• (GFD-2020-8181) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto-foto Orang Belanda di Kamp Pendudukan Jepang di Indonesia?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 14/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Franci membagikan 14 foto lawas ke halaman Masa Hindia Belanda (Nederlands-Indië) pada Minggu 13 Juli 2020. Seluruh foto itu diklaim sebagai foto-foto orang Belanda yang mengalami penderitaan di kamp-kamp Jepang saat menjajah Indonesia.
    Belasan foto itu memang memperlihatkan suasana di kamp-kamp pengungsian. Terlihat sejumlah pria, wanita, dan anak-anak keturunan warga asing yang hidup di ruangan-ruangan yang sempit dan tak layak. Akun Franci pun menuliskan narasi sebagai berikut:
    “Keadaan yang paling menderita bagi orang-orang Belanda adalah pada saat pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Kekalahan Belanda dari Jepang membuat banyak orang Belanda yang lahir dan besar di Indonesia (Hindia Belanda) harus mengungsi ke negeri Belanda. Para laki-laki ditangkap, dijadikan tawanan perang dan disiksa dengan kejam. Tentara Belanda yang tertangkap banyak yang dipenggal kepalanya. Sementara kaum wanita dan anak-anak dikarantina di kamp Tjideng Batavia dalam keadaan yang kumuh dan kurang makanan. Tercatat sekitar 300 wanita Belanda dijadikan budak seks para tentara Jepang dan mengalami siksaan yang berat.”
    Apa benar foto-foto unggahan akun Franci adalah foto-foto orang Belanda di kamp-kamp Jepang saat menjajah Indonesia?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menggunakan sejumlah reverse image tool untuk menelusuri jejak digital foto-foto tersebut. Hasilnya, ditemukan bahwa beberapa foto bukanlah foto suasana di kamp-kamp Jepang di Indonesia. Berikut ini fakta-faktanya:
    Foto 1
    Fakta:
    Sesuai arsip di situs The Historical Marker Database, foto ini adalah foto interniran atau kamp konsentrasi Jepang di Santo Tomas, Filipina. Foto ini diambil oleh pasukan Amerika Serikat, Signal Corps, pada Februari 1945. Disebut interniran karena kamp tersebut diisi oleh sejumlah tahanan yang berasal dari berbagai bangsa atau etnis. Pada Februari 1942, interniran ini berisi 3.200 orang Amerika, 900 orang Inggris (termasuk orang Kanada, orang Australia, dan lain-lain), 40 orang Polandia, 30 orang Belanda, dan beberapa orang dari Spanyol, Meksiko, Nikaragua, Kuba, Rusia, Belgia, Swedia, Denmark, Cina, dan Burma. Sekitar 100 di antaranya adalah orang Filipina atau sebagian Filipina, terutama pasangan dan anak dari orang Amerika. Foto tersebut juga pernah menjadi sampul buku karya Frances B. Cogan, "Captured: The Japanese Internment of American Civilians in the Philippines". Perlu diketahui bahwa, selama Perang Dunia II, banyak interniran yang dibuat oleh negara-negara yang berkonflik, seperti Jerman, Uni Soviet, AS, dan Jepang. Khusus di wilayah kekuasaan Kekaisaran Jepang, yang menempati interniran kebanyakan adalah warga negara AS, Inggris, dan Belanda.
    Sumber: The Historical Marker Database dan Amazon
    Foto 2
    Fakta:
    Foto ini ditemukan sebagai arsip di situs Australian War Memorial milik pemerintah Australia. Menurut keterangannya, foto ini adalah foto saat Mayor A.M. Hutson memberikan perawatan kepada Kapten Anderson dari Inggris yang menderita kekurangan gizi. Perawatan dilakukan di Kuching Civil Hospital, Serawak, Malaysia, yang sebelumnya menjadi rumah sakit militer Jepang. Foto diambil oleh SGT F.A.C. Burke pada 16 September 1945.
    Sumber: Australian War Memorial
    Foto 3
    Fakta:
    Foto ini juga merupakan koleksi Australian War Memorial yang diambil di Aitape, Papua Nugini, pada 24 Oktober 1943. Foto ini adalah foto Sersan NX143314 Leonard G. Siffleet dari Unit Khusus "M" yang akan dipenggal dengan pedang oleh Yasuno Chikao. Eksekusi ini merupakan perintah dari Wakil Laksamana Kamada, Komandan Angkatan Laut Jepang di Aitape. Sersan Siffleet ditangkap bersama Pte Pattiwahl dan Pte Reharin, anggota Pasukan Hindia Belanda di Ambon, ketika terlibat dalam pengintaian di belakang garis Jepang. Sementara Yasuno meninggal sebelum perang berakhir.
    Sumber: Australian War Memorial
    Foto 4
    Fakta:
    Foto ini dimuat di situs NOS Jeugdjournaal, program berita televisi yang diproduksi oleh siaran publik Belanda NOS. Dalam keterangannya, tertulis bahwa foto ini adalah foto suasana interniran Jepang di Brastagi, Sumatera. Terdapat ratusan orang Belanda yang dikurung di kamp tersebut pada November 1944. 
    Sumber: NOS Jeugdjournaal
    Foto 5
    Fakta:Foto ini memperlihatkan suasana sebuah kamp di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Selama lebih dari tiga tahun, perempuan dan anak-anak tinggal di kamp Jepang yang kotor dan penuh sesak di Cideng, Batavia.
    Sumber: Pinterest
    Foto 6
    Fakta:Foto ini adalah koleksi Imperial War Museum dengan nomor SE 4863. Dalam situsnya, foto ini diberi keterangan: "Para tahanan sipil di kamp Cideng, Batavia."
    Sumber: Imperial War Museum
    Foto 7
    Fakta:Foto ini adalah koleksi Tropen Museum di Belanda yang didokumentasikan pada 1945. Situs tersebut memberikan keterangan bahwa foto ini adalah foto para perempuan dan anak-anak yang mandi di kamp perempuan Kampung Makassar, Batavia, setelah pendudukan Jepang.
    Sumber: Tropen Museum
    Foto 8
    Fakta:
    Foto ini adalah koleksi Australian War Memorial, yang diberi keterangan: "Seorang perempuan dan enam anak di interniran Kampung Makassar, Batavia, pada 1945. Ada 10 ribu wanita dan anak yang hidup dalam kamp Jepang tersebut."
    Sumber: Australian War Memorial
    Foto 9
    Fakta: Foto ini pernah dimuat di ABC News Australia pada 27 Juli 2017. ABC memberikan keterangan bahwa foto ini adalah foto para tahanan di kamp perempuan Bulu, Semarang, pada 1945. Foto didapat dari Nikola Drakulic dan Valentin Schreiber dari Europeana Collections.
    Sumber: ABC
    Foto 10
    Fakta:
    Foto ini pernah dimuat oleh Kompas.com yang diambil dari buku "Konflik Bersejarah-Ensiklopedi Pendudukan Jepang" terbitan 2013. Foto ini diberi keterangan: "Rakyat Indonesia sedang melakukan seikerei. Seikerei adalah penghormatan setiap pagi pada Tenno Heika (Kaisar Jepang) dengan cara membungkuk ke arah Tokyo."
    Sumber: Kompas.com
    Foto 11
    Fakta:
    Melalui Pinterest, didapatkan petunjuk bahwa foto ini adalah foto suasana kamp konsentrasi yang dibuat Jepang di Jawa. Di salah satu blog yang bercerita tentang kesaksian seorang penyintas, terdapat keterangan bahwa foto ini diambil pada 1946, saat para tahanan perempuan di Semarang menyiapkan makanan.
    Sumber: Pinterest dan blog Just Add Love
    Foto 12
    Fakta:
    Berdasarkan petunjuk di Pinterest, foto ini adalah foto suasana kamp Cideng, Batavia, yang diambil November 1945.
    Sumber: Pinterest
    Foto 13
    Fakta:
    Foto ini adalah arsip Spaarnestad. Keterangan yang tertera untuk foto ini terbatas, yakni: "Keluarga di kamp." Menurut petunjuk lain di Pinterest, foto ini diambil di salah satu kamp di Indonesia.
    Sumber: Atria dan Pinterest
    Foto 14
    Fakta:
    Berdasarkan petunjuk di Pinterest, foto ini adalah foto suasana kamp di Cideng, Batavia.
    Sumber: Pinterest

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim yang ditulis oleh akun Facebook Franci, bahwa foto-foto di atas adalah foto-foto orang Belanda di kamp-kamp Jepang saat menjajah Indonesia, sebagian benar. Terdapat tiga foto yang bukan foto suasana kamp pendudukan Jepang di Indonesia yang diisi oleh orang-orang Belanda. Tiga foto tersebut diambil di Filipina, Papua Nugini, dan Malaysia.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8180) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto Wanita Filipina yang Mutilasi dan Makan Puluhan Korbannya?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 13/07/2020

    Berita


    Kolase foto seorang wanita yang diklaim sebagai berasal dari Filipina dan telah memakan tubuh lebih dari 30 gadis yang ia mutilasi beredar di media sosial. Dalam foto itu, terlihat wanita berpakaian biru di dekat sebuah kulkas yang terbuka yang di dalamnya tersimpan banyak potongan daging.
    Di Facebook, kolase foto tersebut diunggah salah satunya oleh akun Dmc QueenDilan Duasembilan, yakni pada 12 Juli 2020. Berikut narasi lengkap yang ditulis oleh akun itu:
    “Polisi telah menangkap seorang wanita Filipina berusia 29 tahun karena membunuh dan memakan manusia. Wanita ini telah membunuh dan memakan lebih dari 30 gadis dan banyak manusia lainnya termasuk suaminya dan menyimpan daging mereka di kulkas. Dia sudah lama menikmati makan daging manusia.Wanita kanibal ini mengatakan, bahwa ia mengatur banyak pihak untuk teman dan kerabatnya, yang telah ia masak dan menyajikan daging manusia, tanpa sepengetahuan mereka. Tamunya mengatakan bahwa makanannya sangat lezat.Wanita ini mengatakan bahwa ia telah memakan korban karena keinginan batinnya dan jika ia diberi kesempatan lain, ia akan mengulangi tindakan ini lagi tanpa gangguan.Bahkan di penjara, ia telah menyerang seorang penjaga wanita, menggigit tangan kanannya dan menelan salah satu jari tangannya.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Dmc QueenDilan Duasembilan.
    Apa benar foto tersebut adalah foto wanita Filipina yang memakan tubuh puluhan gadis yang ia mutilasi?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto di atas denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa foto-foto dalam kolase itu telah beredar di internet sejak Januari 2007. Wanita dalam foto tersebut pun bukan seorang kanibal yang telah memakan puluhan manusia.
    Foto yang identik pernah dimuat oleh situs Listverse.com pada 23 Januari 2020 dalam artikelnya yang berjudul “10 Lesser-known Murder Mysteries That Remain Unsolved”. Menurut artikel itu, foto tersebut terkait dengan kasus pembunuhan seorang mahasiswa di Cina bernama Diao Aiqing.
    Dalam artikel itu tertulis, pada 19 Januari 1996, seorang petugas kebersihan jalan di Nanjing, Cina, menemukan sebuah kantong berisi daging di pinggir jalan. Dia pun membawanya pulang, namun ketika membersihkan daging itu, dia menemukan tiga jari manusia di dalam kantong tersebut.
    Petugas wanita itu kemudian memberi tahu polisi. Lalu, polisi melakukan pencarian dan menemukan kantong-kantong berisi potongan tubuh manusia di dua lokasi lain. Terdapat lebih dari 2 ribu bagian tubuh, termasuk kepala dan lengan yang telah direbus, yang ditemukan polisi.
    Akhirnya, diketahui bahwa bagian-bagian tubuh itu adalah milik seorang mahasiswa berusia 19 tahun, Diao Aiqing. Diao hilang pada 10 Januari 1996 setelah bertengkar dengan mahasiswa lain di kampusnya atas penggunaan peralatan listrik. Hingga kini, pembunuh Diao masih belum diketahui.
    Foto yang sama pernah dimuat oleh situs Whatsonweibo.com pada 16 Mei 2018 dalam artikelnya yang berjudul “China’s Unsolved (Murder) Mysteries: 10 Most Notorious Cold Cases Still Discussed in China Today”. Isi artikel ini serupa dengan artikel yang dimuat oleh situs Listverse.com.
    Dilansir dari Zyxiao.com, kasus mutilasi Diao Aiqing lebih dikenal sebagai kasus "1.19" karena terjadi pada 19 Januari 1996 di Kota Nanjing, Provinsi Jiangsu, Cina. Sementara Diao Aiqing merupakan mahasiswa baru di Universitas Nanjing.
    Awalnya, pada 19 Januari pagi, potongan tubuh korban dalam sebuah tas tangan ditemukan di Jalan Huaqiao oleh seorang petugas kebersihan. Setelah diberi laporan oleh petugas itu, polisi melacaknya dan menemukan bagian tubuh lain di Jalan Shuizuogang dan Gunung Longwang yang dibungkus dengan tas tangan dan sprei.
    Karena teknologi DNA belum tersedia saat itu, dokter forensik hanya bisa mengkonfirmasi bahwa korban adalah seorang wanita, yang diketahui lewat karakteristik rambut dan jaringan serat otot tubuh. Hingga kini, kasus "1.19" belum terpecahkan. Kasus itu telah diserahkan kepada Departemen Biro Keamanan Publik Kota Nanjing.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas adalah foto wanita Filipina yang memakan tubuh puluhan gadis yang ia mutilasi keliru. Foto itu merupakan foto yang terkait dengan kasus mutilasi terhadap Diao Aiqing, seorang mahasiswa Universitas Nanjing, Jiangsu, Cina, yang terkuak pada 19 Januari 1996. Hingga kini, pelaku pembunuhan Diao belum ditemukan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8179) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Jemaah Sumbar Tetap Berangkat Haji Berkat Lobi Khusus dengan Kerajaan Saudi?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 13/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa jemaah asal Padang, Sumatera Barat, tetap berangkat haji di tengah pandemi Covid-19 berkat lobi khusus dengan Kerajaan Arab Saudi beredar di media sosial. Klaim itu dilengkapi dengan foto empat bus berwarna hitam yang sedang melintasi sebuah jalan, di mana di bagian depan salah satu bus terpasang spanduk bertuliskan "jamaah haji".
    Narasi dan foto tersebut beredar setelah, pada 2 Juni 2020 lalu, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan meniadakan keberangkatan ibadah haji 2020. Pasalnya, pandemi Covid-19 masih menghantui dunia, termasuk Arab Saudi.
    Di Facebook, klaim dan foto itu dibagikan salah satunya oleh akun Asdar Ra'uuf Rauf, yakni pada 6 Juli 2020. Berikut narasi yang ditulis oleh akun tersebut:
    "Rombongan jema'ah haji Padang Sumatra Barat non via Depag berangkat kebandara untuk selanjutnya menuju tanah suci menunaikan haji--dengan adanya lobi khusus para tokoh dan ulama Padang Sumatra Barat dengan Kerajaan Arab Saudi dan juga adanya hubungan history Kerajaan Pagaruyung Sumatra Barat pada zaman dulunya, serta Keluarga Kerajaan Pagaruyung juga mempunyai lahan tanah yang cukup luas di Arab Saudi,sekarang ini dibangun Hotel untuk jemaah haji asal Sumatra Barat--memudahkan urusan warga yang menunaikan haji asal Sumatra Barat tersebut--disamping itu Kerajaan Arab Saudi juga sangat menghargai Alm Sheh Ahmad Khatib asal Padang yang pernah menjadi Imam besar Masjidil Haram-- semoga hubungan baik Kerajaan Arab Saudi dengan Padang Sumatra Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya terjalin lebih akrab lagi kedepannya dan yang menunaikan Haji mendapat haji mabrur--aamiin."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Asdar Ra'uuf Rauf itu telah disukai lebih dari 5.900 kali dan dibagikan lebih dari 2.100 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Asdar Ra'uuf Rauf.
    Apa benar jemaah Sumbar tetap berangkat haji berkat lobi khusus dengan Kerajaan Arab Saudi?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto unggahan akun Asdar Ra'uuf Rauf denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, ditemukan bahwa foto itu pertama kali diunggah di media sosial, yakni Instagram, pada 2018, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19 dan ditiadakannya keberangkatan ibadah haji 2020.
    Foto itu merupakan foto milik Robby Rotana Yulian. Foto tersebut ia bagikan pertama kali di akun Instagram pribadinya, @robbyrotanayulian, pada 21 Agustus 2018. Dalam keterangannya, Robby menulis, "Kita nikmati kebersamaan yg indah ini walau entah sampai kapan kita slalu bersama. VTB || SR2HD Prime || Laksana Karoseri || Mercy OH 1526 NG OM906LA || Panorama2 Sitinjau Lauik Padang sumbar."
    Tempo pun menelusuri pemberitaan media tentang isu bahwa jemaah Sumbar tetap berangkat haji berkat lobi khusus dengan Kerajaan Arab Saudi. Lewat pencarian dengan mesin perambah Google, ditemukan berbagai berita yang berisi pernyataan dari Kementerian Agama yang membantah isu tersebut.
    Dilansir dari Detik.com, Kepala Sub Bagian Umum dan Humas Kemenag Sumbar, Eri Gusnedi, menyatakan kabar itu hoaks. Dia sudah mengecek informasi tersebut ke bidang haji Kemenag Sumbar. "Sampai hari ini, sudah dikonfirmasi enggak ada, enggak ada itu," katanya pada 11 Juli 2020.
    Eri menuturkan telah memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa tidak ada pemberangkatan haji tahun ini. "Karena memang dari pusat kita sudah disampaikan. Kami juga sudah sosialisasikan di Sumbar bahwa tahun ini tidak ada pemberangkatan haji," ujar Eri.
    Dikutip dari Liputan6.com, Eri menjelaskan bahwa alasan utama pemerintah membatalkan pemberangkatan haji 2020 adalah faktor keselamatan jemaah akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Arab Saudi. "Sesuai kaidah syariah, keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta harus diutamakan demi kemaslahatan umat," katanya.
    Kendati dibatalkan tahun ini, menurut Eri, calon jemaah haji tetap diberangkatkan tahun depan apabila situasi sudah kembali normal. Terkait pelunasan haji yang telah dibayarkan, dapat ditarik kembali dengan mengajukan surat permohonan disertai bukti setoran. "Jika tidak ditarik, uang yang telah disetorkan itu akan ada pembagian hasil bagi jemaah haji, diberikan menjelang mereka berangkat ke Tanah Suci nanti," kata Eri.
    Bila calon jemaah haji meninggal sebelum diberangkatkan, menurut Eri, uang tersebut dapat dialihkan kepada ahli waris yang ditunjuk pihak keluarga yang bersangkutan. "Di Sumbar, setidaknya ada sebanyak 4.613 orang jemaah calon haji yang batal berangkat," ujar Eri menambahkan.
    Dilansir dari BBC Indonesia, Menteri Urusan Haji Arab Saudi, Mohammad Benten, mengatakan pemerintah Arab Saudi tidak akan mengizinkan jemaah dari luar negeri, namun akan membolehkan sekitar 1.000 orang yang bermukim di kerajaan tersebut untuk menjalankan ibadah haji tahun ini.
    "Jumlah jemaah hanya akan sekitar 1.000 (orang), mungkin kurang, mungkin lebih sedikit," kata Benten. "Jumlahnya tidak akan mencapai ratusan ribu atau ribuan (orang)," ujarnya. Namun, Benten mengatakan jumlah jemaah masih dikaji lagi, tapi diperkirakan tidak akan lebih dari 10 ribu jemaah.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa jemaah Sumbar tetap berangkat haji di tengah pandemi Covid-19 berkat lobi khusus dengan Kerajaan Arab Saudi keliru. Foto yang digunakan untuk melengkapi klaim itu merupakan foto pada 2018, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19 dan ditiadakannya keberangkatan ibadah haji 2020. Kemenag Sumbar pun telah memastikan kabar itu hoaks. Tidak ada pemberangkatan jemaah haji Sumbar tahun ini.
    IBRAHIM ARSYAD | ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8178) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tidak Ada Kematian yang Murni Disebabkan oleh Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 10/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Sony H. Waluyo membagikan sebuah tulisan panjang yang menyinggung keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menarik negaranya sebagai anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam tulisan itu, terdapat pula tudingan bahwa WHO hanya menciptakan ketakutan tanpa memberikan bukti adanya kematian yang murni disebabkan oleh penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru, Covid-19.
    Tulisan yang dibagikan pada 8 Juli 2020 ini juga berisi sejumlah klaim terkait Covid-19, mulai dari adanya kekeliruan tes Covid-19 dengan antibodi dan tidak perlunya menunggu vaksin Covid-19 karena selama ini pasien Covid-19 berhasil sembuh tanpa vaksin.
    Untuk mendukung narasi-narasi dalam tulisannya, akun Sony H. Waluyo menyertakan sejumlah gambar tangkapan layar artikel berita. Klaim bahwa tidak ada kematian yang murni disebabkan oleh Covid-19 misalnya, dikutip dari dokter Stoian Alexov di situs Zaidpub.com. Selain itu, terdapat artikel yang memuat pernyataan Trump serta juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Ahmad Yurianto.
    Gambar tangkapan layar sebagian isi tulisan panjang (kiri) dan gambar-gambar tangkapan layar (kanan) yang diunggah oleh akun Facebook Sony H. Waluyo.
    Bagaimana kebenaran klaim-klaim terkait Covid-19 dalam tulisan akun Sony H. Waluyo tersebut?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Telah banyak kritikan yang mengatakan bahwa data korban tidak valid dan murni sebab selalu ada penyakit lain yang menyertai/komplikasi. Narasi ini dilengkapi dengan gambar tangkapan layar artikel dari situs Zaidpub.com berisi pernyataan dokter Stoian Alenov bahwa tidak ada kematian di Eropa yang murni disebabkan oleh Covid-19.
    Fakta:
    Hingga 10 Juli 2020 pukul 14.00 WIB, tingkat kematian kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 3.417 orang dari total kasus sebanyak 70.736 orang. Jumlah kematian yang diumumkan oleh pemerintah pusat tersebut adalah kasus yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 sesuai hasil tespolymerase chain reaction(PCR).
    Covid-19 memang memperburuk kondisi kesehatan pasien yang memiliki penyakit penyerta, sehingga menyebabkan kematian lebih dini. Namun, meski tingkat kematian Covid-19 lebih tinggi terjadi pada mereka yang memiliki penyakit penyerta, ditemukan juga pasien yang meninggal tanpa penyakit penyerta.
    Dikutip dari Detik.com, Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Rita Rogayah, mengatakan ada 76 pasien Covid-19 yang meninggal dari sebanyak 205 pasien positif Covid-19 di rumah sakitnya pada April 2020. Dari jumlah pasien yang meninggal itu, 65 pasien (86 persen) memiliki penyakit penyerta, sementara 11 pasien (14 persen) lainnya tanpa penyakit penyakit.
    Kemudian, di Surabaya, Jawa Timur, hingga 15 Juni 2020, terdapat 328 pasien positif Covid-19 yang meninggal. Sebanyak 300 orang di antaranya memiliki penyakit penyerta, sementara 28 orang lainnya tidak mempunyai penyakit bawaan alias meninggal murni karena Covid-19.
    Pernyataan dokter Stoian Alenov di situs Zaidpub.com pun telah dibantah oleh organisasi pemeriksa fakta Lead Stories. Menurut temuan mereka, sekitar 44.600 orang di Inggris meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru tersebut.
    Sumber: Kemenkes, Detik.com, IDN Times, dan Lead Stories
    Klaim 2: Dokter Andrew Kaufman menyatakan sampel uji Covid-19 tidak dimurnikan sehingga ada kekeliruan identifikasi antara virus dengan exosome yang adalah materi genetik antibodi. Inilah mengapa tes Covid-19 sering merujuk pada antibodi reaktif sebagai acuan untuk deteksi infeksi virus. Tentu saja hasilnya menjadi sering meleset sebab antibodi reaktif dapat timbul karena berbagai sebab dan bukan hanya karena oleh Covid-19.
    Fakta:
    Uji antibodi di Indonesia dengan rapid test tidak digunakan untuk mendeteksi Covid-19, melainkan hanya untuk penapisan atau screening. Untuk mendeteksi Covid-19, tes yang digunakan di banyak negara, termasuk yang direkomendasikan oleh WHO, adalah tes PCR.
    Tes PCR tidak mendeteksi virus melalui antibodi, melainkan melalui potongan-potongan materi genetik virus yang terdapat pada lendir, air liur, dan sel-sel di bagian paling belakang rongga hidung. Setelah sampel dikumpulkan, suatu bahan kimia dipakai untuk menghilangkan materi-materi lain sehingga hanya menyisakan materi genetik virus yang disebut RNA. 
    Lalu, enzim ditambahkan ke dalam sampel melalui proses kimia untuk menyalin RNA menjadi DNA, yang kemudian dapat diproses di dalam mesin dan disalin berulang kali. Dengan salinan DNA yang cukup, para ilmuwan kemudian dapat menerapkantag fluorescentpada sampel yang mengikat potongan spesifik bahan genetik untuk mendeteksi adanya SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
    Meski memiliki akurasi yang lebih tinggi ketimbang tes antibodi (rapid test), tes PCR tetap memiliki potensi negatif palsu. Namun, potensi ini bukan diakibatkan seperti klaim di atas. Negatif palsu bisa terjadi karena tiga hal. Pertama, jika infeksi yang terjadi pada seseorang yang dites masih terlalu dini atau malah terlambat sehingga tidak terdapat virus dalam jumlah yang cukup di sel mereka. Kedua, jika layanan kesehatan tidak mengumpulkan jumlah sampel yang cukup, misalnya swab kurang. Ketiga, jika jarak waktu antara pengambilan sampel dan tes terlalu lama, yang membuat RNA virus terurai.
    Sumber: Live Science dan The Conversation
    Klaim 3: Takut, khawatir, dan stres juga dialami para nakes sehingga tidak leluasa menangani pasien dengan akibat justru pasien yang perlu pertolongan dengan segera tidak tertangani. Sering kali kemudian hasil uji lab mendapati mereka yang meninggal tak tertolong ternyata negatif Covid-19 namun dimakamkan dengan protokol Covid-19 dan terlanjur diberitakan sebagai korban Covid-19.
    Fakta:
    Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Doni Monardo menegaskan penerapan protokol pemakaman Covid-19 juga harus dilakukan pada pasien dalam pengawasan (PDP), untuk menghindari adanya penularan akibat salah penangangan. "Selama belum ada kepastian tes dari dinas kesehatan di daerah, maka pasien itu tetap diberikan status pasien Covid," ujar Doni pada 20 April 2020.
    Doni mengatakan tak ingin ada kejadian yang terulang, di mana pasien suspek yang meninggal dimakamkan biasa, kemudian belakangan diketahui hasil tes pasien tersebut positif Covid-19. Karena itu, perlakuan bagi PDP akan sama dengan pasien positif hingga hasil tes lab keluar. Nantinya, Kementerian Kesehatan yang bakal mengumumkan pasien tersebut dinyatakan positif atau negatif.
    "Untuk menghindari agar tidak terjadi lagi pasien yang meninggal non-Covid-19 atau Covid-19 salah dalam melakukan analisis atau mengambil keputusan," kata Doni. Hal ini, menurut Doni, juga menjawab sejumlah pertanyaan mengenai banyaknya pemakaman tertutup dengan protokol Covid-19. Mereka memang tak seluruhnya sudah dinyatakan positif, namun bisa jadi PDP yang meninggal sebelum hasil tesnya keluar atau bahkan belum dites.
    Sumber: Tempo
    Klaim 4: Fakta di lapangan menyatakan dengan gamblang bahwa semua orang di seluruh dunia selama ini yang didiagnosa terinfeksi jelas berhasil sembuh tanpa vaksin. Dari cara kerja vaksin sebenarnya juga sangat jelas dan gamblang bahwa vaksin juga bukan obat melainkan virus yang dilemahkan untuk memicu antibodi. Ini artinya sangat jelas bahwa antibodilah yang tetap menjadi ujung tombak untuk menangani virus, baik pada orang yang divaksin ataupun tidak.
    Fakta:
    Hadirnya vaksin telah mencegah setidaknya 10 juta kematian pada 2010-2015. Jutaan orang di seluruh dunia pun terlindungi dari penderitaan dan kecacatan yang terkait dengan penyakit seperti pneumonia, diare, batuk rejan, campak, dan polio. Program imunisasi yang berhasil juga memungkinkan prioritas nasional, seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi, dapat bertahan.
    Dikutip dari CDC, vaksin memberikan kekebalan pada tubuh untuk melawan penyakit tertentu. Sistem kekebalan mengenali virus atau kuman yang masuk ke dalam tubuh sebagai "penyerbu asing" (disebut antigen), dan tubuh menghasilkan protein yang disebut antibodi untuk melawannya.
    Saat seorang anak terinfeksi untuk pertama kalinya oleh antigen spesifik (misalnya virus campak), sistem kekebalan bakal menghasilkan antibodi yang dirancang untuk melawannya. Namun, sistem kekebalan biasanya tidak bekerja cukup cepat untuk mencegah antigen yang menyebabkan penyakit, sehingga si anak akan tetap sakit. Namun, sistem kekebalan “mengingat” antigen itu. Jika masuk ke tubuh lagi, bahkan setelah bertahun-tahun, sistem kekebalan dapa

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi dalam tulisan yang diunggah oleh akun Sony H. Waluyo menyesatkan. Klaim bahwa tidak ada kematian yang murni disebabkan oleh Covid-19 pun tidak akurat karena ditemukan sejumlah pasien Covid-19 yang meninggal yang tidak memiliki penyakit penyerta.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan