• (GFD-2020-8152) [Fakta atau Hoaks] Benarkah MPR Usul Presiden Jokowi Pimpin Indonesia Hingga 2027?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 26/06/2020

    Berita


    Narasi yang menyebut bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengusulkan agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin Indonesia hingga 2027 beredar di media sosial. Narasi itu terdapat dalam artikel di situs Idtoday.co yang berjudul "MPR Usul Masa Jabatan Presiden 8 Tahun, Jokowi Pimpin Indonesia hingga 2027".
    Artikel tersebut dimuat pada 24 Juni 2020. Menurut artikel yang dikutip dari Tribun Manado itu, MPR sedang membahas periodesasi presiden. Ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi hanya satu periode, tapi selama delapan tahun. Ada pula yang mengusulkan bahwa presiden bisa menjabat tidak hanya selama dua periode, namun hingga tiga periode.
    Di Facebook, salah satu akun yang membagikan artikel tersebut adalah akun Tjoeng Mega. Akun ini pun menulis, "Gaungkan Terus JOKOWI 3 PERIODE!!Sudah Ada Wacana di DPR dan MPR utk Merevisi UU Pilpress! Gaungkan Terus, Kita Jangan Takut atao Menyerah Sebelum Berbuat Sesuatu utk Negri Tercinta INDONESIA!!"
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Tjoeng Mega.
    Apa benar MPR mengusulkan agar Presiden Jokowi memimpin Indonesia hingga 2027?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memeriksa berita di Tribun Manado yang dikutip oleh Idtoday.co. Hasilnya, diketahui bahwa berita itu merupakan berita lama, yakni pada November 2019. Dalam berita tersebut, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menuturkan bahwa lembaganya sedang menghimpun berbagai masukan terkait amandemen terbatas UUD 1945.
    Salah satu masukan yang muncul adalah perubahan masa jabatan presiden menjadi hanya satu periode, namun selama delapan tahun. Menurut ketentuan saat ini, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan ada pula wacana bahwa presiden bisa dipilih kembali hingga tiga periode.
    Namun, seperti dikutip dari arsip berita Tempo pada 24 November 2019, hal itu baru sekadar wacana, dan MPR pun belum satu suara terkait wacana tersebut. "Ya itu kan baru wacana ya. Ada juga wacana yang lain," kata Arsul pada 21 November 2019. Ia pun menuturkan, "Diskursus tentang penambahan masa jabatan presiden ini terlihat biasa saja sebagai sebuah wacana usulan yang memang harus ditampung oleh MPR."
    Pada 24 Juni 2020, di akun Facebook -nya, Hidayat merespons artikel yang dimuat oleh Idtoday.co di atas. Menurut dia, tidak benar bahwa MPR mengusulkan masa jabatan presiden selama delapan tahun. "Yang usulkan seperti itu pihak di luar MPR. Sikap MPR jelas, ikuti aturan UUD NRI (Negara Republik Indonesia) 1945, masa jabatan presiden bukan 8 tahun, tapi 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1x saja," katanya.
    Dilansir dari Kumparan.com, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menegaskan bahwa tidak ada wacana untuk memundurkan pemilu nasional 2024, yaitu pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), ke 2027. Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan wacana yang sedang digodok adalah memundurkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang awalnya dijadwalkan pada 2024 menjadi 2027.
    Arief mengatakan wacana ini digodok dalam satu rangkaian dengan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu. "Masih wacana. Ini pilkada," kata Arief pada 24 Juni 2020.
    Dihubungi terpisah, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tantowi menegaskan tidak mungkin pemilu nasional mundur menjadi pada 2027. Sebab, dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada masa jabatan presiden atau wakil presiden, atau bahkan anggota DPR, yang diperpanjang. "Saya rasa tidak mungkin karena belum ada sejarahnya masa jabatan presiden atau wapres, DPR dan DPD diperpanjang. Kalau diperpendek memang pernah," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa MPR mengusulkan agar Presiden Jokowi memimpin Indonesia hingga 2027 menyesatkan. Artikel yang memuat klaim itu mengutip berita lama, yakni pada November 2019. Ketika itu pun, hal tersebut masih sebatas wacana, dan MPR belum satu suara terkait wacana itu. Pada 24 Juni 2020, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan tidak benar lembaganya mengusulkan masa jabatan presiden selama delapan tahun. "Sikap MPR jelas, ikuti aturan UUD 1945, masa jabatan presiden bukan delapan tahun, tapi lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali saja," ujarnya.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8151) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Demo Tolak Kebangkitan Komunisme di Monas pada 21 Juni 2020?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/06/2020

    Berita


    Sebuah video yang diklaim sebagai video demonstrasi yang menolak kebangkitan komunisme di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, viral di Facebook. Video ini beredar saat DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP yang mendapatkan banyak penolakan.
    Video itu diunggah oleh akun Kadek Mulyawan pada 21 Juni 2020. Akun ini menulis, "Luput dari pantauan media. Monas menjadi loreng oleh Pemuda Pancasila dan Ormas Islam." Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 275 ribu kali dan dibagikan lebih dari 8.400 kali.
    Dalam video berdurasi 2 menit 44 detik itu, terdapat logo media BBC Indonesia. Tampak pula seorang jurnalis yang sedang mereportase sekitar 1.500 orang yang berjalan dari Monas menuju Istana Negara untuk mengingatkan bahaya kebangkitan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) meski partai tersebut sudah dibubarkan pada 1966.
    Terdapat juga ribuan orang berseragam loreng coklat-hitam dalam video tersebut, yang membawa spanduk bertuliskan "Tolak Kebangkitan Komunisme". Aksi unjuk rasa itu, menurut video tersebut, digelar oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai Gerakan Bela Negara.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Kadek Mulyawan.
    Apa benar video di atas adalah video demonstrasi menolak kebangkitan komunisme di Monas pada 21 Juni 2020?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo melakukan pencarian video itu di kanal YouTube BBC Indonesia dengan memasukkan kata kunci “komunisme”. Hasilnya, terdapat sebuah video yang sama dengan yang dibagikan oleh akun Kadek Mulyawan.
    Video yang berjudul “Liberal=PKI, kata peserta demo anti-PKI” tersebut dipublikasikan pada 3 Juni 2016. BBC Indonesia memberikan keterangan pada video itu sebagai berikut:
    "Sekitar 1.500 orang yang merupakan gabungan massa sedikitnya dari Front Pembela Islam, FKPPI, Pemuda Pancasila, Forum Umat Islam berjalan dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara untuk menggelar aksi menolak komunisme dan Partai Komunis Indonesia."
    Situs BBC Indonesia melaporkan bahwa aksi gabungan tersebut merupakan puncak meluasnya penolakan berbagai pihak atas upaya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah 1965.
    Simposium bertema mengamankan Pancasila, yang digelar sebagai "tandingan" atas Simposium Tragedi 65 oleh pemerintah pada April 2016 lalu, ditutup pada 2 Juni 2016 dengan sembilan poin rekomendasi, salah satunya menuntut agar PKI "minta maaf pada rakyat Indonesia dan negara".
    Simposium Nasional Tragedi 1965 diselenggarakan pada April 2016 sebagai upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus HAM berat, antara lain yang pernah terjadi pada 1965 di mana ratusan ribu orang diduga terbunuh dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI.
    Menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo, penyelesaian kasus 1965 melalui penyelenggaraan simposium tersebut lebih menggunakan pendekatan sejarah. "Pendekatan ini lebih objektif dan komprehensif. Jadi, seperti memutar film mengenai peristiwa 65, kami mendengarkan apa yang terjadi sebelum peristiwa dan setelah peristiwa tersebut," katanya.
    Agus menilai peristiwa pembantaian besar-besaran pada masa pemerintahan Presiden Soeharto itu didasari motif tertentu dan dilakukan secara sistemik. Penyelesaian peristiwa 1965, menurut dia, penting dilakukan karena Indonesia adalah bangsa yang besar yang sudah seharusnya berani melihat masa lalu dan berbesar hati mengakui kesalahan.
    Namun, penyelenggaraan simposium itu mendapat tentangan dari kalangan purnawirawan TNI dan sejumlah ormas. Bahkan, Menteri Pertahanan saat itu, Ryamizard Ryacudu, bersama para pensiunan tentara dan polisi menggelar acara yang menentang penyelenggaraan simposium yang digelar Agus.
    Acara yang bernama Simposium Nasional Anti-PKI itu dilaksanakan di Balai Kartini, Jakarta, pada 1-2 Juni 2016. Simposium ini pun menghasilkan sembilan butir rekomendasi. Panitia berharap pemerintah mempertimbangkan rekomendasi tersebut bersama dengan hasil rekomendasi Simposium Tragedi 1965 sebelumnya.
    Unjuk rasa penolakan RUU HIP
    Pembahasan RUU HIP memang menuai banyak kritik. Sejumlah pihak mendesak agar RUU HIP dibatalkan lantaran di dalam draf RUU tersebut tidak terdapat Ketetapan MRPS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI. Pada 24 Juni 2020, demonstrasi menolak RUU HIP pun digelar oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
    Tiga ormas keagamaan, yakni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai RUU HIP tidak diperlukan. "Tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj pada 16 Juni 2020.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video demonstrasi menolak kebangkitan komunisme di Monas pada 21 Juni 2020 keliru. Video tersebut merupakan video aksi penolakan komunisme dan PKI pada Juni 2016. Aksi tersebut merupakan puncak meluasnya penolakan atas upaya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah 1965 dengan menggelar Simposium Tragedi 65 pada April 2016. 
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8150) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Kemendikbud Akan Hilangkan Mata Pelajaran Agama?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menghilangkan mata pelajaran Agama beredar di media sosial. Klaim ini disertai foto yang memuat gambar tangkapan layar dua artikel tentang peleburan mata pelajaran Agama dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
    Artikel pertama berjudul "Wacana Gabungkan Pelajaran Agama Islam dengan PKn Tidak Mencerminkan Budaya Bangsa". Adapun artikel kedua berjudul "PKS: Jangan Coba-coba Menghilangkan Pendidikan Agama!". Di bawah gambar tangkapan layar dua artikel itu, terdapat pula narasi yang berbunyi sebagai berikut:
    "Jika mata pelajaran Agama dihilangkan, itu sama saja menghilangkan guru-guru agama dari negeri ini. Lagi-lagi mengarah ke komunisme. Komunis PKI bermain dalam hal ini lagi!!! #IndonesiaDaruratPKI!!"
    Di Facebook, salah satu akun yang membagikan klaim serta gambar tangkapan layar tersebut adalah akun Aulia Nissa, yakni pada 22 Juni 2020. Akun ini menulis narasi, "Trik licik komunisme, menghilangkan mata pelajaran Agama. Komunisme tidak percaya Tuhan, maka dia akan menjauhkan sendi agama dari semua bidang."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Aulia Nissa.
    Apa benar pemerintah akan hilangkan mata pelajaran Agama?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, isu yang belakangan ini muncul adalah isu peleburan mata pelajaran Agama dengan PPKn, bukan menghilangkan mata pelajaran Agama. Dilansir dari Liputan6.com, isu ini berawal dari beredarnya salinan rancangan penyederhanaan kurikulum yang disertai dengan penyusunan berbagai modul pendukungnya.
    Meskipun begitu, Mendikbud Nadiem Makarim menuturkan bahwa tidak ada keputusan mengenai peleburan mata pelajaran Agama dengan mata pelajaran lain. "Salah satu dari 10 bagian peta jalan pendidikan adalah memperbaiki kurikulum nasional, pedagogi, dan penilaian. Saya ingin menegaskan bahwa tidak ada keputusan peleburan mata pelajaran Agama dengan (mata pelajaran) lainnya," ujar Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR secara virtual pada 22 Juni 2020.
    Menurut Nadiem, Kemendikbud memang tengah menyusun beragam skenario dan perencanaan mengenai perampingan atau penyederhanaan kurikulum sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. "Tapi kami tegaskan lagi, tidak ada rencana atau keputusan untuk mata pelajaran Agama," katanya. Hingga saat ini, mata pelajaran Agama masih menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Karena itu, Nadiem meminta masyarakat untuk tidak lagi bingung.
    Dilansir dari Medcom.id, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno juga menyatakan bahwa tidak ada rencana peleburan mata pelajaran Agama dengan PPKn seperti informasi yang beredar di masyarakat. Pernyataan tersebut disampaikan Totok untuk menjawab beredarnya sebuah dokumen bertuliskan "Dokumen Rahasia" di media sosial terkait rencana penyederhanaan kurikulum.
    Dalam dokumen itu, terdapat tabel yang menyebut mata pelajaran Agama bakal digabung dengan PPKn. Peleburan tersebut diusulkan untuk kelas 1 hingga kelas 3 Sekolah Dasar (lower grade). "Yang diramaikan itu adalah bahan diskusi awal internal di antara tim kerja kurikulum. Diskusi masih terus berlangsung dan saat ini belum ada keputusan apapun dari kementerian," tutur Totok.
    Menurut Totok, Kemendikbud memang sedang melakukan kajian terkait penyederhanaan Kurikulum 2013 yang berjalan saat ini. Namun, berdasarkan diskusi terakhir, tidak ada penggabungan mata pelajaran Agama dengan PPKn. "Bahan diskusi terakhir yang disampaikan ke saya adalah susunan kelompok mata pelajaran tidak ada digabung seperti itu. Tetap berdiri sendiri seperti yang berlaku saat ini," kata Totok pada 18 Juni 2020.
    Pernah beredar sebelumnya
    Isu tentang penghapusan pelajaran Agama di sekolah pernah beredar sebelumnya, yakni pada Maret 2019. Ketika itu, viral sebuah video yang memperlihatkan seorang perempuan sedang berkampanyedoor to doordi Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam video itu, perempuan yang mengenakan hijab tersebut menjelaskan alasannya memilih calon presiden Prabowo Subianto. Selanjutnya, ia bicara tentang nasib mata pelajaran Agama yang bakal dihapus jika Jokowi terpilih kembali.
    Kepada CNN Indonesia, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin menegaskan bahwa tidak mungkin pemerintah menghapus pendidikan Agama dari kurikulum sekolah. "Di negara sekuler seperti Inggris dan sejumlah negara Eropa Barat, pelajaran Agama wajib di sekolah, baik di sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (public schools) maupun di sekolah yang diselenggarakan oleh gereja (faith based schools)," katanya pada 5 Maret 2019.
    "Apalagi di Indonesia, bangsa yang dikenal sangat religius, mustahil pelajaran Agama dianggap tidak penting, dan akan dihilangkan," tuturnya. Menurut Kamaruddin, kementeriannya justru sedang berupaya untuk terus meningkatkan akses dan mutu pendidikan agama, misalnya dengan mengembangkan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) di berbagai provinsi. "Saya justru optimis, pendidikan agama ke depan di Indonesia akan semakin kuat dan berkualitas," katanya.
    Dilansir dari Detik.com, Mendikbud ketika itu, Muhadjir Effendy, juga menegaskan bahwa tidak ada rencana penghapusan pelajaran Agama di sekolah. "Berkenaan dengan adanya berita bahwa Kemendikbud akan menghapus pelajaran Agama di sekolah, pada kesempatan ini saya tegaskan bahwa sama sekali tidak ada rencana penghapusan pelajaran Agama di sekolah," kata Muhadjir pada 6 Maret 2019.
    Muhadjir menyebut beredarnya hoaks mengenai penghapusan pelajaran Agama di sekolah sudah beredar sejak 2017. Menurut dia, isu tersebut berawal dari rapat bersama Komisi X DPR. Saat itu, ia memaparkan program terkait penguatan pendidikan karakter atau TPPK yang tercantum dalam Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
    "Dalam pelaksanaannya sekolah-sekolah dibolehkan atau dianjurkan menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan di luar sekolah, terutama dalam rangka penguatan karakter religius siswa. Jadi kerja sama itu tidak dimaksudkan untuk menghapus pelajaran agama di sekolah, justru untuk memperkuat keberadaan pelajaran agama di sekolah," ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempop, klaim bahwa pemerintah akan hilangkan mata pelajaran Agama adalah klaim yang keliru. Isu yang belakangan ini muncul adalah isu peleburan mata pelajaran Agama dengan PPKn, bukan menghilangkan mata pelajaran Agama. Namun, Mendikbud Nadiem Makarim menegaskan tidak ada keputusan mengenai peleburan mata pelajaran Agama dengan mata pelajaran lain, termasuk PPKn. Kemendikbud memang tengah menyusun penyederhanaan kurikulum. Tapi mata pelajaran Agama masih menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8149) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Mencium Cuka Bisa Deteksi Covid-19 Tanpa Perlu Rapid Test?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa mencium cuka bisa mendeteksi infeksi virus Corona Covid-19 beredar di media sosial. Klaim itu terdapat dalam sebuah tautan artikel dari blog Media Viral Indonesia yang berjudul "Tak Perlu Ikutan Rapid Tes, Mencium Cuka Bisa Deteksi Apakah Kita Terkena Virus Atau Tidak, Begini Caranya".
    Artikel yang dipublikasikan pada 19 Juni 2020 itu mengutip unggahan akun Facebook US Army Garrison Daegu. Sejak 3 April, Tentara Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) di pangkalan militer Daegu, Korea Selatan, menerapkan tes mencium cuka bagi para pendatang untuk mendeteksi apakah mereka terpapar Covid-19. Hal ini dilakukan karena adanya penelitian bahwa beberapa pasien Covid-19 kehilangan indra penciumannya.
    Salah satu akun di Facebook yang membagikan tautan artikel tersebut adalah akun Penyejuk Hati, yakni pada 19 Juni 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah dibagikan lebih dari 2.300 kali, dikomentari lebih dari 250 kali, dan direspons lebih dari 4.700 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Penyejuk Hati.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan fakta terhadap dua hal, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Klaim pertama
    Untuk memeriksa klaim pertama, Tim CekFakta Tempo menelusuri sumber yang digunakan oleh blog Berita Viral Indonesia itu, yakni unggahan akun Facebook US Army Garrison Daegu. Hasilnya, memang benar bahwa Tentara Angkatan Darat AS di Garnisun Daegu, Korea Selatan, menerapkan tes mencium cuka. Hal ini diumumkan pada 3 April 2020.
    Menurut unggahan akun US Army Garrison Daegu, mereka melakukan tes penciuman di gerbang masuk Kamp Walker, Carroll, dan Henry untuk membantu mendeteksi personil atau tamu yang mungkin terinfeksi Covid-19. Unggahan tersebut juga menyertakan sebuah foto saat seorang pengemudi dites penciuman di Gerbang 2 Kamp Henry.
    Situs media Newsweek pun pernah memuat informasi itu, yakni pada 5 April 2020. Tujuan tes penciuamn ini adalah untuk mengidentifikasi pendatang yang mungkin terpapar Covid-19 dengan gejala hilangnya indra penciuman. Menurut juru bicara US Forces Korea (USFK), tes penciuman itu merupakan tambahan dalam prosedur pemantauan Covid-19 yang meliputi pemeriksaan suhu tubuh dan pengisian kuesioner penilaian tentang kondisi kesehatan. 
    Dengan demikian, informasi bahwa Tentara Angkatan Darat AS di Garnisun Daegu, Korea Selatan, memberlakukan tes mencium cuka untuk mendeteksi Covid-19 benar adanya.
    Klaim kedua
    Meskipun tes mencium cuka diterapkan oleh Tentara Angkatan Darat AS di Korea Selatan, apa benar mencium cuka bisa mendeteksi Covid-19? Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, sejauh ini, tidak ada penelitian yang bisa membuktikan apakah metode tersebut efektif dalam mendeteksi infeksi virus Corona Covid-19. Menurut laporan Newsweek, tes mencium cuka itu adalah inisiatif Garnisun Daegu dan tidak diketahui apakah garnisun lain mengadopsi kebijakan serupa.
    British Association of Otorhinolaryngology (ENT UK) memang pernah menyebut hilangnya kemampuan indra penciuman atau anosmia sebagai salah satu gejala pasien Covid-19. Sekitar 30 persen orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Korea Selatan mengalami anosmia, terutama pada mereka yang mengalami gejala ringan.
    Soal hilangnya kemampuan indra penciuman pada pasien Covid-19 ini juga pernah disinggung dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh jurnal Nature Madicine pada 11 Mei 2020. Studi itu menyebut, dari 18.401 responden yang menjalani tes Covid-19, proporsi responden yang melaporkan hilangnya kemampuan indra penciuman dan perasa lebih tinggi mereka yang hasil tesnya positif (4.668 dari 7.178 responden atau 65,03 persen) ketimbang mereka yang hasil tesnya negatif (2.436 dari 11.223 responden atau 21,71 persen).
    Meskipun begitu, tidak semua kasus hilangnya kemampuan indra penciuman ini berkorelasi dengan Covid-19. Dilansir dari National Geographic, Direktur Pusat Bau dan Rasa Universitas Florida di Gainesville, Steven Munger, menjelaskan bahwa hingga 40 persen orang dengan infeksi virus lain, seperti influenza atau flu biasa, juga kehilangan kemampuan indra penciuman untuk sementara waktu. Kondisi ini juga umum terjadi pada penderita alergi.
    Gangguan penciuman yang berkepanjangan, yang mempengaruhi 3-20 persen dari populasi umum, lebih banyak diderita oleh orang tua. Namun, hilangnya penciuman juga bisa disebabkan oleh trauma kepala yang parah, penyakit neurodegeneratif, atau polip hidung yang menghalangi aliran udara dan harus diangkat melalui pembedahan. "Mengapa bau mendapat begitu banyak perhatian?" tanya Munger. “Orang-orang takut, dan kami berusaha memahami penyakit ini. Kami berusaha meraih berbagai hal untuk membantu kami mengenali Covid-19 sedini mungkin. "
    Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS ( CDC ) memang telah memasukkan hilangnya kemampuan indra penciuman dan perasa dalam daftar gejala yang bisa muncul pada penderita Covid-19, di antara gejala lain seperti demam, batuk, sulit bernapas, kelelahan, sakit otot, sakit kepala, sakit tenggorokan, hidung berair, mual atau muntah, dan diare. Namun, menurut CDC, gejala-gejala ini tidak selalu dimiliki oleh semua penderita Covid-19.
    Pengujian Covid-19 yang akurat
    Untuk benar-benar memastikan apakah seseorang yang memiliki gejala-gejala di atas, termasuk kehilangan penciuman, terinfeksi Covid-19, mereka harus menjalani tes polymerase chain reaction (PCR) yang telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama pandemi Covid-19. 
    Dilansir dari Livescience.com, tes PCR bekerja dengan mendeteksi bahan genetik spesifik dalam virus tersebut. Tergantung pada jenis PCR yang dipakai, petugas kesehatan mengambil sampel air liur dari bagian belakang tenggorokan, sampel cairan dari saluran pernapasan bawah, atau sampel tinja.
    Saat sampel tiba di laboratorium, peneliti akan mengekstrak asam nukleat yang menyimpan genom virus. Kemudian, peneliti dapat memperkuat bagian genom tertentu dengan teknik yang dikenal sebagai transkripsi terbalik PCR. Hal ini akan memberikan peneliti sebuah sampel yang lebih besar yang dapat mereka cocokkan dengan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
    Terkait rapid test atau uji cepat, belum direkomendasikan karena akurasinya rendah. Menurut Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Berry Juliandi, kepada Tim CekFakta Tempo pada 26 Mei 2020, akurasi rapid test rendah karena sangat bergantung pada jumlah antibodi yang dikeluarkan tubuh saat terjadinya infeksi SARS-CoV-2. Apabila antibodi yang dikeluarkan sedikit, yang dipengaruhi oleh genetika seseorang, hasil rapid test bisa menjadi negatif.
    Faktor kedua, rendahnya antibodi sangat bergantung pada durasi waktu sejak seseorang pertama kali terinfeksi. Seseorang yang baru terinfeksi, antibodinya masih rendah. “Sehingga, saat rapid test, hasilnya negatif. Padahal, sebenarnya, dia sudah positif Covid-19,” kata Berry.
    Karena itu, waktu terbaik untuk melakukan rapid test minimal pada hari ke-7 setelah terinfeksi dan seterusnya, saat jumlah antibodi cukup banyak. Namun, kendalanya, tidak diketahui kapan seseorang mulai terinfeksi SARS-CoV-2. Sehingga, menurut Berry, rapid test lebih tepat digunakan hanya sebagai penapisan atau skrining orang-orang yang pernah terinfeksi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, judul artikel di blog Media Viral Indonesia, yakni "Tak Perlu Ikutan Rapid Tes, Mencium Cuka Bisa Deteksi Apakah Kita Terkena Virus Atau Tidak, Begini Caranya", menyesatkan. Tidak mampunya seseorang mencium cuka bukan berarti orang tersebut terinfeksi Covid-19. Ada sejumlah faktor lain yang bisa menyebabkan seseorang kehilangan indra penciuman. Untuk memastikan positif atau tidaknya seseorang menderita Covid-19, harus dilakukan tes PCR.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan