• (GFD-2020-8191) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Palestina Dihapus dari Google Maps?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/07/2020

    Berita


    Akun Facebook Mo'zank Santuy membagikan klaim bahwa Palestina telah dihapus dari peta pada 18 Juli 2020. Klaim ini disertai dengan gambar tangkapan layar peta dari Google Maps. Dalam peta itu, hanya tertera nama "Israel" serta wilayah "Jalur Gaza" dan wilayah "Tepi Barat".
    “Kalian terlalu sibuk, sampai kalian tidak tau bahwa palestina di hapus dari maps. jatuh nya palestina di tngan israel itu adlh pertanda bhwa hari akhir sudah dkt. wahai pemuda indonesia jgn kau sibukan game mu, sampai kau tidak tau tentang masalah seperti ini,” demikian narasi yang ditulis oleh akun Mo’zank Santuy.
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Mo’zank Santuy tersebut telah dibagikan lebih dari 9 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mo'zank Santuy.
    Apa benar Palestina dihapus dari Google Maps?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, klaim bahwa Google menghapus nama "Palestina" dari petanya beredar di kalangan pengguna media sosial Arab sejak 16 Juli 2020. Klaim itu disertai dengan dua peta yang diklaim sebagai peta sebelum label "Palestina" dihapus dan sesudah dihapus.
    Dalam peta yang baru, hanya terdapat label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat" serta "Israel". Klaim bahwa Google menghapus nama "Palestina" dari petanya ini muncul tak lama setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk mencaplok Tepi Barat.
    Klaim tersebut juga pernah memicu protes pada 2016. Namun, Google memberikan pernyataan bahwa tidak pernah ada label “Palestina” dalam petanya. Terkait label "Tepi Barat" dan "Jalur Gaza" yang menghilang, Google mengatakan bahwa terdapatbugyang menghapus kedua label tersebut.
    "Tidak pernah ada label 'Palestina' di Google Maps, namun kami menemukanbugyang menghapus label untuk 'Tepi Barat' dan 'Jalur Gaza'," kata juru bicara Google. "Kami sedang bekerja dengan cepat untuk membawa label ini kembali ke area tersebut."
    Dilansir dari The New York Times, Elizabeth Davidoff, salah satu juru bicara Google, dalam sebuah e-mail menyatakan bahwa perusahaannya tidak pernah menggunakan label "wilayah Palestina" dalam petanya. "Tidak ada upaya dari Google untuk menghapus Palestina atau semacamnya," kata Davidoff.
    Dia juga mengatakan GIF yang beredar di internet yang menunjukkan peta sebelum label "Palestina" dihapus dan sesudah dihapus adalah palsu. Setelah Google memperbaiki bug label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat", kedua label itu kembali muncul dan dipisahkan dari Israel dengan garis putus-putus untuk menandakan perbatasan sengketa yang belum diakui secara internasional.
    Ketika Tempo memasukkan label “Palestina”, Google Maps memang mengarahkan ke sebuah wilayah di Timur Tengah yang berada di tepi Laut Tengah. Namun, tidak ada label “Palestina” dalam peta, hanya ada label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat" yang batas wilayahnya dengan "Israel" ditandai dengan garis putus-putus. Hingga 14 September 2015, tercatat baru 136 negara dari 193 anggota PBB yang telah mengakui Palestina sebagai negara.
    Gambar tangkapan layar Google Maps yang menunjukkan label "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat" serta "Israel".
    Berbeda dengan Google, Bing, mesin pencari milik Microsoft, memasukkan label "Negara Palestina" di petanya. Meskipun begitu, batas wilayahnya juga ditandai dengan garis putus-putus.
    Gambar tangkapan layar Bing Maps.
    Caitlin Dewey, penulis teknologi digital The Washington Post, memberikan catatan atas polemik itu yang memantik pertanyaan menarik tentang kekuatan teknologi pemetaan seperti Google. Dalam upaya mereka mendokumentasikan, tanpa disadari, perusahaan-perusahaan teknologi sering kali membentuk pemahaman kita tentang hal tersebut. “Ini bukan sesuatu yang sering kita pikirkan, tapi menjadi sangat jelas ketika peta berubah atau dikatakan telah berubah, atau ketika kita membandingkan peta yang berbeda satu sama lain,” ujar Dewey dalam artikelnya, "Google Maps did not ‘delete’ Palestine—but it does impact how you see it", pada 10 Agustus 2016.
    Sejak itu, beberapa orang Palestina beralih ke Bing Maps karena mereka memberi label "Negara Palestina" sebagai wilayah tersendiri. Apple Maps saat itu juga tidak memberi label wilayah atau membedakannya dari negara Israel.
    Adapun Naomi Dann, juru bicara Jewish Voice for Peace, menjelaskan kepada The New York Times bahwa GIF yang diunggah oleh organisasinya ke Twitter dibuat oleh salah satu rekannya. Dann pun mengatakan bahwa klaim tentang Google memiliki bobot ekstra emosional karena melibatkan representasi visual antara Israel dan Palestina. “Peta selalu bersifat politis, dan cara perbatasan-perbatasan dalam peta tersebut dipisahkan selalu berlandaskan alasan politik,” katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Palestina dihapus dari Google Maps menyesatkan. Google tidak pernah menghapus label "Palestina" dari petanya, melainkan memang tidak pernah mencantumkan label "Palestina" di Google Maps. Saat pengguna memasukkan kata “Palestina”, Google Maps akan tetap membawa pengguna ke wilayah administratif Palestina saat ini, yakni "Jalur Gaza" dan "Tepi Barat", dengan batas wilayah berupa garis putus-putus. Garis putus-putus menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah sengketa. Hingga kini, memang belum semua negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai negara. Meskipun begitu, label "Palestina" tertera dalam peta online Microsoft, Bing Maps.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8190) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Megawati Minta Mundur Sebagai Ketua PDIP di Tengah Polemik RUU HIP?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/07/2020

    Berita


    Gambar-gambar tangkapan layar dari video berita tvOne yang berjudul "Megawati Minta Mundur" beredar di media sosial. Gambar-gambar tersebut dibagikan dengan narasi bahwa Megawati Soekarnoputri meminta mundur sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di tengah polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar serta narasi itu dibagikan salah satunya oleh akun Evi Margaretha Ompusunggu, yakni pada 7 Juli 2020. Akun ini menulis, "Mak Banteng Minta Mundur.. Alih-alih Bertanggung Jawab Atas RUU HIP Yang Digagasnya.. siMbok Malah Mundur.. Mau Kemana..? Kabur..?#TangkapInisiatorRUUHIP #TangkapMegawatiBubarkanPDIP#TolakRUUHIP #BatalkanRUUHIP."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Evi Margaretha Ompusunggu.
    Apa benar Megawati minta mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri video berita tvOne yang berjudul "Megawati minta mundur" di YouTube. Hasilnya, kanal YouTube milik tvOne, tvOneNews, memang pernah mengunggah video dengan judul tersebut, di mana Megawati memakai baju batik berwarna hijau yang sama dengan yang terlihat dalam foto unggahan akun Evi Margaretha Ompusunggu.
    Namun, video itu merupakan video pada 16 November 2018, jauh sebelum munculnya polemik RUU HIP. Dalam video berdurasi sekitar 3 menit itu, disebutkan bahwa Megawati menyatakan keinginannya untuk mundur sebagai Ketua PDIP saat pembekalan calon anggota legislatif (caleg) PDIP pada 15 November 2018. Alasannya, usia Megawati sudah tidak muda lagi dan saat ini ia bertugas sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
    "Kalau dilihat-lihat, perjalanan politik saya sudah cukup lama. Saya menjadi ketua umum partai yang sekarang paling senior sudah sekian lama, belum diganti-ganti, padahal saya sudah berharap untuk diganti karena akibat umur saya yang plus 17, tapi hari ini pun akan ditambahi tugas untuk pembinaan ideologi Pancasila," kata Megawati dalam video itu.
    Keinginan Megawati untuk tidak lagi menjabat sebagai Ketua PDIP ini juga pernah diberitakan oleh Republika.co.id pada 17 November 2018. Menurut Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, soal diganti atau tidaknya Megawati akan ditentukan lewat keputusan kongres. "Ya tergantung arus bawah, menurut saya, ketika keputusan kongres menghendaki Ibu Mega menjadi ketum," ujar Hasto pada 16 November 2018.
    Megawati menjabat sebagai Ketua PDIP sejak partai tersebut masih bernama PDI pada 1993. Kursinya sempat digoyang oleh Soerjadi lewat Kongres Luar Biasa PDI pada 1996. Namun, Megawati tidak menerima hasil kongres tersebut dan akhirnya PDI di bawah kepemimpinannya berubah nama menjadi PDIP. Sejak saat itu, kursi Megawati tidak pernah goyah. Dalam Kongres PDIP pada 2015 di Bali pun, Megawati masih terpilih secara aklamasi.
    Hasto menyebut panjangnya masa jabatan yang disandang Megawati sebagai sebuah dedikasi. Dia mengatakan terpilihnya kembali Megawati juga melalui kongres, bukan karena orang per orang, apalagi karena ambisi. Menurut Hasto, sulit bagi putri presiden Indonesia pertama ini untuk turun tahta. Dia mengatakan Megawati masih mendapat dukungan dan akan mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari bawah.
    Isu bahwa Megawati mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP juga telah diverifikasi oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Menurut laporan Mafindo di situsnya, Turnbackhoax.id, video yang digunakan untuk menyebarkan isu tersebut merupakan video berita tvOne pada 2018. Dalam video itu, Megawati mengungkapkan keinginannya untuk mundur sebagai Ketua PDIP karena persoalan usia.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Megawati minta mundur sebagai Ketua PDIP di tengah polemik RUU HIP menyesatkan. Video yang digunakan untuk menyebarkan klaim tersebut merupakan video pada 2018, ketika Megawati memberikan pembekalan bagi calon anggota legislatif (caleg) PDIP.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8189) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Demo Tolak RUU HIP pada 16 Juli Tidak Disiarkan di TV?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 18/07/2020

    Berita


    Video pendek yang memperlihatkan ratusan orang berpakaian putih yang  sedang berjalan kaki di sebuah jalan raya beredar di media sosial. Di pinggir jalan raya itu, terdapat belasan polisi yang berjaga. Video ini diklaim sebagai video demonstrasi yang menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP di depan gedung DPR, Jakarta, pada 16 Juli 2020 lalu.
    Di Facebook, video tersebut dibagikan oleh akun Mulyadi Mulyana pada 16 Juli 2020. Video itu diberi narasi, “Gedung MPR dikepung dan nyaris ricuh, kok TV enggak ada yang muat ya? Selamat tinggal TV."
    Hingga artikel ini dimuat atau sehari setelah video tersebut diunggah, video itu telah ditonton lebih dari 63 ribu kali dan dibagikan lebih dari 2.500 kali. Mayoritas warganet yang mengomentari video tersebut percaya dengan narasi narasi yang dibagikan akun Mulyadi Mulyana.
    “Enggak ada media TV yang menyiarkan ini demo kayak gini, ke mana media sih?” demikian komentar yang ditulis oleh akun Jim Malay. Adapun akun Totok Kraksaan menulis, “Media TV sekarang melebihi zaman mbah dulu, macam kena kebiri.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mulyadi Maulana.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa apakah demonstrasi dalam video itu terjadi di Jakarta, Tim CekFakta Tempo memeriksa lokasi pengambilan video tersebut melalui Google Maps. Tempo menemukan bahwa video itu diambil dari atas jalan layang di Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta.
    Jalan raya yang berada di bawah jalan layang itu, yang dilewati oleh demonstran, adalah jalan yang menuju depan gedung DPR di Jalan Gatot Soebroto. Hal ini diketahui dari pagar jalan layang yang berwarna kuning-hijau serta dan papan jalan berwarna biru yang berada di pinggir jalan raya yang dilewati oleh demonstran.
    Dengan demikian, benar bahwa demonstrasi tersebut berlangsung di Jakarta.
    Gambar tangkapan layar video yang dibagikan oleh akun Facebook Mulyadi Maulana.
    Foto dari Google Maps yang merupakan lokasi pengambilan video unggahan akun Facebook Mulyadi Maulana.Dengan memeriksa komentar warganet, Tempo mendapatkan petunjuk bahwa demonstrasi itu dilakukan untuk menolak Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sempat ditayangkan oleh tvOne pada 16 Juli sekitar pukul 19.55 WIB. Lewat pencarian di kanal YouTube tvOne, ditemukan bahwa benar berlangsung demonstrasi yang menolak RUU HIP oleh Aliansi Nasional Anti-Komunis di depan gedung DPR, Jalan Gatot Soebroto.
    Aliansi ini adalah gabungan dari Persaudaraan Alumni (PA) 212, Front Pembela Islam (FPI), dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF). Dalam sebuah video yang diambil dari udara, terlihat sejumlah peserta memakai pakaian dan surban putih seperti juga terdapat dalam video yang dibagikan oleh akun Mulyadi Maulana.
    Sebelum berdemonstrasi pada 16 Juli 2020, aliansi tersebut juga pernah menggelar unjuk rasa yang menolak RUU HIP di depan gedung DPR pada 24 Juni 2020. Akun Mulyadi Maulana pun membagikan video demontrasi itu yang diambil dari kejauhan pada tanggal yang sama. Akun tersebut memang sering mengunggah narasi terkait penolakannya terhadap RUU HIP.
    Benarkah aksi penolakan RUU HIP tidak tayang di televisi?
    Tempo memasukkan kata kunci “demonstrasi menolak RUU HIP” di Google untuk memeriksa seberapa banyak televisi yang memberitakan aksi tersebut. Hasilnya, ditemukan sejumlah stasiun televisi yang menayangkan aksi itu, baik yang terjadi pada 24 Juni maupun 16 Juli 2020. Ini belum termasuk pemberitaan di media online.Berikut ini daftar tautan tayangan demonstrasi tolak RUU HIP di media:
    - Aksi 16 Juli 2020
    - Aksi 24 Juni 2020

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa demo tolak RUU HIP tidak disiarkan di televisi keliru. Sedikitnya empat stasiun televisi menayangkan aksi penolakan RUU HIP pada 16 Juli 2020. Adapun demonstrasi pada 24 Juni 2020, terdapat sedikitnya lima stasiun televisi yang menayangkannya.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8188) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Masuk Kawasan Pantai Indah Kapuk Harus Pakai Paspor?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa masuk kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) harus memakai paspor beredar di media sosial. Klaim itu dibagikan bersama gambar tangkapan layar artikel di situs Geloranews yang memuat foto beberapa pesepada serta cuitan di Twitter yang berisi klaim tersebut.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar itu diunggah salah satunya oleh akun Raf Rafaini pada 15 Juli 2020 dengan narasi, “Kalo bener, hebat banget bangsa ini. Ada negara dalam negara, dgn penduduk etnis tertentu. Luar biasa. Buat yg selalu teriak NKRI harga mati, sana gih main-main ke PIK.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Raf Rafaini.
    Apa benar masuk kawasan Pantai Indah Kapuk harus memakai paspor?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, foto pesepeda yang dimuat di situs Geloranews tersebut merupakan gambar tangkapan layar video yang dibikin oleh seorang pesepeda yang mengaku dimintai paspor oleh penjaga portal saat hendak memasuki kawasan PIK.
    Video tersebut ramai di media sosial sejak 14 Juli 2020. Di Twitter, video berdurasi 39 detik ini diunggah salah satunya oleh akun Zulkifli Lubis. Dalam video itu, terdengar seorang pesepeda yang berkata:
    "Jadi, seperti tadi sudah saya sampaikan bahwa kalau memasuki tempat ini di atas jam 9 harus pakai paspor, harus minta izin kepada pemilik di kantor marketing. Karena ini sudah dikuasai pihak swasta, jadi kita sebagai rakyat tidak bisa. Mobil yang bebas, Pak. Jadi, harus pakai paspor ya. Ini kalau kita ke Pantai Indah Kapuk itu seperti turis di negeri sendiri. Parah."
    Dilansir dari Detik.com, pengelola PIK 2, Agung Sedayu Group, membantah bahwa masuk kawasan Pantai Indah Kapuk harus memakai paspor. "Isu paspor sama sekali tidak benar," ujar Township Management Director Agung Sedayu Group, Restu Mahesa, pada 15 Juli 2020.
    Restu mengatakan warga yang hendak masuk atau berolahraga di kawasan PIK 2 memang harus melapor ke petugas. Namun, kebijakan ini bukan pelarangan warga untuk masuk, melainkan hanya mendata warga agar yang masuk ke PIK 2 aman mengingat masih adanya pembangunan di kawasan itu.
    "Proyek kami masih berjalan di beberapa lokasi, masih belum bisa diakses secara umum. Karena membahayakan bilamana pengunjung masuk ke area tersebut, masih banyak alat berat, masih banyak truk di sana, sehingga kami berikan kebijakan yang akan olahraga tetap minta izin sehingga tercatat semuanya," ujar Restu.
    Dilansir dari Suara.com, Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko juga menjelaskan bahwa pengelola PIK 2 tengah melakukan pengaturan jadwal kendaraan masuk karena sedang ada pengerjaan proyek. Berbagai kendaraan berat, seperti truk, akan lalu lalang di atas pukul 09.00 dan pesepeda dilarang melintas demi keselamatan.
    "Info security, ada pengaturan untuk giat olahraga atau bersepeda di kawasan tersebut dalam rangka aspek keselamatan mengingat di lokasi masih banyak alat berat beroperasi dan mobilisasi truk besar," kata Sigit. Ia juga menyebut, tepat di dekat pos keamanan tempat pesepeda itu dihentikan, ada pemberitahuan jadwal kendaraan.
    Sigit menduga para pesepeda tersebut tidak melihatnya. Karena terlanjur kesal, menurut dia, pesepeda itu akhirnya mengeluarkan sindiran bahwa untuk bisa masuk PIK 2 harus menggunakan paspor. "Yang bersangkutan tidak jelaskan waktu ada di lokasi, padahal di belakang jelas ada spanduk yg mengatur penggunaan jalur untuk bersepeda," tuturnya.
    Dilansir dari Kumparan.com, Camat Penjaringan, Jakarta Utara, Depika Romadi, pun melakukan pengecekan lapangan pada 14 Juli 2020. Dalam video klarifikasi yang dikirimkan oleh Depika, terlihat bahwa ia mengunjungi sejumlah lokasi untuk mengecek laporan dalam video yang viral itu.
    Pertama, ia melihat suasana dari PIK 1 menuju Pantai Maju melalui jembatan sekitar pukul 19.15. Terlihat sejumlah orang yang bersepeda. Ia mengatakan tidak ada penutupan jalan menuju Pantai Maju. Depika juga mengecek bagian sisi timur tanggul Pantai Maju, tepatnya di Jalasena. Terlihat sejumlah masyarakat yang beraktivitas, mulai dari jalan-jalan hingga bersepeda, termasuk di area bundaran Pantai Maju. 
    Selain melakukan pengecekan, Depika juga bertanya kepada petugas soal spanduk yang berisi aturan terkait akses menuju PIK 2 bagi pengguna sepeda. Petugas menjelaskan, akses ke jembatan tersebut belum dibuka untuk umum karena area proyek di mana banyak mobil besar maupun alat berat. 
    Kemudian, Depika menanyakan soal aturan untuk pesepeda yang tertulis dalam spanduk, yakni waktu bersepeda di pagi hari pukul 06.00-09.00 dan sore hari pukul 16.00-17.00. "Jadi, bilamana ada kegiatan bersepeda yang menggunakan seperti di sini dikatakan izin khusus (menunjukkan spanduk) kami akan menyesuaikan aturan di sini," ujar petugas kepada Depika.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa masuk kawasan Pantai Indah Kapuk harus memakai paspor keliru. Pengelola PIK 2, Agung Sedayu Group, telah membantah bahwa masuk kawasan PIK harus memakai paspor. Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko pun menjelaskan bahwa pengelola PIK 2 tengah melakukan pengaturan jadwal kendaraan masuk karena sedang ada pengerjaan proyek. Berbagai kendaraan berat, seperti truk, akan lalu lalang di atas pukul 09.00 dan pesepeda dilarang melintas demi keselamatan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan