• (GFD-2021-8477) Keliru, Jarum Suntik Palsu di Video Ini Disiapkan untuk Vaksinasi Covid-19 Elite Global

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/02/2021

    Berita


    Video yang memperlihatkan seorang pria berbaju biru sedang memberikan penjelasan tentang jarum suntik palsu viral di media sosial. Menurut klaim yang menyertai video tersebut, jarum suntik palsu ini telah disiapkan untuk vaksinasi Covid-19 para pemimpin dunia atau elite global. "Suntikan palsu ini telah dilakukan kepada beberapa pemimpin dunia untuk meyakinkan masyarakat agar mau disuntik vaksin Covid-19," demikian teks dalam video itu.
    Menurut penjelasan pria tersebut, saat ditekan ke tubuh, jarum suntik akan masuk ke dalam alat suntik. Video itu pun dilengkapi dengan video yang menunjukkan seseorang berbaju merah muda dan Menteri Kesehatan Ontario, Kanada, Christine Elliott sedang menjalani vaksinasi serta foto saat pembawa acara Fox News Brian Kilmeade menerima vaksin. "Mereka sebenarnya tidak menerima suntikan vaksin. Itu hanya penipuan supaya rakyat mau PERCAYA."
    Di Facebook, video tersebut diunggah salah satunya oleh akun Jend Widodo Purbalingga, tepatnya pada 15 Januari 2021. Video ini dibagikan ke grup Pasukan Elite Indonesia. Akun itu pun menulis, "Anda Harus Tahu Kebenaran ada Jarum Suntik/Spuit Palsu Dipersiapkan untuk Para Pemimpin Dunia."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Jend Widodo Purbalingga yang memuat klaim keliru soal alat suntik dalam video yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta mula-mula memfragmentasi video di atas menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Lalu, gambar-gambar itu ditelusuri denganreverse image tool Google dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa video pria berbaju biru yang sedang memberikan penjelasan tentang alat suntik palsu adalah potongan dari video milik Scott Reeder, ahli prop atau alat peraga untuk film dan serial televisi. Dalam video ini, Reeder memperlihatkan sejumlah alat peraga, yakni alat suntik, pisau, dan alat pemecah es.
    Video itu diunggah oleh Reeder pertama kali di TikTok pada 2 September 2020. Video tersebut diberi keterangan "Retractable Stunt Props". Pada 15 September 2020, Reeder mengunggah kembali video ini di Instagram dengan keterangan yang sama. Dilansir dari Insider, Reeder telah bergelut dengan alat peraga sejak 1989, ketika ia berusia 19 tahun. Pada 2001, dia menjadi master alat peraga bersertifikat, yang berarti dia mengawasi akuisisi dan penggunaan alat peraga untuk film dan acara televisi besar.
    Reeder bekerja di acara televisi seperti "Friday Night Lights" dan "The Leftovers" serta film seperti "Grindhouse" dan "Friday the 13th". Sejak Agustus 2020, Reeder mulai membagikan fakta yang tidak banyak diketahui penonton tentang alat peraga film dan acara televisi di akun TikTok-nya, @scottdropandroll. Salah satu video Reeder yang paling banyak dilihat di TikTok adalah video tentang "alat peraga bisu" yang digunakan untuk mengurangi kebisingan latar belakang saat syuting.
    Video seseorang berbaju merah muda saat divaksin
    Berdasarkan penelusuran Tempo, video ini merupakan potongan dari video berita yang ditayangkan oleh CP24, stasiun televisi Kanada yang berbasis di Toronto, Ontario, pada 15 Desember 2020. Video tersebut memperlihatkan dimulainya program vaksinasi Covid-19 di Kanada. Terdapat sejumlah orang yang menerima suntikan vaksin Covid-19, salah satunya seorang wanita berbaju merah muda. Namun, dalam video ini, terlihat dengan jelas bahwa jarum suntik menembus lengan wanita berbaju merah muda itu.
    Video vaksinasi Menteri Kesehatan Ontario
    Video Menteri Kesehatan Ontario, Christine Elliott, saat disuntik vaksin tersebut diambil pada 30 Oktober 2019. Video itu memperlihatkan ketika Elliott menerima suntikan vaksin flu, bukan vaksin Covid-19. Video ini pernah dimuat oleh CP24 dalam beritanya yang berjudul "Health minister urges Ontarians to get flu shots". Elliott pun pernah mengunggah foto ketika ia menerima suntikan vaksin flu pada 30 Oktober 2019 tersebut di akun Twitter pribadinya. Ia menerima vaksinasi itu di Apotek Rexall, Women's College Hospital.
    Setahun sebelumnya, Elliott juga menerima suntikan vaksin flu. Video ketika Elliott menjalani vaksinasi flu ini pernah diunggah oleh Ontario News Now pada 30 Oktober 2018. Dalam video tersebut, terlihat dengan jelas jarum dari alat suntik yang digunakan untuk Elliott.
    Foto vaksinasi pembawa acara Fox News
    Foto pembawa acara Fox News Brian Kilmeade saat divaksinasi tersebut merupakan gambar tangkapan layar dari video berita yang ditayangkan oleh Fox News pada 16 September 2019. Video ini juga memperlihatkan ketika Kilmeade menerima suntikan vaksin flu, bukan vaksin Covid-19. Dalam video itu, terlihat dengan jelas jarum dari alat suntik yang digunakan untuk Klimeade.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa jarum suntik palsu dalam video tersebut telah disiapkan untuk vaksinasi Covid-19 para pemimpin dunia atau elite global, keliru. Alat suntik yang terlihat dalam video itu hanyalah alat peraga. Video tersebut merupakan potongan dari video milik Scott Reeder, ahli alat peraga untuk film dan serial televisi. Dalam video ini, Reeder memperlihatkan sejumlah alat peraga, yakni alat suntik, pisau, dan alat pemecah es.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8476) Keliru, Klaim Video Kamala Harris yang Disuntik Ini Bukti Kebohongan Vaksinasi Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/01/2021

    Berita


    Video yang diklaim sebagai bukti kebohongan vaksinasi Covid-19 beredar di media sosial. Video tersebut memperlihatkan momen ketika Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris menerima suntikan vaksin Covid-19 dari seorang petugas medis.
    Setelah menyuntikkan vaksin ke lengan Harris, petugas medis itu terlihat melipat sebuah bagian yang terdapat di alat suntik dengan bantuan pegangan kursi yang diduduki Harris. Cuplikan momen ini diperbesar dan diputar dua kali dalam video tersebut.
    Di Facebook, video beserta klaim itu diunggah salah satunya oleh akun Komandan Sarges She Halilintar, tepatnya pada 2 Januari 2021. Akun ini menulis, “Sadarlah Kebohongan sedang di lancarkan ke publik!!! Reposted from @truthhunterid Tonton baik baik! Perawat ketauan blunder. Silahkan simpulkan sendiri. Cawapres USA Kamala Harris disuntik va*sin disiarkan live di TV.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Komandan Sarges She Halilintar yang memuat klaim keliru soal video yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, video tersebut memperlihatkan momen ketika Wapres AS Kamala Harris menerima vaksin Covid-19 pada 29 Desember 2020 dan disiarkan oleh sejumlah media. Salah satu media yang pernah mengunggah video itu adalah CNN, yakni ke kanal YouTube resminya. Menurut keterangan video tersebut, diketahui bahwa saat itu Harris menerima dosis pertama vaksin Moderna.
    Video yang sama, dengan kualitas yang lebih baik, juga pernah diunggah ke YouTube oleh VOA News pada 30 Desember 2020. Dalam keterangannya, tertulis bahwa Harris, pada 29 Desember 2020, menerima dosis pertama vaksin Moderna di depan media secara langsung sebagai bagian dari upaya untuk meyakinkan publik AS bahwa vaksinasi itu aman. "Itu mudah! Terima kasih. Saya hampir tidak merasakannya," kata Harris setelah menerima vaksin.
    Namun, dalam video berkualitas tinggi yang dipublikasikan VOA News ini, ketika petugas medis mencabut bagian penutup alat suntik, terlihat secara jelas bahwa terdapat jarum di alat suntik tersebut. Setelah vaksin disuntikkan, petugas medis itu memang tampak melipat sebuah bagian yang terdapat di ujung alat suntik dengan bantuan lengan kursi yang diduduki Harris. Bagian alat suntik yang dilipat itu berwarna merah muda.
    Tapi, seperti dilansir dari France24, bagian alat suntik berwarna merah muda yang tampak berbahan plastik itu merupakan sebuah mekanisme keamanan. Bagian tersebut membantu memastikan bahwa baik pasien atau petugas medis tidak melukai dirinya sendiri secara tidak sengaja akibat jarum suntik selama proses penyuntikan.
    Penjelasan serupa dimuat oleh World Today News, yang mengutip AFP. Bagian berwarna merah muda itu sebenarnya adalah mekanisme keamanan yang sudah cukup umum diterapkan dalam alat suntik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun merekomendasikan penggunaan bagian semacam ini yang "menekan dan menutup jarum suntik sepenuhnya setelah proses penyuntikan" untuk mencegah pengguna melukai dirinya sendiri secara tidak sengaja dan akhirnya membuat dirinya terpapar risiko infeksi.
    Sebelum Kamala Harris menjalani vaksinasi Covid-19, pada pertengahan Desember 2020, isu mengenai jarum palsu ini telah beredar, terutama sejak vaksin Covid-19 diluncurkan di Inggris dan AS. Salah satunya adalah klaim yang dilengkapi dengan video milik BBC yang memperlihatkan vaksinasi Covid-19. Video tersebut diklaim sebagai "bukti" alat suntik yang digunakan untuk vaksinasi palsu.
    Menurut penjelasan BBC, rekaman tersebut menunjukkan petugas medis yang menggunakan alat suntik berpengaman, di mana jarum suntik dimasukkan ke dalam bagian tubuh alat suntik setelah digunakan. Alat suntik berpengaman telah digunakan secara luas selama lebih dari satu dekade. Mekanisme keamanan yang diterapkan dalam alat suntik itu melindungi petugas medis dan pasien dari cedera dan infeksi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video yang memperlihatkan Wapres AS Kamala Harris disuntik tersebut adalah bukti kebohongan vaksinasi Covid-19, keliru. Dalam video yang sama, namun dengan kualitas yang lebih tinggi, ketika petugas medis mencabut bagian penutup alat suntik, terlihat secara jelas bahwa terdapat jarum di alat suntik tersebut. Setelah vaksin disuntikkan, petugas medis itu memang tampak melipat bagian berwarna merah muda yang terdapat di ujung alat suntik. Namun, bagian itu merupakan sebuah mekanisme keamanan pada alat suntik. Bagian ini berfungsi untuk melindungi pasien atau petugas medis dari cedera dan infeksi. Alat suntik berpengaman telah digunakan secara luas selama lebih dari satu dekade.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8475) Keliru, Pengawal Joe Biden di Foto Ini Berasal dari Militer Cina

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/01/2021

    Berita


    Foto dari sebuah tayangan di televisi yang memperlihatkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden tengah menghadiri sebuah acara beredar di media sosial. Dalam tayangan itu, terlihat seorang pria di belakang Biden yang berwajah khas Asia. Pria tersebut diklaim sebagai pengawal Biden yang berasal dari pasukan militer Cina.
    Di Facebook, salah satu akun yang membagikan foto beserta klaim tersebut adalah akun Handaya Jaya, tepatnya pada 21 Januari 2021. Akun itu menulis, "Pengawal biden sekarang dari pasukan Cina..." Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah mendapatkan 12 reaksi dan 12 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Handaya Jaya yang memuat klaim keliru terkait foto yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, foto di atas merupakan foto dari tayangan pelantikan Joe Biden pada 20 Januari 2021. Tayangan tersebut disiarkan oleh stasiun televisi Metro TV pada 21 Januari. Metro TV juga mengunggah potongan video pelantikan Biden ini di YouTube. Dalam video itu, memang terlihat sosok pria berwajah khas Asia di belakang Biden.
    Tempo kemudian menelusuri informasi serta pemberitaan terkait pengawal Joe Biden yang berwajah khas Asia tersebut. Dilansir dari Vice, Biden tidak memiliki pengawal yang berasal dari pasukan militer Cina. Pengawal yang bernama David Cho ini adalah seorang agen Dinas Rahasia AS berdarah Korea-Amerika. Ia memang ditunjuk untuk mengatur detail keamanan pelantikan Biden pada 20 Januari lalu.
    Pada 2019, Cho menerima medali emas atas pelayanannya yang luar biasa dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. Penghargaan tersebut diberikan "atas partisipasi langsung dan tanpa lelah dalam negosiasi tingkat tinggi" selama pertemuan kedua antara mantan Presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Vietnam. Menurut The Washington Post, Cho adalah "orang kedua" di Dinas Rahasia AS selama masa jabatan Trump.
    Di akun Twitter miliknya, Alistair Coleman, penulis BBC Monitoring yang fokus pada isu disinformasi dan analisis media Korea Utara, juga membantah bahwa Joe Biden memiliki pengawal dari Cina. "Dia adalah David Cho, keturunan Korea-Amerika, salah satu anggota Dinas Rahasia AS yang paling dihormati dan berpengalaman yang telah bekerja baik untuk pemerintahan di bawah Partai Republik maupun Partai Demokrat," ujarnya.
    Tempo pun menemukan sejumlah foto yang memperlihatkan David Cho ketika mengawal Donald Trump. Dua di antaranya adalah milik kantor berita Reuters. Foto pertama diambil ketika Trump dan istrinya, Melania, menghadiri acara Paskah di Gedung Putih pada 22 April 2019. Sementara foto kedua diambil ketika Trump tiba di New York Presbyterian Hospital untuk mengunjungi adik laki-lakinya, Robert, pada 14 Agustus 2020.
    Presiden Donald Trump, memegang priwitan milik anggota militer saat ikut mewatnai menggunakan crayon ketika merayakan Hari Raya Paskah dalam White House Easter Egg Roll di Washington, 22 April 2019. REUTERS/Jonathan Ernst

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pengawal Presiden AS Joe Biden yang terlihat dalam foto di atas berasal dari pasukan militer Cina, keliru. Pengawal Biden dalam foto itu bernama David Cho. Ia adalah seorang agen Dinas Rahasia AS berdarah Korea-Amerika. Ia memang ditunjuk untuk mengatur detail keamanan pelantikan Biden pada 20 Januari lalu. Cho juga menjadi "orang kedua" di Dinas Rahasia AS selama masa jabatan Donald Trump.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8474) Keliru, Menkumham Hapus Sanksi Pidana usai Anak Buah Megawati Tolak Vaksinasi Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/01/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar cuitan di Twitter yang menampilkan foto Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly beredar di Facebook. Cuitan ini berisi tautan artikel dari situs Democrazy.id yang berjudul "Usai Anak Buah Megawati Tolak Divaksin, Kumham Langsung Hapus Sanksi Pidana". Beberapa waktu lalu, politikus PDIP Ribka Tjiptaning memang menyatakan menolak vaksin Covid-19.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar itu diunggah salah satunya oleh akun Muhammad Saisal, tepatnya pada 19 Januari 2021. Akun ini menulis, “Cemen.!!! Negara kalah sama seorang nenek yg merasah bangga sbagei anak peka'ih..” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 275 reaksi dan 31 komentar serta dibagikan sebanyak 30 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Muhammad Saisal yang memuat klaim keliru terkait sanksi bagi penolak vaksin Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Dilansir dari Liputan6.com, politikus PDIP Ribka Tjiptaning menyatakan penolakannya untuk disuntik vaksin Covid-19 dalam rapat kerja komisinya, Komisi IX DPR, dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 12 Januari 2021. Pada 13 Januari, seperti dikutip dari Antara, Menkumham Yasonna Laoly menegaskan tidak ada sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksin. Menurut dia, sanksi bagi penolak vaksin Covid-19 sebatas sanksi administratif.
    Penjelasan tersebut dilontarkan oleh Yasonna setelah terdapat kesimpangsiuran isu terkait sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. "Ada disinformasi yang mohon untuk diluruskan. Dalam peraturan, hanya sanksi administratif. Ini sebetulnya hanya untuk mendorong supaya masyarakat mau ikut bersama-sama (divaksin)," kata Yasonna.
    Sebelumnya, pada 9 Januari, seperti dilansir dari Kompas.com, Wakil Menkumham Edward Hiariej memang sempat menyatakan bahwa masyarakat yang menolak vaksinasi bisa dijatuhi hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara. "Ketika pertanyaannya apakah ada sanksi atau tidak, secara tegas saya mengatakan ada sanksi itu. Mengapa sanksi harus ada? Karena tadi dikatakan, ini merupakan suatu kewajiban," kata pria yang akrab disapa Eddie tersebut.
    Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada itu mengatakan ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU tersebut menyatakan warga yang tidak mematuhi dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
    Sementara itu, Pasal 9 UU yang sama menyebut warga wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. "Jadi, ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini adalah suatu kewajiban, maka secara mutatis mutandis, jika ada warga negara yang tidak mau divaksin, maka bisa dikenakan sanksi," kata Eddie. Namun, menurut dia, sanksi bisa berupa denda, penjara, atau keduanya sekaligus.
    Pada 16 Januari, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Eddie menyebut bahwa terdapat pemahaman dan penafsiran yang keliru terkait pernyataannya soal penerapan sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19. Eddie menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki niat memenjarakan penolak vaksin, apalagi jumlah narapidana sendiri sudah melebihi kapasitas penjara.
    “Penjara kita sudah over capacity, sampai 149 ribu. Kalau masing-masing tidak mau vaksin kemudian dimasukkan ke dalam penjara, mau berapa lagi over capacity penjara itu. Jadi, ini adalah pemahaman yang keliru menafsirkan peryataan saya, seolah-olah begitu orang tidak mau vaksin, kemudan dia dijatuhi pidana penjara atau denda dan lain sebagainya,” kata Eddie.
    Secara normatif, kata Eddie, mereka yang menolak vaksin bisa dipidana. Namun, apakah perlu dipidana atau tidak, Eddie menegaskan bahwa tindakan itu tidak diperlukan. Alasan hukumnya adalah UU Wabah Penyakit Menular, UU Kesehatan, dan UU Kekarantinaan Kesehatan adalah hukum administratif yang kebetulan diberi sanksi pidana.
    Fungsi sanksi pidana dalam konteks ini adalah sebagai senjata pamungkas atau, dalam doktrin hukum pidana, ultimum remedium. “Sebagai sarana yang paling akhir dalam menegakkan hukum pidana jika pranata hukum lainnya tidak lagi berfungsi. Meski bisa dipidana, tapi kewajiban vaksin yang dicanangkan pemerintah sama sekali tidak ada niat atau maksud untuk mempidana atau memenjara orang yang tidak mau vaksin,” ujarnya.
    Dilansir dari Kompas.com, Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Heni Susilo Wardoyo pun membantah klaim bahwa sanksi pidana dihapus setelah adanya penolakan vaksin Covid-19 dari seorang politikus PDIP. Menurut dia, sanksi pidana tercantum dalam UU. Karena itu, aturan di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri, tidak bisa menganulir sanksi pidana dalam UU tersebut.
    Jika sanksi pidana ingin dihapus, pemerintah mesti merevisi UU terkait, yang harus dilakukan bersama DPR. "Itu dari sisi norma," kata Heni. Selain itu, menurut dia, tidak ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan lain di bawahnya yang menyentuh ranah pidana. Jika terdapat penerapan sanksi dalam aturan-aturan tersebut, sifatnya sebatas sanksi administrasi.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, pada 14 Januari 2021, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono juga menyebut pemerintah belum menetapkan aturan khusus terkait sanksi bagi penolak vaksin Covid-19. Kemenkes, ujarnya, akan mengupayakan pendekatan persuasif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang urgensi vaksinasi Covid-19.
    Penerapan sanksi di daerah
    Setiap daerah mempunyai kebijakan yang berbeda dalam penerapan sanksi bagi penolak vaksin Covid-19. Dilansir dari Kumparan.com, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengatur sanksi bagi warga yang menolak vaksin berupa denda maksimal Rp 5 juta yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020.
    Sementara itu, Pemprov Kalbar merujuk pada UU Wabah Penyakit Menular. Dalam UU ini, terdapat pidana maksimal 1 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 juta bagi yang menghalangi penanggulangan wabah. UU Wabah Penyakit Menular itu juga menjadi dasar Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dalam menerapkan sanksi bagi penolak vaksin.
    Terdapat pula daerah yang tidak menerapkan sanksi bagi warga yang menolak vaksin, seperti Makassar, Bali, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemprov DIY tidak menerapkan sanksi bagi warga yang menolak vaksin demi meningkatkan kesadaran warga. Sesuai arahan Gubernur DIY, dalam menangani Covid-19, masyarakat harus bertindak sebagai subjek, bukan objek.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menkumham menghapus sanksi pidana usai anak buah Megawati menolak vaksinasi Covid-19, keliru. Sanksi pidana tercantum dalam UU. Karena itu, aturan di bawahnya, termasuk Peraturan Menteri, tidak bisa menganulir sanksi pidana tersebut. Jika sanksi pidana ingin dihapus, pemerintah mesti merevisi UU terkait, yang harus dilakukan bersama DPR. Selain itu, sanksi pidana memang dimungkinkan bagi penolak vaksin berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun, terhadap penolak vaksin Covid-19, pemerintah memilih opsi sanksi administratif.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan