(GFD-2021-8596) Keliru, Klaim Tak Ada Uji Coba Vaksin Covid-19 pada Hewan yang Berhasil
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 22/04/2021
Berita
Gambar tangkapan layar artikel yang berisi klaim bahwa tidak ada uji coba vaksin Covid-19 pada hewan yang berhasil, karena semua hewan yang digunakan mati, beredar di Facebook. Artikel berbahasa Inggris ini memuat lima paragraf yang menyinggung vaksin Covid-19, yang disertai dengan tautan yang mengarah ke hasil penelitian terkait.
Sebuah lingkaran merah dibubuhkan di paragraf ketiga yang berisi sejumlah klaim kontroversial, yakni:
"What happened to the animals in the studies? This technology has been tried on animals, and in the animal studies done, all the animals died, not immediately from the injection, but months later from other immune disorders, sepsis and/or cardiac failure. There has never been a long-term successful animal study using this technology. No experimental coronavirus vaccine has succeeded in animal studies. In this study, coronavirus vaccine caused liver inflammation in test animals."
Akun ini membagikan gambar tangkapan layar artikel tersebut pada 5 April 2021. Akun itu pun menulis, "Matter of Time Now!!" Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan lebih dari 400 reaksi dan 200 komentar serta dibagikan sebanyak 287 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait vaksin Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Hasil verifikasi Tim CekFakta Tempo menunjukkan bahwa jurnal yang ditautkan dalam artikel pada gambar tangkapan layar itu adalah jurnal yang diterbitkan pada 2012. Jurnal itu terkait dengan uji coba vaksin SARS, bukan vaksin Covid-19. Artikel tersebut pun berasal dari situs yang tidak kredibel yang sering mempublikasikan teori konspirasi dan pseudosains terkait Covid-19.
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tempo memasukkan beberapa kalimat dalam artikel pada gambar tangkapan layar tersebut di mesin pencarian Google. Hasilnya, ditemukan bahwa artikel itu dimuat oleh situs berbahasa Yunani, Evaggelatos.com, pada 26 Maret 2021. Artikel ini berjudul "Dr Colleen Huber: Seberapa berbahaya vaksinasi untuk Covid-19? Efek samping paling serius dari vaksin m-RNA?".
Tempo juga menemukan bahwa artikel serupa juga pernah dimuat oleh situs berbahasa Inggris, Primary Doctor, dengan judul "COVID-19 VACCINE Considerations". Artikel ini ditulis oleh Coleen Hubber pada 21 Februari 2021. Situs tersebut juga membuat laman lain yang bernama Primary Doctor Medical Journal.
Organisasi asal Amerika Serikat yang meneliti tentang bias media, Media Bias/Fact-check, mengkategorikan situs Primary Doctor Medical Journal sebagai situs konspirasi dan pseudosains, karena kerap mempublikasikan informasi yang menyesatkan dan keliru terkait virus Corona.
Tempo kemudian mengecek kembali sumber dokumen yang menyertai klaim-klaim dalam artikel yang ditulis oleh situs Primary Doctor itu. Berikut hasilnya:
Klaim 1: This technology has been tried on animals, and in the animal studies done, all the animals died
Fakta:
Klaim ini dilengkapi dengan dokumen yang berjudul "America’s Frontline Doctors White Paper On Experimental Vaccines for Covid-19". Dokumen ini disusun oleh Simon Gold dan sejumlah dokter lainnya yang tergabung dalam America’s Frontline Doctors (AFD).
Dikutip dari Snopes, AFD adalah kelompok baru yang didukung dan dipromosikan oleh organisasi politik konservatif Tea Party Patriots Action (TPPatriots). Situs pelacak domain, Whois, menemukan bahwa situs milik AFD, Americasfrontlinedoctors.com, baru dibuat pada 16 Juli 2020, di tengah pandemi Covid-19.
Sejumlah media asing pun pernah membantah informasi menyesatkan yang diproduksi oleh AFD terkait Covid-19. Dikutip dari The Guardian, AFD menghadapi kecaman dari para ahli medis tentang landasan ilmiah mereka yang lemah. Sementara pemimpinnya, Simone Gold, didakwa karena terlibat dalam serangan pada 6 Januari 2021 di US Capitol, AS.
Dikutip dari artikel cek fakta Associated Press, profesor kedokteran dari Universitas Pennsylvania yang mempelajari vaksin m-RNA (digunakan dalam vaksin Pfizer dan Moderna) selama beberapa dekade, Drew Weissman, mengatakan bahwa vaksin tersebut tidak menyebabkan peradangan berbahaya pada hewan.
Selain lolos uji coba pada hewan, vaksin Pfizer dan Moderna juga lolos uji klinis pada manusia, di mana vaksin-vaksin itu diuji pada lebih dari 70 ribu orang. "Uji klinis pada 75 ribu orang menunjukkan ini aman dan 95 persen efektif," kata nya. "Itu data yang cukup bagus untuk meyakinkan orang bahwa ini baik-baik saja."
Klaim 2: No experimental coronavirus vaccine has succeeded in animal studies
Fakta:
Klaim ini disertai dengan jurnal yang diterbitkan pada 2012 di The National Center for Biotechnology Information ( NCBI ). Jurnal itu berjudul "Immunization with SARS Coronavirus Vaccines Leads to Pulmonary Immunopathology on Challenge with the SARS Virus". Jurnal tersebut berisi hasil penelitian tentang pengembangan vaksin untuk SARS yang disebabkan oleh virus Corona SARS-CoV, bukan vaksin untuk Covid-19 yang disebabkan oleh virus Corona SARS-CoV-2.
SARS atauSevere Acute Respiratory Syndromemuncul di Cina pada 2002 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain sebelum bisa dikendalikan. Para peneliti pun mulai mengembangkan vaksin untuk penyakit tersebut. Uji coba calon vaksin dilakukan pada musang, primata, dan tikus. Hasilnya, vaksin memicu perlindungan terhadap infeksi, tapi hewan yang diberi calon vaksin menunjukkan penyakit paru-paru tipe imunopatologi.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tidak ada uji coba vaksin Covid-19 pada hewan yang berhasil, keliru. Klaim ini dilengkapi dengan jurnal yang diterbitkan pada 2012 yang terkait penelitian pengembangan vaksin untuk SARS, bukan vaksin untuk Covid-19. Artikel yang memuat klaim tersebut pun berasal dari situs yang tidak kredibel yang sering mempublikasikan teori konspirasi dan pseudosains terkait Covid-19.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://www.facebook.com/photo.php?fbid=140263564695691&_rdc=1&_rdr
- https://www.tempo.co/tag/sars
- https://www.primarydoctor.org/covidvaccine
- https://mediabiasfactcheck.com/primary-doctor-medical-journal/
- https://www.snopes.com/news/2020/07/30/americas-frontline-doctors/
- https://www.theguardian.com/us-news/2021/jan/22/coronavirus-misinformation-simone-gold-americas-frontline-doctors
- https://apnews.com/article/fact-checking-afs:Content:9792931264
- https://www.tempo.co/tag/pfizer
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3335060/
- https://www.tempo.co/tag/sars-cov-2
- https://www.tempo.co/tag/covid-19
(GFD-2021-8595) Sesat, Pesan Berantai yang Klaim KH Hasyim Asyari Sengaja Dihilangkan dari Kamus Sejarah Indonesia
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 22/04/2021
Berita
Pesan berantai yang berjudul "Awas! Neo-Komunis Hendak Memotong Sejarah" beredar di Facebook. Pesan berantai ini berisi klaim bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah pimpinan Menteri Nadiem Makarim sengaja menghilangkan profil pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Haji Hasyim Asyari, dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I.
"Tampaknya, Kemendikbud di bawah pimpinan Nadiem Makarim tak habis-habis menuai blunder. Kini membuat blunder kembali berupa penghilangan peran KH Hasyim Asyari dalam sejarah kemerdekan RI. Apakah faktor alpa/lalai, atau disengaja? Sesuai judul telaah ini, 'Awas! Neo-komunis hendak memotong sejarah!'," demikian narasi yang tertulis dalam pesan berantai itu.
Akun ini membagikan pesan berantai tersebut pada 20 April 2021. Pesan berantai itu dilengkapi dengan foto KH Hasyim Asyari. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 294 reaksi dan 152 komentar serta dibagikan lebih dari 200 kali.
Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim sesat terkait tidak adanya profil pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Haji Hasyim Asyari, dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait di media-media kredibel. Hasilnya, ditemukan penjelasan dari Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid bahwa narasi yang menyebut kementeriannya sengaja menghilangkan profil KH Hasyim Asyari dari Kamus Sejarah Indonesia Jilid I tidak benar.
Berdasarkan arsip berita Tempo, Hilmar mengakui adanya kealpaan tim teknis yang menyebabkan hilangnya jejak KH Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I. "Saya mengakui ada kesalahan. Tapi ya karena kealpaan, bukan kesengajaan. Itu poin yang mau saya tekankan," kata Hilmar dalam konferensi pers daring pada 20 April 2021.
Menurut Hilmar, kamus tersebut sebenarnya tidak pernah diterbitkan secara resmi. "Dokumen tidak resmi yang sengaja diedarkan di masyarakat oleh kalangan tertentu merupakansoftcopynaskah yang masih perlu penyempurnaan. Naskah tersebut tidak pernah kami cetak dan edarkan kepada masyarakat," ujar Hilmar.
Kamus Sejarah Indonesia Jilid I pun, kata Hilmar, disusun pada 2017, sebelum posisi Mendikbud dijabat oleh Nadiem Makarim. "Selama periode kepemimpinan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, kegiatan penyempurnaan belum dilakukan dan belum ada rencana penerbitan naskah tersebut," tuturnya.
Secara teknis, menurut Hilmar, penyusunan Kamus Sejarah Indonesia Jilid I pada 2017 belum rampung, karena begitu panjangnya perjalanan sejarah Indonesia sejak 1900. "Karena, pada saat itu, tahun anggaran sudah berakhir. Sebagai pertanggungjawaban, kami tetap melaporkan draf naskah yang belum selesai tersebut dalam format PDF," katanya.
Dilansir dari CNN Indonesia, Hilmar Farid menyebut bahwa naskah kamus yang belum rampung itu memang telah masuk ke proses tata letak atau desain, hingga terbit dalam bentuk PDF dan cetak. Namun, Kamus Sejarah Indonesia Jilid I ini hanya dicetak terbatas sebanyak 20 eksemplar.
Pada 2019, kata Hilmar, kamus tersebut kemudian diminta oleh Direktorat Sejarah untuk diunggah di situs Rumah Belajar Kemendikbud. Dia pun menyatakan telah menyelidiki kekeliruan dalam kamus itu ke staf yang terlibat langsung dalam penyusunan. "Naskah yang sebenarnya belum siap ikut masuk dalam proses penyertaan pemuatan buku tersebut di website," ujarnya.
Hilmar membantah Kemendikbud ingin menghapus KH Hasyim Asyari dari pendidikan sejarah. Buktinya, kata dia, sejarah KH Hasyim Asyari masih ada dalam entri atau beberapa bagian kamus. Bahkan, di tahun kamus itu terbit, Kemendikbud juga menerbitkan buku tentang riwayat KH Hasyim Asyari yang diulas dan ditulis oleh sejumlah intelektual NU.
Dia menyampaikan permintaan maafnya atas kekeliruan tersebut. Hilmar mengatakan telah menarik kamus tersebut dari peredaran, termasuk yang diunggah di situs resmi Rumah Belajar Kemendikbud. "Dan saya juga minta tadi untuk menurunkan semua buku terkait sejarah modern sampai adareview," kata Hilmar.
Ia pun menyatakan akan membentuk tim pengkoreksi untuk menyempurnakan Kamus Sejarah Indonesia Jilid I tersebut. "Tim pengkoreksi akan dibentuk dengan melibatkan organisasi yang turut membangun negara ini, termasuk dengan NU," kata Hilmar dalam keterangan resminya pada 20 April 2021.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai berjudul "Awas! Neo-Komunis Hendak Memotong Sejarah" yang mengklaim bahwa Kemendikbud di bawah pimpinan Nadiem Makarim sengaja menghilangkan profil KH Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, menyesatkan. Kemendikbud telah menyatakan bahwa tidak adanya jejak KH Hasyim Asyari dalam kamus itu karena kealpaan, bukan kesengajaan. Kamus tersebut pun disusun pada 2017, sebelum Nadiem menjabat sebagai Mendikbud.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/hasyim-asyari
- https://web.facebook.com/marief.pranoto/posts/4226786540666436
- https://www.tempo.co/tag/hilmar-farid
- https://nasional.tempo.co/read/1454665/kh-hasyim-asyari-hilang-di-kamus-sejarah-hilmar-kealpaan-bukan-kesengajaan
- https://www.tempo.co/tag/nadiem-makarim
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210421021450-20-632530/kronologi-hasyim-asyari-tak-ada-di-kamus-sejarah-kemendikbud
- https://www.tempo.co/tag/kemendikbud
- https://nasional.tempo.co/read/1454708/kh-hasyim-asyari-lenyap-dari-kamus-sejarah-hilman-gaet-nu-di-tim-pengkoreksi/full&view=ok
(GFD-2021-8594) Keliru, Klaim Ini Foto Biden Berlutut di Depan Anak George Floyd
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 21/04/2021
Berita
Foto yang memperlihatkan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tengah berlutut di hadapan seorang bocah laki-laki beredar di media sosial. Foto ini diklaim sebagai foto ketika Biden berlutut di depan anak George Floyd, pria kulit hitam asal Minneapolis, AS, yang tewas pada Mei 2020 akibat kehabisan oksigen karena lehernya ditindih oleh polisi ketika ditangkap karena dugaan menggunakan uang palsu.
Foto itu dilengkapi dengan teks sebagai berikut: "We are sorry - US Government awards George Floyd's family $ 27 million dollars for his untimely death caused by the police officers an incidence that caused World-wide demonstrations. President Joe Biden had to kneel down in front of George Floyd's son to ask for forgiveness."
Di Facebook, foto tersebut dibagikan oleh akun ini pada 14 April 2021. Akun itu pun menulis narasi serupa sebagai berikut: "Pemimpin hebat dunia , Presiden USA Joe Biden berlutut, memohon maaf didepan anak lelaki George Floyd diatas kesilapan pihak Polis terhadap kematian Bapanya. 'Ular menyusur akar, tidak akan hilang bisanya'."
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait foto Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang diunggahnya.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto tersebut dengan reverse image tool Source, Google, dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut diambil oleh fotografer kantor berita Associated Press (AP) saat Joe Biden berbelanja untuk cucunya di sebuah toko di Detroit, Michigan. Bocah dalam foto tersebut adalah anak si pemilik toko, bukan anak George Floyd.
Foto itu pernah dimuat situs berita Local12.com dalam artikelnya pada 17 April 2021. Menurut artikel ini, yang mengutip AP, foto tersebut diambil pada 9 September 2020. Ketika itu, Joe Biden yang masih berstatus sebagai calon Presiden AS dari Partai Demokrat, sedang berbincang dengan pemilik toko Three Thirteen, Clement Brown dan anaknya, CJ Brown. Biden mengunjungi toko itu untuk berbelanja bagi cucu-cucunya.
Tempo kemudian menelusuri foto tersebut di situs stok foto milik AP, AP Images. Foto itu merupakan foto karya Patrick Semansky yang diambil pada 9 September 2020 di Detroit, Michigan. Foto ini diberi keterangan sebagai berikut:
"Calon presiden dari Partai Demokrat sekaligus mantan wakil presiden Joe Biden mengunjungi CJ Brown (kanan) dan Clement Brown, putra dan ayah dari pemilik Three Thirteen, ketika Biden datang untuk berbelanja bagi cucu-cucunya di toko yang terletak di Detroit tersebut, Rabu, 9 September 2020. Biden mengunjungi Michigan untuk acara-acara kampanye."
Foto yang identik yang diambil dari sudut berbeda juga diabadikan oleh fotografer bernama Chip Somodevilla. Foto ini bisa ditemukan di situs stok foto Getty Images. Di Getty Images, foto tersebut diberi keterangan sebagai berikut:
"Mengenakan masker untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh virus Corona, calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berlutut untuk mengobrol dengan CJ Brown saat berbelanja di Three Thirteen, sebuah toko pakaian di Avenue of Fashion, 9 September 2020, di Detroit, Michigan. Biden berkampanye di Michigan, negara bagian yang dimenangkan oleh Presiden Donald Trump pada 2016 dengan selisih kurang dari 11 ribu suara, margin kemenangan terkecil dalam sejarah pemilihan presiden negara bagian."
Di akun Instagram pribadinya pun, Joe Biden pernah mengunggah foto yang identik yang diambil dari sudut berbeda. Foto itu dibagikan pada 15 September 2020. Foto-foto lain yang diambil dari momen yang sama juga pernah diunggah oleh Karen Travers, koresponden ABC di Gedung Putih, di akun Twitter miliknya pada 10 September 2020.
Keluarga Floyd terima US$ 27 juta dari Minneapolis
Dilansir dari kantor berita Reuters, pada 12 Maret 2021, Kota Minneapolis setuju membayar US$ 27 juta untuk menyelesaikan gugatan yang dilayangkan oleh keluarga George Floyd atas kematiannya ketika berada di bawah penahanan polisi. Pria kulit hitam berusia 46 tahun itu meninggal pada Mei 2020 usai Derek Chauvin, seorang polisi berkulit putih asal Minneapolis, berlutut di lehernya selama hampir 9 menit.
Benjamin Crump, pengacara keluarga Floyd, mengatakan bahwa persetujuan oleh Kota Minneapolis tersebut merupakan penyelesaian pra-sidang terbesar dari gugatan "wrongful death" dalam sejarah AS. Menurut Cramp, hal ini menandakan bahwa kematian orang kulit hitam di tangan polisi tidak akan lagi dianggap sepele atau tidak penting. Keluarga Floyd juga menyatakan "puas karena bagian dari perjalanan tragis kami menuju keadilan untuk George diselesaikan".
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut adalah foto saat Presiden AS Joe Biden berlutut di depan anak George Floyd, keliru. Foto itu adalah foto ketika Biden berbincang dengan seorang bocah laki-laki yang merupakan anak dari pemilik toko yang dikunjunginya di Detroit, Michigan. Foto ini diambil pada September 2020. Ketika itu, Biden yang masih berstatus sebagai calon Presiden AS ini mampir ke toko pakaian bernama Three Thirteen di tengah kampanyenya di Michigan. Pemilik toko itu bernama Clement Brown, sementara anaknya bernama CJ Brown.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/biden
- https://archive.ph/q4kkQ
- https://www.tempo.co/tag/george-floyd
- https://local12.com/news/nation-world/photo-shows-president-biden-with-young-boy-in-detroit-not-george-floyds-son-social-media
- http://www.apimages.com/metadata/Index/APTOPIX-Election-2020-Biden/c28be0bc2adb4831a83d1fd55e7fff94/1/0
- https://www.gettyimages.co.uk/detail/news-photo/wearing-a-face-mask-to-reduce-the-risk-posed-by-the-news-photo/1271608748
- https://www.tempo.co/tag/donald-trump
- https://www.instagram.com/p/CFKYTOnhvtJ/?utm_source=ig_embed
- https://twitter.com/karentravers/status/1303817239045513217
- https://www.reuters.com/article/us-usa-race-georgefloyd-lawsuit-idUSKBN2B42GX
- https://www.tempo.co/tag/derek-chauvin
- https://www.tempo.co/tag/minneapolis
- https://www.tempo.co/tag/joe-biden
(GFD-2021-8593) Keliru, Pejabat Denmark Meninggal karena Diracun saat Umumkan Larangan Vaksin AstraZeneca
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 20/04/2021
Berita
Klaim bahwa pejabat pemerintah Denmark meninggal karena diracun saat mengumumkan larangan penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca beredar di Facebook. Klaim itu terdapat dalam video berdurasi 15 detik yang menunjukkan momen saat seorang perempuan terjatuh di hadapan peserta sebuah forum.
Video itu memuat teks yang berbunyi: "Denmark melarang vaksin AstraZeneca dan selama pengumuman berlangsung salah satu pejabat pemerintah pingsan dan meninggal." Akun ini membagikan video itu pada 16 April 2021 dengan narasi sebagai berikut:
"Ini risikonya kalau berani melawanndoroglobe. Kemarin presiden Tanzaniaygsempat 1 minggu menghilang dan dinyatakan meninggal akibat serangan jantung. Sekarang salah satu pejabat pemerintah Denmark meregang nyawa saat mengumumkan pelaranganvaxastrazeneca. Mungkin di racun."
Video yang diunggah di Facebook yang memperlihatkan jatuhnya seorang pejabat Denmark saat mengumumkan penghentian penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Video ini disebarkan dengan klaim keliru, bahwa pejabat tersebut meninggal karena diracun.
Hasil Cek Fakta
Hasil verifikasi Tim CekFakta Tempo menemukan bahwa perempuan yang terjatuh dalam video tersebut adalah Kepala Badan Obat-obatan Denmark, Tanja Erichsen. Namun, ketika itu, Erichsen hanya pingsan, tidak meninggal karena diracun. Kondisinya pun telah membaik setelah menjalani perawatan.
Video tumbangnya Erichsen ini pernah dipublikasikan oleh sejumlah media. Media Inggris, The Sun, memuat video itu dalam artikelnya yang berjudul "Dramatic moment Danish vaccine chief FAINTS during a Covid conference announcing the permanent ban of AstraZeneca jab" pada 15 April 2021.
Erichsen pingsan dalam sebuah konferensi pers yang mengumumkan larangan permanen Denmark terhadap vaksin Covid-19 AstraZeneca. Namun, menurut The Sun, pemerintah Denmark mengumumkan bahwa Erichsen sudah sadar dan telah dilarikan ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Klaim-klaim palsu terkait pingsannya Tanja Erichsen itu tidak hanya beredar di Indonesia, tapi juga di Eropa. Di sana, menyebar klaim yang menyebut bahwa dia pingsan setelah menerima vaksin Astrazeneca.
Dilansir dari Associated Press, Direktur Jenderal Otoritas Kesehatan Denmark Soren Brostrom mengatakan bahwa Erichsen baik-baik saja. Brostrom menjelaskan bahwa Erichsen pingsan karena terlalu banyak bekerja dan berdiri terlalu lama. Juru bicara Badan Obat-obatan Denmark Kim Voigt Ostrom juga mengatakan bahwa Erichsen belum menerima vaksin Covid-19.
Lewat akun pribadinya di Twitter, pada 19 April 2021, Tanja Erichsen pun menyatakan bahwa pemulihannya berjalan dengan baik.
"Terima kasih banyak atas perhatian dan salam Anda. Ini adalah pukulan keras yang harus saya terima, tapi untungnya saya dalam pemulihan yang baik sekarang. Ini sangat berarti bagi saya, dengan dukungan besar yang saya terima, baik di sini di Twitter maupun di platform lain. Terima kasih banyak," kata Erichsen dalam bahasa Denmark.
Dikutip dari BBC, pemerintah Denmark menjadi negara pertama yang melarang sepenuhnya penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca pada 15 April 2021. Upaya ini diambil menyusul terbitnya hasil penelitian Otoritas Kesehatan Denmark, yang menunjukkan frekuensi pembekuan darah yang lebih tinggi dari yang diharapkan, dengan perbandingan sekitar satu dari 40 ribu orang.
Sebelumnya, terjadi dua kasus trombosis di Denmark yang dikaitkan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Satu kasus di antaranya terjadi pada seorang wanita berusia 60 tahun dan berakibat fatal. Direktur Jenderal Otoritas Kesehatan Denmark Soren Brostrom mengatakan bahwa ini adalah keputusan yang sulit, tapi Denmark memiliki vaksin lain dan pandemi di sana saat ini terkendali.
Meskipun begitu, dia mengatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan vaksin AstraZeneca akan digunakan di masa mendatang. Selain Denmark, beberapa negara di Eropa sempat menangguhkan vaksin itu. Saat ini, sebagian besar di antaranya telah melanjutkan penggunaan vaksin AstraZeneca, meski dengan batasan tertentu bagi kelompok usia yang lebih tua.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa seorang pejabat pemerintah Denmark, Tanja Erichsen, meninggal karena diracun saat mengumumkan larangan penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca, keliru. Dalam video yang digunakan untuk menyebarkan klaim itu, Erichsen yang merupakan Kepala Badan Obat-obatan Denmark hanya pingsan karena kelelahan, bukan meninggal karena diracun. Kini, Erichsen telah pulih, seperti yang ia nyatakan dalam cuitannya di Twitter.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/denmark
- https://archive.is/0G3Y9
- https://www.thesun.co.uk/news/worldnews/14659397/dramatic-moment-danish-chief-faints-covid-conference-astrazeneca-jab/
- https://apnews.com/article/fact-checking-afs:Content:10065241940
- https://twitter.com/LMSTErichsen/status/1384152251510378510
- https://www.bbc.com/news/world-europe-56744474
- https://www.tempo.co/tag/pembekuan-darah
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-astrazeneca
- https://www.tempo.co/tag/astrazeneca
Halaman: 4617/6182