• (GFD-2021-8457) Keliru, Kepala Staf Kodim Gresik Meninggal Akibat Disuntik Vaksin Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 18/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa Kepala Staf Komando Distrik Militer (Kasdim) 0817 Gresik, Jawa Timur, Mayor Inf Sugeng Riyadi, meninggal akibat disuntik vaksin Covid-19 beredar di WhatsApp. Klaim ini terdapat dalam gambar tangkapan layar sebuah pesan WhatsApp yang juga berisi foto seorang pria berseragam loreng khas TNI.
    "Inalillahi wainalillahi roziun. Vaksin pertama, Kasdim 0817 Gresik, Mayor Sugeng Riyadi.tadi malam Dan ramil kebu mas gresik meninggal akibat siangya disuntik vaksin...pagi ini proses pemakaman...hati2 bahaya vaksin ini nyata," demikian narasi dalam gambar tangkapan layar tersebut.
    Klaim ini beredar usai program vaksinasi Covid-19 digelar di Gresik. Menurut Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak, Gresik adalah kabupaten pertama di Jawa Timur yang melakukan vaksinasi Covid-19. Sebanyak 10 pejabat publik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama mengawali vaksinasi itu.
    Gambar tangkapan layar pesan WhatsApp yang berisi klaim keliru soal Kepala Staf Komando Distrik Militer (Kasdim) 0817 Gresik, Mayor Inf Sugeng Riyadi.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan kata kunci "Kasdim Gresik vaksin" di mesin pencari Google. Hasilnya, ditemukan bahwa klaim yang menyebut Kasdim Gresik Mayor Inf Sugeng Riyadi meninggal karena disuntik vaksin Covid-19 adalah hoaks.
    Dilansir dari Republika, Kepala Penerangan Kodam V Brawijaya, Letnan Kolonel Arm Imam Haryadi menyatakan kabar meninggalnya Kasdim Gresik Mayor Inf Sugeng Riyadi akibat penyuntikan vaksin Covid-19 Sinovac adalah kabar bohong. Menurut Imam, Sugeng memang menerima vaksin Covid-19 pada 15 Januari 2021 di RSUD Ibnu Sina.
    Namun, kini, Sugeng dalam keadaan sehat. "Hingga saat ini, Kasdim Gresik dalam keadaan sehat wal afiat. Jadi, tidak benar berita yang mengatakan bahwa Kasdim Gresik meninggal setelah disuntik vaksin Sinovac," ujar Imam saat dihubungi melalui pesan singkat oleh Republika pada 18 Januari.
    Terkait foto seorang pria berseragam loreng khas TNI yang menyertai klaim tersebut, menurut Imam, foto itu adalah foto Komandan Rayon Militer (Danramil) Kebomas, Gresik, Mayor Kav Gatot Supriyono. Gatot memang meninggal pada 15 Januari. Namun, ia tidak pernah disuntik vaksin Covid-19.
    Imam menjelaskan bahwa Gatot meninggal diduga akibat serangan jantung. Imam pun mengatakan bahwa Gatot sempat menjalani tes rapid antigen di Poskes Gresik pada 14 Januari, dan hasilnya negatif. Menurut Imam, foto Gatot tersebut diambil pada 10 Januari saat berziarah ke makam Sunan Giri, Kabupaten Gresik.
    "Foto yang beredar adalah betul foto Mayor Kav Gatot Supriyono. Foto tersebut diambil pada hari Minggu, 10 Januari 2021, saat mendampingi Danrem 084/BJ (Komandan Resor Militer 084 Bhaskara Jaya) beserta keluarga melaksanakan ziarah Sunan Giri di Gresik," kata Imam.
    Dikutip dari Detik.com, Tim Komunikasi Publik Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) juga menyatakan bahwa kabar itu tidak benar. Foto yang menyertai kabar tersebut bukanlah foto Mayor Inf Sugeng Riyadi, melainkan Mayor Kav Gatot Supriyono.
    Gatot memang meninggal pada 15 Januari 2021, namun diduga karena serangan jantung. Gatot pun juga belum mendapatkan vaksin Covid-19. "Faktanya adalah Mayor Inf Sugeng Riyadi melaksanakan vaksinasi dengan vaksin Sinovac di RSUD Ibnu Sina pada hari Jumat, 15 Januari 2021, dan sampai saat ini dalam keadaan sehat walafiat," kata Tim Komunikasi Publik KPCPEN pada 18 Januari.
    "Terkait dengan foto yang dilingkari, foto tersebut adalah foto almarhum Mayor Kav Gatot Supriyono, Danramil Kebomas Kodim 0817 Gresik, yang meninggal dunia pada hari Jumat, 15 Januari 2021 pukul 23.06, diduga terkena serangan jantung. Almarhum Mayor Kav Gatot Supriyono belum pernah divaksinasi Covid-19," ujar Tim Komunikasi Publik KPCPEN.
    Kepala Polres Gresik Ajun Komisaris Besar Arif Fitriyanto juga menyatakan hal serupa. Dilansir dari situs media lokal Jawa Timur, Jatimnow, Arif mengatakan informasi itu hoaks. "Kami pastikan informasi bahwa Pak Kasdim meninggal adalah hoaks atau tidak benar," kata Arif pada 18 Januari.
    Menurut Arif, pihaknya telah berkoordinasi dengan Komandan Kodim 0817 Gresik Letnan Kolonel Taufiq Ismail. Taufiq menyatakan bahwa kondisi Sugeng pasca divaksin Covid-19 pada 15 Januari hingga saat ini baik-baik saja. "Pak Kasdim bersama pejabat serta perwakilan masyarakat yang ikut menjalani vaksin perdana di RSUD Ibnu Sina semuanya dalam keadaan sehat walafiat."
    Arif mengatakan Unit Tindak Pidana Tertentu Satuan Reserse Kriminal Polres Gresik telah bergerak untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mengungkap pembuat dan penyebar hoaks tersebut. "Sekarang tim kami dari Satreskrim sedang melakukan penelusuran untuk mengungkap siapa yang pertama kali menyebarkan informasi hoaks tersebut," ujar Arif.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Kasdim 0817 Gresik, Jawa Timur, Mayor Inf Sugeng Riyadi, meninggal akibat disuntik vaksin Covid-19, keliru. Sugeng memang menjalani vaksinasi Covid-19 pada 15 Januari 2021, namun hingga kini Sugeng dalam keadaan sehat. Terkait foto yang menyertai klaim tersebut, foto itu adalah foto Danramil Kebomas, Gresik, Mayor Kav Gatot Supriyono. Gatot memang meninggal pada 15 Januari 2021. Namun, ia tidak pernah disuntik vaksin Covid-19. Gatot meninggal diduga karena serangan jantung.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8456) Sesat, Pesan Berantai yang Sebut Vaksinasi Covid-19 Presiden Jokowi Harus Diulang

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 18/01/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berjudul "Vaksinasi Presiden Harus Diulang dan Hati-hati dengan Vaksinasi" beredar di media sosial dan grup-grup percakapan WhatsApp. Pesan berantai ini menyebar setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjalani vaksinasi Covid-19 dengan vaksin Sinovac pada 13 Januari 2021 di Istana Kepresidenan, Jakarta.
    Pesan tersebut diklaim ditulis oleh seorang dokter spesialis penyakit dalam yang bernama Taufiq Muhibuddin Waly. Menurut pesan ini, vaksinasi yang dilakukan oleh Jokowi gagal. Alasannya, Jokowi disuntik dengan spuit (alat suntik) bervolume 1 cc dan tidak tegak lurus 90 derajat. "Hal tersebut menyebabkan vaksin tidak menembus otot sehingga tidak masuk ke dalam darah."
    Dalam pesan berantai ini, disebutkan pula bahwa orang yang akan menjalani vaksinasi Covid-19 mesti melakukan tes rapid antibodi terlebih dahulu. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah reaksi Antibody-dependent enhancement (ADE). Jika hal ini terjadi, virus-virus mati dalam vaksin Sinovac akan dengan mudah masuk ke sel-sel organ, yang akhirnya menyebabkan kerusakan organ. "Bila tes rapid antibodi positif, sebaiknya batalkan vaksinasi."
    Pesan berantai tersebut pun mengklaim vaksin Sinovac sebagai vaksin Covid-19 yang terlemah dalam menimbulkan respons imunitas dari 10 vaksin unggulan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan demikian, orang yang hasil tes rapid antibodinya positif tidak masalah jika tidak disuntik vaksin, karena telah memiliki antibodi terhadap Covid-19.
    Di Facebook, salah satu akun yang membagikan pesan berantai itu adalah akun Ganti Presiden, tepatnya pada 14 Januari 2021. Akun ini melengkapi pesan tersebut dengan gambar tangkapan layar unggahan lain di Facebook terkait kemasan vaksin Sinovac. Unggahan ini mempertanyakan vaksin yang disuntikkan ke Presiden Jokowi.
    "Kemasan vaksin Sinovac setahu saya enggak pakai ampulan. Di dalam box vaksin sudah ada spuit khusus yang sudah ada vaksinnya. Jadi, tenaga medis tinggal tusuk saja. Jadi, yang Jokowi pakai apa?" demikian narasi dalam unggahan itu. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan lebih dari 800 reaksi dan 280 komentar serta dibagikan lebih dari 300 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ganti Presiden yang memuat pesan berantai berjudul "Vaksinasi Presiden Harus Diulang dan Hati-hati dengan Vaksinasi". Sejumlah klaim dalam pesan berantai itu menyesatkan.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim-klaim dalam unggahan akun Ganti Presiden, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait klaim-klaim tersebut dan mewawancarai sejumlah ahli serta dokter. Ahli yang Tempo wawancarai adalah ahli biologi molekuler Ahmad Rusjdan Utomo, ahli kimia-farmasi Bimo Ario Tejo, dan dokter spesialis patologi klinis Tonang Dwi Ardyanto.
    Klaim 1: Vaksinasi Covid-19 Presiden Jokowi gagal, karena disuntik dengan spuit 1 cc dan tidak tegak lurus 90 derajat sehingga vaksin tidak menembus otot dan tidak masuk ke darah.
    Dilansir dari Suara.com, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih mengatakan pesan berantai di atas berisi opini penulis dan tidak berdasarkan data serta kajian ilmiah. Menurut Daeng, penyuntikan yang dilakukan oleh dokter Abdul Muthalib sudah benar. Ketika itu, Daeng menjalani vaksinasi usai Presiden Jokowi, dan disuntik oleh dokter yang sama. "Masuk ke otot suntikannya," ujar Daeng.
    Dalam tayangan Mata Najwa edisi "Vaksin Siapa Takut" pada 13 Januari 2021, dokter spesialis penyakit dalam sekaligus Wakil Ketua Dokter Kepresidenan yang menyuntikkan vaksin Covid-19 Sinovac kepada Presiden Jokowi, Abdul Muthalib, mengatakan bahwa alat suntik atau spuit yang ia gunakan ketika itu adalah spuit 0,5 cc untuk vaksin.
    Adapun menurut Tonang Dwi Ardyanto saat dihubungi pada 15 Januari 2021, satu dosis vaksin Sinovac bervolume 0,5 cc. Karena itu, dia mengatakan bahwa sudah sangat tepat jika dokter menggunakan spuit 1 cc untuk menyuntikkan vaksin Sinovac tersebut. "Kita menggunakan spuit yang paling mendekati dosis yang akan diberikan," ujarnya.
    Namun, Tonang menuturkan, jika situasi di lapangan tidak memungkinkan, misalnya hanya tersedia spuit 3 cc, spuit dengan ukuran tersebut juga boleh digunakan. "Masih boleh, karena 0,5 cc bisa dimasukkan ke dalam tempat yang lebih besar. Pakai 2 cc ya enggak apa-apa juga, masih betul juga. Jadi, menurut saya, tidak ada yang aneh, wajar," katanya.
    Klaim 2: Orang yang akan menjalani vaksinasi Covid-19 mesti melakukan tes rapid antibodi terlebih dahulu untuk mencegah reaksi ADE. Bila tes rapid antibodi positif, sebaiknya batalkan vaksinasi.
    Menurut Bimo Ario Tejo saat dihubungi pada 15 Januari 2021, sejauh ini, tes antibodi sebelum vaksinasi Covid-19 tidak diperlukan. Saat ini, penyintas Covid-19 memang belum diprioritaskan untuk menerima vaksin Covid-19. "Bukan karena takut ADE, tapi karena dua hal," ujar Bimo.
    Pertama, penyintas Covid-19 sudah dianggap memiliki kekebalan. Sementara yang kedua, dalam uji klinis selama ini, vaksin belum diujicobakan kepada penyintas Covid-19. "Untuk kekhawatiran terhadap ADE pun, sejauh ini, belum ada buktinya," kata Bimo.
    Menurut Bimo, ketika vaksin diujicobakan ke hewan, tidak terlihat adanya ADE. Indikasi ADE memang pernah terlihat dalam uji coba vaksin SARS, yang muncul pada 2002, namun hanya di laboratorium. "Tapi sebenarnya tidak ada buktinya, karena SARS keburu hilang," ujarnya.
    Bimo menjelaskan ADE bisa terjadi ketika infeksi pertama menghasilkan antibodi tapi antibodi tersebut tidak bisa melindungi dari infeksi kedua, bahkan justru membantu virus pada infeksi kedua. "Ini biasanya terjadi ketika infeksi kedua berasal dari varian virus yang berbeda," tuturnya.
    Karena itu, ADE terjadi pada HIV, karena virus HIV bermutasi dengan sangat cepat. ADE juga muncul pada demam berdarah. Saat ini, dikenal empat jenis demam berdarah, di mana empat virus dengue yang menjadi penyebabnya memiliki perbedaan genetik yang jauh. "Jadi, antibodi yang terbentuk pada infeksi pertama tidak bisa mengenali virus pada infeksi kedua," ujar Bimo.
    Untuk varian SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, menurut Bimo, sampai saat ini tidak terlalu banyak. Sifat genetiknya tidak mudah bermutasi. "Walaupun sudah setahun pandemi, mutasi yang terjadi tidak secepat mutasi yang terjadi pada HIV atau virus flu" katanya.
    Hal itulah yang membuat banyak ilmuwan optimistis antibodi yang dihasilkan pada infeksi pertama atau dari vaksin tidak menimbulkan ADE. "Tapi harus dimonitor, karena mutasi kadang-kadang sulit dikontrol. Kalau nanti terjadi mutasi yang menyebabkan identitas virus ini berbeda dari yang sekarang, kemungkinan ADE bisa terjadi. Tapi saya melihat belum ke arah sana."
    Ahmad Rusjdan Utomo, saat dihubungi pada 15 Januari 2021, juga memberikan penjelasan serupa. Dalam uji klinis vaksin Sinovac, para relawan memang menjalani tes antibodi terlebih dahulu. Namun, menurut Ahmad, alasannya bukan karena takut akan ADE.
    Untuk vaksin yang menggunakan bagian dari virus, seperti Moderna dan AstraZeneca, mereka bisa membedakan antibodi yang dihasilkan oleh vaksin dan antibodi yang dihasilkan oleh infeksi alami. Sementara vaksin Sinovac, yang menggunakan virus yang telah dimatikan, tidak bisa membedakan antibodi yang dihasilkan oleh vaksin dan antibodi yang dihasilkan oleh infeksi alami. "Itu yang membuat relawan uji coba vaksin Sinovac harus cek antibodi," katanya.
    Terkait ADE, Ahmad mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu terjadi. Menurut dia, ADE terjadi jika terdapat varian virus yang berbeda, seperti virus dengue penyebab demam berdarah. Virus dengue memiliki empat varian yang berbeda, yang bisa dipisahkan dengan antibodi. "Artinya, perangai serologi mereka berbeda," ujar Ahmad.
    Sementara SARS-CoV-2, menurut Ahmad, kalau pun ada variasi, hal itu tidak mengubah perangai serologi mereka. "Jadi, masih virus yang sama. Makanya, walaupun ada varian baru, setelah dicek di laboratorium, semua varian itu masih bisa diblok dengan antibodi. Beda kasusnya dengan dengue. Kalau dengue, diberi vaksin tipe A, tapi yang datang tipe B, jadi isu," tuturnya.
    Ahmad juga mengatakan, jika vaksin Covid-19 memang menyebabkan ADE, hal itu seharusnya terlihat pada hewan coba. Dalam kasus SARS, ketika vaksin diuji klinis ke hewan coba, terlihat bukti kerusakan serologi pada organ dalam mereka. "Tapi, kalau bicara Covid-19, kita gunakan hewan coba, tidak terlihat adanya kerusakan organ," katanya.
    Terkait klaim bahwa suntikan vaksin yang berulang kali bisa menyebabkan ADE, menurut Ahmad, hal itu hanya dugaan dan tidak memiliki basis ilmiah. "Untuk kasus seperti itu, tidak ada contohnya. Secara imunologi pun, suntikan booster justru bisa menaikkan antibodi. Bagaimana bisa turun? ADE itu kan isunya ketika jumlah antibodi tidak banyak, rendah," ujar Ahmad.
    Klaim 3: Vaksin Sinovac adalah vaksin Covid-19 terlemah dari 10 vaksin unggulan WHO.
    Menurut arsip berita Tempo, pada 21 Desember 2020, juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia telah membantah bahwa vaksin Sinovac memiliki kualitas paling lemah di antara kandidat vaksin lainnya. "Hingga saat ini, tidak ada dokumen dan informasi resmi dari WHO yang membandingkan respons imunitas 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac rendah," ujarnya.
    Ahmad Rusdjan Utomo juga mengatakan tidakfairmembandingkan vaksin-vaksin Covid-19 dengan hanya melihat angka efikasinya masing-masing. Uji klinis vaksin yang dilakukan saat ini hanya membandingkan vaksin Covid-19 yang dikembangkan, seperti vaksin Sinovac atau vaksin Pfizer, denganplacebo. "Kalau maufair, coba bandingkan vaksin Sinovac melawan vaksin Pfizer, di Amerika misalnya," ujarnya.
    Menurut Ahmad, vaksin Pfizer sebenarnya juga menuai banyak kritik. Uji klinis yang dilakukan Pfizer merestriksi hanya pada kasus gejala sedang yang terkonfirmasi positif melalui tes PCR. "Jadi, kalau ada gejala suspek, tidak dihitung. Sementara kalau di Brasil (uji klinis vaksin Sinovac), dihitung semua. Bahkan, gejala ringan mereka hitung dan mereka konfirmasi non PCR," tutur Ahmad.
    Jika gejala ringan dihitung, menurut Ahmad, angka efikasi terkesan tidak tinggi karenano

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang berjudul "Vaksinasi Presiden Harus Diulang dan Hati-hati dengan Vaksinasi" tersebut menyesatkan. Terkait klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac harus disuntikkan dengan spuit minimal 3 cc, keliru. Satu dosis vaksin Sinovac bervolume 0,5 cc. Karena itu, spuit yang digunakan boleh sama dengan atau lebih besar dari volume vaksin. Terkait klaim soal adanya reaksi ADE akibat vaksin Covid-19, hingga saat ini, hal itu tidak terbukti. Adapun terkait klaim bahwa vaksin Sinovac adalah vaksin Covid-19 terlemah dari 10 vaksin unggulan WHO, hingga saat ini, tidak ada dokumen atau informasi resmi dari WHO yang membandingkan respons imunitas 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac adalah vaksin paling lemah.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8455) Keliru, Orang yang Sudah Vaksinasi Covid-19 Tak Perlu Pakai Masker dan Cuci Tangan

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa orang yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 tidak perlu memakai masker dan mencuci tangan beredar di media sosial. Klaim itu beredar setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendapatkan vaksin Covid-19 di Istana Kepresidenan, Jakarta, dan dimulainya program vaksinasi Covid-19 tahap pertama pada 13 Januari 2021.
    Di Facebook, klaim itu diunggah oleh akun Gaes Pardi pada 14 Januari 2021. Klaim tersebut dibagikan di grup Info Kecelakaan dan Kriminal Indonesia. Akun ini menyebut penyuntikan vaksin Covid-19 bertujuan untuk membuat tubuh kebal terhadap Covid-19. "Maka, Anda tidak perlu lagi pakai masker, cuci tangan, dan sebagainya karena Anda sudah kebal terhadap Covid-19," katanya.
    Kemudian, akun Gaes Pardi menulis, "Jika Anda sudah disuntik vaksin Covid-19, tapi masih saja disuruh pakai masker, disuruh cuci tangan, duduk berjauhan, dan sebagainya, berarti yang disuntikkan ke Anda itu bukan vaksin, tapi vakcin (valuta keuangan Cina). Nah, Jokowi sudah disuntik vaksin Covid-19 kok masih pakai masker, tapi sudah kebal dari virus Covid-19?"
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Gaes Pardi yang memuat klaim keliru tentang vaksinasi Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, pemberian vaksin bukanlah solusi tunggal dalam mengendalikan pandemi Covid-19, baik di Indonesia maupun di dunia. Meskipun vaksin dapat memberikan manfaat berupa menumbuhkan antibodi, semua vaksin Covid-19, termasuk vaksin Sinovac, belum diketahui efektivitasnya dalam mencegah transmisi atau penularan virus pada orang lain.
    Karena itu, seseorang yang telah mendapatkan vaksin Covid-19 tetap harus menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Pemerintah juga tetap harus memaksimalkan jumlah tes(testing), penelusuran kontak (tracing), dan perawatan terhadap orang-orang yang terinfeksi (treatment).
    Menurut Dicky Budiman, ahli epidemiologi dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, vaksin memiliki tiga jenis manfaat atau khasiat. Pertama, efikasi untuk mendapatkan proteksi terhadap virus tertentu agar tidak terinfeksi.
    Tingkat efikasi tersebut bervariasi, tergantung pada jenis vaksin yang digunakan saat uji klinis. Efikasi vaksin Sinovac yang diuji di Indonesia misalnya, adalah sebesar 65,3 persen. Sementara efikasi vaksin Pfizer dan vaksin Moderna masing-masing sebesar 95 dan 94 persen.
    Dicky mengatakan, berapa pun nilai efikasi, tetap memberikan perlindungan. “Daripada tidak ada vaksin sama sekali,” katanya saat dihubungi Tempo pada 15 Januari 2021. Namun, terbentuknya antibodi untuk memberikan perlindungan membutuhkan proses yang berbeda di masing-masing orang. “Ada salah anggapan, begitu disuntik vaksin, antibodinya otomatis terbentuk. Padahal, itu butuh waktu,” ujarnya.
    Jenis kedua adalah mencegah atau mengurangi keparahan atau gejala. Artinya, vaksin dapat mengurangi tingkat keparahan gejala pada seseorang yang telah divaksin yang kemudian terinfeksi. Dengan demikian, vaksin dapat membantu mengurangi jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit, bahkan mengurangi tingkat kematian.
    Sementara jenis ketiga adalah memutus transmisi atau tingkat penularan. Hanya saja, saat ini, belum tersedia data yang cukup untuk mengetahui apakah semua vaksin Covid-19 memiliki efektivitas dalam memutus penularan tersebut. Sebab, untuk mengetahui efektivitas ini, dibutuhkan waktu minimal enam bulan pasca vaksinasi massal.
    “Kenapa butuh waktu, karena riset vaksin Covid-19 ini luar biasa cepatnya dibandingkan jenis vaksin lainnya. Sehingga, data untuk memutus penularan butuh waktu paling cepat enam bulan pasca uji fase ketiganya berakhir,” kata Dicky.
    Di tengah belum tersedianya data tersebut, dikhawatirkan seseorang yang sudah divaksin masih bisa terinfeksi virus dan menularkannya ke orang lain, meskipun mereka tidak memiliki gejala Covid-19. Karena itu, kata Dicky, orang yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19 tetap harus memakai masker dan menjaga jarak agar tidak menularkan virus ke orang lain.
    Mengapa orang yang telah divaksin Covid-19 tetap punya risiko menularkan virus?
    Dikutip dari The New York Times, menurut Michael Tal, ahli imunologi dari Universitas Stanford, Amerika Serikat, meskipun vaksin Pfizer dan vaksin Moderna dianggap paling baik dalam mencegah munculnya gejala serius karena Covid-19, belum jelas seberapa efektif keduanya dapat memutus penularan.
    Menurut Michael, uji klinis vaksin Pfizer dan vaksin Moderna hanya melacak berapa banyak orang yang jatuh sakit setelah mendapatkan vaksin. Sehingga, ada kemungkinan bahwa mereka yang mendapatkan vaksin bisa terinfeksi tanpa gejala dan bisa menularkan Covid-19 secara diam-diam, terutama jika mereka berkontak dekat dengan orang lain atau berhenti menggunakan masker.
    “Jika orang yang divaksinasi adalah penyebar virus yang diam-diam, mereka mungkin tetap menyebarkannya di komunitas mereka, menempatkan orang yang tidak divaksinasi pada risiko,” katanya.
    Marion Pepper, ahli imunologi dari University of Washington, AS, menjelaskan secara teknis mengapa mereka yang divaksin tetap berpotensi bisa menularkan SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19.
    Dalam sebagian besar kasus infeksi saluran pernapasan, termasuk Covid-19, hidung adalah pintu masuk utama dan tempat berkembang biak dengan cepat. Hal ini mengguncang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan sejenis antibodi yang khusus untuk mukosa, jaringan lembab yang melapisi hidung, mulut, paru-paru, dan perut.
    Jika orang yang sama terpapar virus untuk kedua kalinya, antibodi tersebut, serta sel kekebalan yang mengingat virus tersebut, dengan cepat mematikan virus yang terdapat di hidung sebelum mereka menyebar dan bertahan di bagian tubuh yang lain.
    Sebaliknya, vaksin Covid-19 disuntikkan jauh ke dalam otot dan merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi. Hal ini dapat menjaga orang yang divaksinasi tidak jatuh sakit saat terinfeksi Covid-19.
    Beberapa dari antibodi tersebut akan bersirkulasi di dalam darah, lalu ke mukosa hidung, dan berjaga di sana. Meskipun begitu, belum jelas berapa banyak kumpulan antibodi yang dapat dimobilisasi, atau seberapa cepat mereka bisa mematikan virus di hidung.
    Jika jawabannya tidak banyak, virus bisa bermunculan di hidung sehingga, ketika orang tersebut bersin atau menghembuskan nafas, dapat menginfeksi orang lain. “Ini adalah perlombaan, tergantung apakah virus dapat bereplikasi lebih cepat, atau sistem kekebalan dapat mengontrolnya lebih cepat,” kata Pepper.
    Dikutip dari Business Insider, menurut ahli penyakit menular dari Ohio State University, Debra Goff, meskipun melindungi dari tertular virus, vaksin tidak akan sepenuhnya efektif sampai dosis kedua diberikan. "Demi kebaikan sesama umat manusia, Anda perlu terus memakai masker dan dan menjaga jarak fisik dari orang lain,” kata Goff.
    Vaksin Covid-19 mengandung potongan kecil materi genetik yang dimaksudkan untuk mengajari sistem kekebalan cara melawan SARS-CoV-2. Bit RNA pembawa pesan ini tidak dapat membuat seseorang sakit dengan Covid-19, tapi perlu beberapa waktu bagi mereka untuk melakukan tugasnya.
    Vaksin Pfizer,misalnya, hanya efektif 52 persen dalam mencegah Covid-19 setelah dosis pertama diberikan. Suntikan kedua, bila diberikan tiga minggu kemudian, akan meningkatkan efektivitas menjadi 95 persen.
    Ada kemungkinan untuk tertular Covid-19 selama jeda suntikan pertama dan suntikan kedua. Faktanya, seorang perawat California dilaporkan positif Covid-19 setelah lebih dari seminggu mendapat suntikan vaksin pertamanya. Ini bisa terjadi karena seseorang mungkin tidak mengembangkan antibodi hingga 10-14 hari setelah mendapat suntikan pertama.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa seseorang yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 tidak perlu memakai masker dan mencuci tangan, keliru. Vaksin dapat memberikan manfaat berupa menumbuhkan antibodi. Vaksin juga bisa mencegah atau mengurangi gejala. Namun, belum diketahui efektivitas seluruh vaksin Covid-19 dalam mencegah transmisi atau penularan. Karena itu, mereka yang telah mendapatkan vaksin tetap harus menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8454) Keliru, Klaim Ini Foto Jalan Putus di Sulawesi Barat Akibat Gempa Majene

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/01/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah unggahan di Facebook yang berisi foto jalan yang terputus akibat longsor viral. Jalan yang putus itu diklaim sebagai jalan yang berada di daerah Sendana, Sulawesi Barat. Menurut klaim tersebut, jalan ini putus akibat gempa Majene pada 14 Januari 2021 yang memiliki magnitudo 5,9.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar itu diunggah salah satunya oleh akun Nasril Pratama, tepatnya pada 14 Januari 2021. Dalam gambar itu, tertulis narasi, "Info bagi anggota yang maw melintas Mamuju_majene Begitupun sebaliknya kita tunda mii dlu om bos karna ada jlan putus daerah Sendana gara2 gempa tdi."

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, diketahui bahwa jalan putus dalam foto itu berada di jalur Lahat-Pagaralam, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Jalan tersebut putus pada Februari 2019.
    Foto yang identik pernah dimuat oleh situs media Jawa Pos pada 2 Februari 2019 dalam beritanya yang berjudul “Jalan Lahat-Pagaralam Putus”. Menurut Jawa Pos, tanah longsor telah menyebabkan akses jalan Lahat-Pagaralam terputus. Jalan itu berada di Desa Jati, Kecamatan Pulau Pinang, Lahat.
    Peristiwa bermula pada 2 Februari 2019 dini hari. Saat itu, hujan dengan intensitas tinggi terjadi di daerah tersebut. Air kemudian menggerus gorong-gorong. Sekitar pukul 04.00 WIB, jalan itu mulai amblas dan terputus. Tidak ada korban dalam kejadian itu. Namun, lalu lintas harus dialihkan ke jalur alternatif di Kecamatan Gumai Ulu.
    Dikutip dari situs media Okezone.com, jalan di sekitar lokasi longsor tersebut amblas sepanjang 20 meter dengan kedalaman 100 meter. Longsor ini sempat membuat macet karena banyaknya kendaraan di jalur Lahat-Pagaralam terjebak, sehingga kendaraan terpaksa memutar balik melalui jalur Gumai atau Muara Siban.
    Gempa bumi Sulawesi Barat
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Regional IV Makassar mencatat bahwa terjadi sebanyak 28 kali di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, sepanjang 14-15 Januari 2021. "Kalau sejak gempa berkekuatan 5,9 SR pada 14 Januari, sudah 28 kali gempa," kata Staf Pusat Gempa BMKG Regional IV Makassar, Syarifuddin, pada 15 Januari 2021.
    Namun, Syarifuddin mengatakan gempa di Kabupaten Mejene yang membuat bangunan rusak hingga menimbulkan korban jiwa adalah gempa yang terjadi pada 15 Januari dini hari pukul 02.28 WITA yang berkekuatan 6,2 SR. "Setelah itu, terjadi lagi gempa susulan sebanyak 19 kali," ujarnya. Pagi tadi, pukul 08.25 WITA, terjadi gempa berkekuatan 4,4 SR di timur laut Majene dengan kedalaman 8 kilometer.
    Berdasarkan informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mamuju, terdapat 24 korban luka-luka dan tiga orang meninggal serta 2 ribu warga mengungsi. Sementara laporan BPBD Kabupaten Majene menyatakan terjadi longsor di tiga titik sepanjang jalan poros Majene-Mamuju (akses jalan terputus) dan kerusakan 62 rumah, satu puskesmas, serta satu kantor Danramil Malunda.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut adalah foto jalan putus di daerah Sendana, Sulawesi Barat, akibat gempa Majene pada 14 Januari 2021, keliru. Gempa Majene pada 14-15 Januari 2021 memang menyebabkan akses jalan Majene-Mamuju terputus. Namun, jalan putus dalam foto itu adalah jalan Lahat-Pagaralam, Sumatera Selatan, yang amblas pada 2 Februari 2019.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan