• (GFD-2020-8193) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto-foto Warga Cina yang Berseragam Brimob Polri?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 21/07/2020

    Berita


    Kolase foto yang memperlihatkan sejumlah pria yang mengenakan seragam khas Polri serta lencana dan kartu anggota yang bertuliskan FBI beredar di media sosial. Menurut klaim yang menyertainya, foto-foto tersebut merupakan foto-foto warga Cina yang mengenakan seragam Brimob Polri.
    Di Facebook, foto-foto tersebut diunggah salah satunya oleh akun Loreng Mba, yakni pada 18 Juli 2020. Akun ini pun menuliskan narasi, “Ini penampakan beberapa ORANG CHINA berseragam BRIMOB/POLISI.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Loreng Mba.
    Apa benar foto-foto di atas merupakan foto-foto warga Cina yang berseragam Brimob Polri?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto-foto tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa foto-foto itu telah beredar di internet sejak 2016. Foto sejumlah pria yang berseragam coklat khas Polri pun tidak terkait dengan foto dua pria berbaju biru tua yang mengenakan atribut bertuliskan FBI.
    Foto pria berseragam Brimob
    Foto beberapa pria yang diklaim sebagai warga Cina yang mengenakan seragam polisi pernah dimuat di situs Tribunnews.com pada 19 Desember 2016. Foto itu terdapat dalam artikel yang berjudul “Mulai Lencana Hingga Baret Warga Sipil Ini Kompak Gunakan Seragam Brimob”.
    Menurut laporan Tribunnews.com, para pria dalam foto itu sempat dikaitkan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Bhayangkara Indonesia (FBI) yang juga menggunakan seragam layaknya anggota Polri, mulai dari lencana, pakaian, hingga baret.
    Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Rina Sari Ginting, mengatakan kesembilan orang tersebut memang menggunakan seragam satuan Brimob. "Benar memang seragam yang digunakan tersebut milik Polri," katanya pada 19 Desember 2016.
    Namun, Rina menjelaskan bahwa mereka adalah warga sipil yang mahir menggunakan peralatan musik dan tergabung dalam Korps Musik (Korsik) Brimob Polda Sumatera Utara. "Mereka adalah orang sipil yang menggunakan seragam polisi," ujar Rina.
    Menurut Rina, mereka hanya menggunakan seragam polisi pada momen tertentu di Polda Sumatera Utara, dan mereka hanya tampil khusus untuk membawakan musik. Rina pun heran dengan kembali beredarnya foto tersebut. Dia mengatakan foto tersebut didokumentasikan pada 2006.
    Foto pria beratribut FBI
    Foto yang memperlihatkan dua pria berbaju biru tua dengan atribut bertuliskan FBI pernah dimuat di situs Konfrontasi.com pada 19 Desember 2016. Menurut artikel di situs Konfrontasi.com yang memuat foto tersebut, FBI merupakan Forum Bhayangkara Indonesia.
    Menurut artikel itu, foto tersebut merupakan foto pengangkatan seorang warga Cina bernama Chen Shu sebagailiaison officer(LO) yang bertugas sebagai penghubung dan menjalin kerja sama dengan para pengurus ormas FBI se-Indonesia. Hal ini membuat banyak pihak khawatir, di mana keberadaan FBI bakal membahayakan Indonesia.
    Dilansir dari situs Kupasmerdeka.com, anggota Dewan Pembina FBI, Inspektur Jenderal Purnawirawan Eddy Kusuma Wijaya, membantah bahwa FBI merupakan wadah untuk menampung warga negara Cina. "Itu tidak benar," ujar Eddy pada 16 Desember 2016.
    Eddy menjelaskan bahwa dibentuknya FBI berawal dari diskusi dengan budayawan Renny Marsantio. Mereka resah atas terpecahnya masyarakat saat Pilpres 2014. "Intinya adalah menyatukan dan mempersatukan NKRI, seperti apa yang telah dilakukan Patih Gadjah Mada terdahulu, yang sanggup menyatukan Nusantara,” kata Eddy.
    FBI pun dideklarasikan pada 19 April 2014. Pendirinya adalah Inspektur Jenderal Purnawirawan Andi Masmiyat, Inspektur Jenderal Purnawirawan Eddy Kusuma Wijaya, Marsekal Muda TNI Purnawirawan Anwar Sanusi, Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Iskandar, Komisaris Besar Purnawirawan Darul Ulum, Renny Mursantio, Rudiono Tanoto, Soemantono Aji, Hari Wicahyono, Suryadi, dan Radin.
    Eddy menambakan bahwa FBI memang kerap bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan dari Cina, Korea, dan Taiwan. Mereka menyediakan penghubung, pengawal, dan sopir bagi perusahaan-perusahaan itu. "Namun, tidak benar bahwa ormas ini adalah wadah Cinaisasi. Saat ini, kegiatan-kegiatan itu juga terhenti karena ketua umumnya (Renny Mursianto) meninggal," ujar Eddy.
    Dikutip dari Detik.com, Ketua Dewan Penasihat sekaligus Ketua Dewan Pengawas FBI, Rudiono Tanoto, menjelaskan bahwa memang ada rencana penunjukan LO untuk menggaet investor Cina ke Indonesia. "Kita tempatkan LO di Cina untuk mencari investor. Kita sendiri enggak tahu jalan (di Cina). Jadi pelajari itu, kita gelap terhadap Cina," ujar Rudi pada 14 Desember 2016.
    Rudi enggan berkomentar banyak terkait surat pengangkatan Chen Su yang fotonya juga sudah beredar secara luas itu. Namun, sebagai Ketua Dewan Penasihat sekaligus Ketua Dewan Pengawas, Rudi menilai tindakan FBI memberikan surat pengangkatan LO kepada Chen Su adalah kesalahan. Menurut Rudi, Chen Su seharusnya tidak diberi wewenang sebesar itu.
    Rudi menjelaskan bahwa posisi FBI adalah penghubung investor Cina dengan Indonesia. FBI tidak menjalankan bisnis, melainkan hanya mencari mitra bagi investor Cina itu. "Dia ditunjuk untuk meng-handle investor masuk biasa saja. Kalau sampai sosialisasi, keluar dari koridor. Tapi, saya enggak tahu latar belakangnya," kata Rudi.
    Menurut Rudi, Chen Shu sudah bukan bagian dari FBI. Dia dipecat pada Maret tak lama setelah menerima surat pengangkatan sebagai LO. "Karena enggak ada prestasinya, wanprestasi," katanya.
    Meskipun kerap berhubungan dengan investor Cina, Rudi menjelaskan bahwa FBI tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan-tuduhan konspiratif mengenai banyaknya pekerja Cina di Indonesia. Pilihan terhadap Cina diambil karena logika ekonomi. "Eranya kan ke Asia, bukan ke Eropa. Sekarang kan Cina (ekonomi terkuat). Suka enggak suka, senang enggak senang," katanya.
    Rudi juga mengatakan anggota FBI berasal dari berbagai suku. Ormas ini terbuka untuk siapa pun. "Pendiri, cuma gue yang keturunan (Cina). Anggota FBI itu Cinanya cuma satu atau dua," ujarnya. Rudi menambahkan FBI sudah mendapat surat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Surat pengesahan itu tertanggal 15 Oktober 2015.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto-foto di atas merupakan foto-foto warga Cina yang berseragam Brimob Polri keliru. Foto pertama merupakan foto warga sipil yang tergabung dalam Korps Musik (Korsik) Brimob Polda Sumatera Utara yang menggunakan seragam polisi hanya dalam momen tertentu, yakni saat tampil untuk membawakan musik. Sementara foto kedua merupakan foto anggota Forum Bhayangkara Indonesia (FBI) yang mengenakan seragam ormasnya, bukan seragam polisi.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8192) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ahli Virus Cina Klaim Covid-19 Hasil Persekongkolan Jahat?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa ahli virus Cina menyebut Covid-19 sebagai hasil persekongkolan jahat beredar di media sosial. Klaim yang dimuat di situs Swarakyat.com pada 12 Juli 2020 ini disebut berasal dari Li Meng Yan, dokter Cina yang memiliki spesialisasi dalam virologi dan imunologi di Hong Kong School of Public Health.
    Menurut artikel di situs Swarakyat.com yang berjudul "Takut Dibunuh, Ahli Virus China Kabur ke AS: Saya Bersaksi Covid-19 Hasil Persekongkolan Jahat" itu, Li Meng Yan melarikan diri ke Amerika Serikat sejak 28 April 2020. Li Meng Yan disebut telah menuduh pemerintah Cina menutup-nutupi virus Corona baru penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
    Gambar tangkapan layar artikel yang dimuat oleh situs Swarakyat.com.
    Namun, apa benar ahli virus Cina Li Meng Yan menyebut bahwa Covid-19 merupakan hasil persekongkolan jahat?

    Hasil Cek Fakta


    Pernyataan Li Meng Yan
    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, artikel di situs Swarakyat.com tersebut bersumber dari wawancara eksklusif Fox News dengan Li Meng Yan yang terbit pada 10 Juli 2020. Wawancara tersebut dimuat dalam artikel Fox News yang berjudul "Exclusive: Chinese virologist accuses Beijing of coronavirus cover-up, flees Hong Kong: 'I know how they treat whistleblowers'".
    Namun, setelah artikel itu diperiksa secara menyeluruh, ditemukan bahwa Li tidak menyebut Covid-19 sebagai hasil persekongkolan jahat. Bahkan, dalam artikel yang dimuat oleh situs Swarakyat.com di atas, juga tidak tercantum pernyataan Li seperti yang dikutip dalam judul artikel tersebut, bahwa Covid-19 merupakan hasil persekongkolan jahat.
    Li hanya mengatakan kepada Fox News bahwa dia percaya Cina tahu tentang virus Corona baru penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, jauh sebelum mengakui munculnya virus tersebut. Li juga mengatakan bahwa atasannya mengabaikan penelitian yang ia lakukan yang ia yakini bisa menyelamatkan nyawa.
    Fox News pun memuat video wawancaranya dengan Li itu dengan judul “Coronavirus Whistleblower: Exclusive Fox News Interview”. Video berdurasi 13 menit 42 detik tersebut diberi keterangan bahwa Li, ahli virologi dari Hong Kong, mengatakan kepada Fox News dalam sebuah wawancara eksklusif tentang penelitian awal yang dilakukan terkait Covid-19.
    Pernyataan Li di Fox News yang menyebut Cina telah mengetahui Covid-19 sebelum diumumkan secara resmi itu pun ramai dikutip oleh sejumlah media di Indonesia.
    Dilansir dari CNBC Indonesia, Li menuturkan bahwa Cina sudah lama tahu akan adanya virus Corona Covid-19 sebelum diumumkan secara resmi oleh pemerintah. Li sendiri merupakan ilmuwan Cina asal Hong Kong yang kini disebut Fox News 'melarikan diri' ke Amerika Serikat.
    Dalam wawancara tersebut, Li menyebut Cina menutup-nutupi keberadaan Covid-19, bahkan mengabaikan penelitian yang dilakukannya di awal pandemi, yang ia percayai bisa menyelamatkan nyawa. Padahal, mereka memiliki kewajiban untuk memberi tahu dunia mengingat statusnya sebagai laboratorium rujukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) khusus untuk virus influenza dan pandemi.
    "Pemerintah China menolak membiarkan para ahli di luar negeri, termasuk yang di Hong Kong, melakukan penelitian di Cina," kata Li dalam wawancara Fox News. "Jadi, aku menghubungi teman-temanku (peneliti Cina lain) untuk menggali informasi."
    Dilansir dari Kompas.com, pada 31 Desember 2019, teman Li memberitahu dirinya mengenai kemungkinan transmisi antar manusia, jauh sebelum WHO dan Beijing mengakuinya. Li pun segera memberitahukannya kepada atasannya. Tapi, menurut Li, dia "hanya menggangguk" dan memintanya untuk terus bekerja.
    Pada 9 Januari 2020, WHO merilis pernyataan, berdasarkan laporan otoritas Cina, virus ini menyebabkan gejala yang sangat parah pada sejumlah pasien. Namun, badan kesehatan di bawah PBB itu menyatakan virusnya belum menular antar manusia. "Sedikit sekali informasi yang diterima untuk menentukan risiko klaster," ujar WHO.
    Mendengar pernyataan itu, Li mengungkapkan bahwa temannya yang biasanya terbuka soal penyakit itu mendadak diam. Meski sumbernya menerangkan transmisi antar manusia terus meningkat, pengawas Li hanya memintanya untuk "diam dan berhati-hati". "Dia memperingatkan saya, 'Jangan injak garis merah. Kita bisa terlibat masalah dan hilang nantinya'," katanya mengingat ucapan atasannya.
    Namun, dilansir dari Liputan6.com, Universitas Hong Kong (HKU) membantah klaim Li tersebut. HKU mengkonfirmasi bahwa Li adalah mahasiswa pascadoktoralnya yang telah meninggalkan kampus. "Kami mencatat bahwa isi laporan berita tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta kunci seperti yang kita pahami," demikian penjelasan HKU.
    HKU juga mengklarifikasi bahwa Li belum melakukan penelitian tentang topik tersebut di kampus dari Desember 2019 hingga Januari 2020. "Kami selanjutnya mengamati bahwa apa yang mungkin ditekankannya dalam wawancara yang dilaporkan tidak memiliki dasar ilmiah tapi menyerupai desas-desus."
    HKU pun membantah klaim Li bahwa ia menemukan adanya potensi penularan dari manusia ke manusia, namun tidak digubris oleh pejabat setempat. Menurut pernyataan HKU, salah satu profesornya, Yuen Kwok Yung, justru memberi tahu Menteri Kesehatan Hong Kong Sophia Chan Siu Chee tentang wabah di Wuhan dan mencatat potensi pandemi serta kemiripannya dengan SARS, yang mana menular antar manusia.
    Sumber Covid-19
    Dilansir dari organisasi cek fakta AS, Fact Check, setelah virus Corona Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan pada akhir Desember 2019, memang tersebar berbagai rumor palsu tentang misteri asal-usul virus. Salah satunya adalah bahwa virus Corona Covid-19 merupakan senjata biologi yang bocor dari laboratorium di Wuhan. Namun, seluruh versi teori ini tidak memiliki pijakan bukti dan penjelasan secara sains.
    Bukti-bukti yang ada justru menunjukkan bahwa virus itu kemungkinan menular ke manusia dari hewan yang belum teridentifikasi, seperti yang pernah terjadi di masa lalu pada jenis virus Corona lain. SARS-CoV pada 2002-2003 misalnya, diperkirakan berasal dari kelelawar dan menyebar ke manusia melalui musang. Pada 2012, muncul pula MERS-CoV yang kemungkinan berasal dari kelelawar, dan menyebar ke manusia melalui unta.
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 30 Maret 2020, hasil studi yang dipimpin oleh Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute, California, AS, pun telah membantah rumor bahwa virus Corona Covid-19 sengaja dibuat atau produk rekayasa laboratorium. Menurut studi yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine ini, virus Corona Covid-19 adalah buah dari proses evolusi alami.
    Andersen menjelaskan, sejak awal pandemi Covid-19, para peneliti telah menguliti asal-usul SARS-CoV-2 tersebut dengan menganalisis data urutan genomnya. "Dengan membandingkan data urutan genom jenis-jenis virus Corona yang sudah diketahui, kami dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa ahli virus Cina Li Meng Yan menyebut bahwa Covid-19 merupakan hasil persekongkolan jahat keliru. Dalam wawancara dengan Fox News, yang menjadi sumber dari artikel yang memuat klaim itu, Li hanya menyebut bahwa Cina menutup-nutupi keberadaan Covid-19. Ia juga menyatakan bahwa Cina mengabaikan penelitian yang dilakukannya di awal pandemi. Namun, kampus Li, Universitas Hong Kong (HKU), membantah klaim tersebut. HKU menyatakan isi wawancara Li dengan Fox News tidak sesuai dengan fakta-fakta kunci yang ada.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8191) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Palestina Dihapus dari Google Maps?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Mo'zank Santuy membagikan klaim bahwa Palestina telah dihapus dari peta pada 18 Juli 2020. Klaim ini disertai dengan gambar tangkapan layar peta dari Google Maps. Dalam peta itu, hanya tertera nama "Israel" serta wilayah "Jalur Gaza" dan wilayah "Tepi Barat".
    “Kalian terlalu sibuk, sampai kalian tidak tau bahwa palestina di hapus dari maps. jatuh nya palestina di tngan israel itu adlh pertanda bhwa hari akhir sudah dkt. wahai pemuda indonesia jgn kau sibukan game mu, sampai kau tidak tau tentang masalah seperti ini,” demikian narasi yang ditulis oleh akun Mo’zank Santuy.
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Mo’zank Santuy tersebut telah dibagikan lebih dari 9 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mo'zank Santuy.
    Apa benar Palestina dihapus dari Google Maps?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, klaim bahwa Google menghapus nama "Palestina" dari petanya beredar di kalangan pengguna media sosial Arab sejak 16 Juli 2020. Klaim itu disertai dengan dua peta yang diklaim sebagai peta sebelum label "Palestina" dihapus dan sesudah dihapus.
    Dalam peta yang baru, hanya terdapat label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat" serta "Israel". Klaim bahwa Google menghapus nama "Palestina" dari petanya ini muncul tak lama setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk mencaplok Tepi Barat.
    Klaim tersebut juga pernah memicu protes pada 2016. Namun, Google memberikan pernyataan bahwa tidak pernah ada label “Palestina” dalam petanya. Terkait label "Tepi Barat" dan "Jalur Gaza" yang menghilang, Google mengatakan bahwa terdapatbugyang menghapus kedua label tersebut.
    "Tidak pernah ada label 'Palestina' di Google Maps, namun kami menemukanbugyang menghapus label untuk 'Tepi Barat' dan 'Jalur Gaza'," kata juru bicara Google. "Kami sedang bekerja dengan cepat untuk membawa label ini kembali ke area tersebut."
    Dilansir dari The New York Times, Elizabeth Davidoff, salah satu juru bicara Google, dalam sebuah e-mail menyatakan bahwa perusahaannya tidak pernah menggunakan label "wilayah Palestina" dalam petanya. "Tidak ada upaya dari Google untuk menghapus Palestina atau semacamnya," kata Davidoff.
    Dia juga mengatakan GIF yang beredar di internet yang menunjukkan peta sebelum label "Palestina" dihapus dan sesudah dihapus adalah palsu. Setelah Google memperbaiki bug label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat", kedua label itu kembali muncul dan dipisahkan dari Israel dengan garis putus-putus untuk menandakan perbatasan sengketa yang belum diakui secara internasional.
    Ketika Tempo memasukkan label “Palestina”, Google Maps memang mengarahkan ke sebuah wilayah di Timur Tengah yang berada di tepi Laut Tengah. Namun, tidak ada label “Palestina” dalam peta, hanya ada label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat" yang batas wilayahnya dengan "Israel" ditandai dengan garis putus-putus. Hingga 14 September 2015, tercatat baru 136 negara dari 193 anggota PBB yang telah mengakui Palestina sebagai negara.
    Gambar tangkapan layar Google Maps yang menunjukkan label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat" serta "Israel".
    Berbeda dengan Google, Bing, mesin pencari milik Microsoft, memasukkan label "Negara Palestina" di petanya. Meskipun begitu, batas wilayahnya juga ditandai dengan garis putus-putus.
    Gambar tangkapan layar Bing Maps.
    Caitlin Dewey, penulis teknologi digital The Washington Post, memberikan catatan atas polemik itu yang memantik pertanyaan menarik tentang kekuatan teknologi pemetaan seperti Google. Dalam upaya mereka mendokumentasikan, tanpa disadari, perusahaan-perusahaan teknologi sering kali membentuk pemahaman kita tentang hal tersebut. “Ini bukan sesuatu yang sering kita pikirkan, tapi menjadi sangat jelas ketika peta berubah atau dikatakan telah berubah, atau ketika kita membandingkan peta yang berbeda satu sama lain,” ujar Dewey dalam artikelnya, "Google Maps did not ‘delete’ Palestine—but it does impact how you see it", pada 10 Agustus 2016.
    Sejak itu, beberapa orang Palestina beralih ke Bing Maps karena mereka memberi label "Negara Palestina" sebagai wilayah tersendiri. Apple Maps saat itu juga tidak memberi label wilayah atau membedakannya dari negara Israel.
    Adapun Naomi Dann, juru bicara Jewish Voice for Peace, menjelaskan kepada The New York Times bahwa GIF yang diunggah oleh organisasinya ke Twitter dibuat oleh salah satu rekannya. Dann pun mengatakan bahwa klaim tentang Google memiliki bobot ekstra emosional karena melibatkan representasi visual antara Israel dan Palestina. “Peta selalu bersifat politis, dan cara perbatasan-perbatasan dalam peta tersebut dipisahkan selalu berlandaskan alasan politik,” katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Palestina dihapus dari Google Maps menyesatkan. Google tidak pernah menghapus label "Palestina" dari petanya, melainkan memang tidak pernah mencantumkan label "Palestina" di Google Maps. Saat pengguna memasukkan kata “Palestina”, Google Maps akan tetap membawa pengguna ke wilayah administratif Palestina saat ini, yakni "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat", dengan batas wilayah berupa garis putus-putus. Garis putus-putus menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah sengketa. Hingga kini, memang belum semua negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai negara. Meskipun begitu, label "Palestina" tertera dalam peta online Microsoft, Bing Maps.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8190) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Megawati Minta Mundur Sebagai Ketua PDIP di Tengah Polemik RUU HIP?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/07/2020

    Berita


    Gambar-gambar tangkapan layar dari video berita tvOne yang berjudul "Megawati Minta Mundur" beredar di media sosial. Gambar-gambar tersebut dibagikan dengan narasi bahwa Megawati Soekarnoputri meminta mundur sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di tengah polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar serta narasi itu dibagikan salah satunya oleh akun Evi Margaretha Ompusunggu, yakni pada 7 Juli 2020. Akun ini menulis, "Mak Banteng Minta Mundur.. Alih-alih Bertanggung Jawab Atas RUU HIP Yang Digagasnya.. siMbok Malah Mundur.. Mau Kemana..? Kabur..?#TangkapInisiatorRUUHIP #TangkapMegawatiBubarkanPDIP#TolakRUUHIP #BatalkanRUUHIP."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Evi Margaretha Ompusunggu.
    Apa benar Megawati minta mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri video berita tvOne yang berjudul "Megawati minta mundur" di YouTube. Hasilnya, kanal YouTube milik tvOne, tvOneNews, memang pernah mengunggah video dengan judul tersebut, di mana Megawati memakai baju batik berwarna hijau yang sama dengan yang terlihat dalam foto unggahan akun Evi Margaretha Ompusunggu.
    Namun, video itu merupakan video pada 16 November 2018, jauh sebelum munculnya polemik RUU HIP. Dalam video berdurasi sekitar 3 menit itu, disebutkan bahwa Megawati menyatakan keinginannya untuk mundur sebagai Ketua PDIP saat pembekalan calon anggota legislatif (caleg) PDIP pada 15 November 2018. Alasannya, usia Megawati sudah tidak muda lagi dan saat ini ia bertugas sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
    "Kalau dilihat-lihat, perjalanan politik saya sudah cukup lama. Saya menjadi ketua umum partai yang sekarang paling senior sudah sekian lama, belum diganti-ganti, padahal saya sudah berharap untuk diganti karena akibat umur saya yang plus 17, tapi hari ini pun akan ditambahi tugas untuk pembinaan ideologi Pancasila," kata Megawati dalam video itu.
    Keinginan Megawati untuk tidak lagi menjabat sebagai Ketua PDIP ini juga pernah diberitakan oleh Republika.co.id pada 17 November 2018. Menurut Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, soal diganti atau tidaknya Megawati akan ditentukan lewat keputusan kongres. "Ya tergantung arus bawah, menurut saya, ketika keputusan kongres menghendaki Ibu Mega menjadi ketum," ujar Hasto pada 16 November 2018.
    Megawati menjabat sebagai Ketua PDIP sejak partai tersebut masih bernama PDI pada 1993. Kursinya sempat digoyang oleh Soerjadi lewat Kongres Luar Biasa PDI pada 1996. Namun, Megawati tidak menerima hasil kongres tersebut dan akhirnya PDI di bawah kepemimpinannya berubah nama menjadi PDIP. Sejak saat itu, kursi Megawati tidak pernah goyah. Dalam Kongres PDIP pada 2015 di Bali pun, Megawati masih terpilih secara aklamasi.
    Hasto menyebut panjangnya masa jabatan yang disandang Megawati sebagai sebuah dedikasi. Dia mengatakan terpilihnya kembali Megawati juga melalui kongres, bukan karena orang per orang, apalagi karena ambisi. Menurut Hasto, sulit bagi putri presiden Indonesia pertama ini untuk turun tahta. Dia mengatakan Megawati masih mendapat dukungan dan akan mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari bawah.
    Isu bahwa Megawati mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP juga telah diverifikasi oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Menurut laporan Mafindo di situsnya, Turnbackhoax.id, video yang digunakan untuk menyebarkan isu tersebut merupakan video berita tvOne pada 2018. Dalam video itu, Megawati mengungkapkan keinginannya untuk mundur sebagai Ketua PDIP karena persoalan usia.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Megawati minta mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP menyesatkan. Video yang digunakan untuk menyebarkan klaim tersebut merupakan video pada 2018, ketika Megawati memberikan pembekalan bagi calon anggota legislatif (caleg) PDIP.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan