• (GFD-2020-8045) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Minum Teh Panas yang Dicampur Perasan Lemon Bisa Bunuh Corona?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/04/2020

    Berita


    Pesan berantai dengan narasi bahwa minum teh panas yang yang dicampur dengan perasan lemon dapat membunuh virus Corona Covid-19 beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Menurut pesan berantai tersebut, informasi itu berasal dari Palestina.
    Berikut narasi lengkap pesan berantai tersebut:
    "KABAR ISTIMEWAPalestina Covid-19 tidak ada yang matiBerita Super...Obat virus Covid-19 tercapai
    Informasi dari Negara Islam Palestina... Virus Covid-19 tidak menyebabkan kematian.
    Ternyata resepnya sangat sederhana tapi sangat ampuh.1. Lemon2. Teh
    Minumlah teh panas setelah dicampur dengan perasan lemon.
    Dapat segera membunuh virus covid-19 dan dapat sepenuhnya menghilangkan virus dari tubuh."
    Gambar tangkapan layar pesan berantai mengenai teh panas dan lemon yang beredar di WhatsApp.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Klaim bahwa teh panas serta lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19 pernah menyebar sebelumnya dalam dua pesan berantai yang berbeda. Pada akhir Maret 2020, beredar pesan berantai yang menyarankan pasien Covid-19 untuk minum teh panas. Sementara pesan berantai yang mengklaim makanan alkali, termasuk lemon, dapat membunuh virus Corona beredar pada awal April 2020.
    Tim CekFakta Tempo telah memeriksa dua klaim itu. Terkait teh panas, informasi tersebut berasal dari para peneliti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Zhejiang, Cina. Dalam sebuah percobaan dengan sel yang dikultur secara in vitro, mereka menemukan bahwa teh, yang kaya polifenol, bekerja dengan baik dalam membunuh virus Corona secara ekstraseluler dan menekan proliferasi intraselulernya.
    Namun, hal itu telah dibantah oleh seorang ahli imunologi yang diwawancara oleh China Daily. Menurut dia, virus Corona menginfeksi sel epitel alveolar di paru-paru. Sementara teh yang diminum tidak akan mencapai paru-paru. Bahkan, jika percobaan in vitro menunjukkan bahwa teh dapat membunuh virus Corona, tidak berarti bahwa minum teh bisa menghasilkan efek yang sama.
    Menurut ahli tersebut, setelah tes in vitro pun, uji coba pada hewan harus dilakukan, kemudian dipertimbangkan untuk uji klinis pada manusia. Hasil tes in vitro tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa minum teh dapat membantu mencegah penularan Covid-19.
    Saat ini, artikel yang dipublikasikan lewat akun WeChat CDC Zhejiang tersebut sudah dihapus. Staf CDC Zhejiang mengatakan temuan dari penelitian terbaru akan dipublikasikan melalui WeChat setelah prosedur-prosedur yang diperlukan diselesaikan.
    Sementara terkait lemon, narasi yang beredar ketika itu menyatakan virus Corona memiliki derajat keasaman (pH) 5,5-8,5. Dengan derajat keasaman tersebut, virus Corona bisa dibunuh dengan konsumsi makanan alkali, termasuk lemon, yang mengandung pH lebih tinggi ketimbang pH virus.
    Sebagai informasi, semakin rendah pH, suatu unsur akan semakin bersifat asam. Adapun makanan alkali adalah makanan yang mengandung pH basa atau pH di atas 7 (pH yang dianggap netral). Lemon memiliki pH sekitar 2, bukan 9,9 seperti yang disebut dalam pesan berantai itu.
    Menurut Euronews, mengkonsumsi makanan tertentu yang memiliki pH di bawah ataupun di atas 7 tidak akan mengubah derajat keasaman dalam tubuh. Pasalnya, tubuh telah mengatur derajat keasamannya dalam kisaran yang sangat sempit, terbatas pada pH 7,37-7,43, agar sel-sel tetap berfungsi.
    Ahli virus Shaheed Jameel pun mengatakan virus tidak memiliki derajat keasaman. Karena itu, pernyataan yang mengaitkan makanan yang diklaim memiliki pH tinggi dengan virus Corona tidak berdasar. "Tidak ada organisme hidup yang memiliki nilai pH," kata Shaheed.
    Sementara Oyewale Tomori, profesor virologi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa klaim tentang pH pada virus Corona keliru. "Virus Corona tidak ada hubungannya dengan perut. Jadi, bagaimana 'makanan alkali' mengalahkan virus? Klaim ini harus diabaikan," ujarnya.
    Menurut laporan organisasi cek fakta FactCheck, klaim "campuran teh dan lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19" juga pernah menyebar di Amerika Serikat pada awal April 2020. Pesan berantai yang beredar di sana identik dengan yang menyebar di Indonesia. Bedanya, negara yang disebut dalam pesan itu adalah Israel, bukan Palestina.
    FactCheck pun menyatakan bahwa klaim "campuran teh dan lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19" tidak berdasar. Menurut WHO, hingga saat ini, belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Sementara itu, dokter penyakit menular Krutika Kuppalli mengatakan, "Tidak ada data yang menunjukkan bahwa lemon atau teh panas akan membunuh virus."
    Menurut direktur medis Monarch Athletic Club, Ryan M. Greene, manfaat lemon yang dicampurkan pada air hangat lebih kepada menguatkan sistem imun atau kekebalan tubuh. "Serat buah lemon yang disebut pectin membantu memberi makan bakteri microbiome yang bermanfaat memperkuat sistem kekebalan tubuh," kata Greene pada 25 Maret 2020.
    Green menambahkan bahwa pectin juga bisa meningkatkan produksi enzim pencernaan, meningkatkan fungsi usus secara teratur, dan membantu menghilangkan racun dalam tubuh. Selain itu, vitamin C yang terkandung dalam lemon bisa mengurangi durasi dan tingkat keparahan infeksi saluran pernapasan atas.
    Tidak ada warga Palestina yang meninggal karena Covid-19?
    Menurut data Worldometers per 15 April 2020, warga Palestina yang meninggal akibat terinfeksi virus Corona Covid-19 berjumlah dua orang. Adapun total kasus Covid-19 di Palestina mencapai 308 kasus di mana 62 kasus di antaranya telah dinyatakan sembuh.
    Adapun per 11 April 2020, dilansir dari Bisnis.com, juru bicara pemerintah Palestina Ibrahim Milhem mengatakan bahwa total kasus Covid-19 di Palestina mencapai 268 kasus. Sebanyak 1.750 orang juga sedang berada di pusat karantina milik negara. Adapun lebih dari 12 ribu orang menjalani karantina mandiri di rumah.
    Selain itu, sejak Covid-19 merebak, dua warga Palestina meninggal akibat penyakit tersebut. Kasus pertama adalah seorang perempuan berusia 60 tahun dan kasus kedua adalah seorang pria berusia sekitar 40 tahun. Keduanya memiliki riwayat penyakit kronis sebelum tertular virus Corona Covid-19.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa teh panas yang dicampur dengan perasan lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19 keliru. Hingga kini, menurut WHO, belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa lemon atau teh panas akan membunuh virus. Manfaat lemon yang dicampurkan pada air hangat lebih kepada menguatkan sistem imun atau kekebalan tubuh.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8044) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Jogging dan Bersepeda Rawan Tularkan Corona Bahkan pada Jarak 10-20 Meter?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/04/2020

    Berita


    Narasi bahwa seseorang yang melakukan olahraga lari atau jogging serta bersepeda rawan tertular dan menularkan virus Corona Covid-19 bahkan pada jarak 10-20 meter viral di media sosial. Informasi ini diklaim berasal dari para peneliti asal Belgia dan Belanda.
    Di Facebook, narasi tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Rohadi Abu Faiz, yakni pada 10 April 2020. Akun ini menulis sebagai berikut:
    "Bagi yg tetap ngotot jogging dan sepedaanTernyata anda rawan tertular dan rawan menularkan COVID-19 bahkan pada jarak 20 meter sekalipun.
    Lho bukannya jarak aman 1 meter social distancing..?Tidak berlaku.Itu untuk bila sama sama diam.Ketika bergerak apalagi semakin cepat.. maka daya kibas angin akan menerbangkan luas virus ke mana.Jadi kalau ada yg bersepeda melintas di depan anda.. maka bisa jadi ada virus yg ikut terkibas anginnya ke anda.
    Ini hasil studinyahttps://medium.com/@jurgenthoelen/belgian-dutch-study-why-in-times-of-covid-19-you-can-not-walk-run-bike-close-to-each-other-a5df19c77d08
    Kenapa bersepeda dan lari di luar rumah menjadi tetap berbahaya... karena akan menjadikan COVID-19 aerosol terkena kibasan angin gerakan kecepatan itu."
    Akun Rohadi Abu Faiz juga membagikan beberapa gambar tangkapan layar dari laporan studi yang dilakukan oleh peneliti Belgia dan Belanda itu, yakni Bert Blocken, Fabio Malisia, Thijs van Druenen, dan Thierry Marchal. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 1.700 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rohadi Abu Faiz.
    Adapun tautan yang dibagikan oleh akun Rohadi Abu Faiz berisi artikel yang diunggah oleh akun Jurgen Thoelen di Medium, yang dalam profilnya mengklaim sebagai pengusaha, mengenai studi Bert Blocken dkk. Dalam artikel itu, dicantumkan pula tautan ke laporan studi Bert Blocken dkk.
    Dalam laporan yang disebut white paper ini, disebutkan bahwa studi itu menyelidiki apakah jarak fisik sejauh 1,5 meter cukup aman diterapkan ketika berjalan, berlari, atau bersepeda. Penelitian ini pun menemukan bahwa jarak aman sejauh 1,5 meter hanya berlaku dalam kondisi diam. Saat berjalan, berlari, atau bersepeda, slipstream atau pergerakan udara membuat droplet terbang lebih jauh. Karena itu, penelitian ini menganjurkan untuk berjalan, berlari, atau bersepeda secara bersebelahan atau membentuk formasi diagonal, tidak membentuk formasi depan-belakang.
    Studi ini juga menyatakan, tanpa adanya angin, jarak fisik sejauh 1,5 meter hanya aman bagi dua orang yang berjalan, berlari, atau bersepeda secara bersebelahan. Sementara itu, jarak aman antara satu orang dengan orang lainnya yang membentuk formasi depan-belakang ketika berjalan dengan kecepatan 4 km per jam adalah sekitar 5 meter, ketika berlari dengan kecepatan 14,4 km per jam adalah sekitar 10 meter, dan ketika bersepeda dengan kecepatan 30 km per jam adalah sekitar 20 meter.
    Apa benar orang yang jogging serta bersepeda rawan tertular dan menularkan virus Corona Covid-19 bahkan pada jarak 10-20 meter?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan pemeriksaan terhadap white paper tersebut oleh Tim CekFakta, tertulis bahwa studi itu masih berstatus "preprint". Preprint merupakan dokumen ilmiah yang dipublikasikan sebelum menjalani peer-review. Peer-review adalah sebuah proses pemeriksaan oleh para pakar lain yang memiliki keahlian di bidang penelitian yang diperiksa. Peer-review bertujuan untuk membuat sebuah penelitian memenuhi standar disiplin ilmiah dan keilmuan.
    Dalam sebuah tulisan yang berbentuk tanya-jawab yang diunggah oleh Blocken di akun Twitter -nya, ia mengakui bahwa studinya tersebut memang belum menjalani peer-review. Menurut Blocken, kita tengah menghadapi situasi yang luar biasa. Karena itu, studi ini penting dipublikasikan untuk membantu mengurangi risiko penyebaran Covid-19. "Prioritasnya adalah kesehatan masyarakat," katanya.
    Meskipun begitu, dilansir dari Vice, ratusan ilmuwan lain telah berhasil menerbitkan penelitian tentang virus Corona Covid-19 yang telah menjalani peer-review dalam beberapa pekan terakhir. "Perlindungan atas publikasi ilmiah diberlakukan karena suatu alasan, dan kita telah melihat selama pandemi ini bahwa proses yang terburu-buru memicu terbitnya publikasi ilmiah yang tidak akurat," demikian laporan yang ditulis oleh Vice.
    Kepada Vice, ahli epidemiologi dari Pusat Dinamika Penyakit Menular Harvard, William Hanage, mengatakan bahwa viralnya penelitian Blocken itu berbahaya. Hingga kini, para ilmuwan belum bisa memastikan seberapa jauh virus Corona Covid-19 dapat menyebar lewat udara. Beberapa ahli juga berspekulasi bahwa risiko penularan Covid-19 di luar ruangan kemungkinan lebih kecil.
    Selain itu, droplet memang membawa virus. Tapi tidak berarti bahwa siapa pun yang terpapar droplet dari napas seseorang akan terinfeksi. Transmisi Covid-19 tergantung pada sejumlah faktor. Para ilmuwan meyakini salah satu faktor yang penting adalah "viral load", yakni ukuran dari seberapa banyak virus yang terdapat dalam tubuh seseorang.
    Menurut ahli epidemiologi Dicky Budiman saat dihubungi Tim CekFakta Tempo pada 14 April 2020, hingga kini, belum ditemukan bukti adanya penularan Covid-19 melalui jogging atau bersepeda. Riset yang dilakukan oleh Blocken pun masih dalam tahap awal. Artinya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
    Selain itu, riset yang dilakukan oleh Blocken tersebut menyalahi etika. Pasalnya, penelitian itu tidak disampaikan melalui jurnal. "Tapi melalui media sosial sehingga dapat diterima berbeda oleh masyarakat. Riset ini belum dipublikasikan di jurnal dan belum melalui mekanisme peer-review," kata Dicky.
    Riset serupa, menurut Dicky, memang pernah dilakukan, yakni di ruang tertutup seperti perpustakaan dan pusat perbelanjaan. Namun, dalam menyikapi potensi penularan Covid-19, baik di ruang terbuka maupun di ruang tertutup, prinsip utamanya adalah penyakit ini ditularkan melalui droplet, dan potensi lainnya aerosol. "Faktor lingkungan juga tentu berpengaruh."
    Saat ini, kata Dicky, para peneliti masih melakukan riset mengenai sejauh mana kemungkinan penularan Covid-19 secara aerosol. Namun, para ahli epidemiologi berpandangan bahwa sejauh ini aktivitas di ruang terbuka yang tidak ramai atau tidak dipadati banyak orang masih aman.
    Menurut Dicky, agar tetap hidup, virus harus senantiasa berada di dalam cairan tubuh penderita, baik ingus, bersin, ataupun batuk. Artinya, ketika keluar dari tubuh penderita, cairan itu akan terpengaruh oleh gravitasi. "Jadi, tidak beterbangan ke sana-sini," tuturnya.
    Dicky juga mengatakan bahwa terinfeksinya seseorang oleh Covid-19 dipengaruhi banyak faktor. Pertama, viral load atau jumlah virus yang menyerang. Kedua, imunitas tubuh atau bagaimana tubuh merespon serangan virus. "Jadi, melihat faktor ini, rasanya jauh kemungkinan teori Blocken terpenuhi," katanya.
    Meskipun begitu, Dicky mengingatkan bahwa, ketika berolahraga, masyarakat harus tetap memberlakukan jaga jarak fisik. "Kalau mau olahraga, boleh saja. Asal sendiri atau di lokasi yang memungkinkan jarak antar orang sangat longgar. Makin jauh tentu makin bagus. Pakai masker kain dan jauhi keramaian," ujar kandidat doktor di Universitas Griffith Australia tersebut.
    Dikutip dari The Guardian, peneliti senior kesehatan global di Universitas Southampton, Michael Head, mengatakan bahwa seseorang yang jogging tetap harus menjaga jarak meskipun risiko penularan virus kecil. "Tetap ada risiko di sana, tapi risikonya akan sangat kecil," kata Head pada 23 Maret 2020.
    Menurut Head, ketika seseorang berlari, memang ada saat di mana dia berada di belakang orang lain, lalu melewati orang tersebut. Namun, jangka waktu untuk berada di dekat orang lain itu akan minimal. "Jika Anda berlari dan melewati seseorang dalam beberapa detik, di ruang terbuka pula, risiko penularan ketika itu kecil," tuturnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa orang yang jogging serta bersepeda rawan tertular dan menularkan virus Corona Covid-19 bahkan pada jarak 20 meter belum terbukti kebenarannya. Hingga artikel ini dimuat, studi yang memuat klaim itu belum melalui peer-review sehingga belum memenuhi standar disiplin ilmiah dan keilmuan.
    Saat ini, para ilmuwan belum bisa memastikan seberapa jauh penyebaran virus Corona Covid-19 lewat udara. Para peneliti pun masih melakukan riset mengenai sejauh mana kemungkinan penularan Covid-19 secara aerosol. Selain itu, banyak faktor yang mempengaruhi terinfeksinya seseorang oleh Covid-19, seperti viral load, imunitas tubuh, dan sebagainya.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8043) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Muslim Amerika yang Salat Hingga ke Jalan di Tengah Pandemi Corona?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/04/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan ribuan orang sedang menunaikan salat berjamaah di jalan raya viral di media sosial. Video itu diklaim sebagai video muslim Amerika Serikat yang berbondong-bondong salat berjamaah hingga ke jalan di tengah pandemi Corona Covid-19.
    Dalam video berdurasi 45 detik ini, terlihat pula seorang jamaah yang mengibarkan bendera Amerika Serikat serta bendera Yaman. Di Facebook, video ini dibagikan salah satunya oleh akun Hafiz Okta Sanjaya, yakni 10 April 2020. Akun ini menuliskan narasi sebagai berikut:
    "Situasi dan Kondisi (Sikon) Tadi Malem di Amerika Serikat... Saat Tiba Masuk Sholat Magrib Masyarakat Kaum Muslim berbondong bondong Menunaikan Sholat berjama"ah di Mesjid sampai Tumpah Ruah di Jalan Raya. Sehubungan dengan Adanya Covid 19, Pemerintah Setempat Memberi Kesempatan Ummat Islam beribadah Secara Terbuka & di boleh kan Suara Volume Mesdjid di besar kan. Tumben... Sebelum Covid 19 datang di Amerika, Suara Volume Mesjid tidak di bolehkan Keluar."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah direspons lebih dari 2.900 kali, dikomentari lebih dari 1.200 kali, dibagikan lebih dari 2.500 kali, dan ditonton lebih dari 39 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hafiz Okta Sanjaya.
    Apa benar video di atas merupakan video muslim Amerika yang salat berjamaah hingga ke jalan di tengah pandemi Corona?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo dengan memasukkan kata kunci "muslim pray on New York street" di mesin pencari Google, ditemukan video yang sama yang pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Quran Videos pada 5 Februari 2017 dengan judul "Muslim praying in New York streets".
    Video serupa juga pernah diunggah oleh situs CNN pada 3 Februari 2017 dengan judul "Bodega owners protest immigration order". Video tersebut diberi keterangan:
    "Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang perjalanan dari tujuh negara mayoritas muslim, termasuk Yaman, ke Amerika. Sebagai respons atas kebijakan itu, sekitar 1.000 pemilik bodega (convenience store) asal Yaman di New York melakukan mogok kerja untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada orang-orang yang terkena dampak dan membuktikan pentingnya mereka bagi masyarakat."
    Selain menelusuri dengan mesin pencari, dengantoolInVID, Tempo melakukan fragmentasi terhadap video itu menjadi beberapa gambar. Gambar-gambar itu kemudian ditelusuri denganreverse image toolTinEye.
    Hasilnya, gambar yang identik pernah dimuat dalam sebuah artikel di situs berbahasa Arab yang berbasis di Palestina, Alwatanvoice.com, pada 9 Februari 2017. Artikel itu berjudul "Muslim berdoa di jalan-jalan Amerika untuk menanggapi keputusan Trump".
    Tempo pun menelusuri pemberitaan mengenai peristiwa itu di media-media kredibel. Hasilnya, ditemukan bahwa berita soal unjuk rasa yang berlangsung di New York tersebut pernah dimuat oleh The New Yorker pada 4 Februari 2017 dengan judul "The Bodega Strike Against Trump's Executive Order on Immigration".
    Terdapat pula foto aksi protes itu dengan latar belakang gedung yang sama dengan yang terlihat dalam video unggahan akun Hafiz Okta Sanjaya. Foto tersebut diberi keterangan, "Ribuan warga Yaman-Amerika melakukan doa malam sebagai bagian dari protes di Brooklyn (sebuah wilayah di New York) terhadap larangan perjalanan anti-Muslim Donald Trump." Foto ini diabadikan oleh fotografer Anadolu Agency, Mohammed Elshamy.
    Gambar tangkapan layar berita di The New Yorker pada 4 Februari 2017 mengenai unjuk rasa warga Amerika Serikat keturunan Yaman terkait kebijakan Presiden Donald Trump soal imigrasi.
    Pemberitaan mengenai unjuk rasa tersebut juga pernah dimuat oleh situs dalam negeri. Dilansir dari Detik.com, ratusan warga keturunan Yaman di New York turun ke jalan dan memenuhi bagian luar Brooklyn Borough Hall untuk memprotes kebijakan imigrasi Presiden Amerika Donald Trump. Aksi protes itu diwarnai dengan salat berjamaah di tengah kota New York.
    Seperti dikutip dari Reuters dan AFP pada 3 Februari 2017, sebagian besar toko kelontong dan restoran milik warga Amerika-Yaman di New York juga tutup pada 2 Februari waktu setempat sebagai bentuk protes atas kebijakan Trump yang kontroversial. Kebijakan itu melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim, termasuk Yaman, masuk ke Amerika setidaknya selama 90 hari ke depan.
    Warga yang berunjuk rasa melambaikan bendera Amerika dan Yaman sambil meneriakkan "bersatu kita bangkit melawan larangan muslim" dan "USA". Mereka juga membawa poster bertuliskan "Muslim Lives Matter" dan "kebencian tidak akan membuat kita hebat", serta "Tuan Trump, dari mana asal istri Anda?" merujuk pada Ibu Negara Melania yang lahir di Slovenia.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi bahwa video di atas merupakan video muslim Amerika yang salat berjamaah hingga ke jalan di tengah pandemi Covid-19, menyesatkan. Peristiwa dalam video tersebut terjadi pada Februari 2017, jauh sebelum munculnya virus Corona Covid-19 pada Desember 2019. Ketika itu, terjadi protes dari warga Amerika keturunan Yaman terkait kebijakan Presiden Donald Trump yang melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim, termasuk Yaman, masuk ke Amerika.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8042) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Penangkapan Para Lansia di Italia yang Berkeliaran Saat Pandemi Corona?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 14/04/2020

    Berita


    Akun Facebook Norman Sophan membagikan sebuah video yang memperlihatkan penangkapan sejumlah pria lansia oleh polisi pada 3 April 2020. Para pria lansia dalam video itu diklaim sebagai warga Italia berusia di atas 60 tahun yang berkeliaran di jalan.
    Video ini dibagikan di tengah pandemi Covid-19 yang juga menimpa Italia. Menurut data Worldometers per 14 April 2020, Italia menempati posisi ketiga dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat dan Spanyol, yakni sebesar 159.156 kasus di mana 20.465 orang di antaranya meninggal.
    Dalam video berdurasi 4 menit 52 detik itu, terlihat petugas kepolisian dengan seragam berwarna hitam yang sedang menangkap sejumlah pria dengan rambut yang sudah beruban. Setelah ditangkap, para pria lansia itu dibawa ke mobil patroli.
    Akun Norman Sophan pun menulis narasi terhadap video itu, "Italia panik... Usia di atas 60 tahun dilarang berkeliaran di jalan-jalan." Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 23 ribu kali dari dibagikan lebih dari 1.900 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Norman Sophan.
    Apa benar penangkapan para pria lansia dalam video di atas terjadi di Italia sebagai bagian dari penanganan Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim dalam unggahan akun Norman Sophan di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula mengidentifikasi sejumlah nama tempat yang terlihat dalam video tersebut, di antaranya Azercell, Baku Mobile, dan Mobi Center.
    Dengan mengeceknya di mesin pencarian Google, diketahui bahwa Azercell dan Baku Mobile adalah perusahaan operator seluler yang berbasis di Baku, Azerbaijan. Sementara Mobi Center adalah toko aksesoris ponsel yang juga berada di Baku.
    Logo Azercell, Baku Mobile, dan Mobi Center yang terlihat dalam video unggahan akun Facebook Norman Sophan.
    Selain itu, Toplum TV yang logonya tercantum di pojok kiri atas video tersebut juga merupakan perusahaan media yang berpusat di Baku, Azerbaijan. Dengan demikian, video ini bukan diambil di Italia, melainkan di Baku, ibukota Azerbaijan.
    Republik Azerbaijan adalah sebuah negara yang berada di wilayah Kaukasus di persimpangan Eropa dan Asia Barat Daya. Negara ini berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, Georgia dan Armenia di sebelah barat, dan Iran di selatan.
    Penangkapan Demonstran
    Dengan memasukkan kata kunci "penangkapan oleh polisi di Baku Azerbaijan", Tempo memperoleh beberapa video liputan dari sejumlah media tentang penangkapan demonstran oleh polisi di Baku, Azerbaijan, pada 19 Oktober 2019. Beberapa sudut dalam video itu sama dengan yang terlihat dalam video unggahan akun Norman Sophan.
    Video pertama adalah video milik Radio Free Europe. Cuplikan pada detik ke-14 video ini sama dengan cuplikan pada menit 2:22 video unggahan akun Norman Sophan.
    Video Radio Free Europe (kiri) dan video unggahan akun Facebook Norman Sophan (kanan).
    Kemudian, cuplikan pada detik ke-35 video itu sama dengan cuplikan pada menit 2:46 video unggahan akun Norman Sophan.
    Video Radio Free Europe (kiri) dan video unggahan akun Facebook Norman Sophan (kanan).
    Sementara video kedua adalah video yang diunggah oleh kanal YouTube Voice of America (VoA). Cuplikan pada bagian awal video yang diunggah VoA sama dengan cuplikan pada menit 1:53 video unggahan akun Norman Sophan.
    Video VoA (kiri) dan video unggahan akun Facebook Norman Sophan (kanan).
    Radio Free Europe memberikan penjelasan bahwa video itu merekam tindakan polisi yang menahan belasan demonstran di ibukota Azerbaijan, Baku, pada 19 Oktober 2019. Pemimpin Partai Front Rakyat, Ali Kerimli, termasuk salah satu yang ditahan. Para pengunjuk rasa menuntut pembebasan tahanan politik dan pengurangan tarif untuk gas alam dan listrik.
    Sebelumnya, terdapat sejumlah orang yang ditahan saat demonstrasi pada 8 Oktober di Baku dalam rangka mendukung hak untuk bebas berkumpul yang diselenggarakan oleh Dewan Nasional Pasukan Demokrat, sebuah kelompok payung pasukan oposisi Azerbaijan. Penjelasan yang sama juga ditulis oleh VoA yang mereka kutip dari Reuters.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi yang ditulis akun Norman Sophan, bahwa video itu adalah video penangkapan warga Italia berusia di atas 60 tahun yang berkeliaran di jalan saat pandemi virus Corona Covid-19, keliru. Video tersebut direkam di ibukota Azerbaijan, Baku, saat polisi menangkap para demonstran pada 19 Oktober 2019. Ketika itu, belum terjadi pandemi Covid-19 yang berawal di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan