• (GFD-2020-8211) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaim-klaim Hadi Pranoto dalam Video Milik Anji Ini?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 03/08/2020

    Berita


    Musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji mengunggah video yang berisi wawancara dengan seorang pria bernama Hadi Pranoto di kanal YouTube-nya pada Jumat, 31 Juli 2020. Pria itu diklaim sebagai profesor mikrobiologi yang berhasil membuat obat herbal bernama “Antibodi Covid-19”.
    Dalam video berdurasi 35 menit itu, Hadi Pranoto mengatakan obatnya itu telah dibagikan kepada 250 ribu orang dan cukup efektif untuk menyembuhkan dan mencegah Covid-19. “Herbal kita sudah berhasil dan terbukti. Yang positif kita obati sembuh, yang menjelang terinfeksi kita obati sembuh semuanya,” ujarnya.
    Hadi menyatakan telah melakukan riset terhadap virus Corona dan pengembangan obat itu sejak 2000. Ia mengklaim obatnya itu berbeda dengan vaksin karena tidak disuntikkan, melainkan diminum. Obat itu, kata dia, akan membentuk antibodi yang akan menjadi piranti keamanan tubuh. “Bahan baku semuanya di Indonesia,” ujar Hadi.
    Selain mengklaim menemukan obat antibodi, Hadi juga menyampaikan sejumlah pernyataan yang kontroversial, mulai dari adanya 1.153 jenis virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, dan empat golongan Covid-19; SARS-CoV-2 yang sama dengan virus Corona sebelumnya; dan harga tes swab digital yang harganya Rp 10-20 ribu.
    Sebelum dihapus oleh YouTube pada 2 Agustus 2020, video Anji itu telah viral dan dibagikan ulang oleh kanal lain di YouTube serta menyebar ke Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp.
    Gambar tangkapan layar video wawancara musisi Anji dengan Hadi Pranoto yang diunggah di YouTube pada 31 Juli 2020.
    Bagaimana kebenaran pernyataan Hadi Pranoto dalam video Anji tersebut?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Hadi Pranoto adalah profesor di bidang mikrobiologi yang telah melakukan riset virus Corona selama 20 tahun.
    Fakta:
    Tempo menggunakan Google Scholar untuk memeriksa profil Hadi di dunia akademik dan jejak hasil penelitiannya. Google Scholar adalah layanan yang dapat membantu publik mencari jurnal tertentu, menyimpan sumber ke "perpustakaan pribadi", dan mendapatkan kutipan dari para peneliti dengan cepat.
    Lewat pencarian ini, ditemukan empat nama Hadi Pranoto, tapi tiga di antaranya tidak berkaitan dengan bidang mikrobiologi. Terdapat satu nama Hadi Pranoto yang berasal dari Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Namun, setelah Tempo melakukan pencarian di situs resmi Universitas Mulawarman, Hadi Pranoto dalam foto yang tercantum di sana berbeda dengan Hadi dalam video Anji.
    Selain itu, tidak ditemukan jejak jurnal ilmiah dalam direktori Google Scholar yang diterbitkan atas nama Hadi Pranoto di bidang mikrobiologi maupun terkait virus Corona. Padahal, menurut Pasal 26 ayat 3 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor 46 Tahun 2013, syarat untuk mencapai jenjang profesor atau guru besar di antaranya adalah memiliki karya ilmiah yang telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi dan memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 tahun.
    Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan pihaknya telah mencoba menelusuri latar belakang Hadi. Dia mengatakan Hadi bukanlah anggota IDI. Kelompok ahli mikrobiologi, kata dia, juga tak mengenal sosok Hadi.
    Menurut Anggota Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Supriadi Rustad, di pangkalan data Dikti, tidak ada nama Hadi Pranoto yang di dalam video Anji diklaim bergelar profesor. “Dia profesor dari kampus mana, laboratoriumnya di mana, dan tim peneliti obat Covid-19 siapa saja, itu tidak jelas. Jadi, klaim gelar profesornya sangat diragukan.”
    Update pada 4 Agustus 2020: Dalam wawancaranya bersama Jawapos. com  pada 3 Agustus 2020 malam, Hadi Pranoto mengakui bahwa dirinya memang bukan dokter atau profesor. Itu hanya sebutan dari teman-temannya. Hadi mengklaim bahwa teman-temannya selama ini kagum terhadap dirinya sebagai anak bangsa yang bisa menjadi penemu. "Kami juga sudah sampaikan pada IDI bahwa kalau di database nama saya pasti tidak ada. Karena saya bukan dokter, dan saya tak ada hubungan atau kerja sama dengan IDI," kata Hadi. Ia menambahkan, "Saya tak pernah declare diri saya seorang dokter atau seorang profesor. Itu kan panggilan kesayangan teman-teman saya karena merasa bangga ada anak bangsa, orang kecil, bisa menemukan suatu herbal yang bermanfaat untuk pengobatan Covid-19."
    Klaim 2: Menemukan obat herbal “Antibodi Covid-19” yang cukup efektif untuk menyembuhkan mereka yang terkena Covid-19, hanya dalam 2-3 hari. Dia mengatakan sudah mendistribusikan obat herbal itu ke sejumlah daerah di Sumatera, Jawa, Bali, dan kalimantan. Di Jakarta, obat ini didistribusikan ke RS Darurat Wisma Atlet.
    Fakta:
    Kepala Pusat Kesehatan TNI Mayor Jenderal Tugas Ratmono mengatakan RS Darurat Wisma Atlet tidak pernah menggunakan obat herbal “Antibodi Covid-19”. Mantan Komandan Satuan Tugas Kesehatan RS Darurat Wisma Atlet, Brigadir Jenderal Agung Hermawanto, pun mengatakan tidak pernah menggunakan obat buatan Hadi. Agung menjabat sebagai Komandan RS Wisma Atlet hingga 15 April 2020.
    IDI sendiri mempertanyakan institusi yang menjadi tempat penelitian obat itu. IDI juga ragu bahwa obat tersebut sudah melewati uji klinis. Memang, dalam video Anji itu, Hadi Pranoto tidak menjelaskan detail bahan, komposisi, laboratorium, dan uji klinis atas obat yang diklaimnya.
    Padahal, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebelum dipasarkan, suatu obat baru mesti melalui proses pengembangan yang panjang, mulai dari konsep pengembangan obat baru, pengembangan zat aktif, proses pembuatan, metode analisis dan pengujian non-klinik, hingga program uji klinik yang merupakan tahapan pembuktian keamanan, khasiat, dan mutu obat pada manusia yang datanya akan digunakan untuk registrasi obat tersebut. Uji non-klinis diberikan ke hewan, sedangkan uji klinis diberikan ke manusia.
    Ahli biologi molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, menuturkan hal yang sama. Menurut dia, produksi obat harus melewati proses yang panjang dan ketat. Tahapan yang harus dilalui yakni uji pra-klinis yang dilakukan di laboratorium dan pada hewan serta uji klinis yang dilakukan pada manusia melalui fase 1-3.
    Dalam uji klinis fase 3, obat harus diberikan kepada pasien Covid-19 dengan kondisi yang spesifik. Sebab, kondisi pasien Covid-19 tidak seragam, ada yang bergejala ringan, berat, dan kritis. “Hasil dari uji pra-klinis dan klinis harus ditulis dalam jurnal ilmiah sebagai bentuk transparansi,” katanya. Klaim sembuh juga harus ditunjukkan dengan data yang detail, seperti pasien pada gejala mana yang sembuh. “Sebab, pada pasien gejala ringan, mayoritas 60-80 persen akan sembuh sendiri tanpa harus minum ramuan tersebut,” katanya.
    Ahmad menjelaskan masyarakat tetap boleh membuat ramuan herbal asalkan tidak mencantumkan klaim sebagai obat atau dapat menyembuhkan Covid-19 sepanjang tidak melalui prosedur ilmiah. Selain bisa menyesatkan publik, klaim soal obat Covid-19 ini dapat mengurangi kepatuhan masyarakat terhadap protokol pencegahan penularan Covid-19, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan rutin membersihkan tangan dengan sabun serta air yang mengalir.
    Dalam rilisnya, Kementerian Riset dan Teknologi ( Kemenristek ) pun mengimbau agar masyarakat berhati-hati terhadap produk herbal yang belum terbukti kebenarannya. Menurut Kemenristek, setiap klaim yang disebutkan terkait produk herbal harus melewati kaidah penelitian yang benar. Produk herbal juga harus diuji klinis sesuai protokol yang disetujui oleh BPOM.
    Selain itu, Kemenristek menyatakan bahwa Hadi tidak ada hubungannya dengan Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 dan tidak pernah menjadi anggota peneliti konsorsium dalam tim pengembangan herbal imunomodulator. Konsorsium ini pun menyatakan tidak pernah memberikan dukungan uji klinis obat herbal produksi Bio Nuswa yang diakui oleh Hadi telah diberikan kepada pasien di RS Darurat Wisma Atlet. Setiap pelaksanaan uji klinis harus mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji klinis seperti oleh BPOM danethical clearance oleh Komisi Etik.
    Klaim 3: Virus Covid-19 berkembang menjadi 1.153 jenis.
    Fakta:
    Pengajar mikrobiologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Agung Dwi Widodo, mengatakan bidang mikrobiologi tidak menggunakan istilah jenis untuk mengklasifikasi virus. Secara ringkas, Agung menjelaskan virus penyebab Covid-19 digolongkan dalam famili virus Corona, spesiesnya bernama SARS-CoV-2. Spesies itu kemudian dibagi lagi menjadi strain. Dasar klasifikasi strain adalah geografi dan genetik virus. “Kalau berdasarkan daerah, ada 6-8 kelompok. Berdasarkan genetik, jumlahnya sama. Jadi, tidak sampai seribu,” kata Agung.
    Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati S

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim-klaim yang dilontarkan oleh Hadi Pranoto dalam video yang diunggah oleh Anji di kanal YouTube-nya keliru. Tiga klaim, yakni klaim bahwa golongan D Covid-19 hanya bisa dideteksi melalui tes DNA, klaim bahwa virus Corona Covid-19 memiliki 1.153 jenis, dan klaim bahwa virus Corona Covid-19 mati pada suhu 350 derajat, keliru. Dua klaim, yakni klaim bahwa obat herbal “Antibodi Covid-19” dapat menyembuhkan Covid-19 dan klaim bahwa Covid-19 bisa terdeteksi lewat keringat, tidak terbukti. Sedangkan satu klaim, yakni terkait tes digital teknologi Covid-19 seharga Rp 10-20 ribu, menyesatkan.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8210) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Vaksin Covid-19 Diuji Coba di Indonesia Karena Lab Cina Kekurangan Monyet?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa laboratorium Cina kekurangan monyet untuk uji coba vaksin Covid-19 sehingga uji coba tersebut dilakukan di Indonesia beredar di media sosial. Di Facebook, klaim itu dibagikan salah satunya oleh akun Alexander Abu Taqi Mayestino, yakni pada 26 Juli 2020.
    Berikut isi lengkap unggahan akun tersebut:
    “HARGA MONYET CINA VERSUS HARGA MANUSIA INDONESIAPerbandingan:Di Indonesia negara ber-Pancasila yang berpenduduk sekitar 265 juta manusia, Jokowi dan timnya, menyatakan akan menguji coba vaksin ini ke sekitar 1.600 Manusia WNI.Di negara Neo Komunis Cina yang tidak ber-Pancasila dan berpenduduk sekitar 1,4 milyar manusia (hampir 7 kali lipat jumlah penduduk Indonesia), mereka kekurangan Monyet untuk uji coba ini.Di Cina:Harga Mahal, Lab China Kekurangan MonyetDi Indonesia:Jokowi: Uji Klinis Vaksin Covid-19 Libatkan 1.620 Relawan (Manusia)Bagaimana menurut anda?”
    Unggahan itu disertai dengan gambar tangkapan layar dua berita dari Kompas.com. Kedua berita itu berjudul "Harga Mahal, Lab China Kekurangan Monyet untuk Uji Coba Vaksin Corona" dan "Kabar Baik: Vaksin Covid-19 dari China Segera Uji Klinis di Indonesia | Update 5 Vaksin Lainnya".
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Alexander Abu Taqi Mayestino.
    Namun, apa benar vaksin Covid-19 diuji coba di Indonesia karena laboratorium Cina kekurangan monyet?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, Kompas.com memang pernah memuat berita yang berjudul "Harga Mahal, Lab China Kekurangan Monyet untuk Uji Coba Vaksin Corona" dan "Kabar Baik: Vaksin Covid-19 dari China Segera Uji Klinis di Indonesia | Update 5 Vaksin Lainnya".
    Berita pertama tentang laboratorium Cina kekurangan monyet dimuat pada 20 Juni 2020. Adapun berita kedua tentang vaksin Covid-19 dari Cina yang akan diuji klinis di Indonesia dimuat pada 20 Juli 2020. Menurut berita pertama, dalam upaya meracik vaksin Covid-19, Yisheng Biopharma, salah satu laboratorium di Cina yang memulai pengembangan vaksin Covid-19 pada Januari 2020, kekurangan monyet percobaan.
    Yisheng lebih dikenal sebagai pembuat vaksin rabies, tapi telah mengubah satu dari sembilan laboratoriumnya untuk meracik vaksin Covid-19 dan akan merekrut hingga 50 pegawai tambahan. Perusahaan ini masih dalam tahap awal pengembangan vaksin, tapi dikabarkan akan mengambil risiko untuk memproduksi vaksinnya pada September 2020 sebelum uji klinis selesai.
    Vaksin yang sedang diracik Yisheng kini berada dalam tahap pengujian ke hewan, yang mendahului uji klinis ke manusia. Pimpinan Yisheng, Zhang Yi, menuturkan uji coba pada tikus dan kelinci menunjukkan hasil yang bagus karena meningkatkan antibodi penetral. Yisheng berharap vaksin ini tidak hanya melindungi diri dari infeksi, tapi juga menyembuhkan pasien Covid-19.
    Langkah selanjutnya yang harus ditempuh Yisheng adalah uji coba ke monyet. Namun, menurut CEO Yisheng, David Shao, uji coba ini membutuhkan biaya yang besar karena permintaan akan monyet sedang tinggi dari laboratorium-laboratorium lainnya sehingga harganya naik. Biasanya, Yisheng membeli seekor monyet dengan harga 10-20 ribu yuan (sekitar Rp 20-40 juta).
    Saat ini, seekor monyet bernilai sekitar 100 ribu yuan (sekitar Rp 200 juta). Biasanya, laboratorium-laboratorium Cina menggunakan kera rhesus dan cynomolgus, yang dikembangbiakkan di provinsi-provinsi selatan. Cina adalah pemasok besar monyet percobaan. Tahun lalu, 20 ribu monyet diekspor dan 18 ribu monyet dipakai dalam penelitian lokal. "Konsumsi tahun ini cukup besar sehingga pasokannya tidak cukup," kata Liu Yunbo, Ketua Beijing HFK Bioscience, pemasok hewan percobaan.
    Meskipun benar bahwa Yisheng kekurangan monyet percobaan, perusahaan dari Cina yang akan melakukan uji klinis vaksin Covid-19 di Indonesia adalah Sinovac Biotech, bukan Yisheng. Selain itu, Sinovac menguji coba vaksinnya ke Indonesia bukan karena kekurangan monyet percobaan. Uji coba yang dilakukan bersama PT Bio Farma tersebut merupakan fase ketiga dari pengembangan vaksin Covid-19.
    Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat ( CDC ) menjelaskan ada enam tahap yang diperlukan dalam pengembangan vaksin, yakni eksplorasi, pra-klinis, pengembangan klinis, tinjauan peraturan dan persetujuan, produksi, dan kontrol kualitas. Pengembangan klinis meliputi tiga fase. Selama fase I, sejumlah orang menerima vaksin percobaan. Pada fase II, studi klinis diperluas dan vaksin diberikan kepada orang yang memiliki karakteristik (seperti usia dan kesehatan fisik) yang mirip dengan orang yang menjadi sasaran vaksin baru.
    Pada fase III, vaksin diberikan kepada ribuan orang serta diuji efikasi dan keamanannya. Pelibatan warga Indonesia dalam uji coba vaksin Sinovac termasuk dalam fase III ini. Selain Indonesia, Brasil dan Bangladesh berpartisipasi dalam uji klinis fase III vaksin Sinovac. Vaksin Covid-19 lain pun diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Inggris. Sama halnya dengan Sinovac, perusahaan-perusahaan itu menerapkan prosedur yang mengujicobakan vaksin buatannya kepada warga negara lain.
    Sebelum diujicobakan ke luar Cina, vaksin Covid-19 Sinovac itu telah terlebih dahulu menjalani uji coba fase I dan fase II yang melibatkan sejumlah warga Cina. Sinovac memulai pengembangan kandidat vaksin dari virus yang tidak aktif pada 28 Januari. Pada 13 April, Administrasi Produk Medis Nasional Cina (NMPA) memberikan persetujuan untuk uji klinis fase I dan fase II yang dimulai pada 16 April di Provinsi Jiangsu. Uji klinis fase I dan fase II itu melibatkan orang dewasa sehat berusia 18-59 tahun. Mereka diberi vaksin selama 14 hari.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Direktur Bio Farma Honesti Basyir mengungkapkan alasannya memilih Sinovac sebagai mitra untuk mengembangkan vaksin Covid-19. “Metode pembuatan vaksin yang digunakan Sinovac sama dengan kompetensi yang dimiliki Bio Farma,” kata Honesti dalam keterangan resminya pada 20 Juli 2020.
    Honesti mengatakan Bio Farma sudah memiliki pengalaman dalam pembuatan vaksin dengan metode tersebut, misalnya vaksin Pertusis, sehingga tidak perlu mengubah atau menambah investasi dalam pembuatan vaksin Covid-19. Sebanyak 2.400 vaksin Sinovac sudah tiba di Bio Farma pada 19 Juli 2020. Menurut Honesti, uji klinis vaksin dijadwalkan berjalan selama enam bulan, yakni Agustus 2020-Januari 2021. “Apabila uji klinis tahap III lancar, Bio Farma akan memproduksinya pada kuartal I 2021,” ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 diuji coba di Indonesia karena laboratorium Cina kekurangan monyet menyesatkan. Berita dari Kompas.com yang digunakan untuk mendukung klaim itu memang menyebut bahwa salah satu laboratorium di Cina yang mengembangkan vaksin Covid-19 kekurangan monyet percobaan. Namun, laboratorium yang dimaksud adalah laboratorium milik Yisheng Biopharma. Perusahaan ini berbeda dengan perusahaan yang menguji klinis vaksinnya di Indonesia, yakni Sinovac Biotech. Sinovac menguji coba vaksinnya ke Indonesia pun bukan karena kekurangan monyet percobaan, melainkan karena mesti menggelar uji klinis fase III vaksin Covid-19 ke manusia yang menjadi syarat dalam produksi vaksin.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8209) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Rockefeller Foundation Berada di Balik Kemunculan Virus Corona Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/07/2020

    Berita


    Grup Facebook Geografi Equidistant mengunggah klaim bahwa pendiri Rockefeller Foundation, David Rockefeller, adalah pencipta virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Rockefeller pun disebut memiliki mesin pencetak uang sehingga bisa mempengaruhi dunia farmasi dan medis serta media serta lembaga-lembaga dunia seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan Bank Dunia.
    “Nih yang bikin Covid, si jagoan Wall Street (Rockefeller Foundation). Dia punya mesin cetak duit buat endorse RS, farmasi, medis & media. Cara kerja David adalah Infiltrasi kepada PBB, WHO & Bank Dunia," demikian klaim dalam unggahan grup Geografi Equidistant pada 18 Juli 2020.
    Dalam unggahan itu, terdapat pula sejumlah tautan dokumen yang diklaim sebagai bukti atas klaim tersebut. Salah satunya adalah dokumen yang berjudul "Scenarios for the Future of Technology and International Development" yang diterbitkan Rockefeller Foundation pada 2010.
    Gambar tangkapan layar unggahan grup Facebook Geografi Equidistant.
    Artikel ini akan memeriksa sejumlah klaim dalam unggahan itu, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Pendiri Rockefeller Foundation, David Rockefeller, adalah pencipta virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2
    Klaim ini tidak memiliki basis bukti dan tidak sesuai fakta. Rockefeller telah meninggal pada 20 Maret 2017 pada usia 101 tahun. Sementara pandemi Covid-19 baru terjadi pada penghujung 2019 atau hampir tiga tahun setelah kematiannya. Rockefeller Foundation sendiri adalah yayasan keluarga Rockfeller yang dalam seabad ini, jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, telah banyak berkontribusi di bidang kesehatan masyarakat dan mendukung pengembangan vaksin.
    Rockfeller adalah cucu pendiri Standard Oil dan miliarder pertama Amerika, John Rockefeller. Ia pernah bertugas di Afrika Utara dan Prancis dalam intelijen militer selama Perang Dunia II. Ia kemudian menjalankan Chase National Bank selama bertahun-tahun. Rockfeller pun menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Ia banyak menyumbangkan kekayaannya pada kegiatan seni dan sosial, seperti menyumbangkan 150 juta dolar ke Museum Seni Modern New York yang didirikan oleh ibunya.
    Adapun Rockefeller Foundation adalah organisasi nirlaba yang didirikan oleh John Rockefeller pada 14 Mei 1913. Organisasi ini mengabdikan diri sebagai lembaga pemberi bantuan kemanusiaan, seperti beasiswa, lembaga penelitian, dan program eradikasi penyakit menular. Rockefeller Foundation juga sejak lama mendukung pengembangan vaksin, seperti vaksin untuk demam kuning dan malaria. Yayasan ini pun telah memberikan lebih dari 17 miliar dolar untuk mendukung ribuan organisasi dan individu di seluruh dunia.
    Saat pandemi Covid-19, Rockefeller Foundation ikut bergerak dengan membuka program “ Covid-19 Response ”. Program ini antara lain memberikan dukungan tes cepat dan penelusuran kontak serta mendukung sistem ketahanan pangan. Tidak hanya di Amerika Serikat, Rockefeller Foundation memberikan tiga hibah senilai 2 juta dolar dalam mendukung upaya peningkatan data dan tanggap Covid-19 di Afrika dan Asia.
    Selain itu, berdasarkan arsip berita Tempo pada 30 Maret 2020, hasil studi yang dipimpin oleh Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute, California, AS, telah membantah rumor bahwa SARS-CoV-2 sengaja dibuat atau produk rekayasa laboratorium. Menurut studi yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine ini, SARS-CoV-2 adalah buah dari proses evolusi alami.
    Andersen menjelaskan, sejak awal pandemi Covid-19, para peneliti telah menguliti asal-usul SARS-CoV-2 tersebut dengan menganalisis data urutan genomnya. "Dengan membandingkan data urutan genom jenis-jenis virus Corona yang sudah diketahui, kami dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," ujarnya.
    Klaim 2: Dokumen "Scenarios for the Future of Technology and International Development" berisi skenario pandemi Covid-19 pada 2020
    Dokumen tersebut dikeluarkan oleh Rockfeller Foundation pada 2010 untuk membayangkan bagaimana dunia akan terkena dampak dalam empat skenario yang berbeda, salah satunya pandemi global. Skenario ini dibuat untuk merencanakan adaptasi internasional dan pembentukan kemampuan untuk mengantisipasinya melalui teknologi. Dalam dokumen itu, sama sekali tidak disebutkan SARS-CoV-2 atau pandemi Covid-19.
    Skenario tentang pandemi global tersebut tercantum pada halaman 18 yang ditulis berdasarkan pengalaman saat wabah flu H1N1 pada 2009. Skenarionya, pandemi global akan menimpa pada 2012 dengan jenis virus yang sangat ganas dan mematikan. Bahkan, negara yang paling siap menghadapi pandemi dengan cepat kewalahan ketika virus melanda seluruh dunia, menginfeksi hampir 20 persen populasi global, dan membunuh 8 juta orang hanya dalam waktu tujuh bulan, di mana mayoritas dari mereka adalah orang dewasa muda yang sehat. Pandemi ini juga memiliki efek mematikan pada ekonomi: mobilitas internasional baik orang maupun barang menjerit, menghentikan industri yang melemahkan pariwisata dan menghancurkan rantai pasokan global.
    Organisasi pemeriksa fakta AS, Snopes, pun telah menjelaskan bahwa dokumen tersebut memberikan pandangan hipotetis tentang peristiwa masa depan untuk membayangkan masalah yang mungkin timbul. Dokumen ini juga mengeksplorasi bagaimana populasi global dapat bereaksi selama pandemi, bukan rencana tentang operasi manual untuk membuat virus jenis baru.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Rockefeller Foundation berada di balik kemunculan virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, keliru. Dokumen yang diklaim sebagai bukti atas klaim tersebut, yakni dokumen "Scenarios for the Future of Technology and International Development", bukanlah dokumen operasi untuk merencanakan pandemi Covid-19 pada 2020. Dokumen tersebut berisi pandangan hipotetis tentang peristiwa masa depan untuk membayangkan masalah yang mungkin timbul, salah satunya pandemi global. Dokumen ini juga mengeksplorasi bagaimana populasi global dapat bereaksi selama pandemi. Rockefeller Foundation pun adalah yayasan yang dalam seabad ini telah banyak berkontribusi di bidang kesehatan masyarakat dan mendukung pengembangan vaksin untuk melindungi masyarakat dari berbagai penyakit menular.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8208) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Salat Subuh di Hagia Sophia Sejak Kembali Jadi Masjid?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/07/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan salat berjamaah di depan sebuah gedung beredar di media sosial. Video tersebut diklaim sebagai suasana salat subuh di Hagia Sophia sejak Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa bangunan yang sebelumnya dijadikan museum ini ditetapkan kembali sebagai masjid.
    Di Facebook, video tersebut diunggah salah satunya oleh akun Imadudin, yakni pada 22 Juli 2020. Akun ini pun menuliskan narasi, “Semenjak di buka, Sholat Subuh di Hagia Sophia...Inilah yg ditakuti para kafeer jika Jama'ah Sholat Subuh banyaknya spt halnya Sholat Jum'at.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Imadudin.
    Apa benar video tersebut merupakan video salat subuh di Hagia Sophia sejak kembali menjadi masjid?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolYandex, Google, dan TinEye.
    Hasilnya, ditemukan bahwa video tersebut telah beredar di internet sejak 2015, jauh sebelum Presiden Erdogan menetapkan kembali Hagia Sophia sebagai masjid. Di YouTube, video itu pernah diunggah oleh kanal Sirah Nabawiyyah pada 14 November 2015 dengan judul “Suasana Shalat Subuh di Masjid Hagya Sophia, Turki”.
    Video yang sama dengan kualitas yang lebih tinggi pernah diunggah oleh kanal Ibnu Thabrani Channel pada 8 Mei 2015 dengan judul “Gerakan Sholat Shubuh Berjama'ah Di Turki”. Video tersebut diberi keterangan, “Ini video tentang pertama kalinya setelah 79 tahun, warga Turki melaksanakan sholat shubuh berjama'ah di masjid Hagia Sophia, Istanbul tanggal 31 Mei 2014.”
    Berdasarkan petunjuk waktu ini, Tempo menelusuri pemberitaan terkait salat subuh berjamaah di Hagia Sophia pada 31 Mei 2014. Hasilnya, ditemukan berita terkait salat subuh itu yang dimuat oleh situs media NBC News pada 31 Mei 2014. Berita tersebut berjudul "Protesters Pray For Turkey's Hagia Sophia to Become a Mosque".
    Berita ini pun memuat foto suasana salat subuh di depan Haghia Sophia tersebut. Foto itu diberi keterangan, "Para pengunjuk rasa berdoa di depan Museum Haghia Sophia di Istanbul, Turki, pada 31 Mei pagi." Berita tersebut memang menceritakan para pengunjuk rasa yang salat di depan Haghia Sophia untuk menyuarakan keinginan mereka mengubah museum tersebut menjadi masjid.
    Haghia Sophia pernah menjadi tempat ibadah bagi dua agama sejak didirikan di Istanbul pada abad ke-6. Bangunan ini pernah menjadi katedral bagi umat kristiani selama 900 tahun serta masjid bagi umat muslim selama 500 tahun. Pada 2014, Hagia Sophia, atau Ayasofya dalam bahasa Turki, secara resmi adalah sebuah museum: monumen Turki yang paling banyak dikunjungi, yang status netralnya melambangkan sifat sekuler dari Turki modern.
    Tapi puluhan ribu jemaah muslim yang berkumpul di sana pada 31 Mei 2014 berharap Haghia Sophia kembali menjadi masjid, mimpi yang mereka yakini dapat dipenuhi oleh Perdana Menteri Erdogan. Bahkan, ada desas-desus, yang telah dibantah oleh pemerintah Turki, bahwa Erdogan, seorang konservatif religius yang mengincar kursi kepresidenan dalam pemilu pada Agustus 2014, bisa memimpin salat di Hagia Sophia suatu hari nanti.
    Hagia Sophia kembali menjadi masjid
    Berdasarkan arsip berita Tempo, pada 10 Juli 2020, pengadilan tinggi Turki menganulir Dekrit 1934 yang mengubah kembali status Museum Hagia Sophia menjadi masjid. Setelah putusan pengadilan itu, Presiden Erdogan menandatangani keputusan presiden yang menyerahkan Hagia Sophia kepada Kepresidenan Urusan Agama Turki dan membukanya sebagai tempat ibadah sambil memberi selamat kepada warga Turki.
    Dikutip dari Daily Sabah, pengadilan menyatakan bahwa Hagia Sophia secara resmi terdaftar sebagai masjid sesuai fungsi awalnya, menambahkan bahwa penggunaannya dalam bentuk apa pun selain masjid secara hukum tidak mungkin. "Keputusan kabinet pada 1934 yang mengakhiri penggunaannya sebagai masjid dan mendefinisikannya sebagai museum tidak mematuhi hukum," demikian keterangan pengadilan.
    Permanent Foundations Service to Historical Artifacts and Environment Association, organisasi non-pemerintah yang berbasis di Istanbul, telah mengajukan petisi ke Dewan Negara Turki agar menganulir keputusan yang mengubah Hagia Sophia menjadi museum setelah sebelumnya menjadi masjid selama hampir 500 tahun. Pengadilan mendengar argumen dari kedua belah pihak dalam sidang pada 2 Juli sebelum mengeluarkan keputusannya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video salat subuh di Hagia Sophia sejak kembali menjadi masjid menyesatkan. Salat berjamaah itu digelar oleh warga Turki di depan Hagia Shopia pada 31 Mei 2014, jauh sebelum Presiden Erdogan menetapkan kembali Hagia Sophia sebagai masjid. Ketika itu, Hagia Sophia masih berstatus sebagai museum. Warga Turki yang menggelar salat berjamaah di depan Hagia Sophia itu menyuarakan permintaannya agar Hagia Sophia diubah menjadi masjid.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan