• (GFD-2020-8162) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto-foto FPI dan Banser yang Geruduk Kantor PDIP untuk Tolak RUU HIP?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/07/2020

    Berita


    Sejumlah foto yang diklaim sebagai foto-foto Front Pembela Islam (FPI) dan Barisan Serba Guna (Banser) NU saat menggeruduk kantor PDIP di Purwokerto, Jawa Tengah, beredar di Facebook. Foto-foto dan klaim itu diunggah oleh akun Bambang Irawan pada 28 Juni 2020.
    Dalam empat foto yang dibagikan oleh akun tersebut, memang terlihat sejumlah pria berpakaian dan berpeci putih serta berseragam loreng khas Banser. Dalam salah satu foto, mereka tampak berada di depan kantor PDIP yang bercat merah dengan spanduk yang di dalamnya memuat foto Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
    Adapun narasi yang ditulis oleh akun Bambang Irawan adalah sebagai berikut: "Purwokerto : FPI & BANSER Geruduk Kantor PDIP .Hajar Bila Ketemu Pengurus Nya . Kita Bangsa Yg Besar ,Islam Terbesar Di Dunia .Jgn Di Atur Oleh Partai PKI Komunis ."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Bambang Irawan.
    Unggahan tersebut beredar setelah sebelumnya menyebar video yang menggambarkan suasana demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan gedung DPR pada 24 Juni 2020. Dalam video tersebut, terlihat sejumlah demonstran membakar dua bendera, yaitu bendera berlogo palu arit dan bendera PDIP.
    Aksi itu digelar oleh jaringan FPI dan Persaudaraan Alumni (PA) 212. Ketua Media Center PA 212 Novel Bamukmin membenarkan adanya peristiwa tersebut. Menurut dia, pembakaran itu didasari kemarahan demonstran terhadap PDIP yang diduga menginisiasi RUU HIP.
    Namun, apa benar foto-foto di atas adalah foto-foto FPI dan Banser yang menggeruduk kantor PDIP di Purwokerto untuk menolak RUU HIP?

    Hasil Cek Fakta


    Denganreverse image toolGoogle, Tim CekFakta Tempo menemukan bahwa keempat foto itu pernah dimuat oleh situs Faktakini.net pada 26 Juni 2018, jauh sebelum digelarnya demonstrasi menolak RUU HIP pada 24 Juni 2020. Foto-foto itu terdapat dalam artikel yang berjudul "Acara Tahlilan Dibubarkan, Banser FPI Dan Kokam Kepung Kantor PDIP Banyumas".
    Artikel ini menjelaskan bahwa Banser Purwokerto berunjuk rasa ke kantor PDIP Banyumas karena massa PDIP membubarkan acara tahlilan NU. Selain Banser, aksi tersebut juga didukung oleh Laskar FPI dan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda (Kokam) Muhammadiyah.
    Unjuk rasa itu terjadi setelah sebelumnya beberapa pengurus NU Ranting Susukan, Kecamatan Sumbang, Banyumas, dilaporkan ke panitia pengawas (panwas) karena membagikan berkat (berisi nasi dan lauk) saat acara doa bersama untuk orang yang meninggal (tahlilan). Pembagian berkat itu dinilai sebagai politik uang karena bersamaan dengan kontestasi pilkada setempat.
    Berbekal petunjuk ini, Tempo menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan kata kunci “Banser dan FPI kepung kantor PDIP Banyumas” di mesin perambah Google. Lewat cara ini, Tempo menemukan sejumlah pemberitaan yang membenarkan adanya peristiwa tersebut.
    CNN Indonesia mempublikasikan berita mengenai peristiwa itu pada tanggal yang sama, yakni 26 Juni 2018, dengan judul "Polisi: PDIP Minta Maaf ke NU dan Cabut Laporan Politik Uang". CNN Indonesia menulis bahwa puluhan anggota Banser NU, bersama FPI menggeruduk kantor PDIP Banyumas, Jawa Tengah.
    Mereka memprotes tindakan pengurus PDIP Banyumas yang melaporkan sejumlah kiai karena diduga melakukan politik uang berupa pembagian bisyaroh (berkat). Banser, yang mana merupakan sayap dari NU, tidak terima dengan perlakuan tersebut. Mereka kemudian mendatangi kantor PDIP Banyumas bersama sejumlah anggota ormas lainnya.
    Dalam berita tersebut, CNN Indonesia menggunakan foto yang sama dengan salah satu foto unggahan akun Bambang Irawan.
    Foto unggahan akun Facebook Bambang Irawan (kiri) dan foto yang dimuat oleh CNN Indonesia (kanan).
    Selain foto tersebut, kesamaan lainnya terletak pada foto kantor PDIP Banyumas dengan jendela berwarna putih dan spanduk berfotokan Megawati yang terpasang di depan kantor. Ciri-ciri kantor PDIP dalam foto yang diunggah akun Bambang Irawan dengan foto yang dimuat CNN Indonesia sama. 
    Foto unggahan akun Facebook Bambang Irawan (kiri) dan foto yang dimuat oleh CNN Indonesia (kanan).
    Lewat pencarian di Google Maps, berdasarkan arsip foto pada Mei 2018, ciri kantor PDIP Banyumas itu, yakni warna jendela dan spanduk Megawati, sama dengan yang terlihat dalam unggahan akun Bambang Irawan maupun CNN Indonesia. Spanduk Megawati tersebut tidak terpasang lagi pada dokumentasi Google Maps per Maret 2019.
    Gambar tangkapan layar arsip foto Google Maps pada Mei 2018.
    Pemberitaan yang sama dimuat oleh situs media arus utama lain pada 26 Juni 2018, misalnya Suara.com dan Jawapos.com. Berita yang dimuat Suara.com berjudul "Kantor PDIP Banyumas Digeruduk Massa Banser NU dan FPI", sedangkan judul berita Jawapos.com adalah "Aksi Banser dan FPI Geruduk Kantor PDIP Banyumas Berakhir Damai".

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto-foto di atas adalah foto-foto FPI dan Banser yang menggeruduk kantor PDIP di Purwokerto untuk menolak RUU HIP menyesatkan. Aksi unjuk rasa dalam empat foto itu terjadi pada 2018 saat massa memprotes kader PDIP karena melaporkan salah satu pengurus NU atas dugaan politik uang.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8161) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Risma Sujud ke IDI Karena Warga Surabaya Tak Diterima di RSUD Dr Soetomo?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Risma sujud di hadapan anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya dan IDI Jawa Timur karena warganya yang terinfeksi Covid-19 tidak diterima di RSUD dr. Soetomo beredar di media sosial. Di Facebook, klaim tersebut dibagikan oleh akun Facebook Rachman Ardiyanto, yakni pada 29 Juni 2020.
    Dalam unggahannya, akun itu menulis, "Untuk teman-teman fbku, yang melihat Surabaya zona hitam, harap dibaca. Smua yang d luar surabaya boleh di rawat di surabaya (rs milik sby), akan tetapi untuk warga Surabaya sendiri tidak diperbolehkan untuk ke rs milik rs dr soetomo (milik pemprov), SAMPAI BU RISMA SUJUD KE IDI."
    Akun itu pun menyertakan gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @ini_surabaya yang berisi sebuah berita dari Detik.com yang berjudul "Sujud ke IDI, Risma: Saya Memang Goblok!". Dalam gambar tangkapan layar itu, terdapat pula foto Risma ketika sujud di hadapan salah satu anggota IDI saat audiensi soal penanganan warga Surabaya yang terjangkit Covid-19.
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Rachman Ardiyanto telah dibagikan lebih dari 1.100 kali, direspons lebih dari 500 kali, dan dikomentari sebanyak 133 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rachman Ardiyanto.
    Apa benar Risma sujud ke IDI karena warga Surabaya yang terinfeksi Covid-19 tidak diterima di RSUD dr. Soetomo?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri kronologi Risma sujud di hadapan IDI di berbagai pemberitaan media lewat mesin pencarian Google. Dilansir dari Kumparan.com, kejadian itu bermula ketika digelarnya audiensi antara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dengan IDI Surabaya.
    Saat itu, Risma mendengarkan penjelasan salah satu pengurus IDI Surabaya, Sudarsono, tentang penanganan pasien Covid-19 di Surabaya. Menurut Sudarsono yang merupakan dokter spesialis paru itu, salah satu penyebab tingginya kematian pasien Covid-19 adalah pasien harus menunggu untuk masuk ke ruang isolasi, terutama di RSUD dr. Soetomo.
    "Saya ikut bantu di poli, di IGD, dan di ruang isolasi. Saya tahu betul kalau pasien itu harus antri untuk masuk ruang isolasi. Soetomo sudah penuh. Belum lagi, kalau malam saya pulang dari rumah sakit saya lihat warga Surabaya masih nongkrong di warung kopi banyak yang mengabaikan protokol kesehatan," kata Sudarsono.
    Mendengar penjelasan tersebut, Risma tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan menuju ke arah Sudarsono. "Semua salah saya. Saya yang salah," kata Risma sembari menangis dan bersujud di hadapan Sudarsono. Melihat Risma bersujud di depannya, Sudarsono dan sejumlah staf Risma yang terkejut mencoba mengangkat Risma untuk berdiri.
    "Saya sudah sediakan 200 bed di RS Husada Utama kalau di RS dr. Soetomo penuh. Saya bilang silakan pakai kalau sudah penuh. Tapi kenapa saya selalu disalahkan. Padahal bantuan saya ditolak. Saya enggak bisa masuk Soetomo," kata Risma sambil terisak. Sebagai informasi, RSUD dr. Soetomo merupakan rumah sakit di bawah pengelolaan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
    Melihat situasi itu, Ketua IDI Surabaya Brahmana Askandar mencoba menengahi Risma dan Sudarsono. "Jadi, sebetulnya permasalahannya di kapasitas kamar yang dipakai pasien konversi dari positif ke negatif. Mereka sudah diuji PCR satu kali dan hasilnya negatif. Tapi mereka belum boleh pulang kalau belum dua kali PCR. Karena, kalau mereka dipulangkan padahal masih satu kali PCR, nanti klaim rumah sakit ditolak BPJS. Di situ saja masalahnya sebenarnya. Seolah-olah kamar terisi terus, padahal pasien yang masuk dan keluar ini enggak sebanding," katanya.
    Setelah mendengar penjelasan dari berbagai dokter spesialis paru dan anestesi serta perwakilan rumah sakit seluruh Surabaya, Risma pun kembali meminta maaf. "Saya memang goblok. Saya nggak pantas jadi Wali Kota Surabaya. Saya minta maaf Pak Sudarsono," kata Risma yang kembali mendatangi Sudarsono dan bersimpuh di kakinya untuk kedua kalinya sambil menangis. Melihat kejadian itu, Sudarsono dan sejumlah staf pemkot pun segera membantu Risma untuk berdiri kembali.
    Kronologi serupa juga dimuat oleh Kompas.com. Pada 29 Juni 2020, Risma menggelar audiensi dengan IDI Surabaya di Balai Kota Surabaya terkait penanganan Covid-19 di wilayahnya. Tangisan Risma meledak saat Ketua Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Remering (Pinere) RSUD dr. Soetomo, Sudarsono, menyatakan rumah sakitnya telah melebihi kapasitas. Sudarsono juga menuturkan banyak warga yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
    Mendengar pernyataan tersebut, Risma langsung bersujud dan menangis sambil memegang kaki Sudarsono. Sejumlah pejabat Pemkot Surabaya dan para dokter yang hadir pun berusaha menenangkan Risma. "Tolonglah kami jangan disalahkan terus," kata Risma.
    Menurut Risma, Pemkot Surabaya telah bekerja keras menangani kasus Covid-19. Risma mengatakan ia tidak ingin ada warga Surabaya yang meninggal karena Covid-19. Tapi, di sisi lain, Risma tidak ingin ada warganya yang kelaparan. "Jadi, kami ini sudah bekerja keras, berat. Apa dikira saya rela warga saya mati karena Covid-19 atau mati karena tak bisa makan?" ujarnya.
    Risma menjelaskan bahwa Pemkot Surabaya memang hanya berwenang mengendalikan penyebaran Covid-19 di Surabaya. Tapi mereka juga mengurus pasien yang berasal dari luar Surabaya. "Semalam, saya dan Linmas (Perlindungan Masyarakat) masih mengurus warga bukan Surabaya. Warga bukan Surabaya saja masih kami urus, apalagi warga Surabaya," ujarnya.
    Video sujudnya Risma di hadapan IDI Surabaya pun diunggah ke kanal YouTube KompasTV pada 29 Juni 2020. Video itu berjudul "Risma Sujud sambil Menangis di Hadapan Dokter di Surabaya: Saya Mohon Maaf!". Dalam video itu, dijelaskan bahwa Risma bersujud dan menangis karena mendengar banyak warga Surabaya yang tidak bisa dirawat di RSUD dr. Soetomo karena jumlah pasien yang dirawat telah melebihi kapasitas.
    Penjelasan RSUD dr. Soetomo
    Direktur Utama RSUD dr. Soetomo, Joni Wahyudi, menanggapi pernyataan Risma soal Pemkot Surabaya yang tidak memiliki akses untuk berkomunikasi dengan rumah sakitnya yang berada di bawah kewenangan Pemprov Jatim. Joni mengatakan hubungan antara rumah sakitnya dengan Pemkot Surabaya baik-baik saja, terutama dalam rangka koordinasi penanganan Covid-19.
    "RSUD dr. Soetomo selama ini selalu menerima Pemkot Surabaya dengan baik dan tangan terbuka. Sebelumnya koordinasi juga telah dilakukan di ruang rapat RSUD dr. Soetomo, khususnya terkait permasalahan Covid-19 dantracing," ujar Joni seperti dilansir dari Tirto.id pada 29 Juni 2020.
    Joni juga menuturkan, setiap sore, RSUD dr. Soetomo selalu berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan 37 daerah lainnya terkait data penyebaran Covid-19 untuk memverifikasi data yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan.
    Terkait pernyataan Risma soal penolakan bantuan alat pelindung diri (APD) dari Pemkot Surabaya kepada RSUD dr. Soetomo, Joni menjelaskan bahwa rumah sakitnya bukan menolak bantuan tersebut. Menurut dia, ketersediaan APD di RSUD dr. Soetomo masih mencukupi dan lebih baik digunakan oleh rumah sakit lain yang membutuhkan.
    Soal data pasien Covid-19, menurut Joni, RSUD dr. Soetomo saat ini tengah merawat 1.097 pasien positif Covid-19. Dari jumlah itu, 865 di antaranya merupakan pasien yang berdomisili Surabaya. Angka tersebut setara dengan 79 persen dari total pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD dr. Soetomo.
    Selain Surabaya, Joni mengatakan bahwa pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD dr. Soetomo juga berasal dari daerah lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan sebagainya. "Tapi yang terbanyak dari Jatim. Jatim yang terbanyak dari Surabaya," ujar Joni seperti dikutip dari CNN Indonesia.
    Kondisi yang sama juga terjadi di RS Lapangan atau RS Darurat yang didirikan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim di Surabaya. Pasien yang dirawat juga mayoritas berasal dari Surabaya. "Kenapa? Karena memang kita di Surabaya," kata Joni.
    Dikutip dari Merdeka.com, Joni mengatakan bahwa, menurut etika perawat dan pernyataan IDI dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), seluruh dokter tidak boleh membeda-bedakan pasien berdasarkan ras, agama, kedaerahan, ataupun politik.
    "Itu etika kedokteran. Artinya, kalau Pemprov Jatim membuat rumah sakit khusus untuk masyarakat Jatim, dan orang Kalimantan, orang Jawa Tengah, enggak boleh masuk, itu enggak etis, enggak diperkenankan di dunia kedokteran. Coba dibuka etika kedokteran," ujar Joni.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Risma sujud di hadapan IDI karena warganya yang terinfeksi Covid-19 tidak diterima di RSUD dr. Soetomo menyesatkan. Risma sujud dan menangis setelah mendengar penjelasan dari salah satu dokter bahwa RSUD dr. Soetomo telah melebihi kapasitas. Dokter tersebut juga menuturkan banyak warga yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Selain itu, data menunjukkan bahwa 79 persen pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD dr. Soetomo berdomisili Surabaya.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8160) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tiga Remaja di Video ini Terkena TikTok Syndrome?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/06/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan tiga remaja yang mengakui bahwa dirinya mengalami TikTok Syndrome viral di media sosial. Video tersebut dibagikan dengan narasi bahwa TikTok, media sosial sekaligus platform video musik buatan perusahaan Cina ByteDance, bisa menyebabkan gangguan pada tubuh yang disebut TikTok Syndrome.
    Dalam video berdurasi 4 menit 29 detik itu, terdapat tiga remaja yang menceritakan kisahnya terkena TikTok Syndrome. Mereka adalah Santika Rahmi, Kesar, dan Renaldi. Ketiganya menyatakan bahwa, akibat kecanduan bermain TikTok, tubuh mereka kerap bergerak sendiri. Mereka mengaku tidak bisa mengontrol tubuh mereka.
    Di Facebook, video tersebut diunggah salah satunya oleh akun Bundanya Ayu, yakni pada 28 Juni 2020. Akun ini pun menulis narasi, “Tik tok bisa menimbulkan penyakit. Pokone lamun ayu due tik tok like dan sejenis nya. Nnti mmah gk ksih hp lgi.” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah ditonton lebih dari 177 ribu kali dan dibagikan sekitar 6.700 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Bundanya Ayu.
    Apa benar tiga remaja dalam video di atas terkena TikTok Syndrome?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video di atas menjadi beberapa gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, video di atas merupakan gabungan dari tiga video yang berbeda. Tiga remaja dalam video tersebut juga tidak terkena TikTok Syndrome.
    Video pertama, yang berisi pengakuan Santika Rahmi, pernah diunggah di kanal YouTube Kanara TV pada 24 Juni 2020. Kanal ini adalah kanal milik Santika sendiri. Video tersebut diberi judul "Wanita Ini Terkena Penyakit Tik Tok Syndrome??!!!!".
    Namun, di atas judul tersebut, terdapat tagar yang menyebut bahwa video itu adalah parodi. Dalam keterangannya, Santika pun menulis, "Video ini merupakan video hiburan parodi dari video Tik Tok syndrome yang telah digarap oleh Creator Kesar."
    Video kedua, yang berisi pengakuan Kesar, juga dibuat oleh orang yang sama, yakni Kesar. Video tersebut pernah diunggah di akun Instagram milik Kesar, @kesarnst, pada 18 Juni 2020. Video itu juga merupakan parodi. Kesar menulis keterangan sebagai berikut:
    "Kisah seorang remaja yang terkena tiktok syndrome. komedi sarkas (awas konten sensitif) #awreceh #receh #tiktok #tiktokindonesia #hahaha #inspiratif #dokumenter #recehbanget #menggelitik #absurd #konyol #gaksengaja."
    Adapun video ketiga, yang berisi pengakuan Renaldi, pernah diunggah oleh kanal YouTube Cikul Markucul pada 24 Juni 2020. Video itu diberi judul “Viraaaal !!! Diagnosa TikTok Syndrom | Korban TikTok | TikTokers". Sama dengan dua video sebelumnya, video ini adalah parodi. Dalam keterangan video itu, tertulis "Parodi diagnosa tiktok...ingat guys ini hanya cuman buat lucu-lucuan jangan ada yang anggap serius yah hehehe..".
    TikTok Syndrome
    Dilansir dari Mojok.co, jika seseorang mengatakan bahwa sindrom itu memang ada, kemungkinan yang dimaksud adalah Tourette Syndrome, sindrom yang penderitanya sering melakukan gerakan repetisi dan suara-suara yang tidak diinginkan. Gerakan tersebut dilakukan di luar kontrol otak, mirip refleks yang agak aneh. Tapi, gerakan repitisi penderita Tourette syndrome ini bukan jogetan TikTok.
    Dilansir dari Tourette.org, Tourette Syndrome adalah salah satu jenis Tic Disorder. Tic merupakan gerakan dan vokalisasi yang terjadi secara tidak disengaja, namun berulang. Mereka adalah gejala utama dari sekelompok kondisi neurologis masa kanak-kanak yang dikenal secara kolektif sebagai Tic Disorder dan secara individual sebagai Tourette Syndrome (TS), motor atau vokal Tic Disorder yang kronis, dan Provisional Tic Disorder.
    Dilansir dari Alodokter.com, kondisi ini biasanya dimulai pada usia 2-15 tahun, dan lebih umum terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Tic tidak bertahan lebih dari satu tahun. Namun, pada anak-anak dengan Tourette Syndrome, tic berlangsung selama lebih dari satu tahun dan muncul dalam berbagai macam perilaku.
    Hingga saat ini, penyebab pasti Tourette Syndrome masih belum diketahui. Namun, ada sejumlah dugaan bahwa kondisi ini disebabkan oleh:

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tiga remaja dalam video di atas benar-benar terkena TikTok Syndrome menyesatkan. Klaim tersebut tidak mencantumkan penjelasan bahwa video itu hanyalah video parodi yang telah disebut dalam unggahan si pencipta video.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8159) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Covid-19 Singkatan dari Certificate of Vaccination ID dan Konsep New Normal Bermuatan LGBT?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Januar mengunggah sebuah video berdurasi sekitar 9,5 menit yang berisi sejumlah klaim tentang konspirasi elite global di balik pandemi virus Corona Covid-19. Unggahan itu viral dan, hingga kini, telah ditonton lebih dari 17 ribu kali serta dibagikan lebih dari 550 kali.
    Video tersebut berisi kolase foto, cuplikan video, dan klaim bahwa pandemi Covid-19 adalah hasil konspirasi sejumlah tokoh, salah satunya pendiri Microsoft, Bill Gates. Narasi dalam video itu dibacakan oleh seorang pria.
    Klaim yang disampaikan dalam video itu antara lain soal tesswab polymerase chain reaction(PCR) Covid-19 yang sengaja dibuat tidak akurat, rencana sertifikasi digital pada mereka yang telah divaksin Covid-19, Covid adalah singkatan dari Certificate of Vaccination Id, dan konsep “new normal” yang bermuatan LGBT seperti judul serial televisi pada 2012.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Januar.
    Apa benar Covid-19 adalah singkatan dari Certificate of Vaccination ID dan konsep “new normal” bermuatan LGBT?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1:Tes swab PCR dibuat tidak akurat agar sampai kapan pun Covid-19 seolah-olah tidak pernah hilang. Sampel swab tidak dimurnikan dulu. Tidak jelas urutan genetik apa yang dibandingkan.
    Fakta:
    Hingga saat ini,reverse transcriptasePCR dianggap sebagai metode standar emas (gold standard) yang digunakan untuk mendeteksi Covid-19. Metode ini tidak hanya digunakan di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika. Dilansir dari jurnal PubMed Central, tes PCR merupakan tes berbasis deteksi asam nukleat yang memiliki sensitivitas yang memadai untuk membantu mendiagnosis infeksi dini.
    Meski memiliki akurasi yang lebih tinggi ketimbang tes antibodi (rapid test), tes PCR tetap memiliki potensi negatif palsu. Namun, potensi ini bukan diakibatkan oleh kesengajaan agar Covid-19 tetap selalu ada seperti klaim dalam video di atas. Negatif palsu bisa terjadi karena tiga hal. Pertama, jika infeksi yang terjadi pada seseorang yang dites masih terlalu dini atau malah terlambat sehingga tidak terdapat virus dalam jumlah yang cukup di sel mereka. Kedua, jika layanan kesehatan tidak mengumpulkan jumlah sampel yang cukup, misalnya swab kurang. Ketiga, jika jarak waktu antara pengambilan sampel dan tes terlalu lama, yang membuat RNA virus terurai.
    Dengan adanya risiko negatif palsu tersebut, dokter biasanya tidak hanya mengandalkan tes untuk menentukan apakah seseorang mengidap Covid-19. Jika seseorang menunjukkan gejala klasik Covid-19 dan berada di lokasi wabah, dokter kerap mendiagnosis seseorang terkena Covid-19 meskipun hasil tesnya negatif.
    Klaim 2:Bill Gates mengatakan mereka yang sudah divaksin Covid-19 harus ditato sertifikat digital. Sertifikat digital itu dibuat oleh Tattoo ID dan tertera dalam situs ID2020.org. Tato tersebut berkode 666 atau tato dajal. Vaksin dan sertifikat digital ini kemudian akan dihubungkan dengan chip implan transaksi online (microchip).
    Fakta:
    Rumor ini pernah beredar pada April 2020, dan Tim CekFakta Tempo telah menerbitkan artikel cek fakta yang membantah rumor tersebut. Dilansir dari Reuters, rumor mengenai rencana Bill Gates untuk memakai implanmicrochipdalam melawan pandemi Covid-19 memang bermula dari wawancara pendiri Microsoft tersebut dengan para pengguna Reddit. Setelah wawancara itu berakhir, muncul sebuah tulisan berjudul "Bill Gates will use microchip implants to fight coronavirus".
    Ditulis layaknya sebuah berita, tulisan yang menyesatkan itu menyebut bahwa "quantum dot dye" atau "quantum dot tattoo", teknologi yang ditemukan oleh Bill and Melinda Gates Foundation, bakal digunakan sebagai kapsul yang diimplan ke manusia yang memiliki "sertifikat digital". Teknologi ini disebut dapat menunjukkan siapa saja yang sudah menjalani tes Covid-19.
    Kepada Reuters, salah satu penulis utama makalah penelitian mengenai quantum dot dye, Kevin McHugh, mengatakan, "Teknologi quantum dot dye bukan berbentuk microchip atau kapsul yang bisa diimplan ke manusia, dan setahu saya tidak ada rencana menggunakan teknologi ini untuk memerangi pandemi Covid-19."
    Dalam wawancara di Reddit itu, Bill Gates memang sempat menyebut "sertifikat digital". Namun, penyebutan "sertifikat digital" itu untuk menjawab pertanyaan mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap bisnis dan ekonomi dunia. Dalam wawancara itu, Bill Gates sama sekali tidak menyinggung masalah microchip.
    Organisasi cek fakta Amerika Serikat, FactCheck, juga telah memverifikasi klaim "Bill Gates berencana menggunakan vaksin Covid-19 untuk melacak orang-orang dengan microchip". Menurut mereka, klaim itu keliru. Gates Foundation mengkonfirmasi bahwa penelitian mengenai quantom dot dye tidak terkait dengan vaksin Covid-19. Begitu pula dengan sertifikat digital.
    Bill Gates merupakan salah satu orang terkaya di dunia, yang menempatkan sebagian kekayaannya itu dalam berbagai organisasi dan inisiatif amal melalui Bill and Melinda Gates Foundation. Fokus utama yayasan ini, dan filantropi Bill Gates secara umum, adalah mengurangi ketidaksetaraan dalam bidang kesehatan, dengan fokus pada negara berkembang.
    Melalui organisasi-organisasi ini, Bill Gates juga mendanai penelitian terkait solusi teknologi untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat di komunitas termiskin secara global. Sejak 2015, ia telah mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kurangnya kesiapsiagaan dunia dalam menghadapi bencana pandemi.
    Salah satunya karena pembelaannya terhadap vaksin, Bill Gates menjadi sasaran utama gerakan anti-vaksin selama lebih dari satu dekade terakhir. Permusuhan yang dibangun selama bertahun-tahun oleh klaim palsu dari kelompok-kelompok anti-vaksin itu, yang meningkat selama pandemi Covid-19, telah menciptakan teori konspirasi seputar Covid-19 yang semakin luas dan berpusat pada Bill Gates.
    Klaim 3:ID2020 adalah bagian dari konspirasi vaksin global.
    Fakta:
    Sebenarnya, ID2020 adalah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika yang bertujuan untuk membantu miliaran orang yang tidak berdokumen, seperti pengungsi. Mereka yang tidak berdokumen ini adalah kelompok rentan yang tanpa perlindungan hukum, tidak dapat mengakses layanan dasar dan berpartisipasi sebagai warga negara atau pemilih, serta bertransaksi dalam ekonomi modern. Organisasi pemeriksa fakta Amerika, Snopes, menulis bahwa ID2020, atau Digital Identity Alliance, didanai oleh beragam yayasan dan perusahaan, termasuk Microsoft dan GAVI yang didanai oleh Bill Gates.
    ID2020 Alliance menyediakan dana dan bantuan lain untuk proyek identitas digital dalam rangka melindungi privasi. Setiap individu atau organisasi yang memenuhi kriteria dapat mengajukan proposal. Tujuannya adalah untuk mengembangkan sistem di mana individu memiliki kendali penuh atas identitas pribadi atau dokumentasi kesehatannya. Sementara produk akhirnya adalah sistem yang memungkinkan informasi semacam itu dapat diakses di mana saja tapi hanya dengan persetujuan pemilik.
    Salah satu proyek percontohan yang terkait dengan ID2020 adalah MyPass, upaya untuk memberikan identifikasi digital kepada populasi tuna wisma di Austin, Texas. Proyek tersebut berupaya membuat repositori identifikasi dan dokumen medis berbasis cloud. Versi awal, mereka menggunakan beberapa kombinasi kartu kode QR yang diberikan kepada individu yang berpartisipasi. Namun, kepesertaan dalam penelitian ini bersifat sukarela. Proyek berikutnya berada di Tanzania dan Bangladesh, yang melakukan pencatatan online pada bayi.
    Proyek-proyek tersebut tidak terkait dengan pandemi Covid-19 dan tidak menyuntikkan apapun ke dalam tubuh manusia, atau sesuatu yang memungkinkan segala jenis pelacakan aktif atau pengawasan. Namun, teori konspirasi telah mendorong fakta-fakta di atas ke dalam narasi yang tidak berdasar.
    Klaim 4:Covid adalah singkatan dari Certificate of Vaccination ID.
    Fakta:
    Pemberian nama Covid-19 merujuk pada singkatan dari “coronavirus disease 2019” atau penyakit yang disebabkan oleh virus Corona pada 2019. Nama Covid-19 tersebut diumumkan oleh Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 11 Februari 2020. Sesuai pedoman internasional, nama tersebut tidak merujuk pada lokasi geografis, hewan, individu, ataupun kelompok tertentu.
    Klaim 5:Konsep “new normal” diambil dari serial televisi tentang LGBT.
    Fakta:
    Tidak ada kaitan antara “new normal” sebagai konsep kenormalan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19 dan serial televisi berjudul "Kesimpulan

    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Covid-19 adalah singkatan dari Certificate of Vaccination ID dan konsep “new normal” bermuatan LGBT, keliru. Nama Covid-19 merujuk pada singkatan dari “coronavirus disease 2019" atau penyakit yang disebabkan oleh virus Corona pada 2019. Adapun serial televisi yang berjudul “The New Normal”, yang di dalamnya menyinggung LGBT, tidak berkaitan dengan pandemi Covid-19 karena ditayangkan pada 2012, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan