• (GFD-2020-8282) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Bandung Ditetapkan Sebagai Zona Hitam Karena Kasus Covid-19 Meningkat?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/09/2020

    Berita


    Klaim bahwa Kota Bandung ditetapkan sebagai zona hitam beredar di media sosial. Menurut klaim ini, hal itu disebabkan oleh meningkatnya kasus Covid-19 di Bandung secara drastis. Klaim tersebut dilengkapi dengan gambar peta Kota Bandung yang hampir seluruh wilayahnya berwarna hitam. Hanya satu wilayah yang berwarna merah.
    Klaim serta gambar peta itu terdapat dalam gambar tangkapan layar sebuah pesan WhatsApp. "Bandung Kota,,,, Zona hitam. Corona 19 di Bdg meningkat drastis. Hati2 ya kawan semua," demikian klaim dalam pesan WhatsApp tersebut.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar itu dibagikan salah satunya oleh akun Dinda'Fs, yakni pada 9 September 2020. Akun ini pun menulis narasi, "Smoga kluarga yg disana sehat smua. Niat mau halan2 kaya'a tunda dulu. Beberapa kota sudah zona hitam. Masya Allah mengerikan."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Dinda'Fs.
    Apa benar Kota Bandung ditetapkan sebagai zona hitam karena kasus Covid-19 meningkat?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, sebanyak 29 dari 30 kecamatan di Kota Bandung memang pernah dinyatakan sebagai zona hitam pada pekan ketiga Mei 2020. Namun, saat ini, pemerintah telah mengubah aturan penetapan zona risiko untuk menunjukkan tingkat sebaran Covid-19. Dalam kebijakan baru tersebut, warna hitam tidak lagi digunakan.
    Wali Kota Bandung Oded Danial mengatakan sebanyak 29 kecamatan di Kota Bandung masih berada di zona hitam per 19 Mei 2020. Alasan ini menjadi dasar pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang seharusnya berakhir pada 19 Mei 2020, diperpanjang hingga 29 Mei 2020.
    "Tapi, kalau ditarik ke 30 kecamatan, itu masih zona hitam dan satu kecamatan yang merah. Kemudian, kalau ditarik ke kelurahan, masih ada 83 kelurahan yang hitam," ujar Oded seperti dikutip dari situs RMOL Jabar pada 19 Mei 2020.
    Selain di RMOL Jabar, pernyataan Wali Kota Bandung Oded Danial mengenai zona hitam tersebut juga dimuat di situs Suara.com dan Pojoksatu.id pada tanggal yang sama.
    Ketika itu, zona risiko masih terbagi dalam lima zona berdasarkan tingkat penularan Covid-19, yakni zona hitam, zona merah, zona kuning, zona biru, dan zona hijau. Zona hitam berarti jumlah kasus Covid-19 sudah sangat parah dan perlu dilakukan penguncian wilayah atau lockdown.
    Namun, dari sisi epidemiologi, tidak dikenal istilah zona hitam. "Enggak ada zona hitam, yang ada merah banget. Zona hitam itu istilah tidak resmi yang dipakai untuk zona merah karena kasus yang banyak, makanya zona hitam," kata Kepala Departemen Epidemiologi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono dikutip dari Viva.co.id.
    Tri menjelaskan zona sangat merah sehingga terlihat seperti hitam itu memiliki kasus yang sangat banyak dan memiliki transmisi yang mengancam populasi. "Merah, kasus Covid-19 sangat banyak. Hitam, sangat-sangat banyak melebihi batas merah. Batas merah? Patokannya sangat banyak, relatif terhadap kabupaten atau provinsi. Kalau sudah sangat-sangat banyak, artinya nilai tertinggi di kabupaten di Indonesia," katanya.
    Perubahan menjadi 4 zona risiko
    Pemerintah mengeluarkan aturan mengenai empat zona risiko yang diadopsi oleh pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2020, penentuan risiko kesehatan masyarakat berdasarkan empat zona risiko, yakni:
    Peta zona risiko pun diperbaharui setiap pekan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional. Berdasarkan peta risiko per 6 September 2020, Kota Bandung berada di zona oranye atau risiko sedang.

    Kasus Covid-19 di Bandung masih tinggi
    Beberapa hari terakhir, kasus Covid-19 yang tercatat di Kota Bandung kembali meningkat. Berdasarkan data di situs resmi Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 (Pusicov) Bandung per 15 September 2020, seperti dikutip dari Detik.com, terdapat 222 kasus positif aktif, 995 positif kumulatif, 721 pasien sembuh, dan 52 kasus meninggal.
    Pada 14 September 2020, Kota Bandung mencatat sebaran kasus Covid-19 di 30 kecamatan. Ini menjadikan Kota Bandung kembali berada di zona merah. Padahal, pada Juli 2020, 14 kecamatan di Kota Bandung telah bebas dari kasus positif aktif Covid-19, dan tersisa 33 kasus.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "Kota Bandung ditetapkan sebagai zona hitam karena kasus Covid-19 meningkat" menyesatkan. Peta Kota Bandung yang hampir seluruh wilayahnya berwarna hitam yang menyertai klaim itu diperkirakan merupakan peta lama, saat 29 dari 30 kecamatan di Kota Bandung disebut berada di zona hitam pada pekan ketiga Mei 2020. Pada akhir Mei, pemerintah menetapkan empat warna zona untuk peta risiko Covid-19, yakni merah, oranye, kuning, dan hijau, tidak ada warna hitam dalam warna zona tersebut. Pada 9 September, saat akun Dinda’Fs mengunggah peta hitam itu, peta risiko Kota Bandung berwarna oranye atau risiko sedang. Meskipun begitu, beberapa hari terakhir, kasus Covid-19 di Kota Bandung kembali meningkat.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8281) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ada Pembagian Masker Gratis yang Telah Diberi Obat Bius?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/09/2020

    Berita


    Pesan berantai yang berisi klaim bahwa ada pembagian masker gratis yang telah diberi obat bius beredar di aplikasi percakapan WhatsApp dan media sosial. Menurut pesan berantai ini, pembagian masker yang telah diberi obat bius tersebut merupakan modus baru kajahatan selama pandemi Covid-19.
    "Sekarang ada yang baru dan sedang terjadi. Orang datang dari jalan ke jalan, pintu ke pintu, dan membagikan masker. Mereka mengatakan, 'Ini ada pembagian masker dari pemerintah'. Mereka meminta Anda mengenakan masker untuk difoto atau dilihat, apakah masker tersebut cocok untuk Anda pakai," demikian narasi di bagian awal pesan berantai itu.
    Lalu, pesan berantai ini menyebut bahwa masker tersebut telah diberi obat bius. "Lalu mereka merampok atau merampas! Tolong jangan ambil masker dari orang asing. Ingat teman-teman, ini adalah waktu yang kritis, orang-orang putus asa, tingkat kejahatan meningkat selama periode Covid-19. Harap berhati-hati!"
    Di Facebook, pesan berantai itu dibagikan salah satunya oleh akun Airyn Ruri Pradigta, yakni pada 12 September 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah disukai lebih dari 100 kali dan dibagikan lebih dari 200 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Airyn Ruri Pradigta.
    Apa benar ada pembagian masker gratis yang telah diberi obat bius di tengah pandemi Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, pesan berantai ini telah beredar sejak Mei 2020. Polisi pun merespons pesan berantai yang meresahkan masyarakat itu dengan menyatakan bahwa informasi tersebut palsu. “Itu informasinya hoaks,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus pada 7 Mei 2020 seperti dilansir dari situs resmi Polri.
    Meskipun begitu, Yusri meminta masyarakat untuk lebih waspada. Dia juga mengingatkan publik agar tidak mudah percaya dengan berbagai informasi yang belum diketahui kebenarannya.
    Penjelasan Yusri tersebut juga dimuat di situs resmi Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Covid19.go.id. Yusri menuturkan bahwa pesan berantai itu tidak benar. "Iyalah, itu informasinya hoaks," ujar Yusri.
    Pembagian masker gratis
    Sejak terjadi pandemi Covid-19, pembagian masker secara gratis kepada masyarakat kerap dilakukan, baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Meskipun begitu, menurut anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Syarif, masih banyak masyarakat yang tidak mengenakan masker.
    Karena itu, Syarif meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali mendistribusikan masker gratis kepada warga ibukota. Pemprov DKI pernah membagikan 20 juta masker kepada seluruh warga ibukota pada Mei 2020 lalu. Setiap orang diberi dua masker.
    “Mungkin masker yang dibagikan pemerintah empat bulan lalu sudah rusak atau hilang," kata Syarif pada 1 September 2020. Padahal, menurut dia, penggunaan masker merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan virus Covid-19, selain menjaga jarak dan kebersihan diri.
    Pembagian masker secara gratis juga pernah dilakukan di Purwakarta, Jawa Barat. Menurut Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika, hal ini ditujukan agar masyarakat bisa melindungi diri sendiri dari Covid-19. Banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan masker saat melakukan kegiatan sehari-hari membuatnya khawatir akan rentannya masyarakat terpapar Covid-19.
    Anne pun memerintahkan jajarannya untuk membagikan masker gratis. "Saya memerintahkan jajaran Satpol PP dan Dinas Perhubungan untuk membagikan masker di sekitar Pasar Rebo, jumlahnya tidak terlalu banyak. Nanti kita akan tambah lagi dan dibagikan kepada masyarakat lainnya," ujarnya pada 9 April 2020 seperti dikutip dari situs resmi Pemprov Jawa Barat.
    Dilansir dari Kompas.com, penggunaan masker diyakini sebagai salah satu upaya pencegahan penularan virus Corona baru penyebab Covid-19 yang efektif. Semua orang pun kini diimbau untuk menggunakan masker, terutama ketika beraktivitas di luar rumah atau bertemu dengan orang lain.
    Sejumlah daerah menetapkan kebijakan yang mewajibkan warganya untuk mengenakan masker saat berada di ruang publik. Bahkan, beberapa daerah menerapkan denda bagi warga yang tidak menggunakan masker. Sejumlah daerah yang menerapkan kebijakan tersebut antara lain Kabupaten Bantul, Lebak, dan Gresik, Kota Banjarmasin, serta Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "ada pembagian masker gratis yang telah diberi obat bius di tengah pandemi Covid-19" keliru. Polri telah menyatakan bahwa informasi tersebut hoaks.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8280) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Presiden Belarus Klaim IMF Tawarkan Suap untuk Pembatasan Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/09/2020

    Berita


    Klaim bahwa Presiden Belarus  Alexander Lukashenko menyatakan IMF (Dana Moneter Internasional) menawarkan suap untuk memberlakukan pembatasan sosial di tengah pandemi Covid-19 beredar di media sosial. Klaim ini terdapat dalam gambar tangkapan layar sebuah judul artikel yang berbunyi "Presiden Belarusia Klaim IMF Tawari Suap untuk Pembatasan Covid-19".
    Di Facebook, gambar tangkapan layar itu dibagikan salah satunya oleh akun Rudi Adi Suarna, yakni pada 14 September 2020. "Reposted from @teluuur_ Presiden Belarusia Aleksander Lukashenko mengatakan Bank Dunia dan IMF menawarkan suap sebesar 940 juta USD dalam bentuk Covid Relief Aid," demikian narasi di bagian awal unggahan akun tersebut.
    Selanjutnya, akun ini menulis bahwa tawaran itu ditolaknya lantaran akan menempatkan rakyat di atas kebutuhan IMF. "Pasalnya, penawaran IMF tersebut menuntut Presiden Belarusia untuk memberlakukan lima hal, yakni memberlakukan penguncian ekstrem terhadap rakyatnya, memaksa mereka memakai masker wajah, memberlakukan jam malam yang sangat ketat, memberlakukan negara polisi, dan menghancurkan ekonomi."
    Menurut unggahan itu, informasi tersebut berasal dari situs Law Justice yang mengutip media Belarus, Belarusian Telegraph Agency (BelTA). Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Rudi Adi Suarna tersebut telah dibagikan lebih dari 100 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rudi Adi Suarna.
    Apa benar Presiden Belarus Alexander Lukashenko menyebut IMF menawarkan suap untuk memberlakukan pembatasan sosial di tengah pandemi Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri artikel di situs Law Justice yang memuat klaim tersebut. Hasilnya, ditemukan bahwa situs ini pernah mengunggah artikel dengan judul "Presiden Belarusia Klaim IMF Tawari Suap untuk Pembatasan Covid-19", yang gambar tangkapan layarnya terdapat dalam unggahan akun Rudi Adi Suarna, pada 10 September 2020.
    Menurut artikel ini, informasi itu berasal dari media Belarus BelTA. Tempo pun memasukkan kata kunci "Belarusian President claims IMF offered him bribes to impose Covid-19 restrictions" ke kolom pencarian situs BelTA. Namun, BelTA tidak pernah memuat berita dengan judul tersebut.
    Tempo kemudian menelusuri lewat mesin pencarian Google dengan kata kunci yang sama. Hasilnya, ditemukan sebuah artikel di situs Armstrong Economics yang berjudul "Belarusian President Claims IMF & World Bank Offered him a Bribe to Impose COVID Restrictions" yang dimuat pada 7 September 2020.
    Isi artikel ini identik dengan isi artikel di situs Law Justice, namun dalam bahasa Inggris. Meskipun begitu, artikel ini dimasukkan ke dalam kategori "Konspirasi". Di bawah artikel itu, terdapat pula sebuah komentar berbau konspirasi dari penulis yang menyatakan "IMF dan Bank Dunia pasti terlibat dengan Bill Gates".
    Berdasarkan penelusuran Tempo selanjutnya, BelTA hanya pernah memuat pernyataan Presiden Belarus Alexander Lukashenko terkait IMF dalam beritanya pada 19 Juni 2020. Berita itu berjudul "Belarus President Unwilling to Accept Additional Terms to Get Foreign Loans", atau dalam bahasa Indonesia berarti "Presiden Belarus Tidak Mau Menerima Persyaratan Tambahan untuk Mendapatkan Pinjaman Luar Negeri".
    Menurut berita ini, Lukashenko menyinggung soal bantuan dari mitra dalam sebuah pertemuan dengan para pejabat Belarus tentang dukungan untuk sektor ekonomi riil. Ketika itu, Lukashenko bertanya soal pemberian bantuan kredit luar negeri kepada Belarus. "Apa persyaratan mitra kita? Diumumkan bahwa mereka dapat memberi Belarus 940 juta dolar lewat pembiayaan cepat. Bagaimana keadaan di sini?"
    Setelah melontarkan pertanyaan itu, Lukashenko menekankan bahwa Belarus tidak akan menerima persyaratan tambahan yang tidak terkait dengan isu keuangan. "Kita mendengar tuntutan, misalnya, untuk mencontohkan respons kita atas virus Corona dengan Italia. Saya tidak ingin situasi di Italia terulang di Belarus. Kita memiliki negara kita sendiri dan situasi kita sendiri," ujarnya.
    Menurut Lukashenko, Bank Dunia telah menunjukkan minat terhadap praktik respons Belarus terhadap virus Corona. “Mereka siap mendanai kita sepuluh kali lipat lebih banyak dari yang ditawarkan di awal sebagai pujian atas upaya efisien kita dalam melawan virus ini. Bank Dunia bahkan sudah meminta Kementerian Kesehatan untuk berbagi pengalaman. Sementara itu, IMF terus menuntut kita memberlakukan karantina, isolasi, dan jam malam. Ini tidak masuk akal. Kami tidak akan menari mengikuti irama siapa pun," kata Lukashenko.
    Dalam berita ini, Lukashenko tidak menyatakan bahwa IMF menawarkan suap kepadanya. Dia hanya membeberkan bahwa, sebagai persyaratan pemberian bantuan dana darurat Covid-19, IMF menuntut pemberlakuan karantina, isolasi, dan jam malam.
    Menanggapi tudingan Lukashenko itu, pada 10 September 2020, Direktur Komunikasi IMF Gerry Rice berkata, “Yang dapat saya sampaikan adalah, pada Maret 2020, Belarus mendekati IMF dengan permintaan untuk membahas kemungkinan bantuan darurat, tapi tidak ada kesepakatan yang dicapai, dan kami belum menemukan cara untuk menjembatani perbedaan yang signifikan tentang tanggapan yang sesuai terhadap tantangan saat ini."
    Menurut Rice, Instrumen Pembiayaan Cepat, salah satu mekanisme pembiayaan darurat IMF, tidak menuntut persyaratan yang sulit. Mekanisme ini hanya menuntut jaminan transparansi dan tindakan kebijakan yang tepat diperlukan untuk memastikan bahwa dana tersebut digunakan untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan memfasilitasi stabilitas ekonomi.
    “Kami tidak menuntut karantina, isolasi, maupun lockdown. Kami mencari kepastian mengenai langkah-langkah untuk mengatasi pandemi Covid-19 sesuai dengan rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yang merupakan prosedur operasi standar kami di semua negara. Jadi, sama saja,” kata Rice.
    Dilansir dari BBC, Presiden Belarus Alexander Lukashenko menghadapi protes massal yang menentang pemerintahannya dalam beberapa minggu terakhir. Pria berusia 66 tahun ini mengklaim masa jabatan keenamnya sebagai presiden dalam pemilu pada 9 Agustus 2020 lalu. Karena sengketa pemilu ini, sekitar 100 ribu orang menggelar unjuk rasa setiap pekan di Minsk untuk melawannya.
    Lukashenko berkuasa sejak 1994 dengan gaya otoriter yang serupa dengan era Soviet, mengendalikan saluran media utama, melecehkan dan memenjarakan lawan politik, serta meminggirkan suara independen. Polisi rahasia negara yang kuat, yang masih disebut KGB, memantau para pembangkang dengan cermat. Politikus muda Svetlana Tikhanovsky menantangnya untuk memperebutkan kursi kepresidenan setelah suaminya, Sergei Tikhanovsky, seorang blogger populer, dilarang mencalonkan diri dan dikirim ke penjara.
    Tikhanovsky mengkalim telah memenangkan 60-70 persen suara di tempat-tempat di mana suara dihitung dengan benar, namun Alexander Lukashenko mengklaim kemenangan telak. Tak satu pun dari pemilihan presiden sebelumnya yang diadakan selama masa pemerintahan Lukashenko yang pernah dinilai bebas dan adil oleh Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE), sebuah badan pemantau pemilihan terkemuka. Kini, Tikhanovsky diasingkan di negara tetangga, di tengah gelombang penangkapan.
    Virus Corona menambah dimensi ekstra terhadap gejolak politik di Belarus. Para penentang menganggap keberanian Lukashenko tentang virus itu sembrono dan pertanda bahwa dia sudah tidak bisa disentuh. Pada akhir Mei 2020, Lukashenko menyatakan langkah Belarus sudah tepat dengan tidak memberlakukan lockdown. Ia juga menyarankan untuk memerangi virus Corona dengan kerja keras, sauna, dan vodka.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "Presiden Belarus Alexander Lukashenko menyebut IMF menawarkan suap untuk memberlakukan pembatasan sosial di tengah pandemi Covid-19" menyesatkan. Dalam artikel sumbernya, Lukashenko tidak menyatakan bahwa IMF menawarkan suap kepadanya. Dia hanya membeberkan bahwa, sebagai persyaratan pemberian bantuan dana darurat Covid-19, IMF menuntut pemberlakuan karantina, isolasi, dan jam malam. Namun, tudingan itu telah dibantah oleh Direktur Komunikasi IMF Gerry Rice. Menurut dia, Instrumen Pembiayaan Cepat IMF tidak menuntut karantina, isolasi, maupun lockdown, melainkan mencari kepastian mengenai langkah-langkah untuk mengatasi pandemi Covid-19 sesuai rekomendasi WHO. Ini pun merupakan prosedur operasi standar yang berlaku bagi semua negara.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8279) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Jokowi Minta Semua Gubernur Tiru Anies untuk Hadapi Resesi?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/09/2020

    Berita


    Klaim bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta semua gubernur meniru Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menghadapi resesi ekonomi beredar di media sosial. Klaim ini terdapat dalam artikel di situs Bacanews.id yang dimuat pada 10 September 2020.
    Artikel itu diberi judul "Resesi di Depan Mata, Jokowi Minta Semua Gubernur Tiru Kerja Keras Anies Selamatkan Ekonomi". Artikel ini dilengkapi dengan kolase foto Anies dan Jokowi yang sama-sama sedang berada di sebuah podium.
    Gambar tangkapan layar artikel yang dimuat oleh situs Bacanews.id.
    Apa benar Presiden Jokowi meminta semua gubernur meniru Anies untuk menghadapi resesi ekonomi?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula membaca artikel di situs Bacanews.id itu secara utuh. Namun, di dalam artikel tersebut, tidak ditemukan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta semua gubernur meniru Anies Baswedan untuk menghadapi resesi ekonomi.
    Artikel itu berisi arahan Jokowi kepada seluruh gubernur yang digelar secara virtual. Dalam arahannya, Jokowi meminta semua kepala daerah menggenjot perekonomian Indonesia. Pasalnya, ekonomi Indonesia bisa masuk resesi jika pertumbuhan di kuartal III kembali minus.
    Tempo pun menelusuri pemberitaan dari media kredibel terkait arahan Presiden Jokowi tersebut. Dilansir dari kantor berita Antara, arahan itu disampaikan Jokowi pada 1 September 2020 dalam rapat terbatas dengan tema "Pengarahan Presiden kepada Para Gubernur Menghadapi Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional" melalui konferensi video.
    Dalam arahannya, Jokowi memerintahkan 34 gubernur untuk segera merealisasikan anggaran belanja barang dan jasa, modal, serta bantuan sosial (bansos) pada September 2020 untuk mencegah resesi. "Kita masih punya kesempatan September ini, kalau kita masih dalam posisi minus artinya kita masuk ke resesi," ujar Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor.
    Percepatan belanja barang dan jasa, modal, serta bansos itu diharapkan bisa meningkatkan konsumsi masyarakat sekaligus ekonomi daerah. "Kita tahu kuartal I 2020 kita masih tumbuh 2,97 persen. Tapi di kuartal II kita sudah posisi minus 5,3 persen. Untuk itu, kuartal III ini kita masih punya satu bulan dari Juli, Agustus, September, untuk melakukan belanja."
    Arahan Jokowi kepada 34 gubernur ini juga diberitakan oleh CNN Indonesia dalam artikelnya yang berjudul "Jokowi Bersiap Hadapi Resesi September Ini". Isi berita ini serupa dengan isi berita di Antara. Dalam berita ini, Presiden Jokowi mengatakan Indonesia bakal masuk ke jurang resesi jika ekonomi Indonesia pada periode Juli-September 2020 minus.
    Saat ini, pemerintah hanya punya waktu satu bulan untuk membuat Indonesia tidak masuk daftar negara resesi di tengah pandemi Covid-19. "Untuk itu, kuartal III 2020, yang kita masih punya waktu satu bulan, Juli, Agustus, September, kita masih punya kesempatan di September 2020. Kalau masih berada pada posisi minus, artinya Indonesia masuk resesi," kata Jokowi.
    Dalam ilmu ekonomi, negara bisa disebut resesi jika pertumbuhan ekonominya minus dalam dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, pada kuartal II 2020, sudah minus 5,32 persen. Realisasi itu berbanding terbalik dengan kuartal I 2020 yang masih positif, yakni 2,97 persen.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Presiden Jokowi meminta semua gubernur meniru Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menghadapi resesi ekonomi, keliru. Judul artikel yang memuat klaim itu tidak sesuai dengan isi artikel. Dalam artikel tersebut, tidak ditemukan pernyataan Jokowi yang meminta semua gubernur meniru Anies untuk menghadapi resesi. Artikel itu berisi arahan Jokowi kepada seluruh gubernur menggenjot perekonomian Indonesia. Pasalnya, ekonomi Indonesia bisa masuk resesi jika pertumbuhan di kuartal III kembali minus.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan