• (GFD-2023-11839) Menyesatkan, Klaim Vaksin Covid-19 Pfizer Membunuh 20 Juta Orang

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/02/2023

    Berita


    Sebuah akun di Instagram mengunggah konten pada 28 Januari 2023 dengan klaim vaksin Covid-19, Pfizer, telah membunuh 20 juta orang di seluruh dunia, mengutip laporan rahasia milik perusahaan Pfizer dan pemerintah.
    Mereka diklaim meninggal akibat Antibody-dependent Enhancement (ADE) dan Vaccine-associated enhanced disease (VAED) karena vaksin Covid-19. 
    Konten itu berupa pamflet berisi narasi sebagai berikut: Vaccine genocide: pfizer lied and 20 million people died in just handful of countries according to secret government report. Government & Pfizer Documents reveal Gates & Schwab's Depopulation Agenda: Covid Vaccines are being used for Mass Death & Population Control.

    Pemilik konten juga menyertakan tautan sebuah situs asal Inggris bernama expose-news.com.
    Benarkah klaim bahwa vaksin Covid-19 telah membunuh 20 juta orang?

    Hasil Cek Fakta


    Tidak ada laporan kredibel, baik dari jurnal ilmiah maupun otoritas kesehatan dunia tentang kematian 20 juta orang karena vaksin. Sebaliknya, sebuah studi terbaru justru mengungkap bahwa vaksin Covid-19 justru berhasil menyelamatkan jiwa 20 juta orang pada tahun pertama pandemi.
    Dikutip dari The Guardian, studi yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Infectious Diseases itu memodelkan penyebaran penyakit Covid-19 di 185 negara dan wilayah antara Desember 2020 dan Desember 2021. Hasil penelitian menunjukkan tanpa vaksin Covid-19, diperkirakan 31,4 juta orang akan meninggal. Namun karena vaksin, sebanyak 19,8 juta dari kematian tersebut dapat dicegah.
    Studi tersebut merupakan upaya pertama untuk mengukur jumlah kematian yang dicegah secara langsung dan tidak langsung akibat vaksinasi Covid-19. Bahkan, lebih banyak kematian dapat dicegah jika akses vaksinasi lebih merata di seluruh dunia. Studi tersebut menjelaskan, hampir 600.000 kematian tambahan dapat dicegah seandainya target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memvaksinasi 40% populasi setiap negara pada akhir tahun 2021 terpenuhi. 
    Hasil penelitian tersebut selengkapnya dapat diakses di tautan berikut: The Lancet.
    Menelusuri situs 
    Penelitian terbaru lainnya dipublikasikan di jurnal Nature pada 3 Januari 2023. Para penelitian meninjau setiap kematian di Qatar yang terjadi dalam 30 hari setelah pemberian vaksin Covid-19 antara 1 Januari 2021 dan 12 Juni 2022 dengan melibatkan empat peninjau terlatih independen menggunakan algoritma WHO yang dimodifikasi. 
    Dalam rentang periode tersebut, Qatar telah memberikan 6.928.359 dosis vaksin. Kemudian terdapat 138 kematian terjadi dalam 30 hari setelah vaksinasi. Hasil studi menghasilkan kematian yang disebabkan oleh vaksinasi SARS-CoV-2 sangat jarang dan lebih rendah dari keseluruhan angka kematian kasar di Qatar.
    Tingkat kematian di antara mereka yang memiliki kemungkinan tinggi terkait dengan vaksinasi SARS-CoV-2 adalah 0,34/100.000 penerima vaksin, sementara tingkat kematian yang memiliki kemungkinan menengah terkait dengan vaksinasi adalah 0,98/100.000 penerima vaksin.  
    Selain itu, Tempo memeriksa kredibilitas situs expose-news.com. Pada situs tersebut, tidak ditemukan alamat media, penanggung jawab maupun nama-nama pengelola situs. Hanya ada alamat email yang mereka cantumkan pada kategori Contact Us. 

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan unggahan berisi klaim bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kematian 20 juta orang adalah menyesatkan.
    Sebaliknya, sebuah studi terbaru justru mengungkap bahwa vaksin Covid-19 berhasil menyelamatkan jiwa 20 juta orang pada setahun pertama pandemi.

    Rujukan

  • (GFD-2023-11838) Keliru, Video dengan Klaim Warga Australia Demo Tolak Invasi Indonesia

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/02/2023

    Berita


    Sebuah akun YouTube mengunggah video dengan judul “Demo Pecah dengan Aparat Kepolisian, Aksi Gila Warga Australia Tolak Invasi dari Indonesia” pada 29 Desember 2022. 
    Video ini memuat narasi bahwa 90.000 warga Australia saat ini tidak bisa tenang karena TNI dan para sekutunya sudah mengepung negaranya. Ribuan warga Australia turun ke jalan dan meminta Indonesia dan sekutunya untuk menghentikan rencana invasi.
    Pembuat video mengklaim sumber berita tersebut berasal dari Kantor Berita Reuters yang menyebut Angkatan Bersenjata sudah siap dikerahkan untuk mengusir setiap invasi atau serangan yang masuk. Keterangan itu disampaikan Kementerian Luar Negeri Australia pada Rabu 28 Desember waktu setempat.

    Sejak diunggah, video tersebut telah disukai 1,2 ribu dan ditonton disaksikan 207,921 kali oleh pengguna YouTube. Namun benarkah, warga Australia menggelar aksi unjuk rasa menolak invasi Indonesia? Berikut pemeriksaan faktanya.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tempo, saat ini hubungan Indonesia dan Australia dalam kondisi normal dan baik. Tidak ada rencana atau invasi yang dilakukan oleh TNI ke wilayah teritorial Australia. Video unjuk rasa sebagaimana yang diunggah tersebut adalah saat warga beberapa negara bagian di Australia memprotes kebijakan penguncian (lockdown) dan wajib vaksin selama pandemi Covid-19 pada 2021.
    Untuk memverifikasi kebenaran klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo memfragmentasi video itu menjadi gambar menggunakan keyframe dan menelusurinya memakai Yandex Image Search dan Google Search. Juga menelusuri pemberitaan media-media yang kredibel yang berkaitan dengan narasi tersebut.
    Fakta 1

    Pada detik ke-10, fragmen video ini menampilkan seorang reporter ABC News. Di belakang reporter tersebut berdiri sekelompok polisi berseragam biru tua.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, fragmen video ini identik dengan berita yang diunggah ABC News di YouTube tanggal 21 Agustus 2021. Dilansir ABC, beberapa pengunjuk rasa anti lockdown ditangkap polisi dalam aksi unjuk rasa di Sydney dan Melbourne.
    Dalam aksi yang diikuti 4000 orang lebih tersebut, 218 orang ditangkap dan enam orang polisi dirawat di rumah sakit setelah aksi berlangsung anarkis. Kekerasan terjadi di beberapa titik, satu diantaranya di kawasan Flinders Street.
    Dilansir Guardian, di Sydney, lebih dari 1.500 petugas polisi dikerahkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa. Aksi ini dipicu keputusan pemerintah yang akan memberlakukan lockdown seiring meningkatnya kasus Covid-19. Aksi serupa juga terjadi di Melbourne dan Brisbane.
    Berdasarkan penelusuran Google Map, posisi Reporter ABC saat melaporkan berita ini adalah di Victory Park, tepatnya di seberang pertokoan Broadway Street, Glebe, New South Wales, Sidney.
    Video 2

    Pada menit ke-2:38, fragmen video menampilkan sejumlah besar orang berkumpul di halaman sebuah gedung.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, fragmen tersebut identik dengan berita yang diunggah 9 News Australia, tanggal 22 September 2021. Dilansir 9 News Australia, pengunjuk rasa anti vaksin menduduki Shrine of Remembrance, Birdwood Ave, Melbourne. Monumen ini dianggap sakral, untuk mengenang prajurit wanita dan pria yang meninggal saat Perang Dunia I.
    Dilansir ABC News, lebih dari 200 pengunjuk rasa telah ditangkap setelah bentrok dengan polisi di Shrine of Remembrance. Dua orang petugas polisi menderita luka-luka dalam bentrok tersebut. Unjuk rasa ini terkait kebijakan lockdown dan wajib vaksin dalam rangka menangani Covid-19.
    Video 3

    Pada menit ke-3:55, fragmen video menampilkan sejumlah besar orang berkumpul dan tengah mereka tampak cahaya dan asap berwarna merah.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, fragmen video tersebut identik dengan berita ABC News yang diunggah di YouTube tanggal 21 Agustus 2021. Reporter ABC menyebutkan saat berlangsung aksi unjuk rasa anti lockdown di Melbourne, pengunjuk rasa melemparkan suar (flare) ke arah polisi.
    Dilansir ABC, para pengunjuk rasa menerobos barikade polisi di dekat Gedung Parlemen, Spring Street. Kekerasan terjadi setelah pengunjuk rasa yang tidak bermasker menembakkan flare ke arah polisi. Polisi membalas dengan menyemprotkan merica ke arah pengunjuk rasa.
    Hubungan Indonesia-Australia
    Hubungan Indonesia dan Australia memang pernah memanas terutama pasca  jajak pendapat Timor Leste tahun 1999. Juga sempat memanas saat mencuatnya isu penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden SBY tahun 2013.
    Menurut Rizka Prabaningtyas, peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada, dalam sejarah hubungan diplomatis akan berlangsung dalam situasi love-hate relationship. Walaupun beberapa kali memanas, dalam sejarah tidak pernah terjadi rencana atau aksi militer antara kedua negara.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan bahwa video berjudul “Demo Pecah dengan Aparat Kepolisian, Aksi Gila Warga Australia Tolak Invasi dari Indonesia” adalah keliru.
    Aksi unjuk rasa yang terjadi Sidney, Melbourne, Brisbane, dan beberapa kota lain di Australia tanggal 21 Agustus 2021 dan 22 September 2021 berkaitan dengan penolakan warga Australia terhadap kebijakan lockdown. Serta penolakan terhadap peraturan wajib vaksin yang ditetapkan pemerintah untuk mencegah Covid-19.

    Rujukan

  • (GFD-2023-11837) Cek Fakta: Tidak Benar Menag Yaqut Cholil Qoumas Pikir-pikir Pindahkan Sholat Jumat ke Hari Sabtu

    Sumber: liputan6.com
    Tanggal publish: 22/02/2023

    Berita


    Liputan6.com, Jakarta - Beredar di media sosial postingan yang mengklaim Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas masih berpikir ide sholat Jumat dipindah ke hari Sabtu. Postingan itu beredar sejak tengah pekan ini.
    Salah satu akun ada yang mempostingnya di Facebook. Akun itu mengunggahnya pada 22 Februari 2023.
    Dalam postingannya terdapat artikel berjudul "Menteri Yaqut pikir-pikir dulu soal sholat Jumat pindah di hari Sabtu"
    Akun itu menambahkan narasi:
    "Cross cek, ada yg faham.kebenaran rencana Menag Yaqut ttg sholat Jumat yg akan diganti ke hari Sabtu kah ? KL benar berarti Yaqut pengikut zionis Israel. Krn didlm Islam hanya ada sholat khusus di 3 waktu Jum'at, Idhul Fitri dan Idhul Adha. Diharapkan MUI tidak tinggal diam"
    Lalu benarkah postingan yang mengklaim Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas masih berpikir ide sholat Jumat dipindah ke hari Sabtu?

    Hasil Cek Fakta


    Cek Fakta Liputan6.com menelusuri dengan mengunjungi situs Democrazy News seperti yang ada dalam postingan. Di dalam website tersebut terdapat artikel yang identik dengan postingan.
    Artikel itu menggunakan foto yang sama dan diunggah pada 21 Februari 2023 seperti dalam postingan. Namun dalam artikel itu berjudul "Membisu Pengajian Ustadz Hanan Attaki Dibubarkan, Menag Yaqut Kecam Warga Protes Gereja Belum Miliki Izin."
    Berikut isi artikelnya:
    "DEMOCRAZY.ID - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) menyesalkan adanya aksi pembubaran ibadah di Lampung beberapa waktu lalu.
    Menag Yaqut menilai semua pihak seharusnya mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah.
    “Semua pihak bertanggung jawab pada terciptanya kerukunan. Jika ada permasalahan, semestinya diselesaikan secara musyawarah dengan melibatkan para pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara kerukunan,” ujar Gus Yaqut dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (20/2/2023).
    Sebelumnya beredar video di media sosial perihal seseorang yang mencoba untuk membubarkan peribadatan.
    Pelaku mengklaim bahwa peribadatan yang berlangsung belum memiliki izin.
    Gus Yaqut mengatakan persoalan seperti itu seharusnya bisa diselesaikan dengan musyawarah, apalagi sudah ada regulasi yang mengatur dan bisa dijadikan pedoman bersama.“Polemik izin rumah ibadah harus dilaporkan ke Pemerintah Daerah, FKUB, Kepolisian, dan Kemenag setempat agar dapat diambil langkah penyelesaiannya sesuai hukum dan peraturan perundang-undangan,” kata dia.
    Ia menjelaskan terkait aktivitas peribadahan sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
    Dalam pasal 18 mengatur bahwa pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati atau wali kota, dengan memenuhi persyaratan laik fungsi dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
    “Proses yang sudah diatur seperti ini sebaiknya dipatuhi oleh para pihak. Pemerintah Daerah juga diharapkan bisa berperan sesuai kewenangannya sehingga umat beragama di daerahnya bisa menjalankan ibadah dengan nyaman dan aman,” ujarnya.
    Pemerintah daerah, kata Gus Yaqut, memiliki peran besar dalam upaya menjaga kerukunan dan perizinan rumah ibadah.
    Bahkan, jika ada umat beragama yang belum bisa mendirikan rumah ibadah karena belum terpenuhinya persyaratan, PBM memberi mandat kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasinya.
    “Pasal 14 PBM mengatur, dalam hal persyaratan belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat,” kata dia.
    Menag berharap aksi pembubaran kegiatan beribadah tidak terulang. Polemik rumah ibadah juga sudah diatur dalam PBM dan harus mengedepankan semangat musyawarah.
    ​​​​”Saya sudah minta jajaran Kanwil Kemenag Provinsi dan Kankemenag Kabupaten/Kota untuk proaktif dalam penyelesaian perselisihan semacam ini dan terus terdepan dalam menjaga kerukunan umat,” kata dia."

    Kesimpulan


    Postingan yang mengklaim Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas masih berpikir ide sholat Jumat dipindah ke hari Sabtu adalah tidak benar. Faktanya judul dalam artikel itu telah disunting.

    Rujukan

  • (GFD-2023-11836) Cek Fakta: Tidak Benar dalam Video Ini CEO Pfizer Albert Bourla Targetkan Lenyapkan 50 Persen Populasi Dunia pada 2023 dengan Vaksin

    Sumber: liputan6.com
    Tanggal publish: 22/02/2023

    Berita


    Liputan6.com, Jakarta - Cek Fakta Liputan6.com mendapati klaim CEO Pfizer Albert Bourla menargetkan vaksin melenyapkan 50 persen populasi dunia pada 2023. Klaim tersebut diunggah salah satu akun Facebook, pada 18 Februari 2023.
    Klaim CEO Pfizer Albert Bourla menargetkan vaksin melenyapkan 50 persen populasi dunia pada 2023, berupa video CEO Pfizer Albert Bourla yang sedang berbicara sebagai berikut.
    "Ehhh
    Minggu pertama kami meeting pada 19 Januari di California, dan membentuk suatu tujuan untuk 5 tahun kedepan dan salah satunya, pada 2023 kami akan lenyapkan 50 % dari jumlah populasi dunia."
    Video tersebut diberi keterangan sebagai berikut.
    "Albert Bourla CEO Pfizer target dari vksin global 2023 melenyapkan 50% populasi dunia
    #zeipalestina"
    Benarkah Klaim CEO Pfizer Albert Bourla menargetkan vaksin melenyapkan 50 persen populasi dunia pada 2023? Simak penelusuran Cek Fakta Liputan6.com.

    Hasil Cek Fakta


    Cek Fakta Liputan6.com menelusuri klaim CEO Pfizer Albert Bourla menargetkan vaksin melenyapkan 50 persen populasi dunia pada 2023, menggunakan Google Search dengan kata kunci "Albert Bourla CEO of Pfizer targets a global vaccine by 2023 to wipe out 50% of the world's population".
    Hasil penelusuran mengarah pada artikel berjudul "Fact Check-Edited video cuts Pfizer CEO’s comments at World Economic Forum" yang dimuat situs Reuters.com, pada 31 Mei 2022. 
    Artikel itu menjelaskan bahwa pernyataan CEO Pfizer telah diedit dari livestream percakapan yang diunggah oleh akun YouTube World Economic Forum (WEF) dalam video berjudul "Conversation with Albert Bourla, CEO of Pfizer | Davos | #WEF22".
    Dalam percakapan tersebut Bourla terdengar mengatakan:
    “Minggu pertama kami bertemu pada bulan Januari '19 di California untuk menetapkan tujuan selama lima tahun ke depan dan salah satunya adalah, pada tahun 2023, kami akan mengurangi jumlah orang di dunia yang tidak mampu membeli obat-obatan kami hingga 50%.”
    Sumber: 
    https://www.reuters.com/article/factcheck-pfizer-video-idUSL1N2XN1L
    https://www.youtube.com/watch?v=9ccd3LMNMl8
     

    Kesimpulan


    Hasil penelusuran Cek Fakta Liputan6.com, klaim CEO Pfizer Albert Bourla menargetkan vaksin melenyapkan 50 persen populasi dunia pada 2023 tidak benar.
    Video Bourla dalam World Economic Forum (WEF) tersebut telah diedit, pernyataan Bourla sebenarnya adalah pada tahun 2023, "Kami akan mengurangi jumlah orang di dunia yang tidak mampu membeli obat-obatan kami hingga 50 persen."