• (GFD-2021-8782) Keliru, CEO Pfizer Albert Vorla Menyatakan Tanpa Vaksin Seseorang bisa Mengimunisasi Dirinya Sendiri

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/10/2021

    Berita


    Sebuah foto flayer memperlihat pernyataan CEO Pfizer Albert Borla yang mengklaim orang tak divaksin akan dapat mengimunisasi dirinya sendiri beredar di instagram. Pada flayer tersebut bahkan ikut dicantumkan pula kutipan pernyataan penemu vaksin astrazeneca, Dame Sarah Gilbert dengan narasi “tidak ada alasan untuk berpikir kita akan memiliki COVID-19 versi 2 lebih ganas, pada akhirnya virus ini akan menjadi virus biasa yang menyebabkan flu” 
    Unggahan itu dibagikan akun _teluuur pada 10 Oktober 2021. Hingga artikel ini ditulis unggahannya telah mendapatkan respon 6482 disukai.  
    Lantas benarkah CEO Pfizer Albert Borla dan Dame Sarah Gilbert membuat pernyataan demikian? Dan benarkah orang yang tidak divaksin akan mengimunisasi dirinya sendiri dan COVID-19 akan menjadi virus biasa yang hanya akan menjadi virus flu biasa? 
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim tanpa vaksin, seseorang dapat mengimunisasi dirinya sendiri dari Covid-19

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo mula-mula menelusuri terlebih dahulu informasi melalui sejumlah sumber kredibel terkait pernyataan dua tokoh tersebut dan cara kerja vaksin serta sistem imun manusia.
    Klaim 1 : Pernyataan CEO Pfizer Albert Borla “orang tak divaksin akan dapat mengimunisasi dirinya sendiri”
    Fakta: Tempo tidak menemukan pernyataan CEO Pfizer Albert Borla tentang orang yang tidak divaksin akan mengimunisasi dirinya sendiri. Pernyataan ini justru berkebalikan dengan pernyataan Borla pada  8 September 2020, seperti yang dimuat oleh CNBC. Saat itu Bourla memperingatkan bahwa orang yang tidak divaksin, akan menjadi kelompok rentan terkena virus dan membuat virus terus menyebar.
    Selain itu, orang-orang yang memutuskan untuk tidak divaksin tidak hanya berdampak pada  hidup mereka sendiri, tetapi juga memberi dampak pada kehidupan orang lain. 
    Borla sendiri sudah mendapatkan dosis penuh vaksin Covid-19 pada 10 Maret 2021. Sebelumnya dia juga diserang informasi palsu berupa video dengan klaim “CEO Pfizer Menolak Vaksin” Dilansir dari apnews, sebelum suntikan vaksin kedua pada Borla, muncul video yang menyertakan spanduk palsu, "CEO PFIZER MENOLAK VAKSIN," telah dibagikan ribuan kali di Facebook. Beberapa huruf dalam kata "vaksin" telah diganti dengan gambar partikel virus corona dan jarum suntik.     
    Emily R. Smith, seorang ahli epidemiologi dan asisten profesor di Milken Institute School of Public Health di The George Washington University seperti dilansir USA Today mengatakan, orang yang telah mengikuti  vaksinasi  akan mengurangi risiko individu terkena kembali COVID-19 dan memberikan perlindungan kepada orang. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang yang divaksinasi, 800 persen lebih kecil kemungkinannya untuk mendapatkan COVID daripada orang yang tidak divaksinasi. 
    Susan Hassig, seorang ahli epidemiologi di Tulane University School of Public Health and Tropical Medicine, ikut menegaskan bahwa vaksin melindungi individu yang divaksinasi dengan sangat mengurangi risiko infeksi, penyakit, dan kematian. Vaksinasi individu itu kemudian melindungi komunitas yang lebih luas dengan membuat orang yang divaksinasi cenderung menjadi tuan rumah.
    Klaim 2  : Pernyataan Demi Sara Gilbert “tidak ada alasan untuk berpikir kita akan memiliki COVID-19 versi 2 lebih ganas, pada akhirnya virus ini akan menjadi virus biasa yang menyebabkan flu”
    Fakta: Pernyataan Sarah Gilbert ini pernah disampaikan saat seminar Royal Society of Medicine pada 21 September 2021. Pernyataan lengkap Sara Gilbert yakni: Dilansir dari The Times, menurut Sarah, virus corona biasanya tidak bermutasi ke varian yang bisa menlawan vaksin. Sebab, tak ada lagi tempat untuk menyebar dan berkembang. Sehingga bisa dikatakan varian Covid yang lebih ganas tidak akan ada lagi jika semua sudah divaksin.
    Dari pemberitaan Times itu diketahui bahwa konteks pernyataan Sarah Gilbert, bahwa, virus corona  tidak mungkin bermutasi menjadi varian ganas pada seseorang yang telah divaksin. Artinya Sarah menekankan pentingnya vaksinasi Covid-19. 

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan cekfakta Tempo, klaim CEO Pfizer Albert Borla yang mengatakan orang tak divaksin akan dapat mengimunisasi dirinya sendiri dan pernyataan Dame Sarah Gilbert bahwa  virus COVID-19 akan menjadi virus flu biasa, menyesatkan.
    Pernyataan Borla tentang orang yang tidak divaksin akan mengimunisasi dirinya sendiri  ramai menjadi diperbincangkan setelah muncul video yang menyertakan spanduk palsu CEO Pfizer menolak vaksin. Video tersebut mengutip wawancara stasiun TV CNBC pada 14 Desember 2020. Borla sendiri diketahui mendapatkan suntikan vaksin kedua pada 10 Maret 2021. 
    Sedangkan, pernyataan Sarah Gilbert ini ramai setelah ia menjadi pembicara di seminar Royal Society of Medicine pada 21 September 2021. Sarah mengatakan, virus corona biasanya tidak bermutasi ke varian yang bisa menlawan vaksin. Sebab, tak ada lagi tempat untuk menyebar dan berkembang. Sehingga bisa dikatakan varian Covid yang lebih ganas tidak akan ada lagi jika semua sudah divaksin. 
    TIM CEKFAKTA TEM
  • (GFD-2021-8781) Keliru, Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual di Luwu Timur Pesanan LSM untuk Menjatuhkan Institusi Kepolisian

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/10/2021

    Berita


    Narasi berisi klaim bahwa kasus kekerasan seksual yang dimuat situs berita projectmultatuli.org merupakan pesanan Lembaga Swadaya Msyarakat (LSM) untuk menjatuhkan insitusi kepolisian beredar di media sosial. Di Instagram, unggahan narasi tersebut dibagikan akun ini pada 7 Oktober 2021.
    Berikut narasi lengkapnya:
    “Sabar yaaa nanti gw buka-bukain semua itu siapa dibalik ormas pesenan tersebut. Berita yang soal anak di Luwu Timur Gw kasih tau itu pesanan LSM yg mau menjatuhkan institusi kepolisian. Dan kenapa pihak keluarganya tidak ada yang speak up ke publik dengan identitas aslinya. Kenapa harus pakai inisial.”
    Akun inipun menuliskan narasi, “Punya bukti bukti rekam jejak medis bahwa korban benar benar alami kekerasan atau tidak. Apa jangan jangan mau nyari duit ,,??? Buat netizen disini gw cuma mau imbangi berita yaaa
    Bahwa pihak anak tersebut sudah 2 kali di visum bahkan terakhir di visum di rumah sakit Bhayangkara Makassar.”
    Hingga artikel ini dimuat, klaim tersebut telah mendapat 123 komentar. Apa benar pemberitaan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur merupakan pesanan LSM untuk menjatuhkan institusi kepolisian?
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim bahwa pemberitaan soal kasus pelecehan seksual di Luwu Timur adalah pesanan LSM untuk menjatuhkan Polri

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait kasus tersebut ke sejumlah media kredibel. Hasilnya, Kasus kekerasan seksual di Luwu Timur pertamakali dimuat projectmultatuli.org, sebuah situs berita nonprofit yang menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data. Project Multatuli didirikan oleh empat jurnalis senior dari tiga media nasional yakni Kompas, Tirto.id dan The Jakarta Post.
    Laporan mendalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur pertama kali dimuat projectmultatuli.org pada 6 Oktober 2021 dengan judul, “ Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.”
    Namun, website Projectmultatuli.org diretas pada Rabu, 6 Oktober 2021 pulul 18.00 WIB. Sepanjang malam itu banyak pembaca mengeluh karena tidak bisa mengakses berita tersebut.
    Semula tim Project Multatuli mengira hal tersebut terjadi karena masalah kapasitas server yang tidak memadai, namun pada pagi 7 Oktober baru bisa dikonfirmasi ada serangan DDos terhadap website Projectmultatuli.org.
    Serangan terhadap Project Multatuli memantik solidaritas sejumlah media arus utama di Indonesia dengan memuat kembali laporan mendalam tersebut pada 7 Oktober 2021. Salah satunya oleh Tempo.co.
    Dilansir dari Kompas.com, artikel tersebut melaporkan kasus seorang ibu bernama Lydia (nama samaran) yang melaporkan dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak kandungnya.
    Kekerasan seksual itu diduga dilakukan mantan suaminya pada 2019 lalu. Lydia mengaku saat itu telah melaporkan perkara tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur, serta Polres Luwu Timur.
    Namun dalam cerita Lydia, ia tidak mendapatkan keadilan dari dua instansi tersebut dan malah disebut mengidap gangguan kesehatan mental. Pada 10 Desember 2019, Polres Luwu Timur menghentikan proses penyidikan.
    Mantan suami Lydia disebut merupakan aparatur sipil negara (ASN) di kantor pemerintahan Luwu Timur.
    Belakangan, Polres Luwu Timur sempat membantah dan menyatakan bahwa artikel tersebut hoaks. Namun, label hoaks itu kemudian mendapat kecaman dari insan pers, salah satunya disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen atau AJI.
    Project Multatuli
    Kepada Tempo, salah seorang pendiri sekaligus pemimpin umum Project Multatuli, Evi Mariani, mengatakan Project Multatuli merupakan satu inisiatif jurnalisme publik. Didirikan oleh empat jurnalis senior dari tiga media nasional—Kompas, Tirto.id dan The Jakarta Post- dengan visi melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan.
    “Kami sangat serius menjalankannya. sebagai jurnalis pelayan publik dan melayani orang yang dipinggirkan,” tegas jurnalis perempaun yang telah menjalani 18 tahun karir bersama The Jakarta Post.
    Lydia (nama samaran) dan tiga anaknya ini, kata Evi, adalah contoh dari masyarakat yang dipinggirkan. Dalam kasus ini polisi sebagai kekuasaan yang harus diawasi.
    “Kami berupaya transparan mengenai proses kami bekerja dan mengelola organisasi, kecuali dalam kasus tertentu di mana kerahasiaan dalam batas tertentu dibutuhkan untuk menjalankan prinsip minimize harm (meminimalisir bahaya) dan duty of care (kewajiban untuk melindungi),” jelas Evi.
    Evi balik mempertanyakan kredibilitas akun media sosial yang menuding laporan Project Multatuli merupakan pesanan LSM. Pasalnya, foto profil akun tersebut menggunakan topeng dengan nama yang mencantumkan deretan angka.
    “Kami di PM transparan. Semua yang perlu diketahui tentang kami ada di website,” tegasnya.
    Project Multatuli adalah jurnalisme nonprofit, menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data, dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
    Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menegaskan laporan mendalam yang dimuat situs projectmultatuli.org telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait, termasuk kepolisian Luwu Timur.
    Laporan tersebut, kata Erik, telah sesuai dengan pedoman liputan ramah anak yang diterbitkan Dewan Pers.
    “Yakni, jurnalis tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor. Menyebut inisial pun bisa membahayakan pelapor dan ketiga anaknya,” jelas Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 Oktober 2021.
    Pedoman Pemberitaan Ramah Anak pada poin (1) menyebutkan bahwa wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
    Ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal (5) Kode Etik Jurnalistik yakni wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menjelaskan, dalam kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual, terutama anak di bawah umur, tertuang dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, larangan menampilkan identitas korban, termasuk ibu korban.
    Selain itu, kasus pelecehan dan kekerasa seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga ditulis bahwa proses serta nama korban harus ditutup. Erasmus mengatakan, akan membawa dampak buruk kepada korban dan pelapor. Sebab, akan menimbulkan ketakutan tersendiri ketika timbul kasus serupa dan para korban enggan melaporkan.
    Desakan untuk Polri
    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Sulawesi Selatan, mendesak Mabes Polri kembali membuka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur. Kasus tersebut dihentikan Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan pada 2019 dan 2020.
    Kasus tersebut terkait atas laporan polisi dilaporkan RS mantan istri SA, 43, ASN di Inspektorat Pemkab Luwu Timur, sebagai terlapor atas dugaan kekerasan seksual dan pemerkosaan ketiga anaknya masing-masing berinsial AL 8; MR, 6; dan AL, 4; yang dihentikan pada 10 Desember 2019.
    Menurut dia, dari fakta-fakta yang dikumpulkan tim LBH kasus itu sangat penting untuk dibuka kembali. Sebab, penghentian kasus melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dinilai prematur. Hanya selang dua bulan setelah dilaporkan di Polres Luwu Timur pada 2019, langsung dibuat administrasi penghentian penyelidikan.
    ”Selain itu tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain, selain para korban sehingga tidak ditemukan petunjuk. Bahkan para korban tidak didampingi ibunya saat diperiksa serta pengacara atau lembaga sosial lain,” ucap Rezky Pratiwi seperti dikutip dari Jawa Pos.com, 8 Oktober 2021.
    Para korban dibawa ke Maka

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan Fakta Tempo, klaim bahwa pemberitaan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur merupakan pesanan LSM untuk menjatuhkan institusi kepolisian,keliru.
    Kasus kekerasan seksual di Luwu Timur yang diduga dilakukan seorang ayah terhadap tiga anaknya pertamakali dimuat projectmultatuli.org, sebuah situs berita nonprofit yang menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data.
    Project Multatuli didirikan oleh empat jurnalis senior dari tiga media nasional yakni Kompas, Tirto.id dan The Jakarta Post. Tidak disebutkannya identitas korban maupun pelapor dalam kasus tersebut sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang dikeluarkan Dewan Pers.
    TIM CEK FAKTA TEMPO

    Rujukan

  • (GFD-2021-8780) Keliru, Foto Tol Cisumdawu yang Diklaim Menteri Tjahjo Kumolo sebagai Tol Terkeren di Indonesia

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 11/10/2021

    Berita


    Akun twitter Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengunggah foto yang diklaim Tol Cisumdawu, Jawa Barat, pada Minggu 10 Oktober 2021.

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tempo, menunjukkan bahwa foto tersebut bukan jalan tol Cisumdawu, Jawa Barat, melainkan jalan raya "Mersin Antalya Highways" di Turki.Menggunakan reverse image tool, Tempo menemukan petunjuk bahwa foto tersebut pernah diunggah di Facebook pada 2018 dengan keterangan: Mersin Antalya Highways !! Turkey.Dengan petunjuk itu, Tempo mengutip video yang pernah dipublikasikan di kanal Youtube berjudul antalya mersi?n yolu anamur gazi?pa?a arasi melleç vi?yadü?ü pada 22 September 2017. Pada menit ke 6:30 kita akan menemukan view sesuai foto yang beredar.
    Tangkapan layar gambar jalan raya "Mersin Antalya Highways" di Turki dari video di kanal Youtube berjudul antalya mersi?n yolu anamur gazi?pa?a arasi melleç vi?yadü?ü pada 22 September 2017
    Pembangunan awal jalan raya Mersin-Antalaya Turki itu juga bisa ditelusuri menggunakan Google Maps di tautan berikut ini.
    Menteri Tjahjo Kumolo sudah menghapus unggahan itu di akun Twitternya, setelah ramai mendapatkan sanggahan dari warganet. Kemudian dia menerbitkan permintaan maaf karena telah keliru membagikan foto itu.
    “ Mohon maaf postingan jalan Tol di Jabar ternyata salah bukan di Jabar ( sy dpt informasi salah ) trims perhatiannya,” tulis Tjahjo.
    Sebelum dibagikan oleh Menteri Tjahjo, foto tersebut beberapa kali menjadi viral di Facebook dan pernah diklaim berada di India, Pakistan dan Afrika. Situs cekfakta, SM Hoax Slayer menyebutkan bahwa foto itu pernah dibagikan 28 Januari 2019 dan diklaim sebagai Jalan Raya Nasional Mumbai-Goa NH66 yang telah dibangun oleh Pemerintah Narendra Modi di India.
    Berikutnya, halaman Facebook "Hazara Motorway" menggunakan gambar itu sebagai jalan raya antara Pakistan dan Cina pada Oktober, 2018. Sedangkan, halaman Facebook lainnya, "Love My Tanzania”, menggunakan gambar sama dalam konteks yang berbeda, mengklaim bahwa jalan raya itu berada di suatu tempat di Afrika.

    Kesimpulan


    Dari hasil pemeriksaan fakta Tempo tersebut, klaim bahwa ini adalah foto Tol Cisumdawu, tol terkeren di Indonesia adalah keliru. Tjahjo memang sempat mengunggah klaimnya di Twitter, namun kemudian dihapus setelah ia mengetahui hal itu keliru.Tim CekFakta Tempo

    Rujukan

  • (GFD-2021-8779) Keliru, Ribuan Orang di Indonesia Meninggal Dunia setelah Vaksin Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 08/10/2021

    Berita


    Potongan orasi dari seorang pria dalam aksi unjuk rasa, dibagikan di Facebook pada 29 Agustus 2021. Pada detik ke 21, pria itu mengklaim bahwa ada ratusan bahkan ribuan orang di Indonesia yang meninggal dunia setelah divaksin.
    Potongan video orasi itu berdurasi 2:47 menit, berisi protes terhadap upaya vaksinasi Covid-19 yang dianggap memaksakan pada masyarakat Sulawesi Utara. Mereka juga memprotes pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat ( PPKM ) yang menurunkan kesejahteraan warga ekonomi bawah. 
    Namun dalam orasi itu juga memuat pernyataan tentang orang yang meninggal karena vaksinasi Covid-19 di Indonesia.
    “Ratusan orang bahkan sudah ribuan orang di Indonesia ini meninggal dunia setelah vaksin. Apa yang akan kalian gantikan pada mereka. Jutaan manusia di sana ketakutan karena vaksin,” kata pria tersebut.
    Tangkapan layar dengan klaim ratusan hingga ribuan orang meninggal usai vaksin Covid-19

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tempo, menunjukkan, video orasi tersebut terjadi dalam unjuk rasa oleh Aliansi Pejuang Penuntut Keadilan Masyarakat (PPKM) di depan gedung DPRD pada 26 Agustus 2021. Berita dari Tribun News memperlihatkan foto pria yang sama dengan video yang beredar. Namun sejauh ini tidak ada bukti atau laporan tentang ratusan bahkan ribuan orang di Indonesia yang meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19. 
    Dikutip dari Kompas.com pada 20 Mei 2021, Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Safari mengungkapkan, dari ratusan laporan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), ada 30 kasus meninggal dunia setelah divaksinasi Covid-19. Jumlah tersebut terdiri dari 27 kasus yang dilaporkan setelah mendapatkan vaksin Sinovac dan tiga setelah vaksin Astrazeneca. 
    Kendati demikian, Komnas KIPI mempertegas bahwa kejadian tersebut bukan akibat langsung dari vaksinasi. Dari 27 tersebut , 10 orang meninggal karena terinfeksi Covid-19, 14 orang karena penyakit jantung dan pembuluh darah, satu orang karena gangguan fungsi ginjal secara mendadak dan dua orang karena diabetes mellitus dan hipertensi tidak terkontrol. 
    Sedangkan tiga kasus lainnya, satu orang karena radang paru-paru dan satu orang positif Covid-19. Satu lainnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, sehingga tidak ada data yang cukup untuk mengetahui penyebabnya. 
    Tempo telah mengkonfirmasi ulang data tersebut ke Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Safari, Jumat 8 Oktober 2021. Hindra menyatakan sampai hari ini tidak ada kasus kematian yang disebabkan oleh vaksinasi Covid-19. “Tidak ada satupun kematian yang terkait dengan vaksin. Semua penyebab kematian disebabkan oleh penyakit lain yang disertai oleh orang tersebut,” kata dia kepada Tempo.
    Menurunkan Risiko Infeksi
    Hasil studi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, membuktikan bahwa vaksin mampu menurunkan risiko terinfeksi COVID-19, serta mengurangi perawatan dan kematian bagi tenaga kesehatan. 
    Studi ini dilakukan terhadap 71.455 tenaga kesehatan di DKI Jakarta meliputi perawat, bidan, dokter, teknisi, dan tenaga umum lainnya sepanjang periode Januari-Juni 2021.
    Studi tersebut mengamati kasus konfirmasi positif COVID-19, perawatan, dan kematian karena COVID-19 pada tiga kelompok tenaga kesehatan yaitu mereka yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis pertama, vaksinasi lengkap (dosis kedua), dan yang belum divaksinasi. Para tenaga kesehatan ini mayoritas mendapatkan vaksin Sinovac.
    Pada dua periode observasi di Januari-Maret dan April-Juni 2021, terlihat bahwa proporsi kasus meninggal karena COVID-19 pada tenaga kesehatan yang belum divaksin (0,03 persen) tidak berbeda dengan tenaga kesehatan yang telah mendapat vaksin dosis pertama (0,03%persen). Sedangkan vaksinasi dosis lengkap melindungi tenaga kesehatan dari risiko kematian dengan rasio 0,001 persen pada periode Januari-Maret 2021 dan 0,01 persen pada periode April-Juni 2021.

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan bahwa klaim pria yang berorasi dengan menyebut ratusan bahkan ribuan orang di Indonesia yang meninggal dunia setelah divaksin adalah keliru. Tidak ada bukti dan laporan tentang jumlah warga yang meninggal setelah vaksinasi Covid-19 mencapai ratusan bahkan ribuan. Laporan jumlah 30 orang meninggal ke Komnas KIPI pun, sudah diverifikasi tidak terkait langsung dengan vaksin Covid-19. 
    Tim CekFakta Tempo