• (GFD-2024-15725) [SALAH] Pemutusan Listrik Ketika Suhu Dingin Ekstrim di Alberta, Kanada

    Sumber: Twitter.com
    Tanggal publish: 01/02/2024

    Berita

    “Bersiaplah Untuk Ini Di Amerika. Kanada Mengirimkan Pemberitahuan Mereka Akan Memotong Listrik Anda Jika Anda Menggunakan Lebih Dari Yang Mereka Katakan

    Suhunya Negatif -36 Derajat & “Mereka sudah memutus aliran listrik di kota saya selama sekitar 2 jam”

    Di manakah letak permasalahan-permasalahan ini sebelum aliran sesat iklim globalis memulai pengambilalihan NWO mereka?

    ‘Jadi saya berada di Alberta, Kanada, dan malam ini, kami mendapat peringatan darurat yang pada dasarnya tidak menggunakan listrik. Jika kamu melakukannya, kami akan memutus aliran listrikmu. Jangan ragu untuk mengambil tangkapan layarnya dan membacanya untuk Anda. Saat ini kami berada dalam pusaran kutub. Saat ini suhunya minus 36 derajat dengan angin dingin minus empat puluh tiga derajat Celsius. Mereka sudah memutus aliran listrik di kota saya sekitar 2 jam lebih awal.

    Inilah alasan kami membeli rumah dengan perapian. Mungkin kita akan lebih beruntung jika semua orang membeli Tesla. Benar?’,”

    Hasil Cek Fakta

    Postingan di Twitter membagikan informasi mengenai pemutusan listrik di Alberta, Kanada akan dilakukan jika masyarakat sekitar menggunakan listrik berlebih. Diketahui saat ini di daerah tersebut sedang mengalami cuaca dingin dengan suhu yang ekstrim.

    Setelah ditelusuri, klaim tersebut keliru. Bukan pemutusan listrik jika menggunakan listrik berlebih, melainkan pemadaman listrik secara bergilir berpotensi akan terjadi mengingat pasokan listrik di Alberta sedang rendah sedangkan suhu dingin yang esktrim membuat permintaan listrik yang tinggi. Sehingga pemerintah dan pengelola listrik setempat memberikan himbauan kepada masyarakat untuk menghemat penggunaan listrik untuk keperluan penting saja agar meminimalkan potensi pemadaman terjadi.

    Melalui AFP, Sara Hastings-Simon, guru besar bidang Sistem Energi di Universitas Calgary menyebut bahwa pemadaman listrik bergilir adalah cara yang baik untuk mengurangi permintaan listrik yang tinggi, daripada harus mematikan atau memutuskan sistem listrik secara keseluruhan.

    Pengelola listrik di Alberta kepada AFP mengatakan, jika pemadaman listrik bergilir terjadi, maka akan dilakukan selama 30 menit, namun tidak termasuk pemadaman pada layanan darurat seperti rumah sakit dan pemadam kebakaran.

    Dengan demikian, pemutusan listrik di Kanada saat suhu dingin ekstrim adalah tidak benar dengan kategori Konten yang Menyesatkan.

    Kesimpulan

    Hasil periksa fakta Moch. Marcellodiansyah

    Bukan pemutusan listrik, tetapi pemadaman listrik secara bergilir berpotensi akan terjadi jika permintaan terhadap penggunaan listrik tinggi, mengingat pasokan listrik sedang rendah.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15724) [HOAKS] Gaji Guru di Medan Ditahan, Dipaksa Pilih Paslon 02

    Sumber: kompas.com
    Tanggal publish: 31/01/2024

    Berita

    KOMPAS.com - Sebuah konten mengeklaim, para guru di Medan, Sumatera Utara, ditahan gajinya dan diintimidasi.
    Mereka dipaksa memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, konten tersebut tidak benar atau hoaks.
    Konten yang mengeklaim para guru di Medan ditahan gajinya dan dipaksa memilih paslon nomor urut 2 dibagikan oleh akun Facebook ini (arsip), ini, dan ini.
    Berikut narasi yang dibagikan:
    Viralkan agar di proses orang 2 gak punya etik ini Breaking News: Viral Para Guru Negeri di Medan (tempat menantunya jkw) Menangis karena Gaji Ditahan untuk Dipaksa Memilih 02. Benar-benar ini sudah gila & melanggar HAM!!! Sebarkan & Viralkan*
    Narasi itu disertai video berdurasi 1 menit 4 detik yang menunjukkan beberapa perempuan menangis. Para perempuan itu disebut sebagai guru yang mengajar di SMP Negeri 15 Kota Medan.

    Hasil Cek Fakta

    Setelah ditelusuri, video guru SMPN 15 Medan menangis viral pada September 2023 dan tidak terkait Pilpres 2024.
    Dilansir Kompas.com, terkait video tersebut, Dinas Pendidikan Kota Medan telah meminta klarifikasi Kepala Sekolah SMPN 15 Medan Tiurmaida Situmeang dan guru yang berpolemik.
    Tiurmaida membantah mengintimidasi delapan guru SMPN 15 Medan. Ia hanya memberikan teguran kepada mereka lantaran sering tidak masuk kelas.
    Menurut Tiurmaida, ada sebagian guru mempunyai pekerjaan lain dalam waktu bersamaan, sehingga sering tidak masuk kelas. 
    Ia juga membantah sengaja menahan gaji delapan guru tersebut. Gaji guru SMPN 15 Medan untuk bulan Agustus 2023 terlambat dan baru dibayarkan pada 8 September 2023.
    Terkait keterlambatan pembayaran gaji tersebut, Tiurmaida menjelaskan, penyebabnya adalah penyerahan amprah atau tanda terima gaji terlambat diserahkan ke Bank Sumut.
    "Tanggal 1 sampai tanggal 2 saya tidak bisa bekerja karena ada urusan keluarga. Di tanggal 3 hari Minggu, tanggal 4 saya masuk, dan tanggal 5 bendahara yang lama pindah tugas, dia sekalian amprah gaji," kata Tiurmaida.

    Kesimpulan

    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, konten yang mengeklaim para guru di Medan ditahan gajinya dan dipaksa memilih paslon nomor urut 2 adalah hoaks.
    Video guru SMPN 15 Medan menangis pernah viral pada September 2023 dan tidak terkait Pilpres 2024.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15723) [KLARIFIKASI] Video Pawai Busana Rimpu di Bima, Bukan Kampanye Pendukung Anies

    Sumber: kompas.com
    Tanggal publish: 31/01/2024

    Berita

    KOMPAS.com – Beredar video yang diklaim menampilkan pawai pendukung calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
    Namun, klaim tersebut keliru dan salah konteks.
    Video yang diklaim menampilkan pendukung Anies di Bima, NTB, dibagikan oleh akun Facebook ini (arsip), ini (arsip) dan, ini (arsip).
    Akun tersebut membagikan video pawai dan diberikan keterangan demikian:
    Pendukung pak anies baswedan guys bima ntb.
    Tangkapan layar video yang diklaim menampilkan pendukung Anies Baswedan di Bima, NTB

    Hasil Cek Fakta

    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta, video tersebut identik dengan konten di akun Instagram @mbojoinside ini.
    Video itu memperlihatkan pawai orang-orang mengenakan busana tradisional Rimpu dalam rangka hari jadi ke-388 Kabupaten Bima, pada Sabtu 29 Juli 2023.
    Rimpu merupakan sarung yang difungsikan oleh perempuan Bima sebagai penutup kepala.
    Pawai tersebut mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena dihadiri 21.383 peserta. 
    Dilansir Antaranews, MURI memberikan penghargaan kepada Pemerintah Kabupaten Bima atas rekor pawai mengenakan busana tradisional Rimpu dengan peserta terbanyak.
    Surat Keputusan Nomor 11090/R.MURI/VII/2023 itu ditandatangani Ketua Umum MURI Jaya Suprana dan dibacakan oleh Direktur Marketing MURI Awan Rahargo.

    Kesimpulan

    Video pawai warga Bima mengenakan busana tradisional Rimpu disebarkan dengan narasi yang keliru.
    Acara tersebut dilaksanakan dalam rangka HUT ke-388 Kabupaten Bima, pada Sabtu 29 Juli 2023, bukan kampanye dukungan kepada Anies Baswedan.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15722) Keliru, Video Klaim Pengungsi Rohingya Disebut Imigran Gelap

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/02/2024

    Berita


    Beredar video pendek di akun media sosial Tiktok [ arsip ] dengan klaim bahwa pengungsi Rohingya adalah imigran gelap yang tidak berhak mendapatkan tanah. 
    Video itu berisi seorang pria berakting menjadi pengungsi Rohingya yang meminta tanah dan satu pria lagi menjadi aparatur pemerintah. Mereka memasang foto demonstrasi warga sebagai latar belakang video. 

    Artikel ini akan memverifikasi dua hal yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi terhadap foto demonstrasi yang digunakan sebagai latar video tersebut bukanlah aksi Rohingya menuntut atas tanah. Foto tersebut adalah saat pengungsi Rohingya di Bangladesh berunjuk rasa menuntut pemulangan kembali ke Myanmar. 

    Foto tersebut adalah karya Tanbir Miraj dari AFP yang pernah dipublikasikan di Aljazeera pada 19 Juni 2022. Aksi tersebut dilakukan sehari sebelum Hari Pengungsi Sedunia pada 2022 yang melibatkan 23 kamp Rohingya, 21 di Ukhiam dan dua di Teknaf Upazila. 
    Unjuk rasa itu dipicu karena hampir satu juta warga Rohingya ditempatkan di gubuk bambu dan terpal di 34 kamp kumuh di bagian tenggara negara tersebut, tanpa pekerjaan, sanitasi yang buruk, dan sedikit akses terhadap pendidikan.
    Namun Upaya repatriasi sebelumnya telah gagal karena warga Rohingya menolak pulang hingga Myanmar memberikan jaminan hak dan keamanan kepada sebagian besar minoritas Muslim. Pada 2018, penyelidik dari misi pencari fakta PBB menyimpulkan bahwa penyelidikan dan penuntutan pidana diperlukan terhadap jenderal-jenderal penting Myanmar atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
    Dengan demikian foto itu tidak terkait dengan klaim pengungsi Rohingya berunjuk rasa minta hak atas tanah.
    Narasi bahwa pengungsi Rohingya menuntut hak atas tanah berasal dari informasi palsu yang beredar di media sosial. Saat itu beredar video demonstrasi etnis Rohingya berunjuk rasa di Malaysia yang diklaim meminta tanah. Hasil cek fakta Tempo telah menunjukkan bahwa unjuk rasa itu tidak berisi tuntutan meminta tanah, melainkan untuk mengecam kekerasan yang dilakukan militer Myanmar. 
    Klaim bahwa pengungsi Rohingya sama dengan imigran gelap
    Pengungsi tidak sama dengan imigran gelap. Berikut adalah perbedaannya menurut Amnesty Internasional :
    Pengungsi: Pengungsi adalah seseorang yang meninggalkan negaranya sendiri karena berisiko mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan penganiayaan di sana. Risiko terhadap keselamatan dan kehidupan mereka begitu besar sehingga mereka merasa tidak mempunyai pilihan selain meninggalkan dan mencari keselamatan di luar negara mereka karena pemerintah mereka sendiri tidak dapat atau tidak akan melindungi mereka dari bahaya tersebut. Pengungsi mempunyai hak atas perlindungan internasional.
    Imigran:Tidak ada definisi hukum yang diterima secara internasional mengenai migran. Seperti kebanyakan lembaga dan organisasi, kami di Amnesty International memahami migran adalah orang-orang yang tinggal di luar negara asal mereka, dan bukan pencari suaka atau pengungsi. Beberapa migran meninggalkan negaranya karena ingin bekerja, belajar atau bergabung dengan keluarga, misalnya. Yang lain merasa mereka harus pergi karena kemiskinan, kerusuhan politik, kekerasan geng, bencana alam atau keadaan serius lainnya yang terjadi di sana.
    Banyak orang yang tidak memenuhi definisi hukum sebagai pengungsi namun tetap saja bisa berada dalam bahaya jika mereka pulang ke rumah.
    Etnis Rohingya bukanlah imigran gelap, melainkan pengungsi yang terpaksa meninggalkan negaranya setelah militer Myanmar melancarkan tindakan kekerasan yang mengusir ratusan ribu warga Rohingya dari rumah mereka di negara bagian Rakhine utara pada 2017. Menurut organisasi kemanusiaan The New Humanitarian, sekitar 900.000 warga Rohingya tinggal di seberang perbatasan di Bangladesh selatan, di kamp-kamp pengungsi yang sempit dimana kebutuhan dasar seringkali melebihi sumber daya yang tersedia. 
    Eksodus tahun 2017 adalah puncak dari kebijakan restriktif dan penganiayaan selama beberapa dekade di Myanmar. Hak-hak warga Rohingya dirampas dari generasi ke generasi, tidak diberikan identitasnya, dan diusir dari rumah mereka.
    Selain di Bangladesh, etnis Rohingya juga mengungsi di India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. 
    Senior Communications Assistant United Nations High Commissioner of Refugees (UNHCR), Yanuar Farhanditya, mengatakan pengungsi yang menjadi korban penyelundupan atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tetaplah berstatus pengungsi dan tetap diberikan bantuan dan perlindungan.
    Jika pengungsi Rohingya melakukan tindakan kriminal, maka pengungsi wajib melalui proses hukum sebagaimana Warga Indonesia. “Perlu diingat bahwa pengungsi sama sekali tidak kebal hukum dan tunduk kepada hukum yang berlaku di negara tempat ia berada,” katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pengungsi Rohingya adalah imigran gelap adalahkeliru.
    Hasil verifikasi UNHCR, etnis Rohingya yang datang ke Aceh adalah korban TPPO. Statusnya saat ini adalah pengungsi.

    Rujukan