• (GFD-2021-8639) Keliru, Vaksin Covid-19 Sebabkan 0,8 Persen Kematian dalam 2 Minggu dan yang Hidup Hanya Bertahan 2 Tahun

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/05/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berisi pernyataan yang diklaim berasal dari ketua saintis di perusahaan vaksin Pfizer, Mike Yeadon, beredar di grup-grup percakapan WhatsApp sejak 26 Mei 2021. Menurut pesan berantai itu, Yeadon mengatakan bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan 0,8 persen kematian dalam waktu dua minggu, sementara penerima vaksin yang masih hidup hanya bisa bertahan selama dua tahun.
    "Yang sudah divaksin siap-siap mati dini," begitu narasi yang tertulis di bagian awal pesan berantai tersebut. Selanjutnya, terdapat narasi yang diklaim dinyatakan oleh Yeadon, "Mike Yeadon, bekas ketua saintis di firma vaksin Pfizer menyatakan bahwa kini sudah amat terlambat untuk menyelamatkan siapa yang sudah divaksin Covid-19."
    Menurut pesan berantai ini, tak lama setelah suntikan pertama vaksin, 0,8 persen penerimanya bakal meninggal dalam waktu dua minggu. "Mereka yang bertahan akan mampu bertahan hidup sekitar dua tahun, namun kemampuan tersebut dikurangi dengan penambahan atau top-up suntikan vaksin. Penambahan vaksin yang sedang dibuat sekarang adalah untuk menyebabkan kemorosotan fungsi organ tertentu dalam badan manusia."
    Di akhir pesan berantai itu, terdapat narasi bahwa tujuan akhir pemerintah menyediakan vaksin yang diwajibkan saat ini adalah untuk mengurangi populasi secara besar-besaran. Dicantumkan pula tautan artikel dari situs Lifesitenews.com yang berjudul "EXCLUSIVE - Former Pfizer VP: ‘Your government is lying to you in a way that could lead to your death".
    Gambar tangkapan layar pesan berantai di WhatsApp yang berisi klaim keliru tentang vaksin Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Menurut verifikasi Tim CekFakta Tempo, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat kematian hingga 0,8 persen setelah vaksin Covid-19 dosis pertama disuntikkan kepada seseorang. Tidak ada pula bukti bahwa mereka yang telah disuntik vaksin Covid-19 hanya bisa bertahan hidup sekitar dua tahun.
    Dikutip dari Deutsche Welle (DW), yang meninjau laporan dari Italia, Austria, Korea Selatan, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Norwegia, Belgia dan Peru, dalam banyak kasus, otoritas kesehatan belum menemukan hubungan sebab-akibat antara vaksinasi dan kematian.
    Di Korea Selatan misalnya, dilaporkan bahwa terdapat 15 orang yang meninggal setelah menerima vaksin Covid-19 AstraZeneca. Di sana, vaksin tersebut hanya diberikan kepada orang yang berusia di bawah 65 tahun. Namun, hasil penyelidikan menunjukkan hampir semua warga yang meninggal itu telah memiliki kondisi medis sebelumnya, seperti penyakit serebrovaskular atau kardiovaskular.
    Di Jerman, Institut Paul Ehrlich (PEI) yang bertanggung jawab atas vaksinasi telah menyelidiki 113 kematian yang dilaporkan di negara tersebut. Korban berusia 46-100 tahun, dan mereka meninggal antara satu jam hingga 19 hari setelah menerima vaksin.
    Dari 113 kematian tersebut, 20 orang di antaranya meninggal akibat infeksi Covid-19 (di mana 19 orang di antaranya belum memiliki perlindungan vaksin secara penuh; dan sisanya masih belum jelas). Sementara 43 orang di antaranya meninggal akibat kondisi yang sudah ada sebelumnya atau infeksi lain.
    Menurut arsip berita Tempo pada 14 Mei 2021, Badan Kesehatan Masyarakat Inggris justru menyatakan bahwa imunisasi massal vaksin virus Corona telah mencegah hampir 12 ribu kematian dan menangkal lebih dari 30 ribu rawat inap pada lansia.
    Dalam laporan Badan Kesehatan Masyarakat Inggris, hingga akhir April 2021, program imunisasi vaksin virus Corona telah mencegah 11.700 kematian pada kelompok usia 60 tahun ke atas di Inggris. Selain itu, diperkirakan bahwa 33 ribu lansia berusia 65 tahun ke atas tidak perlu dirawat inap setelah adanya imunisasi massal ini pada periode yang sama.
    Terkait riwayat Michael Yeadon, dilansir dari kantor berita Reuters, ia memang seorang mantan peneliti ilmiah dan wakil presiden di Pfizer. Dia pun ikut mendirikan perusahaan bioteknologi tersebut. Namun, kariernya berubah secara tidak terduga. Ia beberapa kali melontarkan pernyataan yang menyesatkan terkait vaksin Covid-19, salah satunya bahwa vaksin itu menyebabkan kemandulan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan 0,8 persen kematian dalam waktu dua minggu dan penerima vaksin yang masih hidup hanya bisa bertahan sekitar dua tahun, keliru. Klaim ini tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada, bahwa vaksin Covid-19 justru menyelamatkan lebih banyak manusia dari kematian. Di Inggris misalnya, imunisasi massal vaksin virus Corona telah mencegah hampir 12 ribu kematian.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8638) Keliru, Klaim Ini Video-video Pesawat Antariksa Cina yang Jatuh di Laut India

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/05/2021

    Berita


    Empat video yang memperlihatkan cahaya terang yang bergerak lambat melintasi langit beredar di Facebook. Video-video tersebut diklaim sebagai video pesawat antariksa milik Cina yang bergesekan dengan atmosfer saat jatuh dari luar angkasa ke laut India.
    Akun ini membagikan empat video tersebut pada 10 Mei 2021. Akun itu pun menulis narasi, “Itu bkn comet tapi itu pesawat antariksa apolo .. Milik cina yg jatuh Dari luar angkasa ke bumi. Bergesekan dgn atmosfir. Jatuhnya di laut india.”
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video-video yang diunggahnya. Video itu bukan video pesawat antariksa Cina yang jatuh.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, cahaya terang yang bergerak lambat melintasi langit dalam video-video tersebut disebabkan oleh roket Falcon 9 milik SpaceX, perusahaan antariksa yang didirikan oleh Elon Musk, yang turun dari orbit. Saat itu, Falcon 9, yang diluncurkan pada awal Maret 2021 lalu, gagal membuat "pembakaran deorbit" dan masuk kembali ke atmosfer.
    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video-video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri dengan reverse image tool Google dan Yandex.
    Hasilnya, ditemukan kompilasi video-video yang identik yang pernah diunggah ke YouTube oleh kanal terverifikasi milik situs media KING 5 News pada 26 Maret 2021. Video itu berjudul “Streak of lights over Pacific Northwest was Falcon 9 rocket debris”.
    Dalam laporannya, KING 5 News menulis bahwa cahaya terang yang bergerak lambat itu terlihat di atas Pacific Nortwest, Amerika bagian utara, sekitar pukul 9 malam waktu setempat. Cahaya ini menarik perhatian warga yang tinggal di Kanada hingga oregon. Mereka menyangka bahwa cahaya itu merupakan hujan meteor atau komet yang terbakar saat memasuki atmosfer.
    James Davenport, asisten profesor peneliti astronomi di University of Washington, menyatakan bahwa cahaya tersebut disebabkan oleh roket Falcon 9 yang turun dari orbit. Dia mengatakan puing-puing roket itu kemungkinan berada sekitar 30 mil dalam atmosfer, dan tidak mungkin ada potongan substansial yang akan mencapai bumi. SpaceX, perusahaan antariksa milik Elon Musk, meluncurkan roket Falcon 9 tahap 2 ini pada 4 Maret 2021 lalu.
    Kompilasi video serupa juga pernah diunggah oleh kanal YouTube Global News pada 27 Maret 2021 dengan judul “SpaceX rocket debris likely the reason for strange lights seen in skies over Pacific Northwest”. Menurut Global News, yang mengutip penjelasan National Weather Service dan pakar astromoni, cahaya yang terlihat di British Columbia, Washington, dan Oregon itu kemungkinan besar adalah sampah luar angkasa.
    Orang-orang berspekulasi di media sosial tentang cahaya itu dan bertanya-tanya apakah benda tersebut merupakan meteor atau bahkan obyek tak dikenal. Astronom dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, Jonathan McDowell, mengatakan di Twitter bahwa itu adalah roket tahap 2 SpaceX, Falcon 9, yang diluncurkan pada awal Maret lalu, yang gagal membuat "pembakaran deorbit" dan masuk kembali ke atmosfer.
    Peluncuran Falcon 9 oleh SpaceX pada 4 Maret ini disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube-nya. Video peluncuran itu diunggah dengan judul “Starlink Mission”.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, saat ini, SpaceX memiliki lebih dari seribu satelit Starlink di orbit karena membangun megaconstellation yang mampu menyediakan jangkauan internet berkecepatan tinggi secara global. Roket Falcon 9 untuk Starlink 17 mencakup pendorong tahap pertama yang sejauh ini telah terbang tujuh kali. Ini meluncurkan misi satelit Iridium-8 dan Telstar 18 Vantage, serta lima penerbangan Starlink.
    Booster ini siap menjadi booster Falcon 9 ketiga yang terbang delapan kali, dan jika semuanya berjalan lancar, akan mendarat di kapal drone "Of Course I Still Love You" di Samudera Atlantik sehingga dapat dipulihkan. Roket Block 5 Falcon 9 SpaceX itu dirancang untuk terbang hingga 10 kali sebagai bagian dari program penggunaan kembali perusahaan untuk menurunkan biaya peluncuran.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video pesawat antariksa milik Cina yang bergesekan dengan atmosfer saat jatuh dari luar angkasa ke laut India, keliru. Cahaya terang yang bergerak lambat melintasi langit dalam video-video tersebut disebabkan oleh roket Falcon 9 milik SpaceX, perusahaan antariksa yang didirikan oleh Elon Musk, yang turun dari orbit. Saat itu, Falcon 9, yang diluncurkan pada awal Maret 2021 lalu, gagal membuat "pembakaran deorbit" dan masuk kembali ke atmosfer.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8637) Tidak Terbukti, Cina Telah Persiapkan Perang Dunia III dengan Senjata Biologis

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/05/2021

    Berita


    Klaim bahwa Cina telah mempersiapkan Perang Dunia III dengan memakai senjata biologis beredar di Instagram. Menurut unggahan di Instagram tersebut, informasi ini berasal dari sebuah dokumen rahasia yang dibuat oleh para ilmuwan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Cina. Dokumen itu mengungkap bahwa Cina telah meneliti manipulasi penyakit untuk membuat senjata, termasuk virus Corona penyebab Covid-19, sejak 2015.
    "China dilaporkan telah mempersiapkan Perang Dunia III dengan memakai senjata biologis selama enam tahun terakhir. Sebuah dokumen rahasia yang dibuat oleh para ilmuwan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA China) itu mengungkap mereka sudah lama meneliti manipulasi penyakit untuk membuat senjata sejak 2015, termasuk virus corona SARS yang menimbulkan COVID-19," demikian bunyi klaim tersebut.
    Akun ini membagikan klaim itu pada 10 Mei 2021. Akun tersebut menulis, "So, they already started it?" Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari 92 ribulikedan 2.600 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim yang tidak terbukti terkait Cina.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, klaim itu berasal dari sebuah buku yang terbit pada 2015. Namun, buku tersebut mendapatkan banyak kritik karena berisi teori konspirasi dan menyesatkan. Sejauh ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Cina telah mempersiapkan senjata biologis, termasuk virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
    Munculnya klaim itu bermula dari terbitnya artikel oleh situs media yang berbasis di Australia, The Australian, pada 7 Mei 2021 yang berjudul "‘Virus warfare’ in China military documents". Artikel ini kemudian dikutip oleh sejumlah situs media lain.
    Dikutip dari South China Morning Post (SCMP), artikel itu mengupas buku yang terbit pada 2015 dan masih diperjualbelikan secara online sampai sekarang, berjudul "The Unnatural Origin of Sars dan Species New Species of Man-Made Virus as Genetic Bioweapons". Namun, buku ini membahas apakah virus Corona dapat dipakai oleh teroris sebagai senjata melawan Cina, bukan tentang bagaimana Cina menjadikan virus Corona sebagai senjata biologis.
    Buku itu diterbitkan lebih dari satu dekade setelah munculnyaSevere Acute Respiratory Syndrome( SARS ) yang disebabkan oleh virus Corona bernama SARS-CoV pada 2003. Penulis utama buku itu adalah Xu Dezhong, profesor penyakit menular dari Air Force Medical University di Xian, Shaanxi, Cina. “Berdasarkan berbagai bukti epidemiologi, biologi molekuler, dan biologi evolusioner, buku ini menyimpulkan bahwa SARS-CoV mungkin memiliki asal yang tidak alami, atau buatan manusia,” kata penulis.
    Terdapat satu bab khusus dalam buku itu yang membahas kemungkinan metode untuk membuat senjata biologis. Tapi sebagian besar isi bab ini berasal dari dokumen militer Amerika Serikat yang tidak diklasifikasikan, yang dirancang oleh Michael Ainscough, seorang kolonel di United States Air Force (USAF) Counter Proliferation Center.
    Dalam buku itu, Dezhong menyatakan menerjemahkan makalah Ainscough karena ditulis setahun sebelum munculnya wabah SARS di Cina. Buku ini tidak menuduh secara langsung bahwa AS menciptakan SARS, tapi menunjukkan upaya AS dalam penelitian, pengembangan, dan penyebaran senjata biologis menggunakan metode genetik.
    Penyebab SARS
    Dikutip dari situs resmi Johns Hopkins Medicine, SARS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan nama SARS-associated coronavirus atau SARS-CoV. Umumnya, virus Corona menyebabkan penyakit saluran pernapasan atas ringan hingga sedang pada manusia, tapi juga dapat menyebabkan penyakit pernapasan, gastrointestinal, hati, dan neurologis pada hewan.
    Ketika bergegas menghentikan penyebaran SARS pada 2003, para peneliti mempelajari lebih banyak karakteristik SARS-CoV, yang belum pernah teridentifikasi sebelumnya. Meskipun mereka masih belum memastikan asal penyakit tersebut, banyak yang percaya bahwa SARS-CoV pertama kali muncul pada hewan, kemudian menyebar ke manusia.
    Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa SARS adalah senjata biologis yang juga menyebabkan Covid-19.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Cina telah mempersiapkan Perang Dunia III dengan memakai senjata biologis, tidak terbukti. Klaim ini bermula dari artikel yang membahas buku berjudul "The Unnatural Origin of Sars dan Species New Species of Man-Made Virus as Genetic Bioweapons" yang terbit 2015. Namun, buku itu menyinggung tentang apakah virus Corona dapat digunakan oleh teroris sebagai senjata melawan Cina, bukan tentang bagaimana Cina menjadikan virus Corona sebagai senjata biologis. Tidak ada pula bukti yang disuguhkan yang mendukung klaim ini.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8636) Sesat, Klaim Ini Foto Sopir Taksi yang Ditangkap Intelijen AS karena Berwajah Arab dan Dianggap Terlibat 9/11

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/05/2021

    Berita


    Foto yang memperlihatkan seorang pria berjenggot tebal yang memakai baju khas tahanan berwarna oranye beredar di Instagram. Foto tersebut diklaim sebagai foto seorang sopir taksi yang ditangkap oleh intelijen Amerika Serikat karena berwajah Arab dan dianggap terlibat teror 9/11. Menurut klaim itu, pasca serangan gedung World Trade Centre pada 9 September 2001, warga AS menganggap semua orang Islam adalah teroris.
    Berikut narasi yang menyertai foto tersebut: "Pasca kejadian 9/11 seluruh Amerika Serikat terjangkit penyakit Islamophobia. Mereka menganggap semua orang muslim adalah teroris yang patut dimusuhi. Setiap orang yang memiliki wajah kearab-araban akan ditangkap dan dianggap sebagai teroris berbahaya. Demikian pula dengan sopir taksi satu ini. Dia ditangkap begitu saja oleh intelijen setempat tanpa mengetahui kesalahannya. Foto tersebut adalah foto terakhir pria ini sebelum akhirnya ia dimasukkan ke ruang introgasi. Dia disiksa sedemikian rupa hingga tewas."
    Akun ini mengunggah foto beserta klaim itu pada 20 Mei 2021. Akun tersebut pun menulis narasi sebagai berikut: "Foto ini menjadi bersejarah yang diambil beberapa detik sebelum disiksa. Mungkin foto ini tampak biasa saja, namun efek yang setelah kejadian dalam foto itu berakibat nyawa yang melayang." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah disukai lebih dari 2.500 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim sesat terkait foto yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri foto tersebut dengan reverse image tool Source, Yandex, dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa pria dalam foto tersebut bernama Dilawar. Ia adalah seorang sopir taksi yang ditangkap oleh milisi Afghanistan saat mengantar penumpang. Mereka kemudian diserahkan kepada tentara AS di Camp Salerno, yang saat itu menjadi sasaran serangan roket. Mereka dinyatakan sebagai tersangka dalam serangan roket tersebut.
    Foto yang identik pernah dimuat oleh situs Ebaumsworld.com pada 5 Juni 2015 dalam artikelnya yang berjudul “19 Final Photos Taken Before Death”. Foto tersebut diberi keterangan: "Sopir taksi Afghanistan berusia 22 tahun, Dilawar, dituduh secara tidak benar dan dikirim ke penjara Bagram oleh tentara AS. Lima hari setelah foto ini diambil, Dilawar meninggal karena luka-luka yang dideritanya selama penyiksaan."
    Foto yang sama juga pernah dimuat oleh situs Clarksvilleonline.com pada 19 Desember 2007 dalam artikelnya yang berjudul “Taxi to the Dark Side details U.S. torture”. Taxi to the Dark Side merupakan sebuah film yang diangkat dari kisah Dilawar.
    The New York Times mendapatkan salinan hampir 2 ribu halaman dokumen rahasia investigasi kriminal tentara Angkatan Darat AS berisi kisah kematian brutal Dilawar di pusat penahanan Bagram. The New York Times memperoleh salinan tersebut dari seseorang yang terlibat dalam penyelidikan kasus itu, yang mengkritik metode yang digunakan di Bagram.
    Menurut laporan The New York Times, Dilawar tiba di Bagram pada 5 Desember 2002. Empat hari sebelumnya, pada malam hari raya Idul Fitri, Dilawar berangkat dari desa kecilnya di Yakubi, Afghanistan, dengan barang baru yang berharga, sebuah sedan Toyota bekas yang dibelikan oleh keluarganya beberapa minggu sebelumnya untuk dikendarai sebagai taksi.
    Pada hari dia menghilang, ibu Dilawar memintanya menjemput ketiga saudara perempuannya dari desa terdekat untuk pulang. Tapi dia membutuhkan uang bensin dan memutuskan pergi ke ibukota provinsi Khost, Afghanistan, sekitar 45 menit untuk mencari ongkos. Di pangkalan taksi, dia menemukan tiga pria yang ingin ke Yakubi. Dalam perjalanan, mereka melewati pangkalan pasukan AS, Camp Salerno, yang pagi itu menjadi sasaran serangan roket.
    Milisi Afghanistan yang setia kepada komandan gerilyawan yang menjaga pangkalan tersebut, Jan Baz Khan, menghentikan mobil Dilawar di pos pemeriksaan. Mereka menyita walkie-talkie yang rusak dari salah satu penumpang Dilawar. Di bagasi, mereka juga menemukan penstabil listrik yang digunakan untuk mengatur arus dari generator. (Keluarga Dilawar mengatakan penstabil itu bukan milik mereka, karena mereka tidak memiliki listrik).
    Keempat pria tersebut pun ditahan dan diserahkan kepada tentara AS di pangkalan itu sebagai tersangka dalam serangan roket tersebut. Namun, interogator utama Dilawar, Spesialis Glendale C. Walls II, berpendapat bahwa dia terus mengelak. "Beberapa lubang muncul, dan kami ingin dia menjawab dengan jujur," katanya. Interogator lainnya, Sersan Salcedo, mengeluh bahwa narapidana itu tersenyum, tidak menjawab pertanyaan, dan menolak untuk tetap berlutut di tanah atau bersandar di dinding.
    Sementara penerjemah yang hadir saat itu, Ahmad Ahmadzai, memiliki pandangan yang berbeda dengan interogator. Para interogator, kata dia, menuduh Dilawar meluncurkan roket yang menghantam pangkalan AS. Dia membantahnya. Para interogator pun berulang kali mendorongnya ke dinding. "Sekitar 10 menit pertama, saya kira, mereka sebenarnya menanyai dia, setelah itu mendorong, menendang, dan meneriakinya. Tidak ada interogasi yang sedang berlangsung," ujar Ahmadzai.
    Pada Februari 2003, seorang pejabat militer AS mengungkapkan bahwa komandan gerilyawan Afghanistan yang anak buahnya telah menangkap Dilawar dan penumpangnya telah ditahan. Komandan itu, Jan Baz Khan, dicurigai menyerang Camp Salerno sendiri dan kemudian menyerahkan "tersangka" yang tidak bersalah kepada AS untuk mendapatkan kepercayaan mereka, kata pejabat militer tersebut.
    Dilansir dari The Guardian, tentara AS telah melakukan penyiksaan terhadap para tahanan di kamp penjara Bagram yang dikelola di Afghanistan. Tujuh tentara didakwa sehubungan dengan penyiksaan tersebut, di mana The New York Times melaporkan bahwa perlakuan kasar oleh beberapa interogator adalah rutinitas, tahanan dibelenggu dalam posisi tetap yang menyakitkan, dan penjaga dapat menyerang tahanan yang dibelenggu dengan impunitas virtual.
    Dokumen militer rahasia yang diperoleh The New York Times menyoroti kematian dalam penahanan Dilawar, seorang sopir taksi berusia 22 tahun yang diyakini oleh sebagian besar interogator tidak bersalah, serta seorang narapidana lainnya, Habibullah. Kedua pria itu meninggal dalam rentang waktu enam hari pada Desember 2002.
    Juru bicara Pentagon Letnan Kolonel John Skinner mengatakan dokumen militer rahasia tersebut menunjukkan betapa seriusnya militer AS mempertimbangkan tuduhan penyiksaan. "Setiap insiden tidak dapat diterima, dan ketika ada tuduhan, kami menyelidikinya," katanya. Ia juga menambahkan bahwa 28 orang terlibat dalam laporan itu dan tujuh orang didakwa. "Roda keadilan sedang berputar, sebagaimana mestinya."
    Skinner mengatakan, saat ini, ada lebih dari 10 jalur penyelidikan utama yang menginvestigasi seluruh aspek penahanan, di samping peningkatan pengawasan, peningkatan pelatihan, dan peningkatan fasilitas. Terlepas dari perbaikan itu, kebijakannya sejak awal adalah perlakuan yang manusiawi terhadap tahanan. "99,99 persen anggota militer kami menjunjung standar setiap hari dalam situasi yang sulit dan berbahaya," katanya. Jika tidak, ujarnya, akan ada konsekuensi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut menunjukkan sopir taksi yang ditangkap oleh intelijen AS karena berwajah Arab dan dianggap terlibat teror 9/11, menyesatkan. Pria dalam foto itu bernama Dilawar. Dalam dokumen rahasia yang diungkap oleh The New York Times, Dilawar merupakan korban salah tangkap yang mengalami penyiksaan hingga tewas di kompleks penjara Bagram, Afganistan, pada 2002. Dilawar ditangkap oleh milisi Afganistan bersama ketiga penumpangnya, lalu diserahkan ke pangkalan pasukan AS, Camp Salerno, karena dituduh sebagai pelaku serangan roket terhadap pangkalan tersebut.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan