• (GFD-2020-8106) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Mantan Rektor Unhas Ini Sebut Covid-19 Bisa Disembuhkan dengan Minyak Kayu Putih?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/05/2020

    Berita


    Sebuah video yang diklaim sebagai video mantan pasien Covid-19 yang menyebut Covid-19 dapat disembuhkan dengan minyak kayu putih beredar di media sosial. Mantan pasien itu tak lain adalah mantan Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Idrus Paturusi.
    Di Facebook, video itu diunggah salah satunya oleh akun Sujito Wiratmo, yakni pada 27 Mei 2020. Akun ini memberikan narasi, "Ternyata Covid bisa sembuh dengan minyak kayu putih sebarkan seluas luasnya pada umat manusia." Dalam video berdurasi 2 menit 50 detik ini, Idrus menceritakan bagaimana ia berhasil sembuh dari penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru, SARS-CoV-2, tersebut. Berikut pernyataannya:
    "Yang saya ingin tambahkan juga adalah suplemen, yang juga itu sebetulnya dari nenek-nenek kita itu sudah diajarkan, yaitu minyak kayu putih. Minyak kayu putih itu, Eucalyptus oil, itu sebetulnya, kalau dulu kita flu, orang tua kita kasih minyak kayu putih di air hangat, kemudian kita kasih sarung, disungkep, itu satu hari langsung segar. Pada hari kedua, saya diminta dokter Arif untuk swab. Masih positif. Tambah stres juga saya ya. Dua hari setelah saya di-opname, karena protokolnya itu setiap dua hari dilakukan swab. Positif. Nah, tiba-tiba saya ditelepon seorang kolega, coba itu minyak kayu putih. Nah, minyak kayu putih saya ingat bagaimana pada waktu kita kecil, keluarga, dan itu kan banyak, di mana-mana ada. Karena kami sudah terbiasa dengan minyak kayu putih, kebetulan istri saya, yang juga, saya bersyukur istri saya mau menemani di ruang isolasi sehingga stres saya kurang. Tidak banyak orang yang saya kira punya istri seperti itu yang mau katakanlah sehidup-semati. Karena kita kan belum tahu apakah selamat atau tidak. Dan banyak orang yang mengatakan, 'Saya negatif, kalau saya masuk, nanti positif'. Tapi Alhamdulillah, masuk. Nah, ada minyak kayu putih. Ini yang ingin saya terangkan, bagaimana penggunaan minyak kayu putih. Jadi, minyak kayu putih ini sebetulnya mudah."
    Selanjutnya, Idrus mempraktekkan bagaimana ia menggunakan minyak kayu putih, yakni dengan menuangkan beberapa tetes minyak pada tisu, kemudian dimasukkan ke bagian dalam masker agar bisa dihirup. "Coba lihat, virus Covid itu tempatnya di saluran nafas, mulai dari saluran nafas bagian atas sampai ke paru-paru," katanya. Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah dibagikan lebih dari 4.700 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Sujito Wiratmo.

    Hasil Cek Fakta


    Tim CekFakta Tempo mula-mula mencari video asli dari video yang diunggah oleh akun Sujito Wiratmo tersebut. Caranya, video itu difragmentasi menjadi beberapa gambar dengan tool InVID. Kemudian, gambar-gambar tersebut ditelusuri dengan reverse image tool Google.
    Hasilnya, video itu pertama kali diunggah oleh kanal YouTube Das’ad Latief pada 21 Mei 2020 dengan judul "Prof. Idrus Paturusi Tips Menjaga Kesehatan Selama Wabah Corona Bersama Ustad Das'ad Latif". Video ini berdurasi 45 menit 4 detik, jauh lebih panjang ketimbang video unggahan akun Sujito Wiratmo.
    Video unggahan akun Sujito Wiratmo pun tidak memuat secara utuh pernyataan Idrus. Dalam pernyataannya, Idrus mengatakan bahwa efektivitas minyak kayu putih dalam mengobati Covid-19 masih perlu diteliti lebih lanjut. Berikut kelanjutaan pernyataan Idrus yang terekam pada video kanal Das'ad Latief menit 9:10 hingga 10:12:
    "Kalau kita isap, inspirasi, itu aroma minyak kayu putih sampai ke paru-paru. Logikanya, kalau ada virus di situ, kita lihat, virus itu kan pakai deterjen aja mati, sedangkan minyak kayu putih kita hirup sampai ke dalam, diharapkan bahwa semua yang tinggal, mulai dari saluran nafas, itu digilas. Tentu ini memerlukan penelitian. Saya hanya mengatakan bahwa pengalaman dan setelah beberapa teman saya anjurkan menggunakan, dan dokter Arif sekarang sedang melakukan uji kasus, yang sebentar barangkali beliau akan sampaikan. Karena kita harus berdasarkan saintifik bahwa ini memang bisa. Tapi saya kira karena ini adalah herbal, natural, tidak perlu approval dari FDA (Food and Drug Administration) karena dari dulu kita sudah pakai. Nah, sekarang, minyak kayu putih itu punya efek. Yang pertama, anti-inflamasi. Itu peradangan. Yang kedua, membunuh bakteri. Yang ketiga, membunuh virus. Saya kontak dengan Menteri Pertanian beberapa hari yang lalu. Karena rupanya, di Balitbang Kementerian Pertanian, mereka sudah produksi minyak kayu putih yang asli. Nah, ini yang kita mau, kalau produknya sudah ada, nanti kita barangkali gunakan sebagai uji coba untuk uji klinis, apakah itu memang berdampak positif terhadap virus itu atau bagaimana. Oleh karena, penelitian yang ada di Balitbang, mereka sudah punya virus influenza dulu, mereka sudah punya virus flu burung. Itu mereka sudah coba kultur, dan kemudian dikasih minyak kayu putih, mati itu virus. Nah, sekarang, apakah sudah bisa Covid-19 ini dikultur?"
    Minyak kayu putih untuk Covid-19
    Berdasarkan arsip pemberitaan Tempo pada 14 Mei 2020, senyawa eucalyptol atau 1,8-cineole menjadi komponen kunci dari potensi antivirus Corona yang dimiliki eukaliptus (Eucalyptus sp.). Eucalyptus merupakan tanaman yang menjadi bahan dasar pembuatan minyak kayu putih.
    Senyawa tersebut telah diuji di laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian dan menunjukkan kemampuan membunuh sekitar 80 persen virus, termasuk virus Corona. Kepala Balitbangtan, Fadjry Djufry, menerangkan bahwa proses uji diawali dengan mencari kecocokan antara bahan aktif dan potensi membunuh virus dari sekian banyak minyak atsiri yang ada.
    Proses uji ini dilakukan dengan cara penambatan molekul ataumolecular dockingmelalui metode komputasi. "Dari sekian banyak minyak atsiri, salah satunya adalah minyak atsiri Eucalyptus yang di dunia ada 700 spesies," katanya pada 11 Mei 2020.
    Proses uji mencari kecocokan melalui molecular docking itu dilanjutkan dengan uji in vitro di laboratorium Biosafety Level 3 (BSL-3). Senyawa aktif Eucalyptus bisa membunuh sekitar 80 persen virus seperti yang sudah diumumkannya beberapa hari sebelumnya.
    Pada 5 Mei 2020, Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Kementan, Evi Safitri, memang menyatakan, "Hasil uji in vitro, 60-80 persen virusnya mati. Tapi memang virusnya bukan (penyebab) Covid-19, kami coba ke virus Corona lain." Evi menerangkan,molecular dockingadalah metode komputasi yang bertujuan meniru peristiwa interaksi suatu molekul ligan dengan protein yang menjadi targetnya pada uji in vitro.
    Menurut Evi, Balitro mencoba meneliti sejumlah tanaman rempah dan obat untuk digunakan dalam mengatasi Covid-19. Beberapa di antaranya adalah jahe merah, kunyit, temulawak, kayu manis, cengkeh, kulit jeruk, jambu biji, meniran, sambiloto, seraiwangi, eukaliptus, kayu putih, serta minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO).
    Dilansir dari Kompas.com, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania, mengatakan bahwa Eucalyptus memang memiliki sejumlah zat aktif yang bersifat antibakteri, antivirus, dan antijamur.
    "Memang pernah ada penelitian Eucalyptus efektif untuk membunuh virus Betacorona, tapi bukan virusnya Covid-19, SARS-CoV-2," kata Inggrid pada 9 Mei 2020. Inggrid menjelaskan virus Corona yang mewabah saat ini memang termasuk dalam keluarga virus Betacorona. "Tapi SARS-CoV-2 termasuk Betacorona yang lebih baru dan khusus. Jadi, penelitiannya itu bersifat in vitro, (Eucalyptus) membunuh virus Betacorona. Tapi baru sebatas itu."
    Selain itu, Inggrid juga mengungkapkan bahwa terdapat penelitian bioinformatika tentang efek zat aktif Eucalyptus terhadap SARS-CoV-2. Kendati demikian, penelitian ini hanya berupa molekular dockingatau simulasi di komputer. Simulasi tersebut dilakukan dengan menyamakan molekul zat aktif pada Eucalyptus dengan molekul protein SARS-CoV-2. "Memang kalau dari penelitian bioinformatika itu ada kecocokan dan bisa dijadikan kandidat (obat antivirus). Tapi kalau disebut sebagai obat antivirus Covid-19, belum bisa," kata Inggrid.
    Selama ini, menurut Inggrid, Eucalyptus atau minyak kayu putih tidak untuk diminum atau pemakaian dalam. Sebagian besar minyak atsiri ini pemakaiannya dioles atau dihirup. "Mirip kalau kita flu, Eucalyptus yang dibuat sebagai inhaler, harapannya zat aktif yang ada pada minyak ini dapat dihirup, masuk ke saluran pernapasan dan diharapkan dapat membunuh virus," ujar Inggrid.
    Kendati demikian, Inggrid kembali mengingatkan bahwa Eucalyptus belum bisa dianggap sebagai obat untuk virus Corona penyebab Covid-19. "Harus diujikan dulu pada virus yang spesifik, yaitu SARS-CoV-2. Sedangkan penelitian yang sudah ada itu di Betacorona. Jadi, semua masih berupa prediksi dan Eucalyptus belum bisa disebut sebagai obat Covid-19," kata Inggrid.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa mantan pasien Covid-19, Idrus Paturusi, menyebut Covid-19 bisa disembuhkan dengan minyak kayu putih menyesatkan. Video unggahan akun Sujito Wiratmo tidak memuat secara utuh pernyataan Idrus. Dalam pernyataannya, Idrus mengatakan bahwa efektivitas minyak kayu putih dalam mengobati Covid-19 masih perlu diteliti lebih lanjut. Sejauh ini, penelitian menunjukkan bahwa Eucalyptus, tanaman yang menjadi bahan baku minyak kayu putih, memang efektif membunuh virus Corona. Namun, penelitian itu tidak melibatkan virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, melainkan virus Corona jenis lain. Dengan demikian, Eucalyptus belum bisa disebut sebagai obat Covid-19.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekf akta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8105) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Covid-19 Hanya Flu Biasa dan Hasil Rekayasa untuk Cari Untung?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/05/2020

    Berita


    Akun Facebook Ais Umi Mizaz Terapy membagikan sebuah tulisan panjang yang berisi klaim bahwa Covid-19 hanyalah flu biasa yang ringan. Dalam tulisan yang diunggah pada 25 Mei 2020 itu, diklaim pula bahwa Covid-19 merupakan hasil rekayasa untuk mencari keuntungan. Penyembuhan Covid-19 pun diklaim tidak jauh berbeda dengan penyembuhan flu pada umumnya.
    Tulisan itu diawali dengan kalimat yang menyebut tenaga medis hanyalah korban penipuan. Pandemi Covid-19 pun dianggap sebagai rekayasa. "Mereka (tenaga medis) cuma korban penipuan, semua ini settingan, bohongan. Virus Covid-19 beneran ada dan seperti flu lainnya, tapi lebih ringan. Namun mudah menular karena sudah ditambahi asam amino 4x lipat."
    Dalam tulisan itu, terdapat pula klaim bahwa pasien Covid-19 di rumah sakit hanya diberi vitamin C dan E serta pereda sakit tenggorokan, mengkonsumsi buah-buahan pada pagi dan sore hari, banyak istirahat, serta diberi uap apabila sesak napas. "Bayangkan kalau cara penyembuhan ini bocor ke masyarakat, gagal lagi orang Yahudi memplokoto umat Islam."
    Tulisan ini pun memuat klaim bahwa Covid-19 sengaja diciptakan sebagai pengendali uang di seluruh dunia, seperti flu Spanyol yang menjadi senjata biologi pertama Amerika Serikat dalam Perang Dunia I. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 1.300 kali dan dikomentari lebih dari 700 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ais Umi Mizaz Terapy.
    Bagaimana kebenaran klaim-klaim dalam tulisan panjang tersebut?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mewawancarai sejumlah ahli dan menelusuri rujukan ilmiah dari berbagai situs kredibel.
    Klaim 1: Covid-19 hanya flu biasa yang ringan.
    Fakta:
    Stanford Children's Health menjelaskan bahwa SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 adalah virus Corona jenis baru yang belum diidentifikasi sebelumnya dan tidak sama dengan virus Corona yang menyebabkan penyakit ringan, seperti flu biasa. Meskipun berada dalam keluarga virus Corona, SARS-CoV-2 adalah virus baru yang menyerang manusia.
    Flu biasa memiliki gejala pilek dan sakit tenggorokan yang biasanya ringan dan berlangsung antara 1-2 minggu. Sedangkan Covid-19 memiliki gejala kesulitan bernafas, demam, dan batuk kering. Beberapa pasien mengalami pneumonia dan memerlukan rawat inap. Jika pneumonia bertambah parah, bisa berakibat fatal. Sejak awal Januari hingga 27 Mei 2020, kasus kematian akibat Covid-19 secara global telah mencapai 352.459 orang.
    Sumber: Reuters dan Worldometers
    Klaim 2: Wabah ini settingan dengan kode flu burung tidak jadi menyerang Indonesia.
    Fakta:
    Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus kematian akibat flu burung terbanyak di dunia. Menurut WHO pada 2012, dari 349 kematian akibat flu burung di seluruh dunia sejak 2003, 155 di antaranya terjadi di Indonesia. Sejak 2003, terdapat 186 kasus penularan flu burung terhadap manusia di Indonesia dan hampir 80 persen berakhir dengan kematian. Jadi, klaim bahwa flu burung tidak menyerang Indonesia adalah klaim yang keliru.
    Sumber: BBC
    Klaim 3: Semua pasien penyakit berat yang mati dibilang karena Covid-19, agar masyarakat semakin takut.
    Fakta:
    Kasus meninggal yang diumumkan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, setiap hari pukul 15.00 WIB adalah kasus yang menimpa pasien yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19. Tingkat kematian kasus Covid-19 di Indonesia adalah 6,1 persen. Hingga 29 Mei 2020 pukul 09.30, mereka yang meninggal karena Covid-19 mencapai 1.496 orang.
    Sebelumnya, Yuri menyebut penyakit penyerta yang paling banyak menyertai kasus kematian Covid-19 adalah hipertensi, diabetes, penyakit jantung, penyakit pernapasan seperti asma, dan penyakit paru obstruktif yang sudah menahun. Mereka yang memiliki penyakit penyerta memang berisiko tinggi terinfeksi Covid-19. Jadi, klaim di atas menyesatkan.
    Sumber: Situs resmi Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Covid-19
    Klaim 4: Flu Spanyol adalah senjata biologi pertama Amerika dalam Perang Dunia I.
    Fakta:
    Asal-muasal virus Flu Spanyol memang masih menjadi perdebatan, tapi tidak satu pun bukti yang merujuk virus tersebut sebagai senjata biologi Amerika. Di Negeri Paman Sam sendiri, pandemi Flu Spanyol pada 1918 diperkirakan telah menewaskan hampir 700 ribu orang. Menurut Frank Macfarlane Burnet, ahli virologi Australia yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari influenza, pandemi flu ini bermula di Camp Funston dan Haskell County, Kansas. Sementara menurut North China Daily News, seperti dikutip harian Pewarta Soerabaia, pandemi bermula di Swedia atau Rusia, lalu menyebar ke Cina, Jepang, dan Asia Tenggara.
    Beberapa ahli epidemiologi Amerika menyimpulkan virus flu ini dibawa oleh buruh Cina dan Vietnam yang dipekerjakan militer Inggris dan Prancis selama Perang Dunia I. Alasan utamanya, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi. Namun, argumen tersebut dibantah Edwin Jordan, editor Journal of Infectious Disease, dengan menyebut bahwa wabah flu di Cina tidak menyebar dan berbahaya. Jordan juga tidak sepakat dengan teori yang menyebut India atau Prancis sebagai asal virus mengingat virus flu di kedua negara tersebut hanya bersifat endemik.
    Sumber: Tempo dan Historia
    Klaim 4: Hari ini dibuat lagi Covid-19, tujuannya juga sama, perkara riba.
    Fakta:
    Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, adalah virus buatan buatan. Menurut artikel di Nature pada 17 Maret 2020, penelitian terhadap struktur genetik SARS-CoV-2 menunjukkan bahwa tidak ada manipulasi laboratorium. Para ilmuwan memiliki dua penjelasan tentang asal-usul virus tersebut, yakni seleksi alam pada inang hewan atau seleksi alam pada manusia setelah virus melompat dari hewan. "Analisis kami dengan jelas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 bukan hasil konstruksi laboratorium atau virus yang dimanipulasi secara sengaja."
    Sumber: Tempo
    Klaim 5: Tenaga medis mati, dokter mati, dibilang karena Covid-19.
    Fakta:
    Pada pertengahan April 2020, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan tenaga medis yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 24 orang. Sementara itu, yang terpapar virus tersebut sebanyak 80 petugas kesehatan. Para tenaga medis terpapar Covid-19 lantaran keterbatasan alat pelindung diri (APD). Bukan hanya itu, tenaga medis memang sering menggunakan APD, namun tidak sesuai standar. Kemudian, pada 8 Mei 2020, jumlah dokter yang meninggal bertambah menjadi 31 dokter, terdiri dari 25 dokter dan enam dokter gigi.
    Sumber: Liputan6.com dan Merdeka.com

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa Covid-19 hanyalah flu biasa yang ringan dan hasil rekayasa untuk mencari keuntungan adalah klaim yang keliru. Covid-19 berbeda dengan flu biasa. Penyakit ini disebabkan oleh virus Corona baru, SARS-CoV-2. Tidak ada pula bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa virus Corona penyebab Covid-19 adalah virus buatan untuk tujuan komersial.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekf akta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8104) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pesan Berantai Soal Virus Hanya Bisa Dikalahkan Antibodi Ini Berasal dari Dekan IPB?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/05/2020

    Berita


    Pesan berantai yang diklaim bersumber dari Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor (FMIPA IPB), Sri Nurdiati, beredar di media sosial. Pesan berantai yang beredar di tengah pandemi Covid-19 ini memuat narasi bahwa virus hanya bisa dikalahkan oleh antibodi.
    Berikut ini isi lengkap pesan berantai tersebut:
    "Inilah nasihat pakar yg benar. Memberikan pencerahan dan harapan, tidak menakut-nakuti tapi menguatkan.
    sumber:DR. Ir. Hj. Sri Nurdiati (Dekan FMIPA IPB dan Dosen Biokimia IPB):
    Banyak orang nggak sadar pentingnya "ANTIBODI" stoknya harus selalu ada. Orang lebih panik masker atau hand sanitizer hilang di pasaran. Harusnya kita lebih panik kalau "ANTIBODI" hilang di tubuh, karena virus tidak mungkin dihindari.
    Point penting dari diskusi:1. Virus itu hanya bisa dikalahkan oleh "ANTIBODI"2. "Antibodi" yg di dlm tubuh itu kyk pabrik, kadang banyak kadang sedikit.3. Supaya produksi "anti bodi" banyak, sering konsumsi vitamin C dan E setiap hari serta berjemur Sinar Matahari Pagi.`Jangan remehkan pentingnya Olahraga rutin.4. Virus itu ngga mungkin dihindari, jadi pasti selalu ada, contohnya kalau bersin, bisa dipastikan ada virus disitu. Bersin indikasi tubuh menolak.5. Kalau berhasil tembus ke hidung dekat tenggorokan, tubuh akan batuk, tanda menolak.6. Kalau masih tembus juga, baru demam. Kalau masih tembus juga, barulah "antibodi" keluar dr pabrik utk melawan perang dgn virus.7. Kelemahan virus itu sm sabun. Kalau ngga ada hands sanitizer, pake sabun apa saja bisa bahkan sabun cuci piring jg bisa. Dlm 3-5 menit, virus akan mati sama sabun.8. Selama 14 hari "antibodi" kita akan merekam virus ini dan disimpan dlm sel memori di otak.9. Jadi kalau kita sembuh dan suatu saat kena corona lagi, sel memori ini akan aktif dlm 24 jam (ngga perlu menunggu 14 hari lagi).
    Jadi, mari kita lebih fokus ke dalam tubuh dgn meyakinkan "STOCK ANTIBODI" cukup alias vitamin C/E rutin dikonsumsi dan Berjemur Sinar Matahari yg paling mudah.
    Catatan tambahan dari Redaksi:Sumber vitamin C dan E terdapat pada Buah2an, kacang2an dan sayur2an, antara lain:Jeruk Manis/nipisTomat, Buah NagaJambu Biji, ManggaKacang Tanah, MaduKacang Hijau, BayamJahe dan rempah2Pucuk MelinjoPucuk Kates
    Semoga bermanfaat untk kita semua & masyarakat...Terus semangat berusaha melawan Virus Covid 19 & jangan lupa selalu berdoa kepada Tuhan agar di beri kesehatan,kekuatan,dan keselamatan kita sekeluarga, segenap bangsa Indonesia."
    Gambar tangkapan layar pesan berantai tentang virus dan antibodi yang beredar di WhatsApp yang diklaim bersumber dari salah satu dekan IPB.
    Apa benar pesan berantai di atas bersumber dari Dekan FMIPA IPB, Sri Nurdiati?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo dengan plagiarism checker tool, pesan berantai yang identik telah beredar sebelumnya di media sosial pada pertengahan April 2020. Di Facebook, sebagian isi pesan tersebut diunggah oleh akun Jobs in Indonesia. Akun ini menulis bahwa informasi itu berasal dari situs Beritanow.com.
    Dalam artikelnya pada 16 April 2020 yang berjudul "Banyak Yang Tidak Tahu: Ini Rahasia Imunitas Tubuh", situs Beritanow.com memang memuat pesan berantai yang isinya sama dengan pesan berantai yang beredar saat ini.
    Namun, dilansir dari situs resmi IPB, Sri Nurdiati membantah bahwa ia pernah menulis pesan berantai itu. "Bukan saya yang menulisnya. Akibatnya, saya harus mengklarifikasi pertanyaan yang datang bertubi-tubi ke saya, bahwa itu bukan tulisan saya," kata Sri pada 20 April 2020.
    Meskipun begitu, Sri menyatakan bahwa pesan berantai itu berisi informasi yang positif, tentang bagaimana memperkuat antibodi di dalam tubuh manusia. "Namun sayang, artikel itu mencantumkan nama saya, lengkap dengan jabatan dan institusi saya," ujarnya.
    Dalam pernyataan itu, Sri juga menambahkan tips tentang bagaimana menjaga hidup agar tetap sehar di tengah pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya adalah stay at home, menerapkan social distancing, menggunakan masker, rajin mencuci tangan, istirahat dan olahraga yang cukup, makan makanan sehat dan bergizi, serta mengkonsumi vitamin dan mineral.
    Berdasarkan arsip pemberitaan Tempo pada 19 Februari 2020, dokter spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Iris Rengganis, mengatakan bakteri dan virus, termasuk virus Corona Covid-19, memang rentan masuk saat daya tahan atau imunitas tubuh melemah.
    Menurut Iris, imunitas tubuh bisa dijaga dan diperbaiki dengan pola hidup sehat, yakni konsumsi makanan bernutrisi, beraktivitas fisik secara rutin, tidur yang cukup, dan rajin minum air putih untuk mendetoksifikasi racun. "Kurang tidur dan stres bisa memicu turunnya imunitas tubuh yang otomatis menurunkan kualitas antibodi," tuturnya.
    Imunitas bukan satu-satunya kunci melawan pandemi
    Peneliti epidemiologi Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Henry Surendra, mengatakan, secara epidemiologi, pandemi bisa dikendalikan dengan tiga cara, yaitu menghilangkan atau mengurangi sumber infeksi, memutus rantai penularan, dan melindungi kelompok populasi yang berisiko terinfeksi. “Aspek imunitas individu ataupunherd immunity(imunitas kawanan) masuk ke dalam salah satu upaya melindungi populasi berisiko,” kata Henry kepada Tim CekFakta Tempo  pada 13 Mei 2020.
    Namun, imunitas sendiri cukup kompleks dan spesifik. Untuk mencegah penularan pada level individu saat pandemi Covid-19, jalannya adalah melalui vaksinasi. Tapi, sampai saat ini, belum ada vaksin untuk memberikan imunitas pada seseorang dalam melawan virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
    Vaksinasi juga sangat bermanfaat untuk mencegah penularan pada level populasi, yakni dengan memvaksin sebagian besar populasi. Untuk Covid-19, diperkirakan memerlukan 70 persen populasi yang divaksin agar tercapaiherd immunity.Peningkatan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi atau suplemen tidak serta-merta bisa membuat seseorang terhindar dari penyakit ketika terpapar virus Corona. “Tentu ini keliru,” kata Henry.
    Tanpa vaksin, menurut Henry, seseorang yang terpapar virus Corona bakal terinfeksi. Pasca infeksi, kondisi tubuh kemungkinan bisa membantu mempercepat respons terhadap virus dengan cara memproduksi antibodi. Karena belum ada vaksin untuk Covid-19 dan pandemi memerlukan respons cepat, tindakan yang paling tepat adalah memutus rantai penularan dengan menjaga jarak aman, rajin mencuci tangan, menggunakan masker, dan sebagainya.
    Aspek psikologi pun berperan. Sebab, saat seseorang khawatir berlebihan, kesehatan mentalnya dapat terganggu, kemudian mengakibatkan daya tahan tubuh menurun. Namun, Henry mengingatkan bahwa aspek psikologi hanya satu dari sekian banyak aspek dalam pandemi. “Untuk saat ini, upaya-upaya memutus rantai penularanlah yang paling signifikan dampaknya dalam penanggulangan pandemi,” kata Henry.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai soal virus hanya bisa dikalahkan oleh antibodi di atas bukan berasal dari Dekan FMIPA IPB, Sri Nurdiati. Dalam pernyataan tertulisnya, Sri menjelaskan bahwa ia tidak pernah membuat pesan berantai tersebut.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekf akta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8103) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tocilizumab adalah Obat yang 90 Persen Bisa Sembuhkan Covid-19 Meski Pasien Kritis?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/05/2020

    Berita


    Klaim bahwa para ilmuwan telah menemukan obat baru yang 90 persen bisa menyembuhkan infeksi virus Corona Covid-19, meskipun pasien dalam kondisi kritis, beredar di media sosial. Menurut klaim itu, obat tersebut adalah Tocilizumab, dengan nama dagang Actemra.
    Di Facebook, klaim itu dibagikan salah satunya oleh akun Teng Teng, yakni pada 30 Maret 2020. Klaim tersebut berasal dari artikel di situs Goodmothers.raulaz.com yang berjudul "Alhamdulillah,Ilmuan Temukan Obat Baru Untuk Virus C0R0NA, Sembuhkan 90% Meski Kondisi Pasien Kritis".
    Artikel yang terbit pada 28 Maret 2020 ini menyebut bahwa sumber dari informasi itu adalah Tribunnewswiki.com. Menurut artikel tersebut, Tocilizumab diproduksi oleh perusahaan farmasi Swiss Roche dan biasanya digunakan untuk mengobati radang sendi.
    Dalam artikel itu, disebutkan pula bahwa uji coba pertama obat tersebut hasilnya efektif. Terdapat pasien Covid-19 di dua rumah sakit di Anhui, Cina, yang kondisinya kritis. Mereka pun diberi Tocilizumab secara rutin pada 5-14 Februari 2020. Keduanya diklaim bisa disembuhkan. Lima belas dari 20 pasien yang terlibat dalam percobaan obat itu juga dapat menurunkan asupan oksigen.
    Uji coba obat ini menyimpulkan, "Tocilizumab adalah pengobatan yang efektif pada pasien Covid-19 yang parah." Di Cina, penelitian terkait obat tersebut masih terus berjalan. Dalam uji klinis, obat itu sudah diujicobakan pada 188 pasien dan terus berjalan hingga 10 Mei 2020. Perusahaan bioteknologi Amerika Serikat, Genetech, juga menguji coba obat ini, apakah bisa digunakan di AS.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Teng Teng.
    Apa benar Tocilizumab adalah obat yang 90 persen bisa menyembuhkan infeksi virus Corona Covid-19 meskipun pasien dalam kondisi kritis?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo memeriksa pemberitaan di media-media kredibel serta penelitian di berbagai jurnal ilmiah mengenai penggunaan Tocilizumab atau Actemra untuk menyembuhkan pasien Covid-19.
    Dilansir dari FiercePharma, pada akhir Februari 2020, ilmuwan di Akademi Ilmu Pengetahuan Cina memang menemukan hasil yang menjanjikan pada 14 pasien Covid-19 yang parah dan kritis yang dirawat dengan obat-obatan yang tersedia, termasuk Actemra, di rumah sakit yang berafiliasi dengan Universitas Sains dan Teknologi Cina (USTC).
    Para ilmuwan di sana telah memulai uji klinis acak untuk mengevaluasi pengaplikasian obat tersebut. Berdasarkan laporan Regitrasi Uji Klinis Cina, para ilmuwan tersebut mendaftarkan 188 pasien, yang setengahnya menggunakan Actemra.
    Meskipun begitu, Actemra tidak secara langsung membunuh virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Actemra berfungsi menghambat reseptor interleukin 6 (IL-6), sebuah sitokin proinflamasi. Ilmuwan USTC dan kelompok penelitian lain menduga IL-6 adalah penyebab utama dalam reaksi berlebihan kekebalan tubuh atau badai sitokin pada pasien Covid-19.
    Saat terjangkit Covid-19, tubuh dapat merespons patogen dengan memproduksi sel-sel kekebalan secara berlebihan dalam sebuah fenomena berbahaya yang disebut badai sitokin. Peradangan paru-paru serupa terjadi pada pasien SARS selama wabah di tahun 2003, terutama di Cina. Pada awal Maret 2020, otoritas Cina merekomendasikan penggunaan Actemra terbatas bagi pasien Covid-19 yang mengalami badai sitokin yang berpotensi merusak jaringan paru-paru.
    Di AS, Tocilizumab juga sedang diuji klinis kepada pasien Covid-19. Pada akhir April 2020, uji klinis oleh University of California (UC) San Diego Health ini telah memasuki fase ketiga. Uji klinis tersebut bertujuan untuk menilai apakah obat itu dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien Covid-19 yang memiliki kerusakan paru-paru serius.
    Pada uji klinis ketiga ini, UC San Diego Health melakukan percobaan intervensi acak dengan mendaftarkan sekitar 330 peserta di hampir 70 lokasi di seluruh dunia. Peserta harus berusia 18 tahun ke atas dan dirawat di rumah sakit dengan diagnosis pneumonia Covid-19. Studi ini diperkirakan selesai pada 30 September 2020.
    Namun, menurut penelitian lain yang diterbitkan pada 22 Mei 2020 di European Journal of Internal Medicine berjudul "Efficacy and safety of tocilizumab in severe Covid-19 patients: a single-centre retrospective cohort study", tidak terdapat peningkatan klinis dan kematian yang signifikan secara statistik antara pasien dengan pengobatan Tocilizumab dan pasien dengan perawatan standar.
    Penelitian yang dilakukan terhadap 65 pasien ini, yang 32 di antaranya dirawat dengan Tocilizumab, juga mencatat infeksi bakteri atau jamur pada 13 persen pasien dengan Tocilizumab serta pada 12 persen pasien perawatan standar. "Konfirmasi kemanjuran dan keamanan membutuhkan uji coba terkontrol yang berkelanjutan," demikian kesimpulan dalam studi tersebut.
    Menurut dokumen Penilaian Bukti untuk Perawatan Terkait Covid-19 yang diterbitkan oleh ASHP (American Society of Health-System Pharmacists) Advancing Healthcare, penggunaan Tocilizumab di Cina memang menjanjikan. Tapi, di Italia, dua dari enam (33 persen) pasien Covid-19 yang memiliki pneumonia dan dirawat dengan Tocilizumab meninggal.
    Mengutip panel National Institutes of Health dalam panduan perawatan Covid-19, tidak terdapat data klinis yang cukup untuk merekomendasikan atau menentang penggunaan Tocilizumab sebagai pengobatan Covid-19. Peran pengukuran sitokin rutin dalam menentukan tingkat keparahan dan pengobatan Covid-19 masih membutuhkan studi lebih lanjut.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa Tocilizumab adalah obat yang 90 persen bisa menyembuhkan infeksi virus Corona Covid-19 meskipun pasien dalam kondisi kritis belum bisa dibuktikan. Penelitian mengenai efektivitas obat nyeri sendi ini dalam perawatan pasien Covid-19 masih dilakukan oleh sejumlah ilmuwan, baik di Cina maupun di AS.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan