• (GFD-2020-8049) [Fakta atau Hoaks] Benarkah FBI Gerebek Sinagoge Yahudi di New York yang Timbun Masker N95?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/04/2020

    Berita


    Video yang diklaim sebagai video penggerebekan sebuah sinagoge atau rumah ibadah kaum Yahudi di New York, Amerika Serikat, beredar di media sosial. Menurut narasi yang menyertai video itu, sinagoge tersebut digerebek oleh Biro Investigasi AS atau FBI karena dipakai untuk menimbun ribuan masker N95.
    Video itu diunggah oleh akun Facebook Ayesha Rahman pada 7 April 2020. Akun ini menulis narasi, "FBI menggrebek sinagoge (tempat ibadah) Yahudi di New York, tempat orang Yahudi menyembunyikan ribuan Masker yang diperlukan sangat di rumah sakit, semuanya masker jenis N95. Ini adalah moral mereka yang dikenal sejak zaman kuno."
    Hingga artikel ini dimuat, video berdurasi 2 menit 42 detik yang diunggah oleh akun Ayesha Rahman tersebut telah ditonton lebih dari 4 ribu kali dan dibagikan lebih dari 300 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ayesha Rahman.
    Apa benar video di atas adalah video penggerebekan FBI terhadap sebuah sinagoge Yahudi di New York yang dipakai untuk menimbun ribuan masker N95?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim yang diunggah oleh akun Facebook Ayesha Rahman, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video itu menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Kemudian, gambar-gambar itu ditelusuri denganreverse image toolYandex.
    Hasilnya, video yang sama pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Euro News Amateur pada 1 April 2020. Video tersebut diberi keterangan "FBI agents return thousands of N95 masks stolen from the hospital(Agen FBI mengembalikan ribuan masker N95 yang dicuri dari rumah sakit)".
    Video serupa dari lokasi yang sama juga pernah diunggah oleh kanal YouTube milik media asing ABC News pada 2 April 2020 dengan judul "Authorities remove almost a million N95 masks and other supplies from alleged hoarder(Pihak berwenang menyita hampir satu juta masker N95 dan persediaan lainnya dari seseorang yang diduga penimbun)".
    Gambar tangkapan layar video unggahan kanal YouTube ABC News.
    Menurut ABC News, pihak berwenang menyita sekitar 192 ribu masker respirator N95, sekitar 600 ribu sarung tangan medis, 130 ribu masker bedah, masker prosedur, masker N100, pakaian bedah, handuk disinfektan, filter partikel, hand sanitizer, dan semprotan disinfektan setelah seorang pria asal Brooklyn, sebuah wilayah di New York, ditangkap atas dugaan penimbunan peralatan medis.
    Sebuah foto yang diambil di lokasi penggerebekan di Brooklyn itu juga pernah dimuat oleh situs media NY Daily News pada 30 Maret 2020. Foto itu diberi keterangan "FBI menggerebek rumah Baruch Feldheim". Menurut berita yang memuat foto itu, Feldheim, 43 tahun, adalah pria asal Brooklyn yang mengaku menderita infeksi virus Corona Covid-19 dan batuk di depan agen FBI yang menggerebek rumahnya.
    Feldheim juga berbohong kepada FBI tentang alat perlindungan diri (APD) yang dia timbun untuk menghasilkan uang. Karena itu, Feldheim didakwa telah menyerang pejabat federal dan membuat pernyataan palsu kepada penegak hukum. Menurut jaksa penuntut, Feldheim telah menimbun respirator N95, masker bedah, pakaian medis, dan alat disinfektan, lalu menjualnya ke para profesional perawatan kesehatan dengan harga yang tinggi.
    Penangkapan Feldheim bermula ketika seorang dokter di New Jersey menghubunginya melalui grup WhatsApp yang bernama "Virus2020!". Feldheim pun setuju untuk menjual sekitar 1.000 masker N95 dan berbagai peralatan lainnya kepada dokter itu dengan harga US$ 12 ribu, jauh lebih tinggi sekitar 700 persen dari harga normal.
    Kemudian, Feldheim menyuruh dokter itu mengambil pesanannya ke sebuah bengkel mobil di Irvington, New Jersey. Menurut dokter tersebut, bengkel tersebut dipenuhi dengan berbagai produk, seperti hand sanitizer, tisu basah, bahan kimia pembersih, dan perlengkapan bedah. Setelah itu, Feldheim memberi tahu dokter tersebut bahwa dia terpaksa memindahkan berbagai produk itu ke lokasi lain.
    Beberapa hari kemudian, Feldheim diduga menawarkan sejumlah pakaian bedah kepada seorang perawat, dan mengarahkan perawat itu ke kediamannya di Brooklyn. Pada 25 Maret 2020, Feldheim juga menerima kiriman dari Kanada yang berisi delapan palet masker bedah. Dua hari kemudian, FBI mendapati sebuah kardus kemasan masker N95 yang sudah kosong di luar rumah Feldheim. FBI juga melihat beberapa orang yang, ketika pergi dari rumah Feldheim, membawa kotas atau tas yang diduga berisi peralatan medis.
    Ketika FBI mendatangi rumahnya dan bertanya tentang peralatan medis itu, Feldheim mengaku bahwa ia menderita infeksi virus Corona Covid-19 dan batuk di depan para agen. Jaksa penuntut juga mengatakan bahwa Feldheim telah berbohong dan mengaku kepada FBI bahwa ia bekerja untuk perusahaan yang menjual APD.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video penggerebekan FBI terhadap sebuah sinagoge Yahudi di New York yang dipakai untuk menimbun ribuan masker N95, menyesatkan. Video itu memang memperlihatkan penggerebekan FBI terkait kasus penimbunan ribuan masker N95 serta perlengkapan medis lainnya. Namun, penggerebekan itu terjadi di rumah seorang pria asal Brooklyn, Baruch Feldheim, bukan di sinagoge atau tempat ibadah orang Yahudi.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8048) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Termometer Ini Dibuat oleh Cina dan Sudah Diatur untuk Bunuh Ulama?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/04/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan sebuah termometer yang diklaim dibuat oleh Cina dan sudah diatur untuk membunuh ulama beredar di media sosial. Video yang berasal dari YouTube itu berjudul "Waspadalah: Hati2 Alat Ini Sdh Di Setting Suhu 36-37°C Olh Komunis Cina Utk Mmbunuh Para Ulama2 Kita".
    Di Facebook, tautan video itu dibagikan salah satunya oleh akun Andre Tambhenk, yakni pada 9 April 2020. Adapun video itu berasal dari kanal Agung Mujahid yang diunggah pada 7 April. Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 135 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Andre Tambhenk.
    Dalam video yang berdurasi 39 detik itu, terdengar beberapa orang yang sedang mengobrol dengan bahasa asing. Mereka juga merekam sebuah termometer tembak yang hasil pengukuran suhunya hanya berada di angka 36-37 derajat Celcius.
    Setelah dibongkar, di dalam termometer itu tidak ditemukan sensor pendeteksi suhu bernama thermopile sebagaimana yang seharusnya terdapat dalam sebuah termometer tembak. Di bagian akhir video, terlihat kemasan termometer itu yang tercetak merek “Haeco”.
    Apa benar termometer dalam video itu dibuat oleh Cina dan sudah diatur untuk membunuh ulama?

    Hasil Cek Fakta


    Dengan tool InVID, Tim CekFakta Tempo memfragmentasi video yang berasal dari YouTube tersebut menjadi sejumlah gambar. Gambar-gambar itu kemudian ditelusuri dengan reverse image tool untuk menemukan sumber awal dari video tersebut.
    Dengan cara ini, diperoleh petunjuk bahwa video itu pernah dibagikan oleh halaman Facebook milik situs Thailand, Phuketandamannews, pada 4 April 2020. Dalam keterangannya, tertulis bahwa termometer tembak di video itu palsu. Saat dibongkar, termomer itu kosong. Hasil pengukuran suhunya pun tidak pernah melebihi angka 37 derajat Celcius.
    "Selama epidemi Covid-19, produk yang banyak diminati adalah pengukur demam. Tapi jarang yang mengetahui bahwa ada barang palsu yang dijual. Hati-hati!" demikian keterangan yang ditulis oleh Phuketandamannews dalam bahasa Thailand.
    Tempo pun menelusuri pemberitaan mengenai termometer palsu itu dan menemukan bahwa situs media yang berbasis di HongKong, HK 01, pernah memberitakan video termometer palsu yang sama dengan yang diunggah Phuketandamannews. Video itu disebut berasal dari unggahan seorang warganet asal Thailand pada 11 April 2020.
    Menurut HK 01, warganet dari Thailand bercerita bahwa mereka membeli termometer tembak di pasar. Namun, hasil pengukuran suhu termometer itu tidak pernah lebih dari 37 derajat Celcius. Mereka pun membongkar termometer tersebut dan menemukan bahwa bagian dalamnya kosong. Bahkan, setelah dibongkar, termometer itu masih bisa mengukur suhu seperti biasa.
    Ditemukannya termometer palsu itu pun dihubungkan dengan aksi polisi Thailand yang baru-baru ini membongkar sebuah gudang yang berisi sejumlah alat pelindung diri (APD) palsu yang diselundupkan dari Cina. Barang-barang yang diselundupkan itu antara lain masker, pakaian pelindung, dan termometer tembak.
    Menurut laporan situs Slovenia, Times.si, dilihat dari kemasannya, Heaco adalah perusahaan asal Ukraina yang memang menjual termometer tembak. Dalam kemasan yang terlihat di video, tertulis nomor seri termometer itu, yakni MDI-908. Namun, di sebuah toko online Ukraina, model terbaru yang dijual oleh Heaco adalah seri MDI-907. Produk Heaco yang tidak resmi dengan seri MDI-908 hanya dijumpai di toko-toko di Alibaba, marketplace terbesar di Cina.
    Tim CekFakta Tempo pun memverifikasi petunjuk yang ditemukan oleh Times.si itu. Berdasarkan penelusuran Tempo, Heaco adalah brand dari perusahaan yang bernama Heaco Medical Technology yang beralamat di Kiev, ibukota Ukraina. Di situs resminya, Heaco.ua, tidak ditemukan produk termometer tembak seri MDI-908. Perusahaan itu hanya memiliki dua seri termometer tembak, yakni MDI-901 dan MDI-907.

    Demikian pula saat Tempo melakukan pencarian di salah satu toko online produk kesehatan di Ukraina, Medtechnika, tidak ditemukan produk termometer tembak Heaco seri MDI-908. Produk yang mereka jual adalah Heaco MDI-907.

    Untuk memastikan hal tersebut, Tempo menghubungi Heaco Medical Technology lewat email. Mereka menegaskan bahwa termometer yang terlihat dalam video yang beredar itu bukan produk mereka. Produsen termometer palsu tersebut telah mencatut nama Heaco. "Itu termometer palsu. Kami tidak punya model 908, hanya 901 dan 907. Anda bisa melihatnya di situs kami. Seseorang telah mencatut nama perusahaan kami," demikian penjelasan dari Heaco Medical Technology.
    Dengan demikian, produk termometer tembak Heaco seri MDI-908 yang terlihat dalam video yang beredar itu memang bukan produk resmi dari eaco Medical Technology.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video termometer tembak palsu di atas merupakan hasil rekaman warganet asal Thailand. Namun, termometer yang diklaim bermerek Heaco dengan seri MDI-908 tersebut bukan produk asli perusahaan Heaco Medical Technology. Penjualan termomometer palsu di Thailand memang rawan terjadi di tengah pandemi virus Corona Covid-19. Polisi setempat pernah membongkar kasus penyelundupan alat-alat kesehatan palsu dari Cina.Namun, termometer palsu ini tidak ada kaitannya dengan pembunuhan ulama. Dengan demikian, narasi bahwa termometer itu dibuat oleh Cina dan sudah diatur untuk membunuh ulama adalah narasi yang keliru.
    IKA NINGTYAS
    Catatan Redaksi: Artikel ini diubah pada 17 April 2020 pukul 10.30 pada bagian pemeriksaan fakta untuk menambahkan penjelasan dari Heaco Medical Technology. Redaksi mohon maaf.
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8047) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Didatangkannya Alat Tes Corona Asal Cina Bagian dari Rencana Pembunuhan Massal Ulama Jawa Barat?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/04/2020

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah unggahan yang berisi tautan artikel dari situs Uzonews.com yang berjudul "Menteri Australia: Alat Tes Corona Asal China Berbahaya" beredar di media sosial. Gambar itu diberi narasi bahwa didatangkannya 40 ribu alat tes virus Corona Covid-19 oleh pemerintah merupakan bagian dari rencana pembunuhan massal.
    Gambar tangkapan layar tersebut dibagikan oleh akun Facebook Ali Imron Imron pada 13 April 2020. Akun ini menulis, "Hati2 org jawa barat n sekitarxa. Ada 5000 ulama d jawa bara mao d tes covid19.pki itu kejii." Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah dibagikan lebih dari 1.100 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ali Imron Imron.
    Adapun artikel berjudul "Menteri Australia: Alat Tes Corona Asal China Berbahaya" di situs Uzonews.com tersebut dimuat pada 9 April 2020. Menteri Australia yang dimaksud dalam artikel itu adalah Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton.
    Menurut Dutton dalam artikel itu, pasukan perbatasan Australia telah menyita sekitar 300 unit alat pengujian Corona asal Tiongkok dan Hong Kong. "Ini termasuk 200 unit yang datang lewat kargo udara ke Kota Perth, Australia Barat, pada Maret," kata Dutton.
    Apa benar didatangkannya alat tes Corona dari Cina adalah bagian dari rencana pembunuhan massal ulama di Jawa Barat?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, sebanyak 40 ribu alat rapid test Corona memang akan didatangkan ke Indonesia. Namun, pihak yang mendatangkan alat tersebut adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan pemerintah. Menurut arsip berita Tempo pada 21 Maret 2020, alat-alat itu didatangkan dari Wuhan, Cina.
    Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan pembelian alat rapid test itu menggunakan dana patungan dari para anggota DPR, bukan dana dari pemerintah ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alat rapid test itu bakal digunakan untuk menguji anggota DPR dan keluarganya sebagai antisipasi karena banyak anggota DPR yang bepergian ke daerah.
    Menurut Dasco, anggota DPR membeli alat rapid test dalam jumlah besar karena ada jumlah minimal pembelian. "Pembelian itu ada jumlah minimalnya dan jumlah minimal itu melebihi daripada kebutuhan anggota DPR beserta keluarganya." Karena itu, alat rapid test tersebut juga akan disumbangkan ke rumah sakit-rumah sakit dan pemerintah daerah yang membutuhkan.
    Terkait klaim bahwa 5 ribu ulama di Jawa Barat akan dites Covid-19, terdapat alasan yang mendasar mengapa Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberlakukan kebijakan itu. Dilansir dari Kompas.com, pada 4 April 2020, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengatakan bahwa saat ini virus Corona menular melalui klaster-klaster baru.
    Beberapa di antaranya adalah klaster acara di Sukabumi di mana terdapat 300 calon perwira yang dinyatakan positif Covid-19 melalui rapid test serta klaster tempat ibadah di Bogor yang menyebabkan tokoh agama meninggal akibat Covid-19. Menurut Uu, pesantren juga berpotensi menjadi klaster baru penularan virus Corona.
    Pasalnya, para kiai atau sesepuh pesantren sering menerima tamu atau bersalaman dengan santri. Karena itu, mereka perlu dites "Kiai itu masuk kategori B, orang yang sering didatangi dan dikunjungi orang. Pak Gubernur Jabar (Ridwan Kamil) meminta saya berkoordinasi dengan ulama, MUI (Majelis Ulama Indonesia), dan pimpinan pesantren untuk tes massal ini," ujar Uu.
    Menurut Uu, seperti halnya Jawa Timur, Jawa Barat merupakan gudangnya para kiai. Dia mengakui ada beberapa kiai yang enggan dites dengan alasan malu kepada jemaah dan masyarakat jika hasilnya positif. Namun, Uu menyatakan bahwa pihaknya terus memberikan pemahaman bahwa tes Covid-19 dilakukan demi kepentingan bersama, termasuk kiai, jemaah, dan masyarakat.
    Terkait pernyataan Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton bahwa alat tes Corona dari Cina berbahaya, berdasarkan laporan The Canberra Times  serta SBS, alat tes yang dimaksud adalah alat tes Corona rumahan atau buatan sendiri yang dijual secara daring atau online.
    Dalam beberapa pekan terakhir, Pasukan Perbatasan Australia (ABF) menemukan sejumlah alat tes Corona rumahan yang cacat. Pada 16 Maret 2020, ABF mencegat 200 unit alat tes Corona rumahan dari Cina yang masuk ke Perth melalui Singapura. Alat serupa dari Hong Kong juga ditemukan di Perth (50 unit) pada 23 Maret dan Melbourne (39 unit) pada 27 Maret.
    Menurut Dutton, alat tes Corona buatan sendiri atau DIY (do-it-yourself) itu bisa menimbulkan risiko yang serius bagi kesehatan masyarakat. "Hasil yang tidak akurat dapat mencegah seseorang mencari bantuan medis yang mereka butuhkan, atau mencegah seseorang yang seharusnya mengisolasi diri untuk melakukannya," ujar Dutton pada 5 April 2020.
    Dutton pun menyatakan bahwa satu-satunya alat tes Corona yang disetujui untuk digunakan di Australia adalah alat tes berbasis laboratorium dan alat tes yang digunakan oleh para profesional kesehatan di fasilitas-fasilitas medis, seperti rumah sakit dan klinik.
    Dilansir dari CNN Indonesia, alat-alat tes Covid-19 yang didatangkan oleh pemerintah hanya bisa diakses di fasilitas kesehatan. "Pelaksanaan tes akan didesentralisasi di semua fasilitas kesehatan di setiap wilayah, misalnya puskesmas, laboratorium kesehatan daerah, atau rumah sakit yang ada di wilayah tersebut," kata juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, pada 24 Maret 2020.
    Terkait alat-alat tes Corona yang marak dijual secara online, Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ) menyatakan tengah melakukan take down terhadap produk-produk tersebut di berbagai marketplace. "Masyarakat yang menjual alat ini bisa dikenakan UU Kesehatan," kata Direktur Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Pangerapan, pada 13 April 2020.
    Sebelumnya, Achmad Yurianto mengatakan bahwa berbagai alat rapid test yang dijual secara online merupakan barang ilegal. Semuel menyatakan hal senada. "Alat ini tidak bisa dijual secara bebas, harus seijin Kementerian Kesehatan. Kami sudah meminta para marketplace untuk menertibkan pedagang mereka," tutur Semuel.
    Achmad Yurianto pun sempat mengomentari kasus yang terjadi di Spanyol, di mana alat rapid test buatan perusahaan Cina, Shenzhen Bioeasy Biotechnology, yang didatangkan oleh negara tersebut bermasalah. Alat tersebut hanya memiliki akurasi kurang dari 30 persen.
    Menurut Achmad Yurianto, pemerintah tidak akan sembarangan dalam mendatangkan alat rapid test Corona. Dilansir dari Republika, dia mengatakan bahwa pemerintah sudah menetapkan standar prosedur pengadaan alat rapid test. "Mekanisme di sini ketat agar kasus di Spanyol tak terulang di sini," ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi dalam unggahan akun Ali Imron Imron, bahwa didatangkannya alat tes virus Corona Covid-19 dari Cina adalah bagian dari rencana pembunuhan massal ulama di Jawa Barat, menyesatkan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki alasan yang mendasar untuk menggelar tes Covid-19 terhadap 5 ribu ulama. Pesantren berpotensi menjadi klaster baru penularan karena para kiai atau pimpinan pesantren kerap menerima tamu dan bersalaman dengan santri.
    Terkait alat tes virus Corona Covid-19 asal Cina yang disebut berbahaya oleh Menteri Dalam Negeri Australia, alat yang dimaksud pun adalah alat tes Corona rumahan atau buatan sendiri yang dijual secara online. Alat tes Corona yang didatangkan oleh pemerintah Indonesia hanya bisa diakses di fasilitas kesehatan. Adapun terkait alat-alat tes Corona yang dijual secara online, Kementerian Kominfo menyatakan tengah melakukan take down terhadap produk-produk tersebut di marketplace.
    ZAINAL ISHAQ | ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informas

    Rujukan

  • (GFD-2020-8046) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Uji Coba tentang Virus Corona yang Takut Suara Azan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/04/2020

    Berita


    Video yang diklaim sebagai video uji coba oleh ilmuwan tentang virus Corona Covid-19 yang takut dengan suara azan beredar di media sosial. Video yang berasal dari YouTube itu berjudul "Ooh ternyata Corona takut sama suara adzan..ini hasil uji coba kedokteran AS".
    Di Facebook, tautan video tersebut diunggah oleh akun S Riyanthi Gemini pada 13 April 2020. Akun ini menulis narasi, "Subhannallah. Allahu Akbar. Simak video nya." Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah dibagikan lebih dari 3.300 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook S Riyanthi Gemini.
    Adapun di YouTube, video tersebut dibagikan oleh kanal Bima MLD pada 12 April 2020. Namun, judulnya berbeda dengan judul yang terdapat dalam unggahan akun S Riyanthi Gemini. Video itu diberi judul "AS membandingkan antara suara musik dengan suara adzan".
    Video yang telah ditonton lebih dari 250 ribu kali ini terdiri dari tiga segmen. Dalam segmen pertama, terlihat software di komputer yang menunjukkan frekuensi audio saat azan dan sebuah lagu diperdengarkan. Terdengar pula suara seorang pria yang sedang memberikan penjelasan.
    Segmen kedua memperlihatkan seorang pria yang tengah memasuki sebuah kafe. Dalam video tanpa suara ini, pria tersebut sempat berbicara dengan karyawan kafe. Adapun segmen ketiga merupakan video animasi mengenai bentuk dan struktur virus Corona covid-19.
    Apa benar video di atas merupakan video uji coba ilmuwan tentang virus Corona yang takut dengan suara azan?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, video unggahan kanal Bima MLD tersebut merupakan gabungan dari tiga video yang konteksnya berbeda-beda. Berikut ini fakta mengenai tiga video itu:
    Video Segmen I

    Video ini pernah diunggah oleh kanal YouTube Mehbooba pada 11 Oktober 2016 dengan judul "The Spiritual Healing Effects Of Adhaan (call to prayer)". Mehbooba memberikan keterangan bahwa video itu menunjukkan perbandingan efek mendengarkan musik dengan mendengarkan azan terhadap tubuh.
    Menurut Mehbooba, getaran memiliki pengaruh yang besar terhadap tubuh. Saat mendengarkan musik atau percakapan biasa, intensitas getaran suara berefek pada apa yang tubuh rasakan. Musik yang agresif bisa mengganggu, sementara suara yang lembut bisa menenangkan.
    Intensitas getaran suara itu pun dapat diukur dan divisualisasikan. Video yang diunggah Mehbooba ini menunjukkan sebuah instrumen yang bernama CymaScope yang bisa memproyeksikan pola geometris fisik dari getaran suara tertentu.
    Namun, di bagian akhir keterangannya, Mehbooba menegaskan bahwa klaim dan potensi manfaat dari instrumen ini tidak semuanya dapat dibuktikan secara ilmiah. "Pengalaman pribadi setiap orang menjadi faktor penentu," demikian keterangan yang ditulis oleh Mehbooba.
    Video Segmen II

    Video ini pernah diunggah oleh akun Twitter @Kenan_n pada 26 Maret 2020. Namun, video tersebut memiliki suara dan terdengar rekaman suara seseorang yang sedang mengaji.
    Akun itu pun menuliskan keterangan: Seorang muslim Palestina berjalan melewati toko milik orang Yahudi dan bertanya kepada orang Yahudi itu, "Mengapa Anda mendengarkan Al Quran padahal Anda bukan seorang muslim?" Orang Yahudi itu pun berkata, "Kata-kata terberkati ini berasal dari Allah. Saya berharap bahwa kata-kata ini akan dihormati oleh Allah."
    Video Segmen III

    Di YouTube, video animasi mengenai bentuk dan struktur virus Corona Covid-19 tersebut pernah diunggah oleh kanal Elara Systems pada 18 Maret 2020 dengan judul "Coronavirus - COVID-19". Video berdurasi 1 menit 12 detik itu diberi keterangan:
    "Elara berkolaborasi dengan Jason McLellan, Associate Professor of Molecular Biosciences di University of Texas di Austin, dan dengan National Institutes of Health (NIH) dalam membuat animasi tentang Coronavirus Spike Protein MoA ini.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video uji coba ilmuwan tentang virus Corona Covid-19 yang takut dengan suara azan, keliru. Video segmen pertama dan kedua tidak terkait dengan virus Corona. Video segmen pertama mengenai perbandingan suara azan dengan sebuah lagu pun telah beredar di YouTube pada 2016, jauh sebelum munculnya virus Corona Covid-19 di Wuhan, Cina, pada Desember 2019.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan