• (GFD-2021-8557) Keliru, Pemerintah Wajibkan Nama di Sertifikat Vaksinasi Covid-19 Sesuai Paspor

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/03/2021

    Berita


    Klaim bahwa pemerintah mewajibkan nama yang tercantum dalam sertifikat vaksinasi Covid-19 sesuai dengan paspor beredar di Facebook. Menurut klaim yang terdapat dalam sebuah gambar yang dilengkapi dengan foto paspor tersebut, kesesuaian nama ini akan diperiksa oleh petugas ketika seorang warga hendak melakukan perjalanan ke luar negeri.
    "Yg vaksin jgn Lupa Kalau bisa sesuaikan Surat vaccine Nanti itu namanya sesuai Passport (jikalau nama kamu di Ktp beda dengan passport). Krn Nanti traveling itu mereka akan check Surat vaccine sesuai Gak dengan nama di passport. Jadi Kalau Nanti pas vaccine bawa both tp minta nama sesuai dengan passport aja," demikian narasi yang tertulis dalam gambar itu.
    Akun ini membagikan gambar tersebut pada 19 Maret 2021. Akun itu pun menulis, “Bagi yg sudah memiliki paspor, apabila ada yg mendapatkan vaksin Covid 19 baik itu berbayar ataupun gratis dr pemerintah hendaknya mendaftar dengan nama yang sesuai dengan paspor. Terutama bagi yg ingin berangkat umroh ataupun utk travelling dengan tujuan keluar negeri. Hal ini dikarenakan petugas yg memeriksa buku vaksin akan menyesuaikan namanya dengan nama yg tertera dipaspor.”
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait kebijakan pemerintah soal sertifikat vaksinasi Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menghubungi Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM ( Kemenkumham ) Arya Pradhana Anggakara. Menurut dia, klaim itu tidak benar. “Pihak Imigrasi tidak pernah mengeluarkan aturan tersebut,” kata Arya saat dihubungi pada 24 Maret 2021.
    Menurut Arya, sertifikat vaksinasi Covid-19 bukan merupakan wewenang Ditjen Imigrasi, melainkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), termasuk rencana dikeluarkannya kebijakan bahwa sertifikat vaksinasi menggantikan hasil tes Covid-19 sebagai syarat untuk melakukan perjalanan. “Terkait sertifikat vaksinasi, domainnya Kemenkes atau Satgas Covid-19,” kata Arya.
    Dilansir dari Bisnis.com, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, hingga saat ini, belum ada perubahan kebijakan apapun untuk pelaku perjalanan. Selain itu, belum ada aturan pemerintah yang meminta penyesuaian nama dalam sertifikat vaksinasi Covid-19 dengan nama dalam paspor.
    Siti mengaku belum mengetahui apakah sertifikat vaksinasi Covid-19 akan berpengaruh pada pelaku perjalanan. “Belum ada perubahan untuk pelaku perjalanan,” katanya. Meskipun begitu, masyarakat disarankan untuk tetap menyesuaikan nama dalam sertifikat vaksinasi Covid-19 dengan nama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Sebaiknya sesuai KTP ya,” ujarnya.
    Dikutip dari Liputan6.com, Satgas Covid-19 telah memiliki aturan tentang perjalanan internasional di masa pandemi. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tengang Perjalanan Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19.
    Dalam surat edaran tersebut, disebutkan bahwa seluruh pelaku perjalanan internasional, baik WNA maupun WNI, wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR di negara asal maksimal 3x24 jam sebelum keberangkatan. Pada saat kedatangan, WNA maupun WNI wajib melaksanakan tes ulang RT-PCR dan menjalani karantina terpusat selama 5x24 jam.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pemerintah mewajibkan nama yang tercantum dalam sertifikat vaksinasi Covid-19 sesuai dengan paspor, keliru. Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham telah memastikan bahwa klaim itu tidak benar. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi juga mengatakan belum ada perubahan kebijakan apapun untuk pelaku perjalanan. Hingga kini, belum ada aturan pemerintah yang meminta penyesuaian nama dalam sertifikat vaksinasi Covid-19 dengan nama dalam paspor.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8556) Keliru, Artikel tentang Demo di UGM soal Pemalsuan Status Alumni oleh Jokowi

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/03/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar artikel tentang demonstrasi mahasiswa dan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) beredar di Facebook. Menurut klaim dalam gambar ini, demo tersebut mendesak pengusutan kasus pemalsuan status sebagai alumni UGM oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
    Dalam gambar tangkapan layar ini, tercantum logo situs media Merdeka.com. Artikel tersebut berjudul "Jokowi Jelas tidak pernah menempuh pendidikan di UGM! Demo mahasiswa UGM. Mahasiswa UGM dan Alumni UGM desak & usut tuntas Pemalsuan Jokowi alumni UGM. Jokowi tidak pernah kuliah di UGM".
    Artikel itu dilengkapi dengan foto yang diambil dari lokasi sebuah unjuk rasa. Foto tersebut diberi keterangan: "Mahasiswa demo di depan UGM." Akun ini membagikan gambar tangkapan tersebut pada 12 Maret 2021. Akun itu pun menulis, "Gmn ini faktanya yg pasti" aja lah..... Supaya ga ruwet..."
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi sebuah artikel hasil suntingan dengan klaim keliru terkait Presiden Joko Widodo.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, gambar tangkapan layar itu merupakan hasil suntingan dari artikel yang dimuat oleh Merdeka.com. Foto yang terdapat dalam artikel tersebut pun bukan foto demo mahasiswa terkait pemalsuan status alumni UGM oleh Presiden Jokowi, melainkan foto demo mahasiswa yang menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
    Mula-mula, Tempo menelusuri jejak digital foto dalam gambar tangkapan layar itu denganreverse image toolYandex. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut memang pernah dipublikasikan oleh Merdeka.com dalam artikelnya pada 20 Oktober 2020. Namun, artikel itu berjudul "Tolak UU Cipta Kerja, Mahasiswa Gelar Demonstrasi di Bundaran UGM".
    Merdeka.com memberikan keterangan bahwa foto tersebut diambil saat mahasiswa berdemo di depan kampus UGM. Artikel yang memuat foto itu juga menjelaskan bahwa ratusan orang yang terdiri dari masyarakat dan mahasiswa, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), demo di Bundaran UGM untuk menolak disahkannya UU Cipta Kerja.
    Selain itu, ARB juga memberikan mosi tidak percaya kepada lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Dalam aksinya, selain melakukan orasi, ARB menggelar panggung budaya. Dalam aksi tersebut, tagar #JogjaMemanggil sempat ramai berdengung di media sosial. Demonstrasi ini digelar sejak pukul 13.00 WIB.
    Tempo kemudian menelusuri informasi terkait status alumni Presiden Jokowi di UGM. Dalam laman resmi alumni UGM, tercantum penjelasan bahwa Jokowi merupakan alumni Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985.
    Dilansir dari situs resmi UGM, Presiden Jokowi menerima kartu anggota Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) pada 2017. Penyerahan kartu Kagama tersebut dilakukan oleh Ketua Umum Kagama Ganjar Pranowo usai Sidang Kabinet Terbatas di Kantor Presiden pada 12 September 2017.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, gambar tangkapan layar artikel tentang demo mahasiswa UGM yang mendesak pengusutan kasus pemalsuan status alumni oleh Presiden Jokowi tersebut keliru. Gambar tangkapan layar artikel itu adalah hasil suntingan dari artikel yang dimuat oleh Merdeka.com pada 20 Oktober 2020 dengan judul "Tolak UU Cipta Kerja, Mahasiswa Gelar Demonstrasi di Bundaran UGM". Jokowi sendiri merupakan alumni Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8555) Keliru, Poster dengan Klaim Anies Tersangka dan KPK Angkut Rp 3,3 T dari Rumahnya

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/03/2021

    Berita


    Sebuah poster yang berisi klaim bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi tersangka kasus yang tengah diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beredar di Facebook. Menurut klaim itu, KPK juga mengangkut duit senilai Rp 3,3 triliun dari rumah Anies.
    Gambar tersebut berisi teks yang berbunyi "Jokowi Marah Besar Anies Jadi Tersangka!!! KPK Angkut 3,3 Triliun dari Rumah Anies". Dalam gambar itu, terdapat pula foto seorang pria yang mirip dengan Anies yang sedang memegang tumpukan uang yang berada di dalam plastik.
    Akun ini membagikan gambar itu pada 22 Maret. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun itu telah mendapatkan 355 reaksi dan 272 komentar. Gambar tersebut menyebar di tengah proses penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, oleh KPK.
    Kasus ini diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar. Perumda Pembangunan Sarana Jaya disebut membeli lahan di Pondok Ranggon seluas 4,2 hektare pada 2019. Lahan yang disebut untuk proyek rumah DP nol rupiah itu diduga bermasalah karena berada di jalur hijau dan harganya di-mark-up.
    Sebuah poster yang beredar di Facebook yang berisi klaim keliru terkait Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan sejumlah kata kunci di mesin pencari Google. Hasilnya, tidak ditemukan berita dari media kredibel bahwa Anies Baswedan menjadi tersangka kasus KPK maupun KPK menyita uang senilai Rp 3,3 triliun dari rumah Anies.
    Tempo menemukan video di YouTube denganthumbnailyang sama dengan gambar di atas. Judul video itu pun sama dengan yang tertulis dalam gambar tersebut. Video ini diunggah oleh kanal YouTube Juru Kunci pada 12 Maret 2021. Namun, dalam video itu, tidak terdapat informasi bahwa Anies menjadi tersangka kasus KPK maupun KPK menyita uang dari rumah Anies.
    Di bagian awal video tersebut, terdapat rekaman wawancara Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Ia menjelaskan penggeledahan yang telah dilakukan oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Pondok Ranggon. Namun, Ali tidak menyebut rumah Anies sebagai salah satu lokasi penggeledahan.
    "Penggeledahan di empat lokasi yang berbeda di Jakarta, yaitu di kantor PT AP (Adonara Propertindo), gedung Sarana Jaya, dan dua rumah kediaman pihak-pihak yang terkait dengan perkara ini. Dari penggeladahan itu, KPK menemukan sejumlah dokumen yang terkait dengan perkara ini," katanya.
    Lalu, video tersebut berisi narasi yang dibacakan oleh narator yang ambil dari sejumlah artikel. Artikel pertama adalah artikel yang dimuat oleh situs Pikiran Rakyat pada 11 Maret 2021 terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Pondok Ranggon.
    Dalam artikel ini, justru dijelaskan bahwa Anies Baswedan tidak menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Menurut artikel itu, empat tersangka yang telah ditetapkan oleh KPK adalah YC (Yoory C. Pinontoan, Direktur Utama Sarana Jaya ), AR dan TA (Anja Runtuwene dan Tommy Adrian, direktur PT Adonara Propertindo), dan PT Adonara Propertindo selaku penjual tanah.
    Kemudian, artikel kedua, adalah artikel yang juga dimuat oleh Pikiran Rakyat yang berisi opini dari seorang aktivis terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Pondok Ranggon. Sementara artikel ketiga adalah artikel yang dimuat oleh Netralnews, pun berisi opini dari politikus Ferdinand Hutahaean soal kasus yang sama.
    Terkait foto seorang pria yang mirip dengan Anies Baswedan yang sedang memegang tumpukan uang dalam thumbnail video tersebut, foto itu adalah hasil suntingan. Pria dalam foto ini bukan Anies. Bagian wajah pria dalam foto tersebut disunting dengan cara ditempel dengan foto wajah Anies.
    Foto aslinya pernah dimuat oleh Bisnis.com dalam artikelnya pada 3 Desember 2020. Foto itu diberi keterangan: “Petugas memasukan uang pecahan rupiah ke dalam mobil untuk didistribusikan dari Cash Center Mandiri, Jakarta, Senin (11/5/2020). - Antara Foto/Muhammad Adimaja.”

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, poster yang berisi klaim bahwa Anies Baswedan menjadi tersangka kasus yang tengah diusut oleh KPK dan KPK menyita uang senilai Rp 3,3 triliun dari rumahnya, keliru. Tidak ditemukan informasi dari media kredibel bahwa Anies menjadi tersangka kasus KPK maupun KPK menyita uang dari rumah Anies. Poster itu merupakanthumbnail dari sebuah video yang beredar di YouTube. Namun, dalam video itu, tidak terdapat pula informasi yang dimaksud. Foto pria yang mirip dengan Anies dalam poster itu pun merupakan hasil suntingan.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8554) Keliru, Pesan Berantai tentang Pandemi Covid-19 Hanya Tipuan yang Diklaim Berasal dari IDI

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 23/03/2021

    Berita


    Pesan berantai yang diklaim berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beredar di Facebook. Pesan berantai itu berisi sejumlah klaim yang meragukan pandemi Covid-19. "Tidak ada pandemi, tidak ada Covid-19, dan tidak ada virus yang beterbangan yang mematikan. Semua itu adalah bentuk pengelabuan dan pembodohan global," demikian narasi di awal pesan berantai tersebut.
    Akun ini membagikan pesan berantai itu pada 21 Maret 2021. Beberapa klaim yang terdapat dalam pesan berantai tersebut antara lain:
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim-klaim keliru dan menyesatkan seputar pandemi dan Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi apakah pesan berantai itu berasal dari IDI, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait. Hasilnya, ditemukan bahwa pesan berantai tersebut tidak ditulis oleh IDI. Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ), yang mengutip Liputan6.com, Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi menyatakan IDI tidak pernah mengeluarkan keterangan semacam itu.
    Tempo kemudian memeriksa klaim-klaim yang terdapat dalam pesan berantai tersebut. Berikut hasil penelusuran Tempo:
    Klaim 1: Tidak ada satu pun warga Swedia, Korea Utara, Chechnya, dan Tajikistan yang terkena Covid-19
    Fakta:
    Dilansir dari Worldometers, hingga 23 Maret 2021, Swedia telah mencatatkan jumlah kasus Covid-19 sebanyak 744.272 orang dengan kematian 13.262 orang. Di Tajikistan, sebanyak 13.308 orang telah terinfeksi Covid-19 dan 90 orang di antaranya meninggal dunia.
    Terkait kasus Covid-19 di Chechnya, sebuah wilayah berbentuk republik di Rusia, data terakhir yang berhasil ditemukan adalah data pada Mei 2020 silam yang dimuat oleh The New York Times. Ketika itu, Chechnya melaporkan 1.046 kasus dengan 11 kematian.
    Sementara data kasus Covid-19 di Korea Utara tidak tersedia secara terbuka.
    ***
    Klaim 2: Bila Covid-19 termasuk pandemi, seharusnya orang-orang sudah banyak yang mati bergelimpangan
    Fakta:
    Pandemi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), berarti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Menurut definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), pandemi adalah penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia.
    Dari pengertian tersebut, pandemi bukan ditunjukkan dari banyaknya orang yang mati bergelimpangan. Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi karena, hingga saat ini, penyakit itu telah menyebar ke sebagian besar negara, dengan total kasus Covid-19 mencapai 124.326.764 orang dan jumlah kematian lebih dari 2,7 juta orang.
    ***
    Klaim 3: Orang positif Covid-19 yang berada di rumah lebih aman ketimbang yang berada di rumah sakit, risikonya antara hidup dan mati
    Fakta:
    Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan, penanganan pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 dilakukan berdasarkan gejalanya. Pasien yang tidak bergejala akan diimbau untuk melakukan isolasi mandiri di rumah atau di rumah sakit darurat. Bagi pasien dengan gejala berat, mereka akan diisolasi di rumah sakit atau rumah sakit rujukan.
    Menurut epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, yang dikutip dari CNN Indonesia, jumlah kematian akibat Covid-19 yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh terlambatnya pemberian penanganan. Hal itu dipicu oleh faktor ketidaksiapan sistem kesehatan Indonesia untuk menangani pasien dengan gejala sedang hingga berat.
    ***
    Klaim 4: Virus Corona Covid-19 adalah virus flu biasa
    Fakta:
    Dilansir dari kantor berita Reuters, yang mengutip The Stanford Children's Health, virus Corona baru penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, belum pernah teridentifikasi sebelumnya. SARS-CoV-2 tidak sama dengan virus Corona yang umumnya beredar di antara manusia dan menyebabkan penyakit ringan, seperti flu biasa. Meskipun termasuk dalam keluarga virus Corona, SARS-CoV-2 adalah virus baru yang menyerang manusia.
    Flu biasa memiliki gejala pilek dan sakit tenggorokan yang umumnya ringan dan berlangsung antara 1-2 minggu. Sedangkan Covid-19 memiliki gejala kesulitan bernafas, demam, dan batuk kering. Beberapa pasien mengalami pneumonia dan memerlukan rawat inap. Jika pneumonia bertambah parah, bisa berakibat fatal.
    ***
    Klaim 5: WHO sudah tidak independen lagi, konsorsium utamanya adalah China komunis dan zionis Yahudi (Israel). Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang saja kewalahan tidak bisa melawan kekuatan elite global tersebut.
    Fakta:
    WHO berdiri pada 7 April 1948. Saat ini, WHO bekerja bersama 194 negara anggota. WHO memiliki lebih dari 7 ribu karyawan di 150 kantor negara, enam kantor regional, dan satu kantor pusat di Jenewa, Swiss. Majelis Kesehatan Dunia dihadiri oleh delegasi dari semua negara anggota, dan menentukan kebijakan WHO. Sementara Dewan Eksekutif WHO terdiri dari anggota yang secara teknis memenuhi syarat di bidang kesehatan, dan memberikan efek terhadap keputusan dan kebijakan Majelis Kesehatan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang menyebut pandemi Covid-19 hanya pembodohan tersebut keliru. Pesan berantai ini tidak ditulis oleh IDI. Klaim-klaim dalam pesan berantai itu pun keliru dan menyesatkan, mulai dari "tidak ada satu pun warga Swedia, Korea Utara, Chechnya, dan Tajikistan yang terkena Covid-19", "bila Covid-19 termasuk pandemi, seharusnya orang-orang sudah banyak yang mati bergelimpangan", "orang positif Covid-19 yang berada di rumah lebih aman ketimbang yang berada di rumah sakit, risikonya antara hidup dan mati", hingga "virus Corona Covid-19 adalah virus flu biasa".
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan