• (GFD-2020-8136) [Fakta atau Hoaks] Benarkah di RUU HIP Sila Pertama Pancasila Diubah Jadi Ketuhanan yang Berkebudayaan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa sila pertama Pancasila diubah dari "Ketuhanan yang Maha Esa" menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" beredar di Facebook. Menurut klaim tersebut, perubahan sila pertama Pancasila ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
    Salah satu akun yang membagikan narasi itu adalah akun Hafid Daeng Al Makassary, yakni pada 13 Juni 2020. Akun ini juga mengunggah foto siaran program Kabar Petang di stasiun televisi tvOne. Topik yang dibahas dalam siaran itu adalah "RUU Pancasila Buka Pintu Komunisme?".
    Terdapat pula narasumber dalam program tersebut, yakni anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah dibagikan lebih dari 200 kali.
    Gambar tangkapan layar akun Facebook Hafid Daeng Al Makassary.
    Unggahan tersebut beredar di tengah penolakan RUU HIP yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU HIP masuk ke dalam program legislasi prioritas DPR pada 2020 dan sudah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR sebagai inisiatif DPR. Persetujuan ini diperoleh setelah mayoritas fraksi memberikan dukungan.
    Salah satu ormas yang menolak RUU tersebut adalah Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Mereka menilai materi RUU HIP banyak bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah undang-undang. Hal itu berpotensi membuka kembali perdebatan ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir.
    Namun, apa benar di RUU HIP sila pertama Pancasila diubah menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan"?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memeriksa foto yang diunggah oleh akun Hafid Daeng Al Makassary dengan memasukkan kata kunci sesuai judul program yang tertera, yakni "RUU Pancasila Buka Pintu Komunisme?", ke kolom pencarian di kanal YouTube tvOne.
    Dengan cara itu, Tempo menemukan bahwa siaran program dengan narasumber anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu tersebut pernah ditayangkan pada 13 Juni 2020. Siaran itu diberi judul "Pasal 7 RUU Pancasila HIP Tuai Kontroversi, Abdul Mu'ti: Jangan Buka Sejarah yang Harusnya Dikubur".
    Dalam siaran tersebut, disinggung tentang frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" yang tertera dalam Pasal 7 RUU HIP. Frasa ini menuai kontroversi karena dianggap mereduksi arti ketuhanan. Masinton membantah hal tersebut. Menurut dia, frasa itu muncul dalam pidato Bung Karno di Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.
    "Bahwa setiap orang Indonesia hendaknya percaya pada Tuhan. Landasan kepercayaan pada Tuhan ini satu-kesatuan dengan empat sila lainnya yang menghormati kemanusiaan, kehidupan, perbedaan, dan sebagainya. Ketika kita bicara Pancasila sejak proses kelahirannya pada 1 Juni hingga 18 Agustus 1945, itu adalah satu tarikan napas, satu rangkaian proses historis bangsa kita dalam merumuskan Pancasila. Ini sudah disampaikan secara gamblang oleh Bung Karno dalam pidato di Sidang BPUPKI itu. Jadi, ini adalah sebuah penegasan dalam rangkaian proses historis itu. Nah, tentu Pancasila yang kita kenal saat ini adalah dengan urut-urutan sila yang sekarang. Namun, sebelum dia berproses menjadi urut-urutan sila yang sekarang, ada proses historis awalnya. Nah, di situlah diletakkan dalam draf RUU ini. Bukan berarti kita kemudian mengabaikan hal-hal lain yang sudah secara monumental dan bersama-sama, konsensus dasar berbangsa kita, tokoh-tokoh bangsa kita merumuskan ini dan menerima Pancasila secara bersama-sama. Maka, kesimpulannya, tidak ada yang berubah di sini. Justru saling menguatkan, menegaskan aspek historisnya," ujar Masinton.
    Tempo pun mengecek draf RUU HIP yang diunggah di situs resmi DPR. Berikut narasi lengkap Pasal 7 yang memuat frasa “Ketuhanan yang Berkebudayaan”:
    (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
    Dalam Pasal 7 tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah dari sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan". Meskipun begitu, pasal ini menyinggung rumusan trisila-ekasila yang dinilai oleh PP Muhammadiyah mereduksi Pancasila.
    RUU HIP tidak mendesak
    Selain ormas, sejumlah akademisi mengkritik RUU HIP ini. Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan RUU HIP mengandung banyak pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement.
    "Norma hukum biasanya mengatur perilaku dan kelembagaan. Di dalam UU, ada pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal yang mengatur perilaku," kata Bivitri seperti dikutip dari Tirto. Dia pun menyatakan RUU ini tidak mendesak. "Pancasila tentu amat sangat penting, tapi masalah riil yang kita hadapi adalah pandemi COVID-19."
    Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga mempermasalahkan isi RUU HIP. Ia menilai banyak pasal yang isinya multitafsir dan akhirnya mubazir. "Misalnya, Pasal 7 yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Sukarno dijadikan bunyi pasal?" kata Zainal.
    Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati sependapat dengan Bivitri. Menurut dia, RUU HIP tidak mendesak sama sekali. "Ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti Orba (Orde Baru) karena terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila," kata Asfinawati.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa di RUU HIP sila pertama Pancasila diubah menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" menyesatkan. Frasa itu memang disebutkan sebagai ciri pokok Pancasila dalam Pasal 7 RUU HIP. Namun, dalam RUU tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah dari sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan". Meskipun begitu, sejumlah pihak menilai RUU HIP tidak mendesak untuk disahkan dan secara substansi mengandung pasal-pasal yang multitafsir.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8135) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Imigrasi Tahan 300 WNA Cina yang Bawa Ribuan Senjata Api di Tengah Pandemi Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa Dinas Imigrasi menahan 300 warga negara asing atau WNA asal Cina ilegal yang membawa ribuan senjata api beredar di media sosial. Menurut klaim yang terdapat dalam gambar berlogo CNN Indonesia itu, ratusan WNA Cina tersebut baru transit di Bandara Soekarno-Hatta dengan membawa 3 ribu senjata api AK-46 serta 5 ribu peluru.
    Dalam gambar tersebut, tertulis bahwa penahanan itu terjadi pada 4 Juni 2020. Di bagian awal, tertulis narasi "Di saat rezim pemerintah menerapkan aturanlockdownyang harus dipatuhi oleh rakyat dengan tidak memberi jaminan uang untuk kebutuhan hidup sesuai undang-undang, di saat itu pula rezim menyelundupkan WNA Cina komunis ilegal secara masif terus-menerus."
    Menurut klaim tersebut, para WNA Cina ilegal itu terindikasi sebagai Tentara Merah dan para intelijen Cina. "Sepertinya aparat kepolisian menutup mata dalam hal ini, atau mungkin malahmembackingi. Kedaulatan NKRI dan rakyat asli pribumi serta seluruh umat beragama di Indonesia sudah di ambang ancaman kepunahan," demikian narasi dalam klaim tersebut.
    Dalam gambar tersebut, terdapat pula empat foto. Dua foto memperlihatkan puluhan senjata laras panjang. Satu foto memperlihatkan puluhan peluru. Sementara satu foto lainnya memperlihatkan puluhan warga Cina berbaju biru, yang beberapa di antaranya memakai helm.
    Di Facebook, gambar tersebut diunggah salah satunya oleh akun Hendra Bastari, yakni pada 7 Juni 2020. Hingga artikel ini dimuat, gambar unggahan akun Hendra Bastari ini telah dibagikan lebih dari 150 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hendra Bastari.
    Apa benar Imigrasi tahan 300 WNA asal Cina yang bawa ribuan senjata AK-46 di tengah pandemi Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo memasukkan berbagai kata kunci terkait, mulai dari "Imigrasi tahan 300 WNA Cina" hingga “WNA Cina bawa senjata”, ke mesin pencarian Google. Namun, tidak ditemukan adanya pemberitaan media terkait hal itu. Begitu pula saat Tempo melakukan pencarian di situs C NN Indonesia dengan kata kunci "Dinas Imigrasi Tahan 300 Orang WNA China Ilegal", tidak ditemukan berita dengan judul tersebut.
    Foto-foto yang dicantumkan dalam gambar itu pun tidak terkait dengan klaim bahwa Imigrasi menahan 300 WNA Cina yang membawa ribuan senjata. Berdasarkan penelusuran Tempo denganreverse image toolSource, Google, Yandex, dan TinEye, berikut fakta atas foto-foto tersebut:
    Foto I
    Foto tumpukan peluru ini pernah dimuat di situs Luckygunner.com pada 22 Juni 2012, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Foto tersebut diberi keterangan: “Can you tell which of these rounds are .223 and which are 5.56? Because .223 Rem and 5.56 NATO share the same external dimensions, it can be hard to tell the difference.”
    Foto II
    Foto tumpukan senjata laras panjang tersebut pernah dimuat di situs stok foto Getty Images pada 29 Juli 2011, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Foto itu diberi judul “Picture of part of the assault rifles se”. Adapun keterangan fotonya berbunyi: "Foto bagian dari senapan serbu yang disita oleh polisi Kolombia di Cali, Departemen Valle del Cauca, pada 29 Juli 2011. Polisi Kolombia menyita 47 senapan serbu Norinco 7,62 mm buatan Cina (replika AK-47) dan 215 amunisi. Menurut otoritas, senjata itu dimiliki oleh kelompok kriminal Los Comba. AFP PHOTO/Luis Robayo."
    Foto III
    Foto yang memperlihatkan puluhan warga Cina ini pernah dimuat di situs Antaranews.com pada 28 Januari 2020 dengan judul “Mencegah kedatangan TKA China demi menahan penyebaran corona”. Foto tersebut diberi keterangan: “Buntut merebaknya virus corona yang berasal dari kota Wuhan, China, membuat pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan serius. Keberadaan dan kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) China menjadi perhatian sejumlah daerah. Kantor Imigrasi dan Disnakertrans berupaya melakukan pencegahan, demi melindungi masyarakat Indonesia tertular virus mematikan itu. (Saharudin/Rangga Musabar/Soni Namura/Sizuka).”
    Foto IV
    Foto puluhan senjata laras panjang tersebut pernah dimuat di situs Merdeka.com pada 26 Juli 2012 dalam artikel foto yang berjudul “Puluhan senjata api diamankan Polda Metro Jaya”. Foto ini diberi keterangan: "Selain senpi, aparat juga berhasil mengamankan 56air soft gunlaras panjang dan 36 laras pendek. 1.736 Butir amunisi laras panjang dan pendek, juga amunisisoft gunsebanyak 57.605 butir diamankan."

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim dalam gambar unggahan akun Facebook Hendra Bastari, bahwa Imigrasi tahan 300 WNA asal Cina yang bawa ribuan senjata AK-46 di tengah pandemi Covid-19, keliru. Tidak ditemukan adanya pemberitaan media terkait hal itu. Di situs CNN Indonesia pun, yang logonya tercantum dalam gambar tersebut, tidak terdapat berita dengan judul yang memuat kalimat "Dinas Imigrasi Tahan 300 Orang WNA China Ilegal". Begitu pula dengan foto-foto yang dicantumkan, tidak terkait dengan klaim bahwa Imigrasi menahan 300 WNA Cina yang membawa ribuan senjata.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8134) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ribka Tjiptaning Sebut Ibu Jokowi Ketua Gerwani PKI?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Dian Limaran mengunggah foto anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, pada 14 Juni 2020. Dalam foto itu, tertulis kalimat yang seolah-olah merupakan pernyataan Ribka, “Saya PKI. Jokowi tak berani Gebuk saya, karena ibunya ketum Gerwani PKI.”
    Dalam unggahannya, akun Dian Limaran juga membagian sebuah tulisan panjang berjudul “29 bukti Presiden Jokowi PKI”. Tulisan ini antara lain berisi klaim bahwa Jokowi adalah keturunan PKI.“Jokowi sembunyikan indentitas asli dan tempat lahirnya. Jokowi semula tidak ngaku berasal dari Giriroto Ngemplak Boyolali, Basis PKI terbesar di Indonesia 1955-1965.”
    Selain menyinggung Jokowi, tulisan itu juga menyebut bahwa nama asli orang tua Jokowi disembunyikan. “Jokowi sembunyikan nama asli orang tuanya. Widjiatno diganti dengan nama Noto Mihardjo. Sulami dipalsukan dengan Sudjiatmi,” demikian narasi dalam tulisan tersebut.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Dian Limaran.
    Apa benar anggota DPR dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning, menyebut bahwa ibu Jokowi Ketua Umum Gerwani PKI?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo memasukkan kata kunci “Saya PKI Jokowi tak berani gebuk saya karena ibunya Ketum Gerwani PKI” ke mesin pencarian Google. Namun, tidak ditemukan bahwa pernyataan tersebut pernah diucapkan oleh Ribka Tjiptaning di media.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, Ribka pun tidak pernah menyatakan “Saya PKI”. Klaim ini memutarbalikkan kalimat yang menjadi judul buku yang pernah ditulis Ribka. Buku yang diterbitkan pada 2002 itu berjudul “ Aku Bangga Jadi Anak PKI ”.
    PKI sendiri telah berakhir setelah Gerakan 30 September 1965 yang disusul dengan pembantaian besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pembubaran PKI pun telah dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Sejak saat itu, tidak ada lagi aktivitas PKI di Indonesia. Selain itu, Ribka lahir pada 1 Juli 1959. Pada 1965, Ribka baru berusia 6 tahun.
    Terkait apakah ibu Presiden Jokowi adalah Ketua Umum Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), klaim ini sudah pernah diverifikasi oleh Tim CekFakta Tempo pada 5 April 2019.
    Dua dosen dari perguruan tinggi yang berbeda menulis buku tentang asal-usul Jokowi. Hasil penelusuran kedua dosen itu, yang tertuang dalam buku yang berjudul "Jokowi dari Bantaran Kalianyar ke Istana", membantah fitnah yang menyebut Jokowi merupakan keturunan dari keluarga yang terkait dengan PKI.
    Salah satu dosen yang menulis buku tersebut, Wawan Mas'udi, bercerita bahwa ia melacak sejarah asal-usul Jokowi mulai dari kakek-nenek serta kedua orang tuanya. "Kami mendatangi kampung-kampung tempat asal-usul keluarganya dan mengumpulkan beberapa sumber," katanya dalam acara bedah buku yang digelar di Solo pada 19 Desember 2018.
    Kakek Jokowi dari jalur ayah, Lamidi Wiryomiharjo, merupakan kepala desa di Desa Krajan, Karanganyar, yang menjabat sejak 1950 hingga 1980-an. Jabatan Lamidi, menurut dia, sekaligus membantah fitnah bahwa Jokowi merupakan keturunan dari simpatisan PKI. "Orde baru tidak mungkin membiarkan orang yang tersangkut PKI jadi kepada desa," katanya.
    Wawan adalah dosen Fakultas Ilmu Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Sedangkan dosen lain yang menulis buku itu, Ramdhon, adalah pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Sebelas Maret.
    Dilansir dari laporan Tirto.id yang menjelaskan asal-usul ibu Jokowi menyebut bahwa ibu Jokowi bernama Sudjiatmi. Sudjiatmi lahir pada 15 Februari 1943 di Desa Giriroto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah. Sudjiatmi menikah dengan Widjiatno Notomihardjo pada 1959. Pasangan ini lalu pindah dari Boyolali ke Srambatan, Solo bagian utara. Pada 21 Juni 1961, lahir anak pertama mereka, Joko Widodo.
    Sudjiatmi dan suaminya memang orang biasa yang bahkan pernah mengalami kehidupan sulit. Keluarga ini beberapa kali pindah rumah, termasuk pernah tinggal di permukiman kumuh di bantaran kali. Meski pernah mengalami masa sulit, pasangan Notomiharjo dan Sudjiatmi menyekolahkan Jokowi hingga ke perguruan tinggi, hingga sang putra merintis usaha mebel dan bisa memperbaiki taraf kesejahteraan keluarga.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa anggota DPR dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning, menyebut bahwa ibu Presiden Jokowi Ketua Umum Gerwani PKI keliru. Ribka tidak pernah berkata “Saya PKI, Jokowi tak berani Gebuk saya, karena ibunya ketum Gerwani PKI”. Ribka hanya pernah menulis buku yang berjudul “Saya Bangga Jadi Anak PKI”. Ibu Jokowi pun bukan Ketua Umum Gerwani.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8133) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya Soal Pembatalan Ibadah Haji 2020?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa Menteri Agama Fachrul Razi menarik ucapannya tentang pembatalan pemberangkatan calon jemaah haji 2020 beredar di media sosial. Menurut klaim dalam judul artikel di situs Sosok.politik.us tersebut, ibadah haji 2020 bisa dilaksanakan.
    Artikel yang berjudul "KABAR GEMBIRA Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya, Ibadah Haji 2020 Bisa Dilaksanakan, Ini Syaratnya" itu dimuat pada 8 Juni 2020. Dalam artikelnya, diketahui bahwa situs tersebut menyadur dari situs media Medcom.id dan Tribun Timur, jaringan Tribunnews.
    Artikel itu menyebut, jika ada kepastian dari pemerintah Arab Saudi, calon jemaah haji 2020 harus dikarantina selama 28 hari. “Proses karantina yang harus dilakukan para calon jemaah haji 14 hari sebelum berangkat ke Saudi dan 14 hari setelah sampai di Saudi,” kata Fachrul.
    Selain itu, jika ada kepastian dari Pemerintah Arab Saudi, kloter pertama idealnya akan diberangkatkan pada 26 Juni 2020. Kalau pun diberangkatkan, kemungkinan hanya setengah dari kuota calon jemaah haji. “Mungkin juga tidak bisa berangkat, mungkin juga hanya setengah yang diperbolehkan berangkat dan dipastikan kesehatannya,” tutur Fachrul.
    Gambar tangkapan layar artikel di situs Sosok.politik.us.
    Apa benar Menag Fachrul Razi tarik ucapannya soal pembatalan ibadah haji 2020?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo denganplagiarism checker tool, artikel di atas bersumber dari situs Tribunnews yang dimuat pada 8 Juni 2020. Artikel itu berjudul “Kloter Pertama Calon Jemaah Haji Berangkat 26 Juni Jika Arab Saudi Kasih Kepastian, Wajib Karantina”.
    Berita tersebut mengutip pernyataan Menag Fachrul Razi yang dimuat oleh situs Medcom.id pada 7 Juni 2020 dalam artikelnya yang berjudul "Karantina 28 Hari Jadi Pertimbangan Peniadaan Haji". Dalam artikel tersebut, Fachrul membeberkan alasan peniadaan penyelenggaraan ibadah haji 2020.
    Menurut Fachrul, salah satu pertimbangannya adalah waktu karantina terkait pandemi virus Corona Covid-19. "Kalau dalam situasi sekarang, ada semacam isolasi atau karantina 14 hari pada saat sebelum ke Arab Saudi dan sampai di sana juga karantina 14 hari," kata Fachrul adlam program Crosscheck #FromHome by Medcom.id bertajuk "Untold Story di Balik Batal Haji 2020".Rentang waktu 28 hari tersebut, menurut Fachrul, tidak cukup jika menilik jadwal keberangkatan kloter pertama calon haji. Kloter pertama rencananya berangkat pada 26 Juni 2020. "Itu jadwal seharusnya. Begitu sampai di sana, (seharusnya) sudah masuk ke dalam rangkaian ibadah. Mestinya sebelum 1 Juni (diberangkatkan)," ujar Fachrul.
    Dilansir dari situs resmi Kemenag, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Sekretaris Jenderal Kemenag Suhaili menegaskan bahwa berita yang menyebut Menag Fachrul Razi menarik ucapannya terkait pembatalan haji 2020 hoaks atau informasi bohong yang menyesatkan.
    Menurut Suhaili, berita itu diunggah oleh Tribun Timur pada 8 Juni 2020 dengan judul "KABAR GEMBIRA Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya, Ibadah Haji 2020 Bisa Dilaksanakan, Ini Syaratnya". Dalam berita itu, disebutkan bahwa Fachrul memberikan klarifikasi terkait pembatalan keberangkatan calon jemaah haji 2020.
    “Berita tersebut ditulis secara tidak tepat dengan mengutip dari media online lain, yaitu Medcom. Padahal, berita di Medcom sudah benar, tertulis dengan judul 'Karantina 28 Hari Jadi Pertimbangan Peniadaan Haji',” kata Suhaili pada 9 Juni 2020.
    Menurut Suhaili, keputusan pembatalan keberangkatan calon jemaah haji 2020 itu sudah tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 Tahun 2020. Dalam keputusan itu, tidak terdapat pengandaian bersyarat jika pemerintah Arab Saudi memutuskan digelarnya ibadah haji.
    Fachrul pun, menurut Suhaili, tidak pernah menyampaikan pengandaian bersyarat semacam itu. Fachrul justru menjelaskan alasan pembatalan keberangkatan, salah satunya terkait keharusan penerapan protokol kesehatan berupa karantina di masa pandemi yang secara waktu tidak memungkinkan lagi.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Kemenag menyatakan meniadakan ibadah haji 2020 karena pandemi Covid-19 masih menghantui dunia, khususnya Arab Saudi. Menteri Agama Fachrul Razi, dalam konferensi pers virtual pada 2 Juni 2020, mengatakan bahwa pandemi ini berdampak pada semua aspek sosial keagamaan.
    Menurut Fachrul, Kemenag sebelumnya telah membentuk Pusat Krisis Haji 2020. Pusat krisis ini diberi mandat untuk membuat mitigasi penyelenggaraan haji 2020. "Tim ini sudah membentuk kajian khusus tiga skema penyelenggaraan haji," kata Fachrul.
    Ketiga skema ini adalah haji normal, dibatasi, atau dibatalkan. Masuk Mei, opsi mengerucut pada pembatasan atau pembatalan. Menurut dia, Arab Saudi tak kunjung membuka akses haji untuk negara mana pun. "Sehingga pemerintah tak punya waktu menyiapkan," katanya.
    Karena itu, pemerintah memutuskan meniadakan keberangkatan ibadah haji 2020. Keluangan waktu pun tidak dimiliki pemerintah andai memaksakan pemberangkatan jemaah haji meski dengan pengurangan kuota. Alasannya, kloter pertama jemaah haji Indonesia harus sudah berangkat pada 26 Juni.
    Padahal, pemerintah dan jemaah membutuhkan tambahan waktu untuk mengikuti protokol kesehatan. "Dalam skenario ini (pengurangan kuota), rentang waktu haji akan lebih lama karena ada masa tambahan karantina 14 hari sebelum berangkat, setelah tiba (di Arab Saudi), dan setelah tiba kembali (di Indonesia)," tuturnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menteri Agama Fachrul Razi tarik ucapannya soal pembatalan ibadah haji 2020 adalah klaim yang keliru. Artikel di situs Sosok.politik.us yang memuat klaim tersebut tidak tepat dalam mengutip pernyataan Fachrul. Berita di situs Medcom.id yang dirujuk oleh situs Sosok.politik.us berisi penjelasan Fachrul soal waktu karantina 28 hari yang menjadi pertimbangan dalam pembatalan ibadah haji 2020.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan