• (GFD-2021-8438) Keliru, Vaksin Sinovac Mengandung Bahan Berbahaya dan Virus Hidup yang Dilemahkan

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung bahan dasar yang berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri beredar di Facebook. Klaim itu juga menyebut bahwa vaksin ini mengandung virus hidup yang telah dilemahkan serta berasal dari sel vero dari kera hijau Afrika. 
    Salah satu akun yang membagikan klaim itu adalah akun Juliana Humaira Ummu Syifa, yakni pada 4 Januari 2021. Dia menulis bahwa warga yang akan disuntik vaksin Sinovac hanya kelinci percobaan, karena kemasan vaksin tersebut bertuliskan "Only for Clinical Trial" atau "hanya untuk uji coba klinis".
    "Dan perhatikan 'Composition and Description' Yaitu berasal dariVero Cellatau berasal dari jaringan Kera hijau Afrika (Jelas tidak halal), kemudian mengandung Virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya (Boraks,formaline, aluminium, merkuri, dll). Belum lagi yang tidak tertulis pada kemasan yaitu tidak ada jaminan tidak tertular penyakit setelah di vaksin dan tidak ada jaminan atau kompensasi dari perusahaan Sinovac jika terjadi cedera vaksin atau KIPI pada korban Vaksin," demikian narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
    Akun ini pun melengkapi klaim tersebut dengan foto yang memperlihatkan vaksin Sinovac beserta kemasannya. Dalam kemasan itu tertulis "SARS-CoV-2 Vaccine (Vero Cell)". Di bawah tulisan ini, terdapat teks yang berbunyi "Only for Clininal Trial". Terdapat pula daftar bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan vaksin Sinovac dalam kemasan tersebut.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Juliana Humaira Ummu Syifa yang memuat klaim keliru terkait vaksin Covid-19 Sinovac.

    Hasil Cek Fakta


    Hasil pemeriksaan Tim CekFakta Tempo menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 Sinovac tidak mengandung bahan berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri. Vaksin ini pun tidak mengandung virus hidup yang dilemahkan. Dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero memang digunakan, namun hanya untuk menumbuhkan virus yang nantinya akan diinaktivasi. Dalam produk finalnya, tidak ada lagi sel kera yang terlibat.
    Untuk memeriksa klaim di atas, Tempo menghubungi ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo serta menelusuri informasi dari beberapa pemberitaan dan jurnal medis. Berikut hasil cek fakta atas beberapa klaim tersebut:
    Klaim 1: Vaksin Sinovac mengandung virus hidup yang dilemahkan
    Menurut Ahmad Rusdan Utomo, yang juga dijelaskan dalam kanal YouTube  miliknya, vaksin Sinovac menggunakan partikel virus SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, yang telah dimatikan, atau genomnya telah dirusak, bukan dilemahkan seperti yang terdapat dalam klaim di atas.
    Sejumlah literatur menyebut metode yang dikenal dengan namainactivatedvirus ini sudah lama digunakan, setidaknya sejak 1950-an. Partikel virus SARS-CoV-2 yang digunakan tersebut diisolasi dari berbagai tempat, seperti Cina, Swiss, Spanyol, Italia, dan Inggris. “Ini untuk memastikan partikel virus yang ada dalam vaksin itu mewakili beberapa tempat secara independen,” kata Ahmad pada 4 Januari 2021.
    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebut metodeinactivatedvirus sebagai salah satu dari tujuh teknologi pengembangan vaksin. Menurut WHO, kelebihan dari teknologi ini adalah dapat menginduksi respon antibodi yang kuat. Sebelum digunakan untuk memproduksi vaksin Covid-19, metode ini digunakan untuk mengembangkan vaksin influenza, rabies, dan hepatitis A.
    Klaim 2: Sel vero dari kera hijau Afrika dan tidak halal
    Ahmad Rusdan Utomo menjelaskan, dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero memang digunakan untuk menumbuhkan virus. Sel vero adalah galur sel yang berasal dari sel epitel ginjal yang diekstrak dari kera hijau Afrika. “Jadi, bukan seperti monyetnya yang diambil,” kata Ahmad.
    Setelah sel tumbuh, kata Ahmad, partikel-partikel virus yang berjumlah jutaan akan diinaktivasi denganbeta propiolactonesehingga genom dari virus tersebut rusak dan tidak bisa berkembang biak. Lalu, proses selanjutnya adalah filtrasi sehingga terjadi delusi.
    “Jadi, dalam produk finalnya, tidak ada lagi hal-hal yang dikhawatirkan, seperti sel kera. Dan tidak mungkin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan memberikan otorisasi, digunakan dalam vaksinasi, tanpa diuji keamanannya,” tutur Ahmad.
    Dilansir dari Detik.com, juru bicara vaksin Covid-19 PT Bio Farma Bambang Herianto menyatakan, dalam produksi vaksin Sinovac, sel vero hanya digunakan dalam pengembangan kultur virus untuk proses perbanyakan virus. "Kalau tidak ada media kultur, maka virus akan mati dan tidak bisa digunakan untuk pembuatan vaksin," ujarnya.
    Menurut Bambang, dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero tidak akan terlibat hingga proses akhir. "Vaksin Covid-19 Sinovac saat ini sedang dalam proses aspek kehalalannya oleh LP POM MUI untuk mendapatkan sertifikasi halal," ujar Bambang.
    Dikutip dari The New York Times, vaksin Sinovac dikembangkan dengan menumbuhkan SARS-CoV-2 dalam jumlah yang besar di sel ginjal monyet. Kemudian, mereka menyiram virus itu dengan bahan kimia yang disebutbeta propiolactone. Senyawa ini menonaktifkan virus Corona yang terikat pada gennya. Virus Corona yang tidak aktif tidak akan bisa lagi bereplikasi. Tapi, protein mereka, termasuk protein Spike, tetap utuh.
    Peneliti kemudian mengambil virus yang tidak aktif itu dan mencampurkannya dengan sejumlah kecil senyawa berbasis aluminium yang disebut adjuvan. Adjuvan merangsang sistem kekebalan untuk meningkatkan responsnya terhadap vaksin. Karena virus Corona dalam vaksin sudah mati, mereka dapat disuntikkan ke lengan tanpa menyebabkan Covid-19. Begitu masuk ke dalam tubuh, beberapa virus yang tidak aktif ditelan oleh sejenis sel kekebalan yang disebut sel pembawa antigen.
    Klaim 3: Mengandung bahan dasar berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri
    Nama kimia boraks adalah Natrium Tetraborat (Na4B2O7), Natrium Tetraborat Pentahidrat (Na4B2O7.5H2O), dan Natrium Tetraborat Dekahidrat (Na2B4o7.10H2O). Formalin merupakan senyawa kimia formaldehida yang juga kerap disebut metanal. Sementara merkuri punya nama lain air raksa atauhydrargyrum.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, nama-nama ketiga bahan tersebut tidak tertulis dalam kemasan vaksin Sinovac sebagaimana yang terlihat dalam foto di atas. Bahan yang tertera dalam kemasan yakni aluminium hydroxide, disodium hydrogen phosphate, sodium dihydrogen phosphate, dan sodium chloride.
    Menurut penjelasan Ahmad Rusdan Utomo, empat bahan kimia yang tertera dalam kemasan tersebut digunakan sebagai penstabil tingkat keasaman (pH) agar pH vaksin tetap berada dalam kisaran pH darah, yakni sekitar 7,3-7,4.
    Klaim 4: Vaksin Sinovac untuk kelinci percobaan
    Lewat reverse image tool Google, Tempo menemukan bahwa foto di atas pernah diterbitkan oleh situs media Nikkei pada 7 September 2020. Nikkei memberikan keterangan bahwa foto itu bersumber dari Associated Press (AP) dengan penjelasan: "Vaksin uji coba dari Sinovac Biotech sebelum diberikan kepada sukarelawan di Brasil bulan lalu. Perusahaan juga memberikan vaksin yang diusulkan kepada karyawannya di Cina."
    Dilansir dari Reuters, pada akhir Juli 2020, beberapa kandidat vaksin Covid-19, termasuk dari Sinovac, menjalani uji klinis besar di Brasil. Negara ini mencatatkan lebih dari 2,7 juta kasus Covid-19 dan hampir 95 ribu kematian, menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat.
    Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS ( CDC ) menjelaskan ada enam tahap dalam pengembangan vaksin, yakni eksplorasi, pra-klinis, pengembangan klinis, tinjauan peraturan dan persetujuan, produksi, dan kontrol kualitas. Pengembangan klinis meliputi tiga fase. Selama fase I, sejumlah orang menerima vaksin percobaan. Pada fase II, studi klinis diperluas dan vaksin diberikan kepada orang yang memiliki karakteristik (seperti usia dan kesehatan fisik) yang mirip dengan orang yang menjadi sasaran vaksin.
    Pada fase III, vaksin diberikan kepada ribuan orang serta diuji efikasi dan keamanannya. Pelibatan warga Indonesia dalam uji coba vaksin Sinovac termasuk dalam fase III ini. Selain Indonesia, Brasil dan Bangladesh berpartisipasi dalam uji klinis fase III vaksin Sinovac. Vaksin Covid-19 lain pun diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Inggris. Sama halnya dengan Sinovac, perusahaan-perusahaan itu menerapkan prosedur yang mengujicobakan vaksin buatannya kepada warga negara lain.
    Sebelum diujicobakan ke luar Cina, vaksin Covid-19 Sinovac itu telah terlebih dahulu menjalani uji coba fase I dan fase II yang melibatkan sejumlah warga Cina. Sinovac memulai pengembangan kandidat vaksin dari virus yang tidak aktif pada 28 Januari. Pada 13 April, Administrasi Produk Medis Nasional Cina (NMPA) memberikan persetujuan untuk uji klinis fase I dan fase II yang dimulai pada 16 April di Provinsi Jiangsu. Uji klinis fase I dan fase II itu melibatkan orang dewasa sehat berusia 18-59 tahun. Mereka diberi vaksin selama 14 hari.
    Penggunaan vaksin Sinovac

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung bahan dasar yang berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri serta virus hidup yang dilemahkan, keliru. Meskipun begitu, hingga artikel ini dimuat, vaksinasi warga dengan vaksin Sinovac belum dilakukan karena masih menunggu izin pengunaan darurat atauemergency use authorization(EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8437) Keliru, Brigjen Hendra Kurniawan Anak Kandung Presiden Cina Xi Jinping

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan adalah anak kandung Presiden Cina Xi Jinping viral di media sosial. Klaim itu juga menyebut bahwa Hendra yang merupakan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri ini kemungkinan telah dipersiapkan untuk menjadi Kapolri.
    "Hendra kurniawan Anak kandung jie ping (presiden china) ia brigjen polisi yg tdk tertutup kemungkinan kedepannya dipersiapkan tuk menjadi kapolri... jika saat itu telah tiba maka binasalah umat islam indonesia krn negri ini sdh total dibawah kkekuasaan china komunis... JADI APAKAH KALIAN MSH BERDIAM DIRI SAJA SAMBIL MENUNGGU KEHANCURAN ITU TIBA....? Apakah umat Islam akan selama nya diam...???" demikian narasi yang dilengkapi dengan foto Hendra tersebut.
    Salah satu akun yang membagikan klaim itu adalah akun Nia Herawati, tepatnya pada 2 Januari 2021. Akun ini menulis, "Kalau kita diyam brrt kita mendukung kehancuran nkri dan rezikonya pada anak cucukita kelak..!!!" Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 55 reaksi dan 18 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Niat Herawati yang memuat klaim keliru tentang Brigjen Hendra Kurniawan dan Presiden Cina Xi Jinping.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan dari media kredibel tentang anak Presiden Cina Xi Jinping. Hasilnya, ditemukan informasi bahwa Xi Jinping hanya memiliki satu anak, yakni anak perempuan yang bernama Xi Mingze.
    Dilansir dari situs media Taiwan News, Xi Mingze lahir pada 1992 dan merupakan anak tunggal dari Xi Jinping dan istrinya yang merupakan penyanyi folk Tiongkok, Peng Liyuan. Xi Mingze menempuh studi sarjana dan pascasarjana di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
    Dikutip dari situs media New Zealand Herald, selain beberapa detail biografi dasar, sangat sedikit yang diketahui tentang Xi Mingze. Anak satu-satunya Xi Jinping ini lahir pada 27 Juni 1992. Ia belajar bahasa Prancis di sekolah menengahnya, Sekolah Bahasa Asing Hangzhou.
    Menurut China Times, Xi Mingze dijuluki "Xiao Muzi" oleh kakeknya, revolusioner komunis dan mantan pejabat Cina Xi Zhongxun, "menganggapnya sebagai orang yang polos dan sopan yang berguna bagi masyarakat". Dia "terkenal sebagai gadis yang rendah hati dan santai, yang menyebut membaca dan fesyen sebagai hobinya," menurut profil di surat kabar Taiwan.
    Pada 2008, setelah gempa bumi Sichuan yang cukup dahsyat, Xi Mingze yang ketika itu berusia 16 tahun meminta cuti sekolah selama seminggu untuk membantu upaya penanganan bencana dan merawat korban yang terluka, kata ibunya kepada media setempat pada saat itu.
    Xi Jinping melindungi Xi Mingze dengan ketat dari mata-mata. Xi Mingze pergi ke AS pada 2010 untuk kuliah di Universitas Harvard, dengan nama samaran. Baru pada 2012 banyak orang mendengar tentang hal ini. Xi Mingze disebut mempelajari psikologi dan bahasa Inggris, yang lulus dengan gelar Bachelor of Arts pada 2014.
    Brigjen Hendra Kurniawan dan polisi keturunan Tionghoa
    Brigjen Hendra Kurniawan menjadi sorotan setelah digelarnya konferensi pers polisi terkait penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Rizieq Shihab. Ketika itu, ia hadir bersama Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran dan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurrachman.
    Dilansir dari Viva.co.id, Hendra adalah Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Hendra dilantik sebagai jenderal bintang satu pada 16 Oktober 2020 lalu. Sebelumnya, Hendra menjabat sebagai Kepala Bagian Pembinaan dan Pengamanan Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
    Dikutip dari Tribun Batam, Hendra memang berdarah Tionghoa. Namun, seperti dilansir dari Medcom.id yang mengutip BBC Indonesia, telah banyak keturunan Tionghoa yang menjadi polisi, setidaknya sejak Orde Lama. Sejak 1960-an, polisi atau militer dari etnis Tionghoa bukan lagi sesuatu yang aneh.
    Bahkan, hingga 1970-an dan 1980-an, masih banyak ditemukan polisi berdarah Tionghoa, salah satunya di Bangka Belitung. Namun, jumlah polisi keturunan Tionghoa mulai berkurang ketika Orde Baru berkuasa dan membuat sejumlah kebijakan politik terkait etnis Tionghoa.
    Dilansir dari Merdeka.com, warga Tionghoa kembali mendapatkan kesempatan menjadi aparatur negara, termasuk polisi, di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Kapolri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sutarman, pun pernah menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi warga Tionghoa untuk menjadi polisi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Brigjen Hendra Kurniawan adalah anak kandung Presiden Cina Xi Jinping, keliru. Xi Jinping hanya memiliki satu anak, yakni anak perempuan yang bernama Xi Mingze. Hendra sendiri merupakan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Hendra memang berdarah Tionghoa. Namun, telah banyak keturunan Tionghoa yang menjadi polisi, setidaknya sejak Orde Lama.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8436) Keliru, WHO Bandingkan Efektivitas 10 Vaksin Covid-19 dan Sebut Sinovac yang Terendah

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/12/2020

    Berita


    Akun Instagram @wawsehat membagikan informasi yang berisi klaim bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut vaksin Sinovac sebagai vaksin Covid-19 yang paling lemah. Kesimpulan itu diambil setelah WHO disebut melakukan perbandingan efektivitas 10 vaksin Covid-19 yang siap diedarkan.
    Klaim itu diunggah oleh akun @wawsehat pada 24 Desember 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah disukai lebih dari 1,5 ribu kali. Akun ini pun menulis bahwa informasi tersebut berasal dari situs media Aljazeera. Namun, akun ini tidak menyertakan tautan berita Aljazeera itu.
    Sinovac buatan China menjadi vaksin yang memiliki pengaruh paling rendah atau efektivitasnya paling rendah dibandingkan dengan 9 vaksin lainnya. Sementara itu, vaksin moderna dan vaksin Pfizer menjadi vaksin yang disebut-sebut lebih efektif dibandingkan vaksin lainnya. Karena itu, sejumlah negara di dunia rata-rata memesan vaksin Moderna dan vaksin Pfizer,” demikian sebagian narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @wawsehat yang memuat klaim keliru terkait WHO dan vaksin Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, tidak ditemukan penjelasan di situs resmi WHO maupun pemberitaan di Aljazeera bahwa organisasi kesehatan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyebut vaksin Sinovac sebagai vaksin Covid-19 yang paling lemah.
    Lewat pencarian di situs resmi WHO dengan kata kunci “Covid-19 vaccine”, Tempo menemukan 39 artikel terkait dengan vaksin Covid-19. Namun, dari semua artikel tersebut, tidak satu pun berisi informasi bahwa WHO menyebut vaksin Sinovac paling lemah dibanding sembilan kandidat vaksin Covid-19 lainnya.
    Dalam artikel berjudul "COVAX Announces additional deals to access promising COVID-19 vaccine candidates; plans global rollout starting Q1 2021" yang terbit pada 21 Desember 2020, WHO hanya menjelaskan tentang 10 kandidat vaksin yang melibatkan investasi Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI). Dari 10 kandidat vaksin itu, sembilan di antaranya masih dalam pengembangan, di mana tujuh di antaranya dalam tahap uji klinis.
    Sepuluh kandidat vaksin tersebut adalah AstraZeneca/University of Oxford (Tahap 3); Clover Biopharmaceuticals, Cina (Tahap 1); CureVac, Jerman (Tahap 2B/3); Inovio, Amerika Serikat (Tahap 2); Institut Pasteur/Merck/Themis, Prancis/AS/Austria (Tahap 1); Moderna, AS (Tahap 3); Novavax, AS (Tahap 3); SK bioscience, Korea Selatan (Praklinis); University of Hong Kong, Hong Kong (Praklinis); University of Queensland/CSL, Australia (Tahap 1, program dihentikan).
    CEPI sendiri merupakan kemitraan inovatif antara publik, swasta, filantropi, dan organisasi sipil, yang diluncurkan di Davos, Swiss, pada 2017 untuk mengembangkan vaksin guna menghentikan epidemi di masa depan. CEPI telah bergerak dengan sangat mendesak dan berkoordinasi dengan WHO dalam menanggapi munculnya Covid-19.
    Adapun lewat penelusuran di Google dengan memasukkan kata kunci yang sama, “Covid-19 vaccine”, juga tidak menemukan berita bahwa WHO menyebut vaksin Sinovac paling lemah. Dalam sebuah berita di Aljazeera pada 18 November 2020 yang berjudul "Where are we in the Covid-19 vaccine race?", pejabat WHO Swaminathan menyatakan belum bisa mengambil kesimpulan tentang perlindungan jangka panjang dan efek samping dari seluruh vaksin yang sedang diuji coba.
    “Semua hasil yang kami lihat sejauh ini didasarkan pada tiga atau empat bulan analisis tindak lanjut, yang berarti bahwa kami belum bisa mengatakan apapun tentang perlindungan jangka panjang (dari vaksin), atau tentang efek sampingnya,” kata Swaminathan. “Dalam kondisi yang lain, Anda tidak akan pernah menggunakan vaksin dalam waktu terbatas. Tapi, karena berada di tengah pandemi, kita harus menyeimbangkan antara risiko dan kebutuhan.”
    Menurut arsip berita Tempo, pada 21 Desember 2020, juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia juga telah membantah bahwa vaksin Sinovac memiliki kualitas paling lemah di antara kandidat vaksin lainnya. "Hingga saat ini, tidak ada dokumen dan informasi resmi dari WHO yang membandingkan respons imunitas 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac rendah," ujarnya.
    Dia menambahkan, sampai saat ini, belum ada pengumuman tingkat efikasi vaksin Sinovac, baik dari pihak produsen maupun badan pengawas obat di negara tempat dilakukannya uji klinis. Selain itu, kata Lucia, informasi bahwa hanya Indonesia yang memesan vaksin Sinovac tidak tepat. "Sejumlah negara telah melakukan pemesanan vaksin Covid-19 dari Sinovac, seperti Brasil, Turki, Chili, Singapura, dan Filipina. Bahkan, Mesir juga sedang bernegosiasi untuk bisa memproduksi vaksin Sinovac di negaranya," ujar dia.
    Efikasi vaksin Covid-19
    Tempo merangkum beberapa pemberitaan media mengenai efikasi vaksin Covid-19 yang diuji coba di sejumlah negara. Efikasi vaksin adalah kemampuan vaksin untuk memberikan manfaat bagi individu yang mendapatkan vaksinasi.
    Dikutip dari Aljazeera, hasil terbaru dari uji coba vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca dan University of Oxford menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan sekitar 70 persen efektif, walaupun tetap muncul pertanyaan tentang seberapa baik vaksin itu dapat membantu melindungi mereka yang berusia di atas 55 tahun.
    Vaksin lainnya, vaksin Pfizer, menunjukkan kemanjuran 95 persen dalam mencegah infeksi Covid-19 yang bergejala, diukur sejak tujuh hari setelah dosis kedua diberikan. Vaksin terlihat kurang lebih sama protektifnya di seluruh kelompok usia serta kelompok ras dan etnis.
    Untuk vaksin Moderna, dilansir dari Stat News, diklaim 94,1 persen efektif mencegah gejala Covid-19, diukur sejak 14 hari setelah dosis kedua diberikan. Kemanjuran vaksin kemungkinan sedikit lebih rendah pada orang berusia 65 tahun ke atas. Namun, saat presentasi di depan komite penasihat Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), perusahaan menjelaskan bahwa angka tersebut dapat dipengaruhi oleh fakta bahwa muncul beberapa kasus pada kelompok usia tersebut dalam uji coba. Di sisi lain, vaksin ini kemungkinan sama efektifnya di berbagai kelompok etnis dan ras.
    Sementara vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac, dikutip dari Straits Times, ditemukan lebih dari 50 persen efektif dalam uji klinis Brasil, meskipun para peneliti menunda merilis lebih banyak informasi terkait itu atas permintaan perusahaan. Tingkat kemanjuran 50 persen adalah standar minimum yang ditetapkan oleh regulator AS untuk otorisasi darurat vaksin Covid.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa WHO membandingkan efektivitas 10 vaksin Covid-19 dan menyebut vaksin Sinovac yang terendah, keliru. Informasi itu disebut berasal dari Aljazeera. Namun, berdasarkan penelusuran, Aljazeera tidak pernah mempublikasikan berita yang mengutip perbandingan efektifitas 10 vaksin Covid-19 oleh WHO.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8435) Sesat, Klaim Ini Video Eksekusi Mati Para Koruptor di Cina

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/12/2020

    Berita


    Sebuah video yang diklaim sebagai video eksekusi mati para koruptor di Cina beredar di media sosial. Video tersebut memperlihatkan sejumlah orang yang sedang digiring oleh polisi berseragam hitam dari dalam sebuah bangunan ke lokasi eksekusi di sebuah halaman. Selanjutnya, setelah terdengar suara aba-aba, para polisi menembak orang-orang itu.
    Dalam video ini, terdapat pula tulisan yang berbunyi: "Ini lah para koruptor2 di CINA. Tembak MATI koruptor di CINA. Kapan indonesia juga begini. Semua koruptor tembak mati. Agar ada efek jera pd yg lain. Koruptor harus di bunuh. Jangan di hukum. KORUPTOR TEMBAK MATI. INDONESIA KAPAN? Korupror makan uang rakyat. KORUPTOR GAK PUNYA MALU."
    Di Facebook, video berdurasi 1 menit 12 detik tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Rudi Hartono, tepatnya pada 27 Desember 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari 300 reaksi dan 90 komentar serta dibagikan sebanyak 379 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Rudi Hartono yang memuat video dengan narasi yang keliru.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video di atas menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri dengan reverse image tool Source, Yandex, dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa orang-orang yang dieksekusi mati dalam video tersebut bukanlah terpidana korupsi.
    Video yang identik dengan durasi yang lebih panjang dan kualitas gambar yang lebih baik pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Malaikat Maut pada 12 Mei 2020. Video itu diberi judul dalam bahasa Cina dan Inggris yang jika diterjemahkan berarti "Tempat eksekusi Cina Hukuman mati dan eksekusi penembakan Cina pada 2005".
    Video tersebut juga pernah diunggah oleh kanal Hello Telegram pada 12 Juni 2020 dengan judul berbahasa Inggris dan Cina yang jika diterjemahkan berarti “Di dalam arena tembak Cina (bocor 2005) | hukuman mati di CN | Cina 2005 Sebuah film dokumenter tentang terpidana mati yang direkam pada 2005 baru-baru ini beredar”.
    Gambar tangkapan layar salah satu cuplikan dalam video itu pun pernah dimuat oleh situs media Jepang, Tocana, pada 18 Juni 2020. Menurut situs ini, video tersebut diambil di Cina pada 2005. Video ini merupakan film dokumenter tentang seorang perempuan yang membunuh suaminya, yang dijatuhi hukuman mati dengan ditembak.
    Berita tentang video ini juga pernah dimuat oleh situs media Taiwan, Liberty Times, pada 12 Juni 2020. Menurut laporan Liberty Times, video itu memperlihatkan perempuan Cina yang merupakan seorang terpidana mati yang menerima wawancara eksklusif sebelum dieksekusi. Dia dijatuhi hukuman mati oleh hakim karena membunuh suaminya.
    Setelah berbicara ke kamera, perempuan itu dibawa petugas untuk mengkonfirmasi kejahatannya dan memeriksa apakah hukumannya telah sesuai dengan prosedur hukum Cina. Setelah memastikan bahwa itu benar, dia menandatangani dokumen, dan petugas membawa perempuan tersebut untuk diikat bersama narapidana mati lainnya.
    Namun, di depan kamera, perempuan itu meyakini bahwa dia tidak bisa dieksekusi karena kejahatannya. "Tapi saya telah mencapai titik ini. Apa gunanya mengatakan sesuatu?" ujarnya. Ia juga mengaku tidak menyesali perbuatannya. "Ingin mendengar kebenaran? Cina bukanlah negara yang diatur oleh hukum, tapi negara yang diatur oleh manusia!"
    Hukuman bagi koruptor di Cina
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 13 Desember 2019, terdapat beberapa negara yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor atau kasus penyuapan lain. Dilansir dari Rappler, yang mengutip laporan Death Penalty Database of the Cornell Center on Death Penalty Worldwide, beberapa negara yang menerapkan hukuman tersebut adalah Cina, Korea Utara, Irak, Iran, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar, Maroko, dan Indonesia.
    Cina masuk dalam daftar tiga negara teratas yang telah melakukan eksekusi pada 2015, bersama Iran dan Pakistan. Namun, eksekusi itu dianggap sangat rahasia, sehingga sulit untuk menghitung jumlahnya. Tahanan dilaporkan tidak akan menunggu lama untuk menjalani hukuman mati, dieksekusi segera atau diberi waktu dua tahun penjara sebelum dieksekusi.
    Pemerintah Cina mengeksekusi mereka karena tindakannya merupakan kejahatan ekonomi dan politik. Pada 2011, Cina menjatuhkan hukuman mati kepada Xu Maiyong, mantan Wakil Wali Kota Hangzhou, dan Jiang Renjie, mantan Wakil Wali Kota Suzhou. Para pejabat itu dinyatakan bersalah melakukan suap sebesar US$ 50 juta atau Rp 700 miliar.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video eksekusi mati para koruptor di Cina, menyesatkan. Video tersebut merupakan video yang menyorot seorang perempuan Cina yang menjadi terpidana mati karena membunuh suaminya. Ia dieksekusi mati bersama tujuh narapidana lainnya.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan