• (GFD-2020-8203) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Jenazah Pasien Covid-19 yang Berdaster Ini Tak Dimakamkan Sesuai Syariat Islam?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/07/2020

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah unggahan yang berisi foto seorang jenazah dengan kain kafan yang terbuka dan terlihat masih mengenakan daster beredar di media sosial. Jenazah dalam foto itu diklaim sebagai jenazah pasien Covid-19 di Medan, Sumatera Utara, yang saat dimakamkan masih mengenakan daster dan tidak sesuai dengan syariat fardu kifayah Islam.
    "Meninggal postif covid 19 di RSU Sembiring, Medan. Di kuburkan di perkuburan suka maju stm sesuai protokol kesehatan. Ternyata peti jenazah tidak maut., maka pihak keluarga membuka peti, dan ternyata si mayat masih menggunakan daster (tidak sesuai dgn syariat fardhu kifayah islam). Yg penting dapat target, cair dananya," demikian klaim dalam gambar tangkapan layar tersebut.
    Di Facebook, salah satu akun yang mengunggah gambar tangkapan layar itu adalah Muh Taufiq Hidayat, yakni pada 26 Juli 2020. Akun tersebut hanya menuliskan narasi, “Terlalu miris.” Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Muh Taufiq Hidayat tersebut telah dibagikan lebih dari 1.400 kali dan dikomentari lebih dari 200 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Muh Taufiq Hidayat.
    Apa benar jenazah pasien Covid-19 yang berdaster itu tidak dimakamkan sesuai syariat Islam?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, jenazah perempuan yang berdaster itu tercatat sebagai pasien Rumah Sakit Umum (RSU) Sembiring, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Medan. Pasien ini masuk rumah sakit pada 23 Juli 2020 dan meninggal keesokan harinya.
    Dilansir dari IDN Times, jenazah perempuan itu dikuburkan dengan protokol Covid-19 di Pemakaman Suka Maju, Jalan STM Medan, Sumatera Utara. Tapi masalah muncul saat pemakaman, di mana peti jenazah tidak muat masuk ke liang lahat. Akhirnya, keluarga membuka peti dan melihat jenazah perempuan itu masih menggunakan daster di balik kain kafan.
    Lurah Suka Maju, Harry Agus Perdana, membenarkan peristiwa tersebut. Dia mengatakan bahwa pasien perempuan tersebut masuk ke RSU Sembiring pada 23 Juli dengan catatan penyakit jantung. Namun, pada 24 Juli subuh, pasien perempuan itu dinyatakan meninggal.
    “Ketika saya hadir di lokasi, kondisi peti jenazah sudah terbuka. Tidak tahu pasti siapa yang membuka. Ada info di lapangan bahwa pihak keluarga yang membuka peti. Tapi (memang) itu belum dipastikan Covid-19 atau tidak. Informasi yang kami terima dari rumah sakit, warga kita yang meninggal hasil rapid test-nya reaktif," kata Harry.
    Karena hasil rapid test pasien itu reaktif, rumah sakit mengarahkan keluarga agar pemakaman dilakukan sesuai protokol Covid-19. Meski sempat ada penolakan, akhirnya keluarga menerima dengan kesepakatan jenazah dimakamkan di pemakaman Covid-19 dan tetap dilakukan sesuai protokol Covid-19.
    "Waktu proses pemakaman awal, tidak ada masalah. Tapi info yang diterima dari keluarga, petinya tidak muat. Lalu, oleh keluarga, petinya dibongkar sehingga nampaklah jenazah yang masih berdaster itu," tuturnya. Keluarga pun menuding rumah sakit belum memandikan jenazah. Namun, Harry menyebut rumah sakit telah memastikan jenazah dimandikan sebelum dikafani dan dimasukkan ke peti.
    "Saya tanya petugas itu, 'Ini bagaimana jenazah? Apakah sudah dimandikan atau bagaimana?' Jawaban dari petugas RSU Sembiring, 'Pak, sudah kita mandikan. Saya langsung yang mandikan, demi Allah.'," ujar Harry. Harry menyebut pihaknya pun berupaya memediasi keluarga dengan rumah sakit yang terlibat keributan. Akhirnya, pemakaman dilanjutkan dengan protokol Covid-19
    Dikutip dari Detik.com, juru bicara Gugus Tugas Covid-19 Sumatera Utara, Aris Yudhariansyah, turut memberikan penjelasan soal protokol pengurusan jenazah pasien terkait Covid-19. Menurutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa soal hal itu.
    "Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 bagi jenazah yang menurut medis dapat dimandikan, jenazah dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya," katanya. Selain itu, menurut fatwa tersebut, jenazah bisa hanya ditayamumkan. "Jika petugas yang memandikan tidak ada yang berjenis kelamin sama (dengan jenazah), dimandikan oleh petugas yang ada dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian. Jika tidak, ditayamumkan," kata Aris.
    Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020
    MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 18 Tahun 2020 tentang pedoman pengurusan jenazah (tajhiz al-jana’iz) muslim yang terinfeksi Covid-19. Fatwa ini menegaskan kembali Fatwa MUI Nomor 14 tahun 2020 angka 7 yang menetapkan:
    “Pengurusan jenazah (tajhiz al-jana’iz) yang terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengafani, harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk mensalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.”
    Pedoman memandikan jenazah yang terpapar Covid-19 adalah sebagai berikut:
    Adapun pedoman mengafani jenazah yang terpapar Covid-19 adalah sebagai berikut:
    Keputusan Menteri Kesehatan
    Dilansir dari Kompas.com, pemerintah telah menerbitkan revisi pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020. Dalam Kepmenkes tersebut, diatur beberapa perubahan, termasuk istilah-istilah operasional hingga kriteria atau protokol tertentu, salah satunya tentang pencegahan dan pengendalian infeksi untuk pemulasaraan jenazah.
    Memandikan jenazah perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya penularan virus dari jenazah tersebut. Memandikan jenazah hanya dapat dilakukan setelah tindakan disinfeksi. Petugas jenazah dibatasi sebanyak dua orang. Sementara, keluarga yang hendak membantu memandikan jenazah juga dibatasi serta menggunakan APD sebagaimana petugas pemandi jenazah.
    Setelah dimandikan dan dikafani atau diberi pakaian, jenazah dimasukkan ke dalam kantong jenazah atau dibungkus dengan plastik dan diikat rapat. Apabila diperlukan peti jenazah, maka dilakukan dengan cara berikut:
    Adapun beberapa ketentuan dalam pemakaman adalah sebagai berikut:

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa jenazah pasien Covid-19 yang berdaster dalam foto di atas tidak dimakamkan sesuai syariat Islam, keliru. Hingga artikel ini dimuat, pasien tersebut belum diketahui apakah positif Covid-19. Meskipun begitu, hasil rapid test pasien itu reaktif sehingga dimakamkan sesuai protokol Covid-19. Menurut Harry Agus Perdana, Lurah Suka Maju, tempat jenazah itu dimakamkan, rumah sakit telah memastikan jenazah tersebut dimandikan sebelum dikafani dan dimasukkan ke peti. Menurut Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang pedoman pengurusan jenazah (tajhiz al-jana’iz), muslim yang terpapar Covid-19 pun dapat dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8202) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Indonesia Satu-satunya Negara yang Jadi Kelinci Percobaan Vaksin Covid-19 dari Cina?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Yamada Himura Yamashita membagikan gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @podoradong pada 21 Juli 2020. Gambar tangkapan layar itu berisi klaim bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang menjadi kelinci percobaan vaksin Covid-19 dari Cina.
    “Hanya satu2nya di dunia, ada pemerintah yang bahagia merelakan rakyat negerinya menjadi kelinci percobaan vaksin dari China. Sementara China sendiri tak mau mengujicobakan pada rakyatnya sendiri," demikian cuitan akun @podoradong yang terdapat dalam gambar tangkapan layar tersebut.
    Tweet akun @podoradong itu pun diamini oleh akun Yamada Himura Yamashita dengan memberikan narasi senada, "Innalillahi. Bahkan. Rakyatnya Pun Mau dijadikan Kelinci Percobaan. Ya Allah. Berikan Kami Pertolongan Mu untuk Menjatuhkan Rezim Dzalim Ini."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Yamada Himura Yamashita.
    Narasi ini beredar usai 2.400 vaksin Sinovac dari Cina didatangkan ke Indonesia untuk diuji klinis tahap ketiga pada Agustus 2020. Vaksin Covid-19 itu akan diujicobakan terhadap 1.620 sukarelawan. Uji coba tersebut akan dilakukan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan PT Bio Farma.
    Benarkah Indonesia satu-satunya negara yang menjadi kelinci percobaan vaksin Covid-19 dari Cina?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, Indonesia bukan satu-satunya negara yang melakukan uji klinis vaksin Sinovac dari Cina. Sebelum uji klinis ke negara lain, Cina pun telah menguji coba vaksin tersebut terhadap hewan serta warga negaranya.
    Negara lain yang menjadi tempat uji coba vaksin Sinovac asal Cina adalah Brasil. Di sana, uji coba vaksin itu akan dilakukan oleh 12 pusat penelitian di enam negara bagian, yakni Sao Paulo, Brasilia, Rio de Janeiro, Minas Gerais, Rio Grande do Sul, dan Parana dengan melibatkan 9. ribu sukarelawan.
    Menurut Dimas Covas, Direktur Instituto Butantan, pusat penelitian yang didanai oleh negara bagian Sao Paulo, uji coba tersebut dianggap sebagai salah satu studi yang paling menjanjikan untuk memerangi Covid-19, yang hasil uji klinisnya diharapkan selesai akhir tahun ini. Perjanjian dengan Sinovac tidak hanya mencakup percobaan, tapi juga pemindahan teknologi untuk memproduksi vaksin Covid-19 secara lokal.
    Selain Brasil, Bangladesh menjadi negara lainnya yang melakukan uji coba vaksin Sinovac fase ketiga. Pekan lalu, badan penelitian medis Bangladesh mengumumkan bahwa uji coba yang akan dilakukan oleh Pusat Internasional untuk Penelitian Penyakit Diarrheal (ICDDR-B) ini dimulai bulan depan dan melibatkan 4.200 sukarelawan. "Setengahnya akan mendapatkan vaksinasi," kata Mahmood Uz Jahan, direktur Dewan Penelitian Medis Bangladesh (BMRC).
    Kandidat vaksin Sinovac diproduksi oleh perusahaan Sinovac Biotech Ltd, perusahaan biofarmasi yang berbasis di Cina yang berfokus pada penelitian, pengembangan, pembuatan, dan komersialisasi vaksin penyakit menular manusia. Sebelum membuat vaksin Covid-19, Sinovac pernah membuat vaksin untuk hepatitis A dan B, influenza musiman, pandemi influenza H5N1 (flu burung), influenza H1N1 (flu babi), gondong, dan rabies anjing. Pada 2009, Sinovac adalah perusahaan pertama di dunia yang menerima persetujuan untuk vaksin influenza H1N1.
    Lebih dulu diuji coba di Cina
    Sebelum diujicobakan ke luar Cina, vaksin Sinovac telah terlebih dahulu menjalani uji coba fase I dan fase II yang melibatkan sejumlah warga Cina. Sinovac memulai pengembangan kandidat vaksin dari virus yang tidak aktif, yang disebut CoronaVac, pada 28 Januari 2020.
    Pada 13 April, Administrasi Produk Medis Nasional Cina NMPA) memberikan persetujuan untuk uji klinis fase I dan fase II di Cina, yang dimulai pada 16 April di Provinsi Jiangsu. Uji klinis fase I dan fase II itu melibatkan orang dewasa yang sehat, berusia 18-59 tahun. Mereka diberi vaksin selama 14 hari.
    Hasil awal fase I dan fase II itu menunjukkan tidak ada efek samping yang serius pada 743 sukarelawan yang diberi vaksin. Lebih dari 90 persen sukarelawan pun mengalami serokonversi atau perkembangan antibodi yang dapat dideteksi pada mikroorganisme dalam serum sebagai akibat dari infeksi atau imunisasi. Serokonversi ini ditemukan pada uji klinis fase II atau 14 hari setelah selesainya vaksinasi dua dosis pada hari nol dan hari 14.
    Produksi vaksin sendiri membutuhkan proses yang panjang. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat ( CDC ) menjelaskan ada enam tahap yang biasanya diperlukan dalam pengembangan vaksin , yakni eksplorasi, pra-klinis, pengembangan klinis, tinjauan peraturan dan persetujuan, produksi, dan kontrol kualitas.
    Pengembangan klinis meliputi tiga fase. Selama fase I, sejumlah orang menerima vaksin percobaan. Pada fase II, studi klinis diperluas dan vaksin diberikan kepada orang-orang yang memiliki karakteristik (seperti usia dan kesehatan fisik) yang mirip dengan orang-orang yang menjadi sasaran vaksin baru. Pada fase III, vaksin diberikan kepada ribuan orang dan diuji efikasi dan keamanannya. Pelibatan warga di Brasil, Bangladesh, dan Indonesia termasuk dalam fase III ini.
    Sinovac bukan satu-satunya kandidat vaksin Covid-19
    Selain Sinovac, vaksin lain juga diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Inggris. Sama halnya dengan Sinovac, perusahaan-perusahaan itu juga menerapkan prosedur yang mengujicobakan vaksin buatannya kepada warga negara lain.
    Di Australia misalnya, beberapa vaksin Covid-19 sedang diuji coba. Salah satunya adalah vaksin yang sedang dikembangkan oleh Clover Biopharmaceuticals yang berbasis di Cina. Perusahaan bioteknologi yang berbasis di AS, Novavax, pun sudah memulai uji coba vaksinnya di Australia pada Mei dan diperkirakan akan segera memperluas pengujiannya ke AS dan negara-negara lain.
    Uji coba skala besar akan dimulai di AS pada Agustus oleh kandidat vaksin yang dikeluarkan oleh Universitas Oxford. Uji coba vaksin ini didanai oleh pemerintah Inggris.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Indonesia satu-satunya negara yang menjadi kelinci percobaan vaksin Covid-19 dari Cina, padahal Cina tidak mau mengujicobakan vaksin itu pada rakyatnya sendiri, menyesatkan. Selain Indonesia, uji coba vaksin Sinovac fase III dilakukan di Brasil dan Bangladesh. Uji klinis tersebut merupakan prosedur yang umum dilakukan dalam pengembangan vaksin. Sebelum menguji coba pada populasi yang lebih besar pun, uji klinis vaksin Sinovac pada fase I dan fase II telah dilakukan pada sejumlah warga Cina.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8201) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Rachmawati Sebut Megawati Hanya Anak Pungut Bung Karno?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa Rachmawati Soekarnoputri menyebut sang kakak, Megawati Soekarnoputri, hanya anak pungut Sukarno, Presiden RI ke-1, beredar di media sosial. Klaim itu terdapat dalam gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Official News Update dengan narasi, "Rachmawati Bungkam Mulut Mak Banteng Soal RUU BPIP. Megawati Cuma Anak Pungut Bung Karno."
    Dalam unggahan itu, akun Official News Update juga menautkan video dari kanal YouTube-nya. Video itu diberi thumbnail dengan narasi, "Rachmawati Bungkkam Mu.lut Mak Banteng Soal RUU BPIP. Bilang Sama Megawati Jangan Bicara Pancasila Dia Hanya Anak Pu.ngut Sukarno". Gambar tangkapan layar itu pun dibagikan oleh akun Akang Didi di Facebook pada 20 Juli 2020.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Akang Didi.
    Apa benar Rachmawati menyebut bahwa Megawati hanya anak pungut Bung Karno?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri video dari kanal YouTube Official News Update tersebut. Video itu diunggah pada 18 Juli 2020 dengan judul “Berita Terkini~ Soal RUU BPIP Rachmawati Ungkap Siapa Megawati |Viral Hari Ini News RUU HIP Terbaru”.
    Video berdurasi 10 menit 37 detik tersebut memang memuat pernyataan Rachmawati. Namun, setelah ditonton secara lengkap, tidak terdapat pernyataan Rachmawati dalam video itu yang menyebut bahwa Megawati hanya anak pungut Bung Karno.
    Berikut ini pernyataan lengkap Rachmawati yang terdapat pada menit 0:40 hingga 2:27, yang dimunculkan kembali pada menit 7:58 hingga 9:46:
    “Itu jargonnya komunisme itu, klassenunterschied, vertikal. Yang namanya kelas bawah melakukan perlawanan terhadap kelas atas, itu membuka peluang dari jargon-jargon komunisme itu, kalau cara begini. Ketidakadilan, kemiskinan, itu membuka peluang ideologi komunisme masuk di negara kita. Bukan urusan khilafah di sini. Khilafah udah selesai. Yang namanya pimpinan, orang-orang yang katanya dulu mengadopsi atau merangkul pemikiran khilafah itu sekarang sudah ada di tempatnya Presiden Jokowi kok. Bisa dicek sendiri. Tapi itulah. Ini peluang masuknya ideologi lain. Jadi, jangan bicara Megawati tentang Pancasila. Ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya. Dan ini adalah buah daripada amandemen, menjadi demokrasi kita liberal kapitalistik. Ini enggak sesuai dengan ajarannya Bung Karno. Mbok dia sadar. Makanya saya bilang biang kerusuhannya itu Mega. Dan ini membuka peluang komunisme. Nah, ini mana keadilan hukumnya di sini? Kalau orang sekarang berteriak mengenai kita harus jurdil, itu hak warga negara dong. Katanya kita negara hukum. Tapi kalau kita bicara tentang bagaimana ketidakadilan hukum, langsung dituduh makar. Kalau mau bicara secara objektif, yang disebut makar itu adalah Megawati Soekarnoputri ketika Gus Dur memerintah.”
    Cuplikan video Rachmawati yang dimuat oleh kanal Official News Update itu identik dengan video Rachmawati yang diunggah oleh kanal Agus Cimone pada 20 Mei 2019 dengan judul “Rachmawati Soekarnoputri angkat bicara || yang makar itu Megawati Soekarnoputri !!!”.
    Cuplikan video yang memuat pernyataan Rachmawati tersebut juga pernah dimuat oleh kanal milik situs media Suara.com, Suaradotcom, pada 14 Mei 2019 dengan judul “Sebut Sumber Kekacauan, Rachmawati Catat 12 Dosa Besar Megawati”.
    Dilansir dari Suara.com, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri menyebut Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri membuka peluang penyebaran komunisme semakin subur di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya lantaran melihat Megawati menjadi bagian dari pemerintah yang mengajarkan rakyat untuk berbuat tidak adil. Apa yang dilakukan Megawati, menurutnya, malah merangsang rakyat untuk bergerak melawan pemerintahan.
    Ia pun memaparkan paham komunisme yang digagas oleh filsuf Karl Marx di mana paham tersebut memperlihatkan kondisi masyarakat yang tidak lagi membutuhkan sosok pemimpin dan tidak membutuhkan negara sebagai lembaga kewenangan vertikal. "Yang namanya kelas bawah melakukan perlawanan terhadap kelas atas itu membuka peluang dari jargon-jargon komunisme. Ketidakadilan itu membuka peluang jargon komunisme masuk di negara kita," ujarnya.
    Karena itu, Rachmawati meminta agar tidak membingkai Megawati sebagai sosok Pancasilais. Pasalnya, saat menjadi Presiden RI ke-5, Megawati menandatangani amandemen ketiga dan keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dinilai Rachmawati sebagai bentuk keinginan Megawati menjalankan pemerintahan secara liberal kapitalistik. Ia juga menilai Megawati membiarkan kemiskinan dan ketidakadilan yang mengundang komunisme semakin subur di Indonesia.
    Megawati anak kandung Bung Karno
    Kisah kelahiran Megawati Soekarnoputri terdokumentasi dalam sebuah artikel berjudul “Sang Ayah Bicara tentang Mega” yang klipingnya terdapat dalamdatabasedi laman resmi Perpustakaan Nasional. Lewat artikel itu, diketahui bahwa Megawati merupakan anak kandung Bung Karno dari Fatmawati.
    Berikut isi artikel itu:
    Di bulan Januari, anak perempuan saya lahir. Sebelum Fatmawati mengandung dia, Fatmawati pernah bermimpi diberikan seuntai kembang sepatu merah oleh ayah saya. Ini berarti bahwa dia segera dikaruniai seorang putri. Kami memang merindukan seorang anak putri.
    Saya tak pernah melupakan bahwa pada tanggal 23 Januari, istri saya berada di tempat tidur dan tidak dibawa ke rumah bersalin, hospital. Kamar disiapkan untuk melahirkan putriku. Namun tiba-tiba lampu padam, gelap gulita, langit gelap sekali seolah ditelan awan gelap malam. Segera turun hujan yang lebat sekali, menghantam langit-langit rumah, air hujan masuk melalui atap-atap rumah yang bocor, deras sekali. Air masuk menggenangi dalam rumah.
    Dokter dan jururawat memindahkan Fatmawati ke kamar tidurnya. Dalam kegelapan malam itu, cuma ada penerang dari sebatang lilin. Putri kami lahir. Kami menamakannya Megawati. Mega berarti awan.
    Sekarang saya memandangi putri saya sedang tertidur. Dia mengikuti jejak kakaknya (Guntur-red.) yang dalam usia satu tahun berada dalam kehidupan yang bersuasana revolusi. Hidup dalam persembunyian dan pelarian karena situasi heroik-revolusioner yang harus dihadapi. Untaian kata-kata di atas dirangkai oleh Cindy Adams untuk melukiskan saat-saat Soekarno, putra bangsa yang menjadi presiden pertama negeri ini, mengenang kelahiran putrinya Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri. Putri dambaan yang saat ini sedang diharap bisa menjadi penerus cita-cita demokrasi untuk rakyatnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Rachmawati menyebut bahwa Megawati hanya anak pungut Bung Karno keliru. Video yang mencantumkan klaim tersebut dalamthumbnail-nya memang memuat pernyataan Rachmawati. Namun, dalam video tersebut, Rachmawati sama sekali tidak menyebut Megawati sebagai anak pungut Bung Karno. Berdasarkan arsip Perpustakaan Nasional pun, Megawati merupakan anak kandung Bung Karno dari Fatmawati.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8200) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Erdogan Minta Kursi yang Sama Besar dengan Paus Fransiskus Saat ke Vatikan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Yassir membagikan foto pertemuan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan Paus Fransiskus di Vatikan pada 18 Juli 2020. Dalam foto itu, terdapat lingkaran merah yang merujuk pada seorang staf yang sedang mengangkat sebuah kursi berukuran kecil.
    Akun tersebut mengklaim bahwa semula kursi akan diduduki Erdogan berukuran lebih kecil dibandingkan kursi Paus. Ia pun menolak dan meminta kursi yang berukuran sama dengan kursi Paus.
    “Erdogan datang ke Vatikan menjumpai Baba (Pope) Vatikan. Kursi tamu yang akan diduduki Erdogan lebih kecil daripada kursi Pope (lihat lingkaran merah). Erdogan menolak, tak mau duduk. Dia mau kursi yang sama besar dengan Pope. Pengawal Pope berkata, 'Semua pemimpin dunia yang datang jumpa Pope duduk di kursi kecil itu'. Erdogan pun menjawab, 'Pemimpin negara di dunia boleh duduk di kursi itu, tapi tidak untuk pemimpin negara Turki," demikian narasi yang ditulis oleh akun Yassir.
    Unggahan ini viral dan telah dibagikan lebih dari 2 ribu kali dan dikomentari lebih dari 400 kali saat artikel ini dimuat.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Yassir.
    Apa benar Presiden Turki Erdogan meminta kursi yang sama besar dengan Paus Fransiskus saat ke Vatikan?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, kunjungan Presiden Turki Erdogan ke Vatikan tersebut digelar pada 5 Februari 2018. Namun, klaim bahwa Erdogan diberi kursi yang berukuran lebih kecil ketimbang kursi Paus dan meminta kursi yang sama besar dengan milik Paus tidak sesuai fakta.
    Tempo telah membandingkan sejumlah video pemberitaan media asing yang ditayangkan di YouTube. Video-video itu menunjukkan bahwa, sejak kedatangannya ke ruangan Paus, Erdogan telah dipersilakan duduk di kursi yang berwarna dan berukuran sama dengan kursi Paus Fransiskus.
    Salah satu video tersebut adalah video yang ditayangkan oleh Ruptly, media yang berbasis di Rusia. Video berdurasi sekitar 3 menit ini merekam kunjungan Erdogan sejak kedatanganya ke ruangan Paus Fransiskus. Momen saat Erdogan dan Paus Fransiskus duduk berhadapan di kursi yang sama terlihat pada detik ke-46.
    Gambar tangkapan layar video yang diunggah oleh Ruptly.
    Video berdurasi lebih panjang, yakni sekitar 3,5 menit, diunggah oleh France24. Dalam video ini, terlihat jelas konteks bahwa kursi yang dipegang oleh staf Paus Fransiskus sebenarnya bukanlah kursi yang sebelumnya diberikan kepada Erdogan. Dalam menit 1:44, terlihat bahwa staf tersebut membawa kursi berukuran kecil itu ke samping kiri Paus.
    Gambar tangkapan layar video yang diunggah oleh France24 ketika kursi berukuran kecil dipindahkan ke sebelah kiri Paus Fransiskus.
    Dikutip dari situs Vatican News, pertemuan kedua tokoh itu dilakukan di Istana Apostolik Vatikan. Pertemuan tersebut dianggap bersejarah karena baru terjadi untuk pertama kalinya dalam 59 tahun Presiden Turki berkunjung ke Vatikan.
    Kantor Pers Holy See menjelaskan Paus Fransiskus dan Erdogan berdiskusi tentang hubungan bilateral kedua negara, kondisi komunitas Katolik, upaya penerimaan banyak pengungsi, dan tantangan terkait dengan situasi di Timur Tengah, khususnya status Yerusalem.
    "Mereka menyoroti kebutuhan untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan melalui dialog dan negosiasi, dengan menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional," demikian penjelasan dari Kantor Pers Holy See.
    Kursi kecil untuk penerjemah
    Dikutip dari organisasi cek fakta Turki, Teyit, prosedur yang sama diterapkan bagi Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang sebelumnya mengunjungi Paus Fransiskus di Vatikan. Kursi yang digunakan Putin dalam kunjungannya pada 2015 sama dengan Erdogan dan ada kursi lain yang lebih kecil di belakang staf Paus. Trump pun duduk di kursi yang sama saat mengunjungi Paus Fransiskus pada Mei 2017 dan ada seorang staf yang memegang kursi lain yang lebih kecil.
    Dua foto yang menunjukkan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump saat duduk di kursi yang sama dengan Presiden Turki Erdogan. Seorang staf juga tampak memindahkan kursi yang berukuran lebih kecil ke samping Paus Fransiskus. Sumber: Teyit
    Menurut laporan Teyit, kursi kecil itu diberikan bagi penerjemah. Pada Mei 2017, seorang penerjemah duduk di kursi kecil yang ditaruh di sebelah kiri Paus saat Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau berkunjung. Begitu pula pada Juni 2017, kursi kecil itu diduduki oleh seorang penerjemah saat Kanselir Jerman Angela Merkel mengunjungi Paus.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meminta kursi yang sama besar dengan Paus Fransiskus saat ke Vatikan, keliru. Sejak awal, pihak Vatikan telah menyediakan kursi yang sama untuk Erdogan dan Paus Fransiskus. Kursi berukuran kecil yang sedang dibawa oleh seorang staf bukanlah kursi untuk Erdogan, melainkan kursi yang diletakkan di sebelah kiri Paus yang biasanya digunakan untuk penerjemah.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan