• (GFD-2020-8102) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Gereja Italia yang Hampir Semua Jemaatnya Meninggal Akibat Covid-19 Saat Dibuka Kembali?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/05/2020

    Berita


    Video berdurasi 3 menit 17 detik yang memperlihatkan seorang pastor sedang memasuki sebuah gereja yang kosong, di mana di setiap kursinya terpasang foto jemaatnya, beredar di media sosial. Menurut narasi yang menyertai video tersebut, gereja yang kosong itu merupakan gereja di Italia yang hampir semua jemaatnya telah meninggal karena virus Corona Covid-19 saat dibuka kembali.
    Salah satu akun di Facebook yang membagikan video dengan narasi tersebut adalah akun Asbond S. Manurung, yakni pada 27 Mei 2020. Narasi yang ditulis oleh akun ini berbunyi: "Video mengharukan. Kisah video ini terjadi di Italia, Dianna ketika gereja dibuka kembali, ternyata hampir semua jemaatnya telah meninggal disebabkan Covid-19."
    Hingga artikel ini dimuat, video unggahan akun tersebut telah ditonton lebih dari 16 ribu kali, dibagikan lebih dari 350 kali, dan direspons lebih dari 250 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Asbond S. Manurung.
    Apa benar video di atas merupakan video gereja di Italia yang hampir semua jemaatnya telah meninggal karena virus Corona Covid-19 saat dibuka kembali?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video unggahan akun Facebook Asbond S. Manurung itu menjadi beberapa gambar dengantool InVID. Kemudian, gambar-gambar itu ditelusuri denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, Tempo terhubung dengan akun yang pertama kali mengunggah video itu pada 12 April 2020, yakni akun Salem Baptist Church.
    Akun milik sebuah gereja ini memberikan keterangan pada video unggahannya itu, bahwa video tersebut direkam oleh T&T Creative Media saat umat Salem Baptist Church memberikan kejutan kepada Brother (sebutan bagi pastor dalam Gereja Baptis) Larry dalam rangka Paskah pada 12 April 2020. Kejutan yang dimaksud adalah foto-foto jemaat yang terpasang di kursi gereja.
    "To our Salem family: we want to share with you the video of us surprising Bro. Larry with all your pictures for the Easter service. It was such a special, moving time. You can tell by this video how much he loves you all. This video is exclusively managed by T&T Creative Media. For licensing / permission to use please contact licensing@tt-creative.com," demikian narasi yang diunggah oleh akun Salem Baptist Church.
    Video unggahan akun Salem Baptist Church ini telah ditonton lebih dari 2,3 juta kali dan dibagikan lebih dari 30 ribu kali. Video itu pun mendapatkan lebih dari 4 ribu komentar yang sebagian besar berasal dari akun milik jemaat Salem Baptist Church. Dari komentar-komentar itu, Tempo mendapatkan petunjuk bahwa jemaat tidak bisa mengikuti ibadah Paskah di gereja di tengah pandemi Covid-19. Sebagai gantinya, para jemaat memasang foto di setiap kursi gereja.
    “Ini persis seperti yang saya rasakan, kita semua akan terlihat seperti ketika kita sampai di surga. Hanya dengan kagum. Bro. Larry memimpin umatnya tidak seperti yang lain. Kami mencintaimu Bro. Larry dan rindu beribadah dengan keluarga gereja kami! Tidak sabar untuk kembali ke gereja kami,” demikian komentar dari salah satu akun milik jemaat Salem Baptist Church, Diane Moody Savell.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Salem Baptist Church.
    Tempo juga memperoleh petunjuk pada unggahan akun Salem Baptist Church sebelumnya yang memuat foto Brother Larry sedang berdiri di tengah gereja dengan foto para jemaat di setiap kursinya. “Terima kasih kepada semua umat Salem atas foto-foto Anda yang membuat ibadah Paskah kami begitu istimewa. Bro. Larry gembira melihat semua wajah Anda yang tersenyum!”
    Di tengah pandemi Covid-19, Salem Baptist Church memang tetap memberikan ibadah Paskah secara online bagi jemaatnya melalui Facebook. Dalam video yang diunggah akun Salem Baptist Church, terlihat sejumlah umat yang membuka ibadah Paskah itu dengan menyanyikan lagu-lagu rohani. Video tersebut bisa diakses di tautan ini.
    Selain itu, Salem Baptist Church bukan berlokasi di Italia, melainkan di Amerika Serikat. Di akun Salem Baptist Church, tertulis bahwa gereja ini beralamat di 2380 Salem Road, Lake, Mississippi, Amerika Serikat. Saat dicek dengan Google Maps, memang benar gereja ini berada di Lake, Mississippi, Amerika Serikat.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi yang menyertai video di atas, bahwa video itu adalah video gereja di Italia yang hampir semua jemaatnya telah meninggal karena virus Corona Covid-19 saat dibuka kembali, keliru. Gereja itu adalah Salem Baptist Church yang berlokasi di Lake, Mississippi, Amerika Serikat, bukan di Italia. Video itu pun direkam saat pastor Salem Baptist Church, Larry, menerima kejutan berupa foto-foto jemaat yang dipasang di setiap kursi gereja saat ibadah Paskah pada 12 April 2020. Foto-foto itu merupakan pengganti di saat jemaat tidak bisa berkumpul di gereja karena pandemi Covid-19.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8101) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Campuran Air Hangat dan Garam Bisa Hilangkan Virus Corona Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/05/2020

    Berita


    Narasi bahwa virus Corona Covid-19 bisa dihilangkan dengan meminum campuran air hangat dan garam beredar di media sosial. Di Facebook, salah satu akun yang membagikan narasi itu adalah akun Rizan Dwi Herlianto, yakni pada 22 Mei 2020. Unggahan akun ini diawali dengan narasi, "Corona kalah dg Garam dapur. Gak perlu vaksin vaksinan yg mau di drop oleh yahudi ato Cina."
    Adapun isi unggahan itu adalah sebagai berikut:
    "Ini bukan HOAKs.Baca sampai tuntas. Ini dari teman yg baru kena CoronaSaudara Percaya beruntung. Tidak percaya saya tdk rugi.
    Barusan kejadian, 2hari yg lalu. Dia lagi enak2 tidur kaget bangun karena Batuk mendadak menyerang tanpa pemberitahuan/aba2/ternyata batuk berdahak lumayan banyak, dan sepertinya Nafas terasa agak terganggu. Padahal sebelumnya tdk ada tanda2 mau batuk.Apa yg dia lakukan?
    1. Buang dahak yg ada.2. Minum air hangat yg banyak/1gelas.3. Ambil GARAM DAPUR/MEJA SEDIKIT seujung sendok teh, masukan ke mulut, biarkan garam larut didlm mulut dan telan dikit dikit biar tenggorokan kita dipenuhi suasana garam.4. Ambil Tisu kasih minyak angin. Terus ditutup ke Hidung jadi masker. Rasakan tarikan nafas yg hangat oleh aroma minyak angin. Sampai saya tertidur kembali.5. BANGUN tidur tdk terasa lagi dahak dileher dan batuknyapun bables kena garam.Demikian kesaksian dari saya. Semoga Musim CORONA BISA KITA LAWAN DG GARAM YG MURAH MERIAH.SELAMAT MENCOBA DAN BAGIKAN KEBAIKAN KEPADA ORANG LAIN.
    SEMOGA SURABAYA DAN INDONESIA SEGERA TERBEBAS DARI CORONA. HANYA MODAL GARAM DAPUR.
    Garam dapur/NaCl Vs Corona. sudah dicoba dan berhasil.Saudara2, kalau terasa leher tidak enak, tenggorokan terasa kering, reak spt lengket tdk bisa keluar, cepat ambil Garam dapur sedikit saja. Masukkan ke mulut. Biarkan larut dimulut. Kemudian telan sedikit-sedikit. Biarkan di tenggorokan.Saya sudah coba dan berhasil. Virus yg coba2 mampir di tenggorokan keok.Oleh Garam dapur/NaCl. Yg murah meriah.Sering2 lah kumur air garam.Bagikan resep yg murah meriah ini. Kesemua Kontak dan group WA, FB. Dll. Semoga kita menang lawan Corona."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rizan Dwi Herlianto.
    Apa benar campuran air hangat dan garam bisa menghilangkan virus Corona Covid-19 dari dalam tubuh?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo melakukan penelusuran informasi di situs-situs kredibel lewat mesin pencarian Google. Tempo juga menghubungi pakar epidemiologi, Dicky Budiman.
    Dikutip dari Reuters, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa air garam bisa menghilangkan virus Corona di dalam tubuh. WHO mengakui ada sedikit bukti bahwa membilas hidung dengan saline atau air garam bisa membantu seseorang pulih lebih cepat dari flu biasa. Namun, membilas hidung secara teratur belum terbukti dapat mencegah infeksi pernapasan.
    Dilansir dari Express, Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) juga menyatakan bahwa membilas hidung dengan air garam secara rutin belum terbukti bisa melindungi dari virus Corona. Dokter spesialis paru Cina, Zhong Nanshan, pun menyatakan, "Tidak ada temuan saat ini yang menyarankan bahwa air garam dapat membunuh virus Corona baru."
    Hal serupa diungkapkan oleh John Hopkins Medicine. Mereka membantah bahwa berkumur dengan air garam bisa membantu melindungi dari virus Corona. Menurut John Hopkins Medicine, berkumur dengan air garam memang bisa meredakan sakit tenggorokan, yang merupakan salah satu gejala Covid-19. Namun, pasien Covid-19 tidak hanya mengalami gejala tersebut.
    Adapun menurut ahli epidemiologi, Dicky Budiman, saat dihubungi Tempo melalui pesan singkat, klaim bahwa air garam dapat membunuh virus Corona adalah klaim yang salah. Dia menjelaskan, ketika virus menempel pada reseptor ACE2 di tubuh manusia, virus tersebut akan masuk ke dalam sel. "Artinya, mau minum air garam atau alkohol tidak akan berpengaruh," katanya,
    Dikutip dari situs resmi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, ACE2 atau Angiotensin Converting Enzyme 2 adalah suatu reseptor di permukaan sel yang menjadi pintu masuk virus Corona Covid-19. Enzim ini menempel pada permukaan atau membran sel-sel di beberapa organ, seperti paru-paru, arteri, jantung, ginjal, dan usus.
    Hingga kini, menurut WHO, walaupun terdapat pengobatan Barat, tradisional, atau rumahan yang bisa memberikan kenyamanan dan mengurangi gejala ringan Covid-19, belum ada obat khusus untuk mencegah atau menyembuhkan Covid-19. WHO tidak merekomendasikan pengobatan mandiri apa pun, termasuk dengan antibiotik, untuk mencegah atau menyembuhkan Covid-19.
    WHO pun menyatakan, saat ini, terdapat beberapa uji klinis pengobatan Covid-19 yang sedang berlangsung, baik obat-obatan Barat maupun tradisional. WHO sedang mengkoordinasikan upaya pengembangan vaksin dan obat-obatan untuk mencegah serta mengobati Covid-19 dan akan memberikan informasi terbaru segera setelah hasil penelitian tersedia.
    Menurut WHO, cara paling efektif untuk melindungi dari Covid-19 adalah mencuci tangan dengan sabun secara teratur, menghindari menyentuh mata, mulut dan hidung, serta mempertahankan jarak minimal 1 meter dengan orang lain. Seseorang yang mengalami batuk atau bersin disarankan untuk menutupinya dengan siku atau tisu. Tisu yang digunakan mesti segera dibuang.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa virus Corona Covid-19 bisa dihilangkan dengan meminum campuran air hangat dan garam adalah klaim yang keliru. Berkumur dengan air garam memang bisa meredakan sakit tenggorokan, yang merupakan salah satu gejala Covid-19. Namun, pasien Covid-19 tidak hanya mengalami gejala tersebut. Menurut WHO, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa air garam bisa menghilangkan virus Corona di dalam tubuh.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8100) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Dokter Italia Temukan Sebab Kematian Covid-19 adalah Bakteri Bukan Virus?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/05/2020

    Berita


    Pesan berantai yang menyebut dokter di Italia menemukan bahwa penyebab kematian pada pasien Covid-19 adalah bakteri, bukan virus, beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Menurut narasi itu, hal ini menyebabkan penggumpalan darah yang disebut koagulasi intravaskular diseminata (DIC) atau trombosis sehingga bisa disembuhkan dengan antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan.
    Di bagian awal pesan berantai itu, terdapat judul yang berbunyi "Di Italia Obat untuk Coronavirus Akhirnya Ditemukan". Kemudian, terdapat narasi, "Dokter Italia, tidak mematuhi hukum kesehatan dunia WHO, untuk tidak melakukan otopsi pada kematian Coronavirus dan mereka menemukan bahwa BUKANLAH VIRUS, tetapi BAKTERIlah yang menyebabkan kematian. Ini menyebabkan gumpalan darah terbentuk dan menyebabkan kematian pasien."
    Pesan berantai tersebut juga memuat klaim, "Italia mengalahkan apa yang disebut Covid-19, yang tidak lain adalah 'Koagulasi intravaskular diseminata' (Trombosis). Dan cara untuk memeranginya, yaitu, penyembuhannya, adalah dengan 'antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan'. Menurut ahli patologi Italia. 'Ventilator dan unit perawatan intensif tidak pernah dibutuhkan.'"
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di WhatsApp.
    Bagaimana kebenaran klaim-klaim dalam pesan berantai di atas?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi isi dari pesan berantai tersebut, Tim CekFakta Tempo melakukan riset di situs-situs kredibel, baik dalam maupun luar negeri, lewat mesin pencarian Google.
    Klaim 1: Covid-19 disebabkan oleh bakteri, bukan virus, sehingga bisa disembuhkan dengan antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan
    Fakta:
    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), Covid-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh jenis virus Corona baru yang ditemukan pertama kali di Wuhan, Cina, pada Desember 2019. Virus Corona adalah kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis virus Corona diketahui menyebabkan infeksi saluran pernapasan pada manusia, mulai dari batuk dan pilek hingga yang lebih serius, seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Virus Corona jenis baru yang menyebabkan Covid-19 diberi nama SARS-CoV-2.
    Dilansir dari India Today, ahli pulmonologi dari Max Hospital India, Sharad Joshi, juga menyatakan bahwa klaim "Covid-19 disebabkan oleh bakteri, bukan virus" keliru. Menurut Joshi, Covid-19 adalah infeksi virus. Infeksi bakteri sekunder, sepsis, dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC) memang bisa terjadi. Namun, sebagai akibat dari komplikasi yang umum ditemukan pada semua penyakit virus.
    Karena itu, pemberian antibiotik kepada pasien Covid-19 ditujukan untuk melawan infeksi bakteri sekunder. Menurut Direktur Rumah Sakit Lok Nayak Jai Prakash Narayan India, Suresh Kumar, secara ilmiah, tidak ada peran antibiotik untuk mengobati Covid-19. "Antibiotik diberikan untuk melawan infeksi bakteri sekunder atau kolateral," ujarnya.
    Dikutip dari artikel cek fakta FullFact, Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) menyatakan bahwa anti-inflamasi non-steroid dengan dosis rendah, seperti ibuprofen, bisa digunakan untuk menurunkan demam atau rasa nyeri akibat Covid-19. NHS merekomendasikan, "Cobalah paracetamol terlebih dahulu, karena memiliki efek samping yang lebih sedikit ketimbang ibuprofen dan merupakan pilihan yang lebih aman bagi kebanyakan orang."
    Adapun antikoagulan, obat untuk mencegah pembekuan darah, telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik pada pasien Covid-19 tertentu. British Thoracic Society telah mempublikasikan panduan tentang dosis yang direkomendasikan dari heparin dengan berat molekul rendah pada pasien Covid-19 yang terkonfirmasi atau diduga mengalami trombosis.
    Klaim 2: Penyebab kematian pada pasien Covid-19 adalah koagulasi intravaskular diseminata (DIC) atau trombosis, bukan pneumonia
    Fakta:
    Dilansir dari The Journal Irlandia, sejumlah penelitian memang menemukan hubungan antara Covid-19 dengan trombosis. Ada pula pemeriksaan yang menghubungkan Covid-19 dengan DIC. Namun, keliru jika mengklaim bahwa pasien Covid-19 telah salah didiagnosa mengidap pneumonia. Faktanya, pasien dengan Covid-19 yang parah sering mengalami pneumonia.
    Dikutip dari FullFact, pneumonia merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien Covid-19 yang parah. Menurut sebuah penelitian, baik pneumonia maupun DIC bisa dialami pada waktu yang sama oleh pasien Covid-19. "Trombosis paru-paru merupakan faktor yang bisa mempersulit jalannya pneumonia pada pasien Covid-19," demikian penjelasan FullFact.
    Dilansir dari artikel cek fakta Correctiv, memang terdapat penelitian oleh dokter di Italia pada 22 April 2020, namun belum menjalanipeer-reviewatau tinjauan sejawat, yang menemukan pasien Covid-19 dengan trombosis. Karena itu, mereka mengusulkan penggunaan antikoagulan. Namun, penelitian tersebut tidak menyimpulkan bahwa pasien Covid-19 meninggal hanya karena trombosis.
    Selain pneumonia, WHO telah mendaftarkan trombositopenia sebagai kemungkinan komplikasi dalam kasus kritis Covid-19 sejak akhir Januari. Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit yang meningkatkan risiko trombosis. Karena itu, WHO juga menyarankan penggunaan antikoagulan heparin dengan berat molekul rendah pada pasien remaja dan dewasa yang tidak memiliki kontraindikasi. Jika memiliki kontraindikasi, WHO menyarankan untuk menggunakan alat kompresi pneumatik intermiten.
    Klaim 3: Ventilator dan unit perawatan intensif (ICU) tidak pernah dibutuhkan oleh pasien Covid-19
    Fakta:
    Menurut WHO, sekitar 80 persen penderita Covid-19 akan sembuh tanpa memerlukan perawatan rumah sakit. Tapi satu dari enam penderita bakal mengalami sakit yang parah. Dikutip dari BBC, dalam kasus yang parah ini, virus akan menyebabkan kerusakan pada paru-paru sehingga kadar oksigen dalam tubuh menurun dan membuat penderita sulit bernapas. Untuk meringankan kasus ini, ventilator digunakan untuk mendorong udara, dengan meningkatkan kadar oksigen, ke paru-paru.
    Selain itu, ventilator memiliki pelembab udara, yang menambah panas dan kelembaban pada pasokan udara sehingga sesuai dengan suhu tubuh pasien. Pasien pun diberi obat untuk mengendurkan otot-otot pernapasan sehingga napas mereka dapat sepenuhnya diatur oleh mesin. Pasien dengan gejala lebih ringan dapat diberi corong yang dikenal sebagai ventilasi non-invasif, karena tidak memerlukan pipa internal. Bentuk ventilasi lainnya adalah tekanan saluran napas positif kontinyu (CPAP).
    Dilansir dari India Today, berdasarkan penjelasan para praktisi kesehatan senior, tidak semua pasien Covid-19 membutuhkan ventilator dan ICU. Mereka yang membutuhkan ventilator dan ICU adalah pasien Covid-19 dengan kondisi kritis atau mengalami kegagalan multi-organ. Sergio Harasi, Direktur Unit Operasi Pneumologi Rumah Sakit San Giuseppe Italia, mengatakan, "Sebagian besar kematian Covid-19 disebabkan oleh pneumonia interstisial dan gagal napas. Klaim bahwa pasien tidak seharusnya diintubasi patut dipertanyakan."

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim-klaim dalam pesan berantai di atas keliru. Covid-19 disebabkan oleh virus, bukan bakteri. Antibiotik diberikan kepada pasien Covid-19 yang mengalami infeksi bakteri sekunder. Anti-inflamasi diberikan untuk menurunkan demam atau rasa nyeri akibat Covid-19. Adapun antikoagulan direkomendasikan bagi pasien Covid-19 yang mengalami trombosis. Beberapa penelitian memang menemukan pasien Covid-19 yang mengalami trombosis. Namun, menyimpulkan bahwa pasien Covid-19 meninggal hanya karena trombosis keliru. Selain trombosis, pasien Covid-19 kebanyakan meninggal karena pneumonia dan gagal napas. Terkait klaim ventilator dan ICU tidak dibutuhkan oleh pasien Covid-19, juga keliru.
    IBRAHIM ARSYAD | ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8099) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tes PCR Tak Bisa Tunjukkan Jenis Virus Corona Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 26/05/2020

    Berita


    Sebuah tulisan panjang yang menyebut bahwa tespolymerase chain reaction(PCR) tidak bisa menunjukkan jenis virus Corona Covid-19 viral di Facebook. Salah satu akun yang membagikan tulisan itu adalah akun Thiwy Yunus, yakni pada 23 Mei 2020. Akun ini mengklaim bahwa tulisan tersebut merupakan saduran. Namun, akun itu tidak menyebut sumber dari tulisan ini.
    Tulisan tersebut berisi sejumlah klaim. Klaim pertama, rapid test hanya bisa mengecek antibodi di dalam tubuh seseorang, bukan mengecek virus. "Jika antibodi muncul/reaktif dianggap ada virus atau bakteri.. Tapi gak tau itu virus/bakteri apa.. Itu sudah dianggap hasilnya positif. Orang flu kalo ikut rapid tes hasilnya kemungkinan positif karena antibodinya muncul.. Jadi hasil rapid tes positif blm tentu kena Corona."
    Klaim kedua, tes PCR juga hanya bisa mendeteksi keberadaan virus, tapi tidak bisa menentukan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati akibat sudah dibunuh oleh antibodi di dalam tubuh. "Tes PCR akan memberikan hasil positif jika ada virus, entah itu virus hidup atau virus mati," demikian bunyi klaim kedua.
    Adapun klaim ketiga, tidak ada kasus kematian yang murni diakibatkan oleh virus Corona. "Disebabkan krn terlalu bnyk bermacam2 virus yg ada dlm tubuh shg antibodi kalah dan tidak mampu kalahkan virus yg terlalu bnyk dan bermacam2 itu.. Jika ada ribuan yg meninggal itu menunjukkan sebelum adanya Covid-19 banyak ribuan org sdh terjangkit virus.. Sehingga ketika kena covid kondisi semakin parah.. antibodi gak ngatasi lagi.."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 1.500 kali, dikomentari lebih dari 400 kali, dan disukai lebih dari 500 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Thiwy Yunus.
    Artikel cek fakta ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua klaim:

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi dua klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mewawancarai Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Berry Juliandi, dan melakukan riset terhadap berbagai artikel di situs-situs kredibel.
    Menurut Berry, klaim bahwa rapid test tidak bisa menentukan Covid-19 keliru. Rapid test yang dipakai dalam skrining Covid-19 sudah didesain untuk mengenali antibodi yang dikeluarkan tubuh saat virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, menginfeksi. “Rapid test itu menggunakan suatu bahan kimia yang khusus mengenali antibodi SARS-CoV-2,” kata Berry saat dihubungi pada 26 Mei 2020.
    Antibodi merupakan reaksi alami tubuh apabila terdapat protein asing yang masuk. Tubuh mengeluarkan antibodi sesuai jenis protein asing yang masuk. Karena itu, kata Berry, antibodi untuk SAR-CoV-2 akan berbeda dengan antibodi untuk virus flu biasa atau untuk bakteri. "Apakah bisa mengenali virus apapun, itu salah, karena dia dikembangkan untuk mengenali antibodi untuk SARS-CoV-2," katanya.
    Meskipun begitu, akurasi hasil pengujian dengan rapid test memang lebih rendah. Sebab, tes ini sangat bergantung pada jumlah antibodi yang dikeluarkan tubuh saat terjadinya infeksi SARS-CoV-2. Apabila antibodi yang dikeluarkan sedikit, yang dipengaruhi oleh genetika seseorang, hasil rapid test bisa menjadi negatif.
    Faktor kedua, rendahnya antibodi sangat bergantung pada durasi waktu sejak seseorang pertama kali terinfeksi. Seseorang yang baru terinfeksi, antibodinya masih rendah. “Sehingga, saat rapid test, hasilnya negatif. Padahal, sebenarnya, dia sudah positif Covid-19,” kata Berry.
    Karena itu, waktu terbaik untuk melakukan rapid test minimal pada hari ke-7 setelah terinfeksi dan seterusnya, saat jumlah antibodi cukup banyak. Namun, kendalanya, tidak diketahui kapan seseorang mulai terinfeksi SARS-CoV-2. Sehingga, menurut Berry, rapid test lebih tepat digunakan hanya sebagai penapisan atau skrining orang-orang yang pernah terinfeksi.
    Terkait klaim kedua, bahwa tes PCR tidak bisa menunjukkan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati, juga keliru. Menurut Berry, tes Covid-19 yang paling akurat adalah dengan PCR.
    Berry menjelaskan bahwa tes PCR Covid-19 sudah dikembangkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 yang diambil dari lendir di saluran pernapasan. Dalam PCR ini, terdapat materi genetik sintetik atau primer yang hanya bisa menempel pada urutan materi genetik SARS-CoV-2. “Jadi, kalau ada virus lain pada lendir, tidak akan bisa dideteksi oleh primer yang khusus dirancang untuk menempel pada SARS-CoV-2,” katanya.
    Klaim bahwa PCR tidak bisa mendeteksi virus yang masih hidup atau yang sudah mati pun keliru. Sebab, virus sebenarnya adalah benda mati yang hanya bisa aktif apabila masuk ke dalam sel makhluk hidup.
    Menurut Berry, kelebihan tes PCR tersebut menjadikan tes ini lebih akurat ketimbang rapid test. Tes PCR bisa mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 tanpa harus menunggu munculnya antibodi seperti rapid test. “Meskipun virusnya sedikit, bisa langsung dideteksi. Atau, meski 1 detik lalu terinfeksi, juga bisa langsung dideteksi dengan PCR,” kata Berry.
    Sementara terkait klaim bahwa tidak ada kasus kematian yang murni diakibatkan oleh virus Corona, Tempo telah memverifikasinya dalam artikel di tautan ini. Menurut para ahli, pasien yang meninggal karena Covid-19 bukan saja mereka yang memiliki penyakit penyerta dan berusia tua, melainkan juga kelompok usia muda dan tanpa penyakit penyerta.
    WHO rekomendasikan PCR
    Dikutip dari LiveScience, tes PCR bekerja dengan mendeteksi bahan genetik spesifik dalam virus. Tergantung pada jenis PCR yang dipakai, petugas kesehatan mengambil sampel liur dari bagian belakang tenggorokan atau dari saluran pernapasan bawah, dan bisa juga menggunakan sampel tinja.
    Begitu sampel tiba di laboratorium, peneliti akan mengekstrak asam nukleatnya, yang menyimpan genom virus. Kemudian, peneliti dapat memperkuat daerah genom tertentu dengan teknik yang dikenal sebagai transkripsi terbalik PCR. Hal ini, pada dasarnya, memberikan peneliti sebuah sampel yang lebih besar yang dapat mereka bandingkan dengan SARS-CoV-2.
    Dilansir dari The Conversation, tes PCR pun telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama pandemi Covid-19. Sedangkan rapid test yang menguji antibodi belum sepenuhnya dapat diandalkan.
    Pada 7 April 2020, WHO telah mendaftarkan dua tes diagnostik pertama untuk penggunaan darurat selama pandemi Covid-19. Kedua diagnosain vitroitu adalahgenesig Real-Time PCR Coronavirus (Covid-19)dancobas SARS-CoV-2 Qualitative assay for use on the cobas 6800/8800 Systems.
    Genesig Real-Time PCR Coronavirus (Primerdesign, Inggris) adalah sistem terbuka yang lebih cocok untuk laboratorium dengan kapasitas pengujian sampel sedang. Adapuncobas SARS-CoV-2 for use on the cobas 6800/8800 Systems(Roche, Amerika Serikat) adalah uji sistem tertutup untuk laboratorium yang lebih besar.
    Mariangela Simao, Asisten Direktur Jenderal WHO untuk Produk Obat-obatan dan Kesehatan mengatakan, "Daftar penggunaan darurat produk-produk ini akan memungkinkan negara-negara di dunia untuk meningkatkan pengujian dengan diagnostik yang terjamin kualitasnya. Memfasilitasi akses terhadap tes yang akurat sangat penting bagi mereka untuk mengatasi pandemi dengan alat terbaik yang ada."

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tes PCR tidak bisa menunjukkan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati, keliru. Begitu pula dengan klaim bahwa rapid test tidak bisa mengenali virus Corona Covid-19, yang juga keliru. Rapid test yang digunakan saat ini telah dikembangkan untuk mengenali antibodi yang dikeluarkan tubuh apabila terdapat infeksi Covid-19, meskipun tingkat akurasinya lemah. Sedangkan tes PCR dengan akurasi yang lebih tinggi digunakan untuk mengetahui keberadaan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan