasila, yang digelar sebagai "tandingan" atas Simposium Tragedi 65 oleh pemerintah pada April 2016 lalu, ditutup pada 2 Juni 2016 dengan sembilan poin rekomendasi, salah satunya menuntut agar PKI "minta maaf pada rakyat Indonesia dan negara".
Simposium Nasional Tragedi 1965 diselenggarakan pada April 2016 sebagai upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus HAM berat, antara lain yang pernah terjadi pada 1965 di mana ratusan ribu orang diduga terbunuh dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI.
Menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo, penyelesaian kasus 1965 melalui penyelenggaraan simposium tersebut lebih menggunakan pendekatan sejarah. "Pendekatan ini lebih objektif dan komprehensif. Jadi, seperti memutar film mengenai peristiwa 65, kami mendengarkan apa yang terjadi sebelum peristiwa dan setelah peristiwa tersebut," katanya.
Agus menilai peristiwa pembantaian besar-besaran pada masa pemerintahan Presiden Soeharto itu didasari motif tertentu dan dilakukan secara sistemik. Penyelesaian peristiwa 1965, menurut dia, penting dilakukan karena Indonesia adalah bangsa yang besar yang sudah seharusnya berani melihat masa lalu dan berbesar hati mengakui kesalahan.
Namun, penyelenggaraan simposium itu mendapat tentangan dari kalangan purnawirawan TNI dan sejumlah ormas. Bahkan, Menteri Pertahanan saat itu, Ryamizard Ryacudu, bersama para pensiunan tentara dan polisi menggelar acara yang menentang penyelenggaraan simposium yang digelar Agus.
Acara yang bernama Simposium Nasional Anti-PKI itu dilaksanakan di Balai Kartini, Jakarta, pada 1-2 Juni 2016. Simposium ini pun menghasilkan sembilan butir rekomendasi. Panitia berharap pemerintah mempertimbangkan rekomendasi tersebut bersama dengan hasil rekomendasi Simposium Tragedi 1965 sebelumnya.
Unjuk rasa penolakan RUU HIP
Pembahasan RUU HIP memang menuai banyak kritik. Sejumlah pihak mendesak agar RUU HIP dibatalkan lantaran di dalam draf RUU tersebut tidak terdapat Ketetapan MRPS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI. Pada 24 Juni 2020, demonstrasi menolak RUU HIP pun digelar oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Tiga ormas keagamaan, yakni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai RUU HIP tidak diperlukan. "Tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj pada 16 Juni 2020.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video demonstrasi menolak kebangkitan komunisme di Monas pada 21 Juni 2020 keliru. Video tersebut merupakan video aksi penolakan komunisme dan PKI pada Juni 2016. Aksi tersebut merupakan puncak meluasnya penolakan atas upaya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah 1965 dengan menggelar Simposium Tragedi 65 pada April 2016.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- http://archive.ph/PKwKi
- https://www.youtube.com/watch?v=9HjZjgbKSb0
- https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160603_trensosial_demo_antipki
- https://nasional.tempo.co/read/793628/wiranto-dan-agus-widjojo-bahas-hasil-simposium-tragedi-1965
- https://nasional.tempo.co/read/776295/simposium-anti-pki-hasilkan-9-butir-rekomendasi/full&view=ok
- https://metro.tempo.co/read/1357264/demo-tolak-ruu-hip-massa-fpi-mulai-padati-jalan-depan-gedung-dpr/full&view=ok
- https://nasional.tempo.co/read/1354850/inilah-isi-ruu-haluan-ideologi-pancasila-yang-menuai-kontroversi/full&view=ok
Halaman: 4629/6084