• (GFD-2020-8209) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Rockefeller Foundation Berada di Balik Kemunculan Virus Corona Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/07/2020

    Berita


    Grup Facebook Geografi Equidistant mengunggah klaim bahwa pendiri Rockefeller Foundation, David Rockefeller, adalah pencipta virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Rockefeller pun disebut memiliki mesin pencetak uang sehingga bisa mempengaruhi dunia farmasi dan medis serta media serta lembaga-lembaga dunia seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan Bank Dunia.
    “Nih yang bikin Covid, si jagoan Wall Street (Rockefeller Foundation). Dia punya mesin cetak duit buat endorse RS, farmasi, medis & media. Cara kerja David adalah Infiltrasi kepada PBB, WHO & Bank Dunia," demikian klaim dalam unggahan grup Geografi Equidistant pada 18 Juli 2020.
    Dalam unggahan itu, terdapat pula sejumlah tautan dokumen yang diklaim sebagai bukti atas klaim tersebut. Salah satunya adalah dokumen yang berjudul "Scenarios for the Future of Technology and International Development" yang diterbitkan Rockefeller Foundation pada 2010.
    Gambar tangkapan layar unggahan grup Facebook Geografi Equidistant.
    Artikel ini akan memeriksa sejumlah klaim dalam unggahan itu, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Pendiri Rockefeller Foundation, David Rockefeller, adalah pencipta virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2
    Klaim ini tidak memiliki basis bukti dan tidak sesuai fakta. Rockefeller telah meninggal pada 20 Maret 2017 pada usia 101 tahun. Sementara pandemi Covid-19 baru terjadi pada penghujung 2019 atau hampir tiga tahun setelah kematiannya. Rockefeller Foundation sendiri adalah yayasan keluarga Rockfeller yang dalam seabad ini, jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, telah banyak berkontribusi di bidang kesehatan masyarakat dan mendukung pengembangan vaksin.
    Rockfeller adalah cucu pendiri Standard Oil dan miliarder pertama Amerika, John Rockefeller. Ia pernah bertugas di Afrika Utara dan Prancis dalam intelijen militer selama Perang Dunia II. Ia kemudian menjalankan Chase National Bank selama bertahun-tahun. Rockfeller pun menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Ia banyak menyumbangkan kekayaannya pada kegiatan seni dan sosial, seperti menyumbangkan 150 juta dolar ke Museum Seni Modern New York yang didirikan oleh ibunya.
    Adapun Rockefeller Foundation adalah organisasi nirlaba yang didirikan oleh John Rockefeller pada 14 Mei 1913. Organisasi ini mengabdikan diri sebagai lembaga pemberi bantuan kemanusiaan, seperti beasiswa, lembaga penelitian, dan program eradikasi penyakit menular. Rockefeller Foundation juga sejak lama mendukung pengembangan vaksin, seperti vaksin untuk demam kuning dan malaria. Yayasan ini pun telah memberikan lebih dari 17 miliar dolar untuk mendukung ribuan organisasi dan individu di seluruh dunia.
    Saat pandemi Covid-19, Rockefeller Foundation ikut bergerak dengan membuka program “ Covid-19 Response ”. Program ini antara lain memberikan dukungan tes cepat dan penelusuran kontak serta mendukung sistem ketahanan pangan. Tidak hanya di Amerika Serikat, Rockefeller Foundation memberikan tiga hibah senilai 2 juta dolar dalam mendukung upaya peningkatan data dan tanggap Covid-19 di Afrika dan Asia.
    Selain itu, berdasarkan arsip berita Tempo pada 30 Maret 2020, hasil studi yang dipimpin oleh Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute, California, AS, telah membantah rumor bahwa SARS-CoV-2 sengaja dibuat atau produk rekayasa laboratorium. Menurut studi yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine ini, SARS-CoV-2 adalah buah dari proses evolusi alami.
    Andersen menjelaskan, sejak awal pandemi Covid-19, para peneliti telah menguliti asal-usul SARS-CoV-2 tersebut dengan menganalisis data urutan genomnya. "Dengan membandingkan data urutan genom jenis-jenis virus Corona yang sudah diketahui, kami dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," ujarnya.
    Klaim 2: Dokumen "Scenarios for the Future of Technology and International Development" berisi skenario pandemi Covid-19 pada 2020
    Dokumen tersebut dikeluarkan oleh Rockfeller Foundation pada 2010 untuk membayangkan bagaimana dunia akan terkena dampak dalam empat skenario yang berbeda, salah satunya pandemi global. Skenario ini dibuat untuk merencanakan adaptasi internasional dan pembentukan kemampuan untuk mengantisipasinya melalui teknologi. Dalam dokumen itu, sama sekali tidak disebutkan SARS-CoV-2 atau pandemi Covid-19.
    Skenario tentang pandemi global tersebut tercantum pada halaman 18 yang ditulis berdasarkan pengalaman saat wabah flu H1N1 pada 2009. Skenarionya, pandemi global akan menimpa pada 2012 dengan jenis virus yang sangat ganas dan mematikan. Bahkan, negara yang paling siap menghadapi pandemi dengan cepat kewalahan ketika virus melanda seluruh dunia, menginfeksi hampir 20 persen populasi global, dan membunuh 8 juta orang hanya dalam waktu tujuh bulan, di mana mayoritas dari mereka adalah orang dewasa muda yang sehat. Pandemi ini juga memiliki efek mematikan pada ekonomi: mobilitas internasional baik orang maupun barang menjerit, menghentikan industri yang melemahkan pariwisata dan menghancurkan rantai pasokan global.
    Organisasi pemeriksa fakta AS, Snopes, pun telah menjelaskan bahwa dokumen tersebut memberikan pandangan hipotetis tentang peristiwa masa depan untuk membayangkan masalah yang mungkin timbul. Dokumen ini juga mengeksplorasi bagaimana populasi global dapat bereaksi selama pandemi, bukan rencana tentang operasi manual untuk membuat virus jenis baru.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Rockefeller Foundation berada di balik kemunculan virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, keliru. Dokumen yang diklaim sebagai bukti atas klaim tersebut, yakni dokumen "Scenarios for the Future of Technology and International Development", bukanlah dokumen operasi untuk merencanakan pandemi Covid-19 pada 2020. Dokumen tersebut berisi pandangan hipotetis tentang peristiwa masa depan untuk membayangkan masalah yang mungkin timbul, salah satunya pandemi global. Dokumen ini juga mengeksplorasi bagaimana populasi global dapat bereaksi selama pandemi. Rockefeller Foundation pun adalah yayasan yang dalam seabad ini telah banyak berkontribusi di bidang kesehatan masyarakat dan mendukung pengembangan vaksin untuk melindungi masyarakat dari berbagai penyakit menular.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8208) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Salat Subuh di Hagia Sophia Sejak Kembali Jadi Masjid?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/07/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan salat berjamaah di depan sebuah gedung beredar di media sosial. Video tersebut diklaim sebagai suasana salat subuh di Hagia Sophia sejak Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa bangunan yang sebelumnya dijadikan museum ini ditetapkan kembali sebagai masjid.
    Di Facebook, video tersebut diunggah salah satunya oleh akun Imadudin, yakni pada 22 Juli 2020. Akun ini pun menuliskan narasi, “Semenjak di buka, Sholat Subuh di Hagia Sophia...Inilah yg ditakuti para kafeer jika Jama'ah Sholat Subuh banyaknya spt halnya Sholat Jum'at.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Imadudin.
    Apa benar video tersebut merupakan video salat subuh di Hagia Sophia sejak kembali menjadi masjid?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolYandex, Google, dan TinEye.
    Hasilnya, ditemukan bahwa video tersebut telah beredar di internet sejak 2015, jauh sebelum Presiden Erdogan menetapkan kembali Hagia Sophia sebagai masjid. Di YouTube, video itu pernah diunggah oleh kanal Sirah Nabawiyyah pada 14 November 2015 dengan judul “Suasana Shalat Subuh di Masjid Hagya Sophia, Turki”.
    Video yang sama dengan kualitas yang lebih tinggi pernah diunggah oleh kanal Ibnu Thabrani Channel pada 8 Mei 2015 dengan judul “Gerakan Sholat Shubuh Berjama'ah Di Turki”. Video tersebut diberi keterangan, “Ini video tentang pertama kalinya setelah 79 tahun, warga Turki melaksanakan sholat shubuh berjama'ah di masjid Hagia Sophia, Istanbul tanggal 31 Mei 2014.”
    Berdasarkan petunjuk waktu ini, Tempo menelusuri pemberitaan terkait salat subuh berjamaah di Hagia Sophia pada 31 Mei 2014. Hasilnya, ditemukan berita terkait salat subuh itu yang dimuat oleh situs media NBC News pada 31 Mei 2014. Berita tersebut berjudul "Protesters Pray For Turkey's Hagia Sophia to Become a Mosque".
    Berita ini pun memuat foto suasana salat subuh di depan Haghia Sophia tersebut. Foto itu diberi keterangan, "Para pengunjuk rasa berdoa di depan Museum Haghia Sophia di Istanbul, Turki, pada 31 Mei pagi." Berita tersebut memang menceritakan para pengunjuk rasa yang salat di depan Haghia Sophia untuk menyuarakan keinginan mereka mengubah museum tersebut menjadi masjid.
    Haghia Sophia pernah menjadi tempat ibadah bagi dua agama sejak didirikan di Istanbul pada abad ke-6. Bangunan ini pernah menjadi katedral bagi umat kristiani selama 900 tahun serta masjid bagi umat muslim selama 500 tahun. Pada 2014, Hagia Sophia, atau Ayasofya dalam bahasa Turki, secara resmi adalah sebuah museum: monumen Turki yang paling banyak dikunjungi, yang status netralnya melambangkan sifat sekuler dari Turki modern.
    Tapi puluhan ribu jemaah muslim yang berkumpul di sana pada 31 Mei 2014 berharap Haghia Sophia kembali menjadi masjid, mimpi yang mereka yakini dapat dipenuhi oleh Perdana Menteri Erdogan. Bahkan, ada desas-desus, yang telah dibantah oleh pemerintah Turki, bahwa Erdogan, seorang konservatif religius yang mengincar kursi kepresidenan dalam pemilu pada Agustus 2014, bisa memimpin salat di Hagia Sophia suatu hari nanti.
    Hagia Sophia kembali menjadi masjid
    Berdasarkan arsip berita Tempo, pada 10 Juli 2020, pengadilan tinggi Turki menganulir Dekrit 1934 yang mengubah kembali status Museum Hagia Sophia menjadi masjid. Setelah putusan pengadilan itu, Presiden Erdogan menandatangani keputusan presiden yang menyerahkan Hagia Sophia kepada Kepresidenan Urusan Agama Turki dan membukanya sebagai tempat ibadah sambil memberi selamat kepada warga Turki.
    Dikutip dari Daily Sabah, pengadilan menyatakan bahwa Hagia Sophia secara resmi terdaftar sebagai masjid sesuai fungsi awalnya, menambahkan bahwa penggunaannya dalam bentuk apa pun selain masjid secara hukum tidak mungkin. "Keputusan kabinet pada 1934 yang mengakhiri penggunaannya sebagai masjid dan mendefinisikannya sebagai museum tidak mematuhi hukum," demikian keterangan pengadilan.
    Permanent Foundations Service to Historical Artifacts and Environment Association, organisasi non-pemerintah yang berbasis di Istanbul, telah mengajukan petisi ke Dewan Negara Turki agar menganulir keputusan yang mengubah Hagia Sophia menjadi museum setelah sebelumnya menjadi masjid selama hampir 500 tahun. Pengadilan mendengar argumen dari kedua belah pihak dalam sidang pada 2 Juli sebelum mengeluarkan keputusannya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video salat subuh di Hagia Sophia sejak kembali menjadi masjid menyesatkan. Salat berjamaah itu digelar oleh warga Turki di depan Hagia Shopia pada 31 Mei 2014, jauh sebelum Presiden Erdogan menetapkan kembali Hagia Sophia sebagai masjid. Ketika itu, Hagia Sophia masih berstatus sebagai museum. Warga Turki yang menggelar salat berjamaah di depan Hagia Sophia itu menyuarakan permintaannya agar Hagia Sophia diubah menjadi masjid.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8207) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tes PCR Tak Bisa Bedakan Terpapar dan Terinfeksi serta Virus Hidup dan Virus Mati?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Moh Indro Cahyono mengunggah sebuah klaim yang menyebut tes PCR (polymerase chain reaction) tidak bisa membedakan terpapar dengan terinfeksi, sehat dengan sakit, serta virus hidup dengan virus mati. Klaim tersebut dibagikan pada 26 Juli 2020.
    Berikut narasi lengkap yang diunggah oleh akun tersebut:
    “PCR TIDAK bisa membedakan terpapar & terinfeksi, sehat atau sakit, virus hidup atau mati.PCR HANYA menjawab ada virus di tempat pengambilan sampel / organ.
    Jika terpapar awal oleh virus hidup = BELUM SAKITJika terinfeksi oleh virus hidup = SAKITJika terinfeksi oleh virus mati = TIDAK SAKITJika terinfeksi ulang virus hidup setelah pernah kena = KEBAL
    Bagaimana cara menentukan penyakit ? lihat saja SEHAT atau SAKIT.Tetap jaga kesehatanTetap waspada & jaga kebersihanTetap TIDAK NYEMBAH PCRTetap sembah Tuhan & JANGAN MENYEPELEKAN Tuhan”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Moh Indro Cahyono.
    Benarkah tes PCR tidak bisa membedakan terpapar dengan terinfeksi, sehat dengan sakit, serta virus hidup dengan virus mati?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim tes PCR tak bisa bedakan terpapar dengan terinfeksi
    Untuk memverifikasi klaim ini, Tim CekFakta Tempo menghubungi Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Berry Juliandi. Menurut Berry, tes PCR bisa membedakan terpapar dengan terinfeksi virus sepanjang sampel yang diambil adalah sampel virus aktif yang berada di dalam sel, bukan sampel yang berada di permukaan sel atau jaringan. "Sehingga yang diisolasi saat pengambilan sampel sel adalah RNA virus aktif yang sudah menginfeksi sel," ujar Berry pada 29 Juli 2020.
    Guru Besar Universitas Airlangga sekaligus Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Professor Nidom Foundation (PNF), Chairul Anwar Nidom, mengatakan tes PCR merupakan metode untuk melihat apakah dalam tubuh seseorang terdapat gejala virus atau bakteri, baik secara utuh maupun potongan atau inaktif. "Khusus untuk virus yang disebut diagnosa konfirmasi melalui PCR (hidup dan mati) serta kultur virus (hidup)," ujar Nidom saat dihubungi pada 29 Juli 2020.
    Dilansir dari The Guardian, Andrew Preston, ahli biologi dan biokimia dari Universitas Bath, mengatakan bahwa tes PCR sangat efektif untuk mendeteksi virus, namun efektivitas itu tergantung pada seberapa tepat petugas medis mengambil sampel dari hidung dan bagian belakang tenggorokan pasien.
    “Jika virus tidak terangkat pada swab, hasilnya akan negatif. Jadi, seberapa efektif swab diambil, serta jumlah virus yang terdapat pada lokasi pengambilan sampel, akan menentukan apakah virus terdeteksi dari orang yang terinfeksi,” kata Preston.
    Klaim tes PCR tak bisa bedakan sehat dengan sakit
    Menurut Berry, tes PCR memang tidak bisa membedakan apakah seseorang sedang sehat atau sakit karena tes PCR hanyalah salah satu alat bantu proses diagnosis. Seseorang dapat dinyatakan sakit bila memiliki gejala atau simtom. Namun, dalam kasus tanpa gejala pun, seseorang sebenarnya sudah bisa dikatakan "sakit" bila sel-sel tubuhnya telah mengalami kerusakan akibat infeksi virus.
    Nidom juga menjelaskan bahwa sehat atau sakit adalah kriteria klinis. Tes PCR sendiri berfungsi untuk menunjukan ada atau tidaknya virus dalam tubuh seseorang. Jika terdapat virus, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yakni timbul sakit dan sudah pasti dapat menularkan virus atau tidak timbul sakit (orang tanpa gejala atau OTG) tapi tetap bisa menularkan virus.
    Sakit atau pun tanpa gejala, menurut Nidom, merupakan hasil interaksi antara virus dengan kondisi tubuh. Virus bisa menimbulkan infeksi jika konsentrasinya mencapai jumlah minimal 10 pangkat 5-7. "Meskipun demikian, infeksi ini belum tentu menimbulkan sakit karena tergantung kondisi tubuh. Tapi orang yang membawa virus punya potensi besar untuk menularkannya kepada orang lain," ujar Nidom.
    Klaim tes PCR tak bisa bedakan virus hidup dengan virus mati
    Terkait klaim bahwa tes PCR tidak bisa membedakan virus hidup dengan virus mati, menurut Berry, juga tidak tepat. Pasalnya, virus sebenarnya bukan makhluk hidup karena tidak terdiri atas unit terkecil yang disebut sel. "Jadi, tes apa pun tidak akan mampu membedakan virus hidup dan mati karena mereka bukan makhluk hidup," katanya.
    Namun, menurut Berry, tes PCR dapat membedakan virus mana yang mampu menginfeksi sel jika sampel virus didapatkan dari sel-sel tubuh manusia. "Ini artinya virus tersebut aktif atau 'hidup'," ujar Berry.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tes PCR tidak bisa membedakan terpapar dengan terinfeksi, sehat dengan sakit, serta virus hidup dengan virus mati, menyesatkan. Tes PCR bisa membedakan terpapar dengan terinfeksi virus sepanjang sampel yang diambil adalah sampel virus aktif yang berada dalam sel. Tes PCR memang tidak bisa membedakan sehat dengan sakit karena tes PCR hanya alat bantu proses diagnosis. Seseorang dapat dinyatakan sakit bila memiliki gejala. Namun, dalam kasus tanpa gejala pun, seseorang sebenarnya sudah bisa dikatakan "sakit" bila sel-sel tubuhnya telah mengalami kerusakan akibat infeksi virus. Adapun terkait klaim bahwa tes PCR tidak bisa membedakan virus hidup dengan virus mati, juga tidak tepat.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8206) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Indonesia Sudah Borong Vaksin Covid-19 dari Cina Meski WHO Sebut Belum Ada Vaksin Resmi?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Fayzmawon membagikan gambar tangkapan layar dan tautan artikel dari situs Swarakyat pada 22 Juli 2020. Artikel yang dimuat pada 21 Juli 2020 itu berjudul "WHO Sebut Belum Ada Vaksin Resmi Covid-19, Indonesia Malah Sudah Borong Vaksin Asal China".
    Akun itu pun menambahkan kata "waspada" dalam unggahannya tersebut. Unggahan ini beredar setelah 2.400 vaksin Sinovac dari Cina didatangkan ke Indonesia untuk diuji klinis tahap ketiga pada Agustus 2020. Vaksin Covid-19 itu akan diujicobakan terhadap 1.620 sukarelawan.
    Sejumlah warganet pun mempercayai narasi dalam judul artikel Swarakyat itu. Akun Kang Anam Tinamune misalnya, mengomentari unggahan akun Fayzmawon dengan berkata, “Jadi harus lebih teliti dan waspada niih.” Warganet lain, Fahrur Rozy, menulis, “Semua itu bisnis gan, kita dibodohi.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Fayzmawon.
    Apa benar Indonesia sudah borong vaksin Covid-19 dari Cina meski WHO sebut belum ada vaksin resmi?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, judul artikel situs Swarakyat tersebut menyesatkan. Judul itu tidak sesuai dengan isi artikel. Dalam paragraf ke-6 artikel tersebut, dijelaskan bahwa vaksin Sinovac dari Cina itu didatangkan ke Indonesia untuk diuji coba fase ketiga.
    Uji coba tersebut dilakukan oleh Sinovac Biotech Cina yang bekerja sama dengan PT Bio Farma. Dalam melakukan uji coba itu, Biofarma melibatkan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (FK Unpad) Bandung. Karena masih diuji coba, vaksin Sinovac ini belum resmi menjadi vaksin Covid-19.
    Di sisi lain, Swarakyat bukan termasuk situs media kredibel karena hanya mengambil konten dari situs media lain tanpa menyebutkan sumbernya. Situs tersebut tidak mencantumkan penanggung jawab, susunan redaksi, serta alamat perusahaan.
    Padahal, ketentuan terkait itu diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi "Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan."
    Kedatangan vaksin Sinovac untuk diuji klinis
    Produksi vaksin membutuhkan proses yang panjang. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat ( CDC ) menjelaskan ada enam tahap yang biasanya diperlukan dalam pengembangan vaksin, yakni eksplorasi, pra-klinis, pengembangan klinis, tinjauan peraturan dan persetujuan, produksi, dan kontrol kualitas.
    Pengembangan klinis meliputi tiga fase. Selama fase I, sejumlah orang menerima vaksin percobaan. Pada fase II, studi klinis diperluas dan vaksin diberikan kepada orang yang memiliki karakteristik (seperti usia dan kesehatan fisik) yang mirip dengan orang yang menjadi sasaran vaksin baru.
    Pada fase III, vaksin diberikan kepada ribuan orang serta diuji efikasi dan keamanannya. Pelibatan warga Indonesia dalam uji coba vaksin Sinovac termasuk dalam fase III ini. Selain Indonesia, Brasil dan Bangladesh juga berpartisipasi dalam uji klinis fase III vaksin Sinovac.
    Selain Sinovac, vaksin Covid-19 lain juga diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Inggris. Sama halnya dengan Sinovac, perusahaan-perusahaan itu menerapkan prosedur yang mengujicobakan vaksin buatannya kepada warga negara lain.
    Di Australia misalnya, beberapa vaksin Covid-19 sedang diuji coba. Salah satunya adalah vaksin yang dikembangkan Clover Biopharmaceuticals yang berbasis di Cina. Perusahaan bioteknologi yang berbasis di AS, Novavax, pun sudah memulai uji coba vaksinnya di Australia pada Mei 2020.
    Diperkirakan, Novavax akan segera memperluas pengujiannya ke AS dan negara-negara lain. Uji coba skala besar pun akan dimulai di AS pada Agustus oleh kandidat vaksin yang dikeluarkan oleh Universitas Oxford. Uji coba vaksin ini didanai oleh pemerintah Inggris.
    Di Indonesia, pendaftaran relawan uji klinis telah dibuka hingga 31 Agustus 2020, setelah tim riset uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac dari FK Unpad mengantongi izin dari Komite Etik Penelitian Unpad. Tim riset telah membuat sejumlah persyaratan bagi relawan yang berminat ikut uji klinis. Kriteria utamanya adalah kondisi sehat dan berusia 18-59 tahun. Selain mematuhi protokol kesehatan, relawan juga bersih dari riwayat terinfeksi Covid-19.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, judul artikel yang dimuat oleh situs Swarakyat, yakni "WHO Sebut Belum Ada Vaksin Resmi Covid-19, Indonesia Malah Sudah Borong Vaksin Asal China", menyesatkan. Judul ini tidak sesuai dengan isi artikel yang justru menjelaskan bahwa vaksin Sinovac dari Cina itu didatangkan ke Indonesia untuk diuji coba fase ketiga. Uji coba tersebut dilakukan oleh Sinovac Biotech Cina yang bekerja sama dengan PT Bio Farma.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan