• (GFD-2020-8132) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto Kuburan Massal Ulama dan Santri 1948 oleh PKI Muso?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Zein Muttaqien Halimi membagikan sebuah foto yang disebut sebagai "kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso" pada 31 Mei 2020. Foto itu disertai dengan tulisan panjang yang berisi klaim mengenai bentuk-bentuk kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lalu.
    Dalam foto hitam-putih itu, terlihat puluhan orang dalam posisi duduk di sebuah lubang parit yang panjang. Di atasnya, terdapat sejumlah pria berseragam yang membawa bedil. Adapun tulisan panjang yang menyertai foto tersebut ditutup dengan narasi sebagai berikut:
    "*Pasca Reformasi 1998* Pimpinan dan Anggota PKI yang dibebaskan dari Penjara, beserta keluarga dan simpatisanya yang masih mengusung IDEOLOGI KOMUNIS, justru menjadi pihak paling diuntungkan, sehingga kini mereka meraja-lela melakukan aneka gerakan pemutar balikkan Fakta Sejarah dan memposisikan PKI sebagai PAHLAWAN Pejuang Kemerdekaan RI. Sejarah Kekejaman PKI yang sangat panjang, dan jangan biarkan mereka menambah lagi daftar kekejamanya di negeri tercinta ini."
    Unggahan akun Zein Muttaqien Halimi itu pun viral. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 5.700 kali dan dikomentari lebih dari 1.600 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Zein Muttaqien Halimi.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal:

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi apakah foto di atas adalah foto kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso, Tim CekFakta Tempo menelusuri asal-usul foto tersebut denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut pernah dipublikasikan oleh sejumlah situs. Satu di antaranya adalah situs berbahasa Inggris yang berbasis di Pakistan, Dawn.
    Situs ini memuat foto tersebut pada 23 Juli 2015 dalam artikel yang berjudul "The volatile fusion: Origins, rise & demise of the ‘Islamic Left’". Keterangan foto dalam artikel itu berbunyi "Tentara menjaga parit yang penuh dengan aktivis kiri Indonesia. Mereka semua ditembak (1965).” Adapun isi artikel tersebut menyinggung sejarah Indonesia dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto yang diwarnai dengan penumpasan anggota PKI dan simpatisannya.
    Tempo pun menghubungi Yohanes Andreas Iswinarto, pemilik Perpustakaan Online 1965-1966. Menurut Yohanes, foto tersebut dimuat setidaknya dalam dua buku yang berisi cerita tentang PKI. Yang pertama adalah buku "Kronik '65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971)" karya Hadi Kuncoro dkk yang diterbitkan oleh Media Pressindo Yogyakarta pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 562.
    Foto di halaman 562-563 buku "Kronik '65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971)" karya Hadi Kuncoro dkk.
    Sementara yang kedua, menurut Yohanes, adalah buku "Penghancuran PKI" cetakan kedua karya Olle Tornquist yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 276. Olle memberikan keterangan "Siap dieksekusi dan dikuburkan" terhadap foto tersebut. Foto ini pun pernah dimuat dalam buku Olle yang sama namun yang berbahasa Swedia, "Marxistik Barlast", yang terbit pada 1982.
    Foto di halaman 276 buku "Penghancuran PKI" cetakan kedua karya Olle Tornquist.
    Dengan demikian, orang-orang dalam foto tersebut bukanlah ulama dan santri yang dibunuh oleh PKI Musso pada 1948.
    Benarkah eks anggota dan simpatisan PKI memutarbalikkan fakta sejarah?
    Foto puluhan orang yang berada di dalam sebuah parit menjelang eksekusi tersebut merupakan salah satu foto yang menunjukkan adanya pembantaian massal terhadap mereka yang diduga terkait dengan PKI. Pembantaian massal ini terjadi dalam rentang 1965-1966. Jauh sebelum reformasi, fakta sejarah mengenai pembantaian ini tidak banyak terungkap ke publik.
    Barulah setelah pemerintahan Presiden Soeharto jatuh, upaya-upaya pengungkapan sejarah terkait peristiwa 1965 banyak dilakukan, baik oleh peneliti-peneliti, berbagai lembaga, dan para penyintas peristiwa 1965. Salah satu tujuannya adalah memperjuangkan keadilan buat para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif selama Orde Baru.
    Bahkan, setelah lebih dari empat dekade, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuka kembali kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang sebagian besar menimpa anggota dan simpatisan PKI. Pada 2012, Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat.
    "Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menemukan terjadinya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua Tim Penyelidikan Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis, di kantor Komnas HAM pada 23 Juli 2012 seperti dilansir dari arsip pemberitaan Tempo.
    Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan HAM berat.
    Nur Kholis mengatakan para korban dalam peristiwa ini mengalami kejahatan berlapis. "Banyak korban yang diusir lalu dirampas kemerdekaannya, atau diperbudak," ujarnya. Kejahatan-kejahatan itu pun diduga dilakukan secara meluas dan sistematis. Pasalnya, kejahatan terjadi merata di seluruh Indonesia dalam kurun waktu bersamaan. Jenis kejahatan yang terjadi pun serupa. "Misalnya, ada 15 orang dieksekusi di Maumere, dalam waktu hampir berbarengan, ada kejadian serupa di Manado, Palu, Medan, dan Palembang."
    Data Komnas HAM tersebut juga diperkuat dengan sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika Serikat soal tragedi 1965 yang kembali dibuka ke publik pada 2017. Dilansir dari BBC, dokumen itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika terkait pembunuhan massal pasca 1965. Ketiga lembaga yang membuka dokumen tersebut adalah National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, serta lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
    Adapun dokumen yang dibuka berupa 39 dokumen setebal 30 ribu halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya yang berbentuk pembantaian massal. Salah satu dokumen itu berisi laporan pada 26 November 1965 dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya yang menyebut bahwa mereka terus mendapatkan informasi soal pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor.
    Di Tulungagung, setidaknya 15 ribu komunis dibunuh. "Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan, jika darah korban diusapkan ke wajah, bakal lebih terjamin (masuk surga)," demikian yang tertulis dalam laporan tersebut.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas adalah foto kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso keliru. Foto itu adalah foto orang-orang yang diduga mengikuti paham komunis yang akan dieksekusi di sebuah parit. Peristiwa dalam foto itu merupakan bagian dari pembantaian massal yang menimpa anggota dan simpatisan PKI dalam rentang 1965-1966. Klaim bahwa keluarga dan simpatisan eks-PKI melakukan gerakan pemutarbalikkan fakta sejarah setelah reformasi 1998 pun keliru. Yang mereka lakukan adalah upaya pengungkapan sejarah untuk memperjuangkan keadilan buat para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif selama Orde Baru.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8131) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto Presiden Jokowi yang Salah Posisi Bersedekap Saat Salat?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Suhermanto Yasduri mengunggah foto Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang sedang menjalankan ibadah salat pada 8 Juni 2020. Dalam keterangannya, akun ini menulis, "Jika anda seorang Muslim, pasti tahu kesalahan yang orang ini."
    Foto itu memang terlihat janggal karena, saat bersedekap, tangan kiri Jokowi berada di atas tangan kanannya. Lazimnya, posisi bersedekap ketika salat adalah tangan kanan berada di atas tangan kiri. Hingga artikel ini dimuat, foto tersebut telah dibagikan lebih dari 800 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Suhermanto Yasduri.
    Apa benar foto di atas adalah foto Presiden Jokowi yang salah posisi bersedekap saat salat?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri foto di atas denganreverse image toolSource, Google, Yandex, dan TinEye. Hasilnya, foto yang identik pernah diunggah di Facebook, yakni oleh akun Info Seputar Presiden, pada 2 Desember 2016. Foto itu berasal dari Biro Pers Sekretariat Presiden (Setpres) dan diberi keterangan sebagai berikut:
    “Pertama-tama, terimakasih atas doa dan zikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan bangsa dan negara kita. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan sambutan usai pelaksanaan salat Jumat di lapangan Taman Monas, Jakarta, Jumat (2/12) siang. Pekikan takbir dari Presiden Jokowi langsung disambut dengan pekikan yang sama oleh ratusan ribu peserta doa bersama. Foto: Biro Pers Setpres.”
    Foto Presiden Jokowi saat salat Jumat di Monas yang diunggah oleh akun Info Seputar Presiden pada 2 Desember 2016 yang berasal dari Biro Pers Sekretariat Presiden (Setpres).
    Foto tersebut juga pernah dimuat dalam berita di situs Tribunnews.com pada tanggal yang sama. Berita itu berjudul "Foto-foto Presiden Jokowi di Aksi Damai 212 Bikin Haru, Senyum Lebar Hingga Usahanya Naik Panggung".
    Namun, foto yang diunggah oleh akun Info Seputar Presiden dan Tribunnews.com sama-sama memperlihatkan posisi bersedekap yang lazim, yakni tangan kanan berada di atas tangan kiri. Rupanya, foto yang dibagikan oleh akun Suhermanto Yasduri telah mengalami suntingan, yakni dibalik secara horizontal (horizontal flip).
    Posisi bersedekap Jokowi saat salat juga terlihat dalam video aksi 212 yang didokumentasikan oleh CNN Indonesia pada 2 Desember 2016. Video berdurasi sekitar 10 jam tersebut diberi judul "FULL-Jokowi dan Massa Shalat Jumat dalam Aksi 2 Desember". Adapun keterangan videonya adalah sebagai berikut:
    “Aksi super damai 2 Desember 2016 merupakan aksi untuk menuntut Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) segera ditahan dan berdoa untuk persatuan Indonesia. Agenda aksi super damai tersebut adalah salat Jumat berjamaah, istigasah, baca Al-quran, dan doa bersama. Aksi sendiri dipusatkan di Silang Monas, Jakarta yang akan dimulai pada pukul 08.00-13.00 WIB. Kehadiran Presiden Jokowi mengejutkan massa pada siang hari. Jokowi beserta sejumlah pejabat ikut bergabung untuk menunaikan shalat Jumat bersama massa aksi 2 Desember. Bahkan, Jokowi sempat menyampaikan orasi singkat. Kehadiran Jokowi menjadi kejutan tersendiri mengingat isu makar mengemuka beberapa hari terakhir ini di wacana publik. Wacana publik tentang isu makar tersebut bahkan menjadi diskusi tokoh masyarakat.”
    Dalam video ini, terlihat bahwa Jokowi salat Jumat di Monas ditemani oleh beberapa pejabat, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Agama Lukman Hakim Sjaifuddin. Pada durasi 8:17:35, Jokowi terlihat dalam posisi bersedekap dengan tangan kanan yang berada di atas tangan kirinya, sama seperti jamaah lainnya.
    Aksi 212
    Pada Jumat, 2 Desember 2016, massa dari berbagai daerah menggelar aksi damai di Monas. Aksi ini merupakan kelanjutan dari demonstrasi pada 4 November 2016. Demonstrasi tersebut bertujuan untuk mendesak kepolisian agar menghukum calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, terkait kasus penistaan agama. Adapun aksi 2 Desember 2016 ditujukan untuk memastikan pemerintah tidak mengintervensi pengusutan perkara penistaan agama tersebut.
    Di tengah aksi ini, massa menggelar salat Jumat. Presiden Jokowi pun memutuskan untuk salat Jumat bersama massa di Monas. Jokowi menggunakan kesempatan itu untuk bertemu dengan peserta aksi yang sebelumnya ikut berdemonstrasi pada 4 November 2016. Menurut Menteri Agama saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, keputusan Jokowi salat Jumat di Monas diambil di saat-saat terakhir. Sebab, Jokowi mendengarkan masukan dari berbagai pihak terlebih dahulu mengenai apakah memungkinkan salat di Monas.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim yang menyertai foto unggahan akun Suhermanto Yasduri, bahwa Presiden Jokowi salah posisi bersedekap saat salat, adalah klaim yang keliru. Foto tersebut telah mengalami suntingan, yakni dibalik secara horizontal (horizontal flip). Dalam foto aslinya, terlihat bahwa posisi bersedekap Jokowi sama dengan jamaah lainnya, yakni tangan kanan berada di atas tangan kiri.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8130) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Lima Bersaudara di Surabaya yang Menunggu Diadopsi Karena Orang Tuanya Meninggal Akibat Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 11/06/2020

    Berita


    Foto lima anak yang berdiri berjejer di sebuah ruangan yang mirip kamar jenazah beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Menurut narasi yang menyertai foto itu, anak-anak tersebut merupakan lima bersaudara yang menunggu diadopsi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19.
    Dalam foto tersebut, terdapat pula foto KTP seorang pria yang beralamat di Kalijudan, Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. Adapun narasi yang tertulis di bawah foto itu adalah sebagai berikut: "Papa mama meninggal krn covid 19. 5 bersaudara kandung ini nunggu diadopsi oleh para budiman".
    Foto yang beredar di grup-grup WhatsApp yang memuat klaim bahwa kelima anak dalam foto tersebut menunggu diadopsi.
    Apa benar kelima anak dalam foto tersebut adalah lima bersaudara di Surabaya yang menunggu diadopsi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Informasi tersebut telah dibantah oleh Humas Kota Surabaya melalui akun resminya di Facebook dan Twitter. Menurut Humas Kota Surabaya, berdasarkan hasil koordinasi dengan Puskesmas Kalijudan, keluarga tersebut sudah tidak tinggal di Kalijudan selama dua tahun. Tetangga juga tidak mengetahui kepindahan keluarga tersebut.
    Saat ini, alamat yang tercantum dalam KTP di foto yang beredar sudah ditempati oleh orang lain dan tidak memiliki hubungan dengan keluarga tersebut. “Di dalam data kami, juga tidak ditemukan pasien Covid-19 atas nama tersebut,” demikian penjelasan Humas Kota Surabaya pada 10 Juni 2020 di Facebook.
    Keterangan Humas Kota Surabaya ini juga dimuat oleh Tribunnews Surabaya dalam berita yang berjudul "Foto 5 Saudara Kandung Menunggu Diadopsi karena Orang Tua Meninggal karena Covid-19 Ternyata HOAX".
    Dalam kolom komentar unggahan akun Humas Kota Surabaya, sejumlah warganet pun memberikan penjelasan yang mendukung keterangan mengenai keluarga tersebut. Akun Dadung misalnya, menjelaskan bahwa keluarga tersebut adalah tetangganya. Setelah dari Kalijudan, keluarga itu tinggal di kampungnya di Tanah Kali Kedinding, Kenjeran, Surabaya.
    Kemudian, akun Wicaksono Suhermanto, mengatakan bahwa anak-anak tersebut kini dirawat oleh ibu kandungnya. “Ayolur,ojo titik-titik share/ membagikanpostinganyang belum jelas adanya,” katanya memperingatkan. Hal ini juga dinyatakan oleh akun Jokodono Ring, bahwa kelima anak tersebut tinggal bersama ibunya. Dia juga membagikan foto kelima anak itu bersama mamanya. “Alhamdulillah anak anak tentram bersama mamanya,” ujarnya.
    Akun Cak Mat Alb mengatakan bahwa ayah dari lima anak itu adalah kawannya di klub burung CLBK. Menurut penjelasan akun ini, pria tersebut memang meninggal, tapi bukan karena Covid-19. Penjelasan yang sama juga diberikan akun Aldo Angels Songo Songo. “WwwooiiiiiiItu teman kami bukan meninggal karena Covid-19.Nijelashoax,” katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa kelima anak dalam foto di atas adalah lima bersaudara di Surabaya yang menunggu diadopsi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19, keliru. Ayah kelima anak itu memang dilaporkan meninggal. Namun, Humas Kota Surabaya menyatakan nama pria tersebut tidak ditemukan dalam data pasien yang meninggal karena Covid-19.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8129) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Anies Dapat Penghargaan Gubernur Terbaik Penanganan Covid-19 di KTT CAC?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 11/06/2020

    Berita


    Narasi bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendapat penghargaan internasional sebagai salah satu gubernur terbaik dalam menangani Covid-19 beredar di Facebook. Narasi ini dilengkapi dengan sebuah video yang memperlihatkan salah satu acara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Global Cities Against Covid-19 (CAC) pada 2 Juni 2020.
    Akun yang membagikan narasi serta video tersebut adalah akun Yuli Mustikaningsih, yakni pada 8 Juni 2020. Akun ini menulis, "Masya Allah Tabarokalloh...Bpk Anies Baswedan dapat penghargaan internasional, menjadi salah satu gubernur terbaik dalam menangani COVID 19." Hingga artikel ini dimuat, video itu telah ditonton lebih dari 5 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Yuli Mustikaningsih.
    Apa benar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendapat penghargaan sebagai gubernur terbaik penanganan Covid-19 di KTT CAC?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, video dengan durasi yang lebih panjang pernah diunggah oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di akun Instagram-nya, @aniesbaswedan, pada 6 Juni 2020. Dalam KTT CAC ini, Anies memang didaulat sebagai pembicara utama dalam Mayoral Meeting.
    Selain Anies, terdapat pula pembicara utama lain, yakni Gubernur Maryland (Amerika Serikat), Wali Kota London (Inggris), dan Wali Kota Moskow (Rusia), serta pembicara kunci, yakni Wali Kota Seoul (Korea Selatan), Park Wonsoon. Namun, dalam KTT CAC itu, tidak disebutkan bahwa terdapat pemberian penghargaan gubernur terbaik, termasuk kepada Anies.
    Berikut keterangan lengkap yang diunggah oleh Anies:
    "Together We Stand. Itulah topik Mayoral Meeting, Cities Against Covid-19 Global Summit 2020-Virtual yang diselenggarakan Selasa, 2 Juni 2020. Pertemuan Tingkat Tinggi ini dihadiri oleh wali kota dan gubernur di 40 kota/provinsi/negara bagian dari berbagai benua. Sebagai pembicara kunci adalah Wali Kota Seoul, Mr. Park Wonsoon, dilanjutkan dengan empat pembicara utama yaitu 1) Wali Kota London, Mr. Sadiq Khan, 2) Gubernur Maryland, Mr. Larry Hogan, 3) Gubernur Jakarta, Mr. Anies Baswedan, 4) Wali Jota Moscow, Mr. Sergei Sobyanin. Gubernur DKI Jakarta mengajak semua untuk melihat ke depan. Mengantisipasi perubahan yang perlu dilakukan oleh para pemimpin di seluruh dunia dalam memandang tata ruang, menjadikan kota yang tangguh, dan membangun kolaborasi sosial. #TogetherWeStand eng.cac2020.or.kr"
    Tempo pun menelusuri situs resmi KTT CAC yang tautannya terdapat dalam unggahan Anies tersebut. Hasilnya, diketahui bahwa dalam acara Mayoral Meeting KTT CAC memang tidak terdapat sesi pemberian penghargaan gubernur terbaik dalam penanganan Covid-19.
    Dalam acara itu, hanya terdapat presentasi mengenai penanganan Covid-19 oleh beberapa gubernur dan wali kota, termasuk Anies. Terdapat pula sesi diskusi terbuka yang juga diikuti oleh gubernur dan wali kota dari wilayah-wilayah lainnya serta inisiasi kerja sama antar wilayah yang dinamai "Deklarasi Seoul".
    Dikutip dari Prnewswire.com, KTT CAC berlangsung pada 1-5 Juni 2020 dan melibatkan gubernur serta wali kota dari 42 wilayah di seluruh dunia. Pada 2 Juni 2020, acara Mayoral Meeting dibuka dengan presentasi dari pembicara kunci Wali Kota Seoul. Lalu, acara dilanjutkan dengan presentasi dari pembicara utama, mulai dari Wali Kota London, Gubernur Maryland, Gubernur DKI Jakarta, hingga Wali Kota Moskow.
    Setelah presentasi dari empat wilayah tersebut, wali kota dari 14 kota, termasuk Toronto (Kanada), New Delhi (India), Budapest (Hungaria), dan Hanoi (Vietnam), berbagi mengenai upaya yang dilakukannya dalam menangani pandemi Covid-19. Ada pula wali kota dari Istanbul (Turki), Teheran (Iran), Tel Aviv (Israel), Buenos Aires (Argentina), Vancouver (Kanada), serta Chongqing (Cina).
    Kehadiran Anies dalam KTT CAC pun diberitakan oleh beberapa media dalam negeri. Dalam situsnya, tvOne menayangkan video yang diunggah oleh Anies di Instagram pada 7 Juni 2020. Video berita itu diberi judul "Anies Jadi Pembicara Utama di Forum 'Cities Against Covid-19 Global Summit 2020'". Namun, dalam video berita ini, juga tidak disinggung bahwa Anies mendapat penghargaan dalam KTT CAC tersebut.
    Adapun dilansir dari situs Viva.co.id, dalam presentasinya, Anies mengajak semua pihak untuk melihat ke depan. "Selama lebih dari enam bulan, banyak dari kita berjuang untuk menyelamatkan warga kita, untuk memastikan kita bisa kembali ke kehidupan normal lagi," kata Anies.
    Menurut Anies, akhir pekan pertama Juni 2020, Jakarta mulai melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, selama tiga bulan terakhir, Jakarta tidak hanya mengalami masalah, tapi juga kesempatan. Jakarta menghadapi dua masalah, yaitu kesehatan dan ekonomi. Di sisi lain, Jakarta juga mengalami terobosan di bidang digital dan lingkungan yang lebih asri.
    "Krisis kesehatan dan ekonomi ini menjadi tantangan yang harus kami hadapi, tapi penduduk kami juga mengalami transformasi. Pada masa pendemi ini, yang diperlukan tidak hanya pelayanan yang baik tapi juga layanan perkotaan yang tangguh," kata Anies.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendapat penghargaan sebagai gubernur terbaik penanganan Covid-19 di KTT CAC merupakan klaim yang keliru. Dalam KTT itu, Anies memang didaulat sebagai salah satu pembicara utama dalam acara Mayoral Meeting pada 2 Juni 2020. Namun, dalam KTT tersebut, tidak terdapat sesi pemberian penghargaan gubernur terbaik dalam penanganan Covid-19, termasuk kepada Anies.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan