• (GFD-2021-8469) Keliru, Joe Biden Pakai Kitab Illuminati Masonik saat Ambil Sumpah Jabatan Presiden AS

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 26/01/2021

    Berita


    Foto yang memperlihatkan kitab suci yang dipakai oleh Joe Biden saat dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2021 lalu beredar di media sosial. Terdapat pula foto yang menunjukkan kitab suci yang sama ketika Biden dilantik sebagai Wakil Presiden AS pada 2009 silam, ketika posisi Presiden AS dijabat oleh Barack Obama. Foto-foto itu dibagikan dengan narasi bahwa kitab yang digunakan oleh Biden saat mengambil sumpah untuk kedua jabatan tersebut adalah Kitab Illuminati Masonik.
    Di Facebook, foto-foto beserta klaim itu dibagikan salah satunya oleh akun Shekinah Adina Eliseva, tepatnya pada 22 Januari 2021. Akun ini menulis, "#DonaldTrump menggunakan Holy Bible Kitab Suci TUHAN) dalam sumpah nya sewaktu dilantik menjadi Presiden Sedangkan Joe Biden menggunakan Massonic Illuminaty Bible (kitab setan) dlm sumpahnya mnjdi presiden. #Donald Trumph mengeluarkan UU Anti Aborsi dan Anti LGBT setelah dilantik menjadi Presiden tetapi Biden justru memberlakukan UU legalitas Aborsi dan LGBT.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Shekinah Adina Eliseva yang memuat klaim keliru bahwa Joe Biden memakai Kitab Illuminati Masonik saat mengambil sumpah jabatan sebagai Presiden Amerika Serikat.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto-foto tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, ditemukan informasi bahwa kitab yang digunakan Joe Biden saat dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2021 lalu adalah Alkitab dengan sampul bergambar salib Celtic, bukan Kitab Illuminati Masonik. Alkitab tersebut telah menjadi bagian dari keluarga Biden sejak 1893.
    Foto pertama, yang memperlihatkan alkitab tersebut saat Biden dilantik sebagai Wakil Presiden AS pada 2009, merupakan potongan dari foto yang pernah dimuat oleh Voice of America pada 10 Januari 2021. Foto ini diberi keterangan: “FILE - U.S. Vice President Joe Biden is sworn in as his wife Jill Biden watches during the inauguration of President Barack Obama in Washington, Jan. 20, 2009.”
    Sementara foto kedua, yang memperlihatkan alkitab tersebut saat Biden dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2021, merupakan potongan dari foto yang pernah dimuat oleh The Guardian pada 21 Januari 2021. Foto ini diberi keterangan: "Joe Biden, the new president of the United States, with his wife Jill Biden at his swearing-in. At 78, Biden is the oldest president ever to take the oath of office. Photograph: Kevin Lamarque/Reuters."
    Dilansir dari CNN, Alkitab setebal lima inci yang pada sampulnya terdapat salib Celtic ini telah menjadi bagian dari keluarga Joe Biden sejak 1893. Biden memakai Alkitab ini setiap dia mengambil sumpah, termasuk saat dilantik sebagai anggota Senat AS untuk pertama kalinya pada 1973 dan sebagai Wakil Presiden AS pada 2009 dan 2013. Alkitab ini juga dipakai oleh mendiang putra Biden, Beau Biden, saat dilantik sebagai Jaksa Agung Delaware pada 2007.
    Dikutip dari organisasi cek fakta AS Politifact, dalam sebuah wawancara di acara televisi The Late Show with Stephen Colbert pada Desember 2020, Joe Biden juga menuturkan bahwa Alkitab itu hanyalah pusaka keluarga yang telah digunakan sejak 1893. "Setiap tanggal penting ada di sana. Misalnya, setiap kali saya disumpah untuk apa pun, tanggalnya akan tercatat di sana," kata politikus dari Partai Demokrat tersebut.
    Menurut Politifact, istilah "Illuminati" mengacu pada sebuah masyarakat rahasia yang disebut Illuminati Bavaria yang berusaha menyusup ke institusi yang kuat, seperti monarki, untuk mempromosikan cita-cita "pencerahan". Sementara istilah "Masonik" mengacu padafreemasonry, praktik organisasi persaudaraan tertua dan terbesar di dunia. Illuminati Bavaria menyusup ke kelompok-kelompok Masonik sebelum bubar pada abad ke-18.
    "Alkitab yang digunakan Biden untuk mengambil sumpah tidak ada hubungannya dengan kedua organisasi tersebut, yang telah menjadi subyek dari banyak teori konspirasi. Kami tidak dapat menemukan bukti yang kredibel bahwa Alkitab milik Biden itu terkait dengan Illuminati. Meskipun banyak mantan Presiden AS seorang Freemason, kami tidak menemukan bukti bahwa Biden adalah anggota persaudaraan tersebut," demikian penjelasan Politifact.
    Terdapat foto lain yang diunggah oleh akun Shekinah Adina Eliseva sebagai bukti bahwa Alkitab Biden terkait dengan Illuminati. Foto ini menunjukkan sebuah kitab dengan sampul yang mirip dengan sampul Alkitab Biden. Kitab itu disebut sebagai Haydock Douay Rheims Bible, yang diklaim berisi informasi tentang bagaimana Illuminati "mengubah nama Putra Allah dalam Tritunggal Katolik", sebuah "trik Masonik" yang juga disebut "Da Vinci Code".
    Menurut Politifact, Alkitab Biden memang merupakan edisi Haydock Douay Rheims. Namun, Alkitab ini umum digunakan oleh umat Katolik berbahasa Inggris di AS hingga 1940-an. Klaim bahwa edisi Alkitab ini terkait dengan Illuminati pun berhubungan dengan sejarah panjang teori konspirasi tentang Illuminati, yang hanya beroperasi selama satu dekade di tahun 1700-an dan berusaha untuk menggantikan agama Kristen dengan "agama akal".
    Sejak 1792, beberapa penulis konspirasi mulai menggabungkan Mason, Illuminati, Templar, dan Yahudi dalam berbagai kombinasi untuk menciptakan konspirasi pengendalian universal di seluruh dunia. Sementara "Da Vinci Code", buku tentang konspirasi untuk menyembunyikan informasi bahwa Yesus kemungkinan memiliki anak dengan Maria Magdalena, adalah karya fiksi sejarah yang telah didiskreditkan oleh gereja-gereja dan para praktisinya serta sarjana Alkitab.
    Dilansir dari International Business Times, menurut Komite Kongres Gabungan untuk Upacara Pengukuhan AS, Joe Biden, yang merupakan seorang penganut Katolik, hanya mengikuti tradisi banyak Presiden AS lain yang menggunakan kitab suci milik keluarga mereka ketika mengambil sumpah jabatan, termasuk Ronald Reagan dan Franklin D. Roosevelt. Sebagai informasi, Biden adalah presiden beragama Katolik kedua di AS setelah John F. Kennedy.
    Dikutip dari The New York Times, Alkitab yang dipilih oleh seorang presiden terpilih untuk digunakan dalam upacara pengambilan sumpahnya kerap kali menjadi pesan simbolis bagi masyarakat AS, ujar Seth A. Perry, profesor agama di Princeton University dan penulis buku “Bible Culture and Authority in the Early United States". "Sulit membayangkan ritual pelantikan terjadi tanpa kita itu," ujar Perry.
    Saat pelantikannya pada 1789 di New York, George Washington memakai Alkitab dari St. John's Masonik Lodge No. 1. Menurut Claire Jerry, kurator sejarah politik National Museum of American History, Alkitab itu diambil setelah tamu melihat tidak ada satu pun kitab yang tersedia di Federal Hall, lokasi pengambilan sumpah jabatan. Alkitab ini juga dipakai oleh empat presiden lain, yakni Warren G. Harding, Dwight D. Eisenhower, Jimmy Carter, dan George Bush.
    Pada 2017,  Donald Trump menggunakan satu Alkitab yang diberikan oleh ibunya kepadanya ketika masih kecil dan satu Alkitab lain yang digunakan oleh Abraham Lincoln dalam pelantikannya pada 1861. Barack Obama juga menggunakan Alkitab yang dipakai oleh Lincoln saat mengambil sumpah jabatan. Pada 2013, dalam pelantikannya untuk periode kedua, Obama melengkapi Alkitab itu dengan Alkitab lain yang diberikan kepada Martin Luther King Jr. pada 1954.
    Beberapa presiden mengambil sumpah jabatan dengan Alkitab yang dibuka pada ayat atau bagian tertentu. Biasanya, yang menjadi pilihan adalah ayat-ayat dalam Amsal dan Mazmur. Menurut Mark Dimunation, kepala divisi buku langka dan koleksi khusus di Perpustakaan Kongres AS, presiden terpilih sering mencari teks yang memiliki hubungan pribadi dengan mereka, atau teks yang mewakili sejarah dari momen ketika mereka terpilih sebagai presiden.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Joe Biden memakai Kitab Illuminati Masonik saat mengambil sumpah jabatan sebagai Presiden AS, keliru. Kitab yang digunakan oleh Biden saat dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2021 lalu adalah Alkitab dengan sampul bergambar salib Celtic, bukan Kitab Illuminati Masonik. Alkitab tersebut telah digunakan sejak 1893, dan dipakai setiap kali Biden mengambil sumpah dalam jabatan apa pun. Alkitab Biden memang merupakan edisi Haydock Douay Rheims. Namun, klaim bahwa Alkitab edisi Haydock Douay Rheims terkait dengan Illuminati hanyalah teori konspirasi yang beroperasi selama satu dekade di tahun 1700-an.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8468) Keliru, Dokter di Palembang Meninggal Karena Vaksin Covid-19 Mengandung Zat Beracun

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/01/2021

    Berita


     Klaim yang mengaitkan kematian seorang dokter asal Palembang, Sumatera Selatan, dengan vaksin Covid-19 yang mengandung zat beracun beredar di Facebook. Narasi itu dibagikan oleh akun Lois Lois pada 24 Januari 2021 dan telah mendapatkan lebih dari 200 reaksi serta dibagikan sebanyak 96 kali.
    Akun ini membagikan gambar tangkapan layar artikel dari Urban Id tentang kematian dokter asal Palembang usai disuntik vaksin Covid-19. Pada 22 Januari 2021, memang ada dokter asal Palembang, JF, 49 tahun, yang ditemukan tewas di dalam mobilnya, setelah sehari sebelumnya disuntik vaksin Covid-19.
    Akun Lois Lois kemudian menulis, "Vaksin FLU menyebabkan serangan jantung dan stroke!! Jadi..org yg sudah di vaksin Flu bisa dipastikan tidak bisa hidup lebih lama Krn kandungan zat beracun di dalamnya yg sangat mematikan! Memang umur di tangan Tuhan tapi Vaksin FLu mempercepat proses ' di panggil' Tuhan."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Lois Lois yang berisi klaim keliru terkait kematian seorang dokter asal Palembang, Sumatera Selatan.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, penyebab kematian dokter asal Palembang pada 22 Januari tersebut bukanlah vaksin Covid-19 yang disuntikkan sehari sebelum dokter tersebut meninggal. Hasil pemeriksaan forensik menunjukkan dokter berinisial JF ini meninggal karena serangan jantung.
    Dikutip dari Kompas.com, dokter forensik Rumah Sakit M. Hasan Bhayangkara Palembang, Indra Nasution, menjelaskan dugaan serangan jantung tersebut berdasarkan munculnya bintik merah pendarahan yang disebabkan oleh kekurangan oksigen di sekitar mata, wajah, tangan, dan dada.
    Menurut Indra, apabila meninggal karena vaksin dalam bentuk suntikan, seharusnya efek yang ditimbulkan terjadi dalam waktu singkat. "Korban divaksin Kamis (21 Januari), meninggal diperkirakan Jumat (22 Januari). Kalau disuntik, pasti reaksinya lebih cepat," kata Indra.
    Hal yang sama dituturkan oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi. Menurut Nadia, kematian seorang dokter berinisial JF di Palembang tersebut tidak ada hubungannya dengan vaksinasi Covid-19, yang saat ini baru dilakukan dengan vaksin Sinovac.
    "Laporan sementara, almarhum memang menerima vaksin pada Kamis dan ditemukan telah meninggal pada Jumat malam. Dari pemeriksaaan sementara, ditemukan tanda-tanda kekurangan oksigen, dan tanda ini tidak berhubungan dengan akibat vaksinasi," ujar Nadia saat dihubungi pada 24 Januari 2021.
    Klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung zat beracun juga tidak berdasar. Sebelum vaksinasi, vaksin Sinovac telah menjalani uji klinis fase 3, di mana 1.620 relawan mendapat suntikan pertama dan 1.590 relawan diberi suntikan kedua. Dari penyuntikan ini, tidak ada kematian yang dilaporkan.
    Sejak vaksinasi dimulai pada 13 Januari, lebih dari 132 ribu tenaga kesehatan kelompok pertama telah menjalani vaksinasi Covid-19 hingga 23 Januari. Jumlah ini setara dengan 22 persen dari total 598.483 tenaga kesehatan yang akan divaksinasi di tahap pertama. Dari mereka yang telah divaksin, tidak ada pula kematian yang dilaporkan karena vaksin Covid-19 tersebut.
    Bahan vaksin Sinovac
    Vaksin Sinovac menggunakan partikel virus SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, yang telah dimatikan, atau genomnya telah dirusak. Sejumlah literatur menyebut metode yang dikenal dengan nama inactivated virus ini sudah lama digunakan, setidaknya sejak 1950-an.
    Vaksin Sinovac dikembangkan dengan menumbuhkan SARS-CoV-2 dalam jumlah yang besar di sel ginjal monyet. Kemudian, mereka menyiram virus itu dengan bahan kimia yang disebutbeta propiolactone. Senyawa ini menonaktifkan virus Corona yang terikat pada gennya. Virus Corona yang tidak aktif tidak akan bisa lagi bereplikasi. Tapi, protein mereka, termasuk protein Spike, tetap utuh.
    Peneliti kemudian mengambil virus yang tidak aktif itu dan mencampurkannya dengan sejumlah kecil senyawa berbasis aluminium yang disebutadjuvant. Adjuvantmerangsang sistem kekebalan untuk meningkatkan responnya terhadap vaksin. Karena virus Corona dalam vaksin sudah mati, mereka dapat disuntikkan ke lengan tanpa menyebabkan Covid-19. Begitu masuk ke dalam tubuh, beberapa virus yang tidak aktif ditelan oleh sejenis sel kekebalan yang disebut sel pembawa antigen.
    Vaksinasi Covid-19 bagi pengidap penyakit jantung
    Dilansir dari CNN Indonesia, vaksin Covid-19 sempat disebut tidak direkomendasikan bagi mereka yang memiliki penyakit kardiovaskular, termasuk gagal jantung, penyakit jantung koroner, dan hipertensi. Vito A. Damay, anggota Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PP PERKI), mengatakan bahwa PERKI memberikan sejumlah rekomendasi terkait vaksinasi terhadap pasien dengan penyakit kardiovaskular.
    "Penyakit jantung ada banyak dan tidak semua penyakit jantung sama. Ada beberapa kondisi yang dinyatakan layak diberikan vaksin dan ada juga yang dikatakan tidak layak. Ada juga yang layak dipertimbangkan," kata Vito saat pada 25 Januari 2021.
    Berikut rekomendasi PERKI terkait penyakit kardiovaskular dan vaksinasi Covid-19:
    "Prinsipnya, safety first. Namun demikian, secara prinsip, kalau seseorang dalam kondisi stabil, punya penyakit jantung tapi orang itu kondisi baik, stabil, kami rekomendasikan harusnya bisa," katanya.
    Menurut dia, kondisi penyakit jantung pada tiap pasien berbeda. Misalnya, ada yang menderita penyakit jantung koroner dengan hipertensi, ada yang mengidap penyakit jantung koroner dengan lemah jantung, ada pula yang sudah pasang ring dan masih banyak lagi.
    Vito mengingatkan pasien penyakit jantung dan merasa stabil musti tetap mendapat pemeriksaan dari dokter. Dengan kata lain, sebelum vaksin, pasien dengan penyakit jantung harus mendapatkan rekomendasi dokter yang merawatnya.
    "Kondisi stabil memang layak vaksinasi tetapi kadang orang tidak sadar sebenarnya kondisi tubuhnya tidak stabil. Bahkan untuk orang yang merasa tidak memiliki masalah pada jantung, akhirnya ketahuan memiliki masalah jantung setelah terkena Covid-19," kata Vito.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa dokter asal Palembang tersebut meninggal karena vaksin Covid-19 mengandung zat beracun, keliru. Hasil pemeriksaan forensik menunjukkan bahwa dokter berinisial JF tersebut meninggal karena serangan jantung. Vaksin Sinovac, vaksin yang saat ini digunakan dalam vaksinasi Covid-19 di Indonesia, pun tidak mengandung zat beracun dan telah disuntikkan kepada ribuan tenaga kesehatan. Hingga kini, tidak ada kematian yang dilaporkan karena vaksin tersebut.
    IKA NINGTYAS
    CATATAN REDAKSI: Artikel ini diubah pada 25Januari 2021 pukul 18.45 WIB karena terdapat penambahan bagian "Vaksinasi Covid-19 bagi pengidap penyakit jantung".
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8467) Keliru, Klaim Ini Video Prosesi Pemakaman Penyanyi Julio Iglesias yang Meninggal Karena Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/01/2021

    Berita


    Video yang memperlihatkan sejumlah pria sedang memanggul sebuah peti dari dalam sebuah gedung dan memasukkannya ke dalam mobil beredar di Facebook. Ketika mereka keluar, ratusan orang yang berkumpul di depan gedung itu bertepuk tangan. Video berdurasi 1 menit 53 detik yang berlogo "CTV" ini diklaim sebagai video prosesi pemakaman penyanyi Spanyol Julio Iglesias yang meninggal karena Covid-19.
    Salah satu akun yang membagikan video beserta narasi tersebut adalah akun H. A. Hidayat Wiratmaja, tepatnya pada 24 Januari 2021. Akun ini menulis bahwa Iglesias meninggal di Barcelona, Spanyol, pada 23 Januari 2021 lalu. "Penyanyi *LEGEN DARIS Julio Iglesias*..meninggal di barcelona 23 01 2021..karena covid 19..." demikian narasi yang dibagikan oleh akun H. A. Hidayat Wiratmaja.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook H. A. Hidayat Wiratmaja yang memuat klaim keliru terkait video yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri logo "CTV" yang tercantum dalam video di atas. Logo itu merupakan logo stasiun televisi Cordoba TV yang berbasis di Cordoba, Andalusia, Spanyol. Tempo kemudian menelusuri video-video di kanal YouTube Cordoba TV.
    Hasilnya, ditemukan bahwa video itu merupakan potongan dari video berdurasi 42 menit diunggah oleh Cordoba TV pada 18 Mei 2020. Namun, video tersebut merupakan video yang menunjukkan prosesi pemberangkatan jenazah politikus Spanyol Julio Anguita ke pemakaman.
    Tempo kemudian menelusuri pemberitaan terkait meninggalnya Julio Anguita. Dilansir dari situs majalah Jacobin, Anguita meninggal pada 16 Mei 2020 di Rumah Sakit Reina Sofia, Cordoba, setelah mengalami gagal jantung. Anguita adalah seorang raksasa politik Spanyol, yang memainkan peran penting dalam tansisi pasca-Prancis serta perkembangan aliran kiri.
    Anguita pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Spanyol (PCE). Ia juga merupakan pendiri Izquierda Unida (IU, United Left), yang saat ini menjadi bagian dari Unidas Podemos. Unidas Podemos merupakan aliansi elektoral saya kirip yang dibentuk oleh Podemos, United Left, dan partai sayap kiri lainnya pada Mei 2016 untuk mengikuti Pemilu Spanyol.
    Anguita pun pernah menjadi Walikota Cordoba selama tujuh tahun. Saat ia meninggal, Balai Kota Cordoba menerima lebih dari 16 ribu ucapan belasungkawa secara online. Ratusan warga juga berkumpul untuk menyanyikan The Internationale (lagu aliran kiri) saat peti mati Anguita memasuki kapel kamar mayat. Mereka bertepuk tangan selama hampir 20 menit.
    Dikutip dari kantor berita Cina Xinhua, Julio Anguita meninggal pada usia 78 tahun. Ia meninggal karena gagal jantung pada 16 Mei 2020 setelah mengalami serangan jantung pada 9 Mei 2020. Dalam ucapan belasungkawanya, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez berkata bahwa Anguita adalah "orang yang jujur dan kritis, yang tanpa lelah membela kesetaraan dan keadilan sosial".
    Anguita bergabung dengan PCE pada 1972 dan menjadi Walikota Cordoba pada 1979. Ia terpilih kembali sebagai walikota pada 1983. Pada 1988, Anguita terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PCR dan, setahun kemudian, diangkat sebagai Koordinator Jenderal IU. Dia adalah kandidat koalisi sayap kiri untuk menjadi perdana menteri dalam pemilu pada 1989, 1993, dan 1996.
    Julio Iglesias
    Berdasarkan penelusuran Tempo di media-media kredibel, tidak ditemukan pemberitaan bahwa Julio Iglesias meninggal pada 23 Januari 2021. Di media sosial milik Iglesias pun, baik di Twitter maupun di Instagram, tidak ditemukan informasi resmi bahwa penyanyi asal Spanyol tersebut meninggal baru-baru ini.
    Dilansir dari situs resminya, Julio Iglesias merupakan salah satu artis yang paling terkemuka dalam sejarah musik Spanyol dan Latin. Ia adalah salah satu dari 10 artis terlaris yang berhasil menjual lebih dari 300 juta rekaman dalam 14 bahasa. Memiliki lebih dari 60 juta penonton dan 2.600 album, Iglesias beberapa kali mendapatkan penghargaan dari Guinness World Records.
    Pada November 2020 lalu, Iglesias sempat diwawancara oleh jurnalis Carlos Herrera. Ketika itu, ia mengomentari kematian sahabatnya yang merupakan legenda sepakbola asal Argentina, Diego Maradona, dan menceritakan bagaimana ia yang kini tinggal di Miami, Amerika Serikat, bertahan dari pandemi Covid-19 serta menunggu momen kembalinya ia ke atas panggung.
    Dilansir dari Marca, Iglesias mengaku melakukan isolasi diri karena berisiko tinggi terkena Covid-19. Pada 23 September 2020 lalu, ia berusia 77 tahun. "Saya tinggal bersama orang yang saya tahu tidak keluar rumah. Saya semakin menjadi pertapa. Saya panik saat muncul Covid-19. Saya ingin kembali bekerja, tapi sepertinya tidak mungkin sekarang," ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video prosesi pemakaman penyanyi Spanyol Julio Iglesias yang meninggal karena Covid-19, keliru. Video itu adalah video prosesi pemberangkatan jenazah politikus Spanyol Julio Anguita ke pemakaman. Anguita meninggal pada 16 Mei 2020 di Rumah Sakit Reina Sofia, Cordoba, setelah mengalami gagal jantung.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8466) Keliru, Pakai Masker Membuat CO2 Menumpuk dan Keasaman Tubuh Naik Sehingga Rentan Virus

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa memakai masker bisa membuat karbon dioksida atau CO2 menumpuk dan keasaman tubuh meningkat sehingga rentan terhadap virus dan bakteri beredar di Facebook. Klaim ini diunggah oleh akun Setyo Hajar Dewantoro pada 21 Januari 2021, yang dilengkapi dengan gambar tangkapan layar berita dari situs media Detik.com. Berita ini menyebut tubuh tidak bisa mentolerir derajat keasaman atau pH di bawah 7 atau terlalu asam.“Gini lo ya soal masker itu. Masker membuat sirkulasi udara di tubuh jadi tidak natural. Anda menghirup kembali CO2 yang mestinya Anda buang. Tentu saja itu membuat CO2 makin menumpuk di dalam darah, membuat kadar keasaman tubuh meningkat. Itu membuat badan jadi rentan pada virus dan bakteri,” demikian klaim yang ditulis oleh akun Setyo Hajar Dewantoro.
    Kemudian, akun tersebut juga mengklaim bahwa orang-orang yang rajin menggunakan masker, apalagi dalam jangka panjang, justru memiliki kemungkinan positif Covid-19 yang lebih tinggi saat menjalani tesswabPCR atau tes rapid antigen. "Kalo diswab PCR dan rapid test antigen, orang-orang yang rajin pake masker apalagi dalam jangka panjang ya probabilitas positif jadi tinggi,” katanya.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Setyo Hajar Dewantoro yang memuat klaim keliru terkait pemakaian masker di tengah pandemi Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, klaim bahwa memakai masker meningkatkan kadar CO2 dan keasaman dalam tubuh, yang kemudian membuat rentan terinfeksi virus dan bakteri, tidak sesuai dengan penelitian yang ada. Masker justru menjadi pelindung agar terhindar dari infeksi SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19. Berita Detik.com yang digunakan untuk melengkapi klaim itu pun tidak berisi penjelasan bahwa masker bisa meningkatkan kadar CO2 atau pun keasaman dalam tubuh.
    Mula-mula, Tempo memeriksa isi berita Detik.com tersebut, yang merupakan berita lama yang dimuat pada 9 Maret 2010 dan berjudul "Agar pH Tubuh Tidak Terlalu Asam". Tidak ada satu pun kalimat dalam berita ini yang menjelaskan bahwa meningkatnya keasaman dalam tubuh disebabkan oleh penggunaan masker. Menurut berita itu, tubuh terlalu asam diduga karena diet dan stres.
    Tubuh menjadi terlalu asam ketika seseorang terlalu sering makan makanan olahan, makanan kemasan, makanan manis, pasta, produk susu (susu, keju, es krim), minuman beralkohol, obat-obatan, dan garam meja. Makan daging juga meningkatkan keasaman tubuh. Sementara stres ikut memainkan peran penting dalam membuat tubuh terlalu asam. Ini menjawab mengapa orang yang terus hidup dalam ketegangan dan kekakuan cenderung memiliki asam yang cukup banyak.
    Tempo kemudian menelusuri informasi tentang keterkaitan antara pemakaian masker dengan kadar CO2 dalam tubuh. Spesialis pengobatan kritis dari Hospital and Clinic University of Iowa, Gregory A. Schmidt, menuturkan bahwa menggunakan masker tidak akan mengganggu sirkulasi udara, baik kadar oksigen maupun kadar CO2 dalam tubuh.
    Mereka mengukur tingkat saturasi oksigen dan CO2 di dalam tubuh Danica, seorang terapis pernapasan, ketika memakai masker denganpulse oxymeter. Sebagai informasi, tingkat normal saturasi oksigen dalam darah berada pada level 95-100 persen, sementara CO2 pada level 35-45 persen.
    Hasilnya, saat masker dan pelindung wajah (face shield) digunakan selama dua jam, tingkat saturasi oksigen Danica berada pada level 98 persen dan CO2 pada rentang 33-35 persen. Demikian pula ketika durasi pemakaian masker diperpanjang menjadi 4 jam, tingkat saturasi oksigen Danica mencapai 98 persen dan CO2 berada pada level 34 persen. Pada durasi penggunaan masker 6 jam, tingkat saturasi oksigen mencapai 99 persen dan CO2 sebesar 32 persen.
    Menurut Gregory, oksigen dan CO2 berukuran sangat kecil sehingga mudah melewati celah-celah masker. Sedangkandroplet, atau cipratan air liur (yang menjadi medium penularan virus Corona), berukuran lebih besar dibandingkan oksigen dan CO2 sehingga tidak mudah menerobos masker.
    Menurut arsip berita Tempo, dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Andika Chandra Putra, juga mengatakan bahwa pemakaian masker untuk mencegah penularan Covid-19 tidak akan menimbulkanhypoxiaatau kondisi berkurangnya kadar oksigen dalam darah. Bahkan, penggunaan masker N95, masker dengan kerapatan tertinggi dibandingkan masker bedah dan kain, secara sering sekalipun tidak sampai dilaporkan mengubah fungsi paru-paru.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa memakai masker membuat karbon dioksida atau CO2 menumpuk dan keasaman tubuh meningkat sehingga rentan terhadap virus dan bakteri, keliru. CO2 dan oksigen berukuran sangat kecil sehingga bisa keluar-masuk dengan mudah melewati masker. Sementaradropletberukuran lebih besar, sehingga akan terhalang ketika memakai masker. Dengan demikian, pemakaian masker justru melindungi seseorang dari Covid-19, yang juga harus disertai dengan menjaga jarak serta mencuci tangan.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan