• (GFD-2021-8555) Keliru, Poster dengan Klaim Anies Tersangka dan KPK Angkut Rp 3,3 T dari Rumahnya

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/03/2021

    Berita


    Sebuah poster yang berisi klaim bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi tersangka kasus yang tengah diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beredar di Facebook. Menurut klaim itu, KPK juga mengangkut duit senilai Rp 3,3 triliun dari rumah Anies.
    Gambar tersebut berisi teks yang berbunyi "Jokowi Marah Besar Anies Jadi Tersangka!!! KPK Angkut 3,3 Triliun dari Rumah Anies". Dalam gambar itu, terdapat pula foto seorang pria yang mirip dengan Anies yang sedang memegang tumpukan uang yang berada di dalam plastik.
    Akun ini membagikan gambar itu pada 22 Maret. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun itu telah mendapatkan 355 reaksi dan 272 komentar. Gambar tersebut menyebar di tengah proses penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, oleh KPK.
    Kasus ini diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar. Perumda Pembangunan Sarana Jaya disebut membeli lahan di Pondok Ranggon seluas 4,2 hektare pada 2019. Lahan yang disebut untuk proyek rumah DP nol rupiah itu diduga bermasalah karena berada di jalur hijau dan harganya di-mark-up.
    Sebuah poster yang beredar di Facebook yang berisi klaim keliru terkait Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan sejumlah kata kunci di mesin pencari Google. Hasilnya, tidak ditemukan berita dari media kredibel bahwa Anies Baswedan menjadi tersangka kasus KPK maupun KPK menyita uang senilai Rp 3,3 triliun dari rumah Anies.
    Tempo menemukan video di YouTube denganthumbnailyang sama dengan gambar di atas. Judul video itu pun sama dengan yang tertulis dalam gambar tersebut. Video ini diunggah oleh kanal YouTube Juru Kunci pada 12 Maret 2021. Namun, dalam video itu, tidak terdapat informasi bahwa Anies menjadi tersangka kasus KPK maupun KPK menyita uang dari rumah Anies.
    Di bagian awal video tersebut, terdapat rekaman wawancara Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Ia menjelaskan penggeledahan yang telah dilakukan oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Pondok Ranggon. Namun, Ali tidak menyebut rumah Anies sebagai salah satu lokasi penggeledahan.
    "Penggeledahan di empat lokasi yang berbeda di Jakarta, yaitu di kantor PT AP (Adonara Propertindo), gedung Sarana Jaya, dan dua rumah kediaman pihak-pihak yang terkait dengan perkara ini. Dari penggeladahan itu, KPK menemukan sejumlah dokumen yang terkait dengan perkara ini," katanya.
    Lalu, video tersebut berisi narasi yang dibacakan oleh narator yang ambil dari sejumlah artikel. Artikel pertama adalah artikel yang dimuat oleh situs Pikiran Rakyat pada 11 Maret 2021 terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Pondok Ranggon.
    Dalam artikel ini, justru dijelaskan bahwa Anies Baswedan tidak menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Menurut artikel itu, empat tersangka yang telah ditetapkan oleh KPK adalah YC (Yoory C. Pinontoan, Direktur Utama Sarana Jaya ), AR dan TA (Anja Runtuwene dan Tommy Adrian, direktur PT Adonara Propertindo), dan PT Adonara Propertindo selaku penjual tanah.
    Kemudian, artikel kedua, adalah artikel yang juga dimuat oleh Pikiran Rakyat yang berisi opini dari seorang aktivis terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Pondok Ranggon. Sementara artikel ketiga adalah artikel yang dimuat oleh Netralnews, pun berisi opini dari politikus Ferdinand Hutahaean soal kasus yang sama.
    Terkait foto seorang pria yang mirip dengan Anies Baswedan yang sedang memegang tumpukan uang dalam thumbnail video tersebut, foto itu adalah hasil suntingan. Pria dalam foto ini bukan Anies. Bagian wajah pria dalam foto tersebut disunting dengan cara ditempel dengan foto wajah Anies.
    Foto aslinya pernah dimuat oleh Bisnis.com dalam artikelnya pada 3 Desember 2020. Foto itu diberi keterangan: “Petugas memasukan uang pecahan rupiah ke dalam mobil untuk didistribusikan dari Cash Center Mandiri, Jakarta, Senin (11/5/2020). - Antara Foto/Muhammad Adimaja.”

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, poster yang berisi klaim bahwa Anies Baswedan menjadi tersangka kasus yang tengah diusut oleh KPK dan KPK menyita uang senilai Rp 3,3 triliun dari rumahnya, keliru. Tidak ditemukan informasi dari media kredibel bahwa Anies menjadi tersangka kasus KPK maupun KPK menyita uang dari rumah Anies. Poster itu merupakanthumbnail dari sebuah video yang beredar di YouTube. Namun, dalam video itu, tidak terdapat pula informasi yang dimaksud. Foto pria yang mirip dengan Anies dalam poster itu pun merupakan hasil suntingan.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8554) Keliru, Pesan Berantai tentang Pandemi Covid-19 Hanya Tipuan yang Diklaim Berasal dari IDI

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 23/03/2021

    Berita


    Pesan berantai yang diklaim berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beredar di Facebook. Pesan berantai itu berisi sejumlah klaim yang meragukan pandemi Covid-19. "Tidak ada pandemi, tidak ada Covid-19, dan tidak ada virus yang beterbangan yang mematikan. Semua itu adalah bentuk pengelabuan dan pembodohan global," demikian narasi di awal pesan berantai tersebut.
    Akun ini membagikan pesan berantai itu pada 21 Maret 2021. Beberapa klaim yang terdapat dalam pesan berantai tersebut antara lain:
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim-klaim keliru dan menyesatkan seputar pandemi dan Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi apakah pesan berantai itu berasal dari IDI, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait. Hasilnya, ditemukan bahwa pesan berantai tersebut tidak ditulis oleh IDI. Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ), yang mengutip Liputan6.com, Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi menyatakan IDI tidak pernah mengeluarkan keterangan semacam itu.
    Tempo kemudian memeriksa klaim-klaim yang terdapat dalam pesan berantai tersebut. Berikut hasil penelusuran Tempo:
    Klaim 1: Tidak ada satu pun warga Swedia, Korea Utara, Chechnya, dan Tajikistan yang terkena Covid-19
    Fakta:
    Dilansir dari Worldometers, hingga 23 Maret 2021, Swedia telah mencatatkan jumlah kasus Covid-19 sebanyak 744.272 orang dengan kematian 13.262 orang. Di Tajikistan, sebanyak 13.308 orang telah terinfeksi Covid-19 dan 90 orang di antaranya meninggal dunia.
    Terkait kasus Covid-19 di Chechnya, sebuah wilayah berbentuk republik di Rusia, data terakhir yang berhasil ditemukan adalah data pada Mei 2020 silam yang dimuat oleh The New York Times. Ketika itu, Chechnya melaporkan 1.046 kasus dengan 11 kematian.
    Sementara data kasus Covid-19 di Korea Utara tidak tersedia secara terbuka.
    ***
    Klaim 2: Bila Covid-19 termasuk pandemi, seharusnya orang-orang sudah banyak yang mati bergelimpangan
    Fakta:
    Pandemi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), berarti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Menurut definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), pandemi adalah penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia.
    Dari pengertian tersebut, pandemi bukan ditunjukkan dari banyaknya orang yang mati bergelimpangan. Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi karena, hingga saat ini, penyakit itu telah menyebar ke sebagian besar negara, dengan total kasus Covid-19 mencapai 124.326.764 orang dan jumlah kematian lebih dari 2,7 juta orang.
    ***
    Klaim 3: Orang positif Covid-19 yang berada di rumah lebih aman ketimbang yang berada di rumah sakit, risikonya antara hidup dan mati
    Fakta:
    Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan, penanganan pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 dilakukan berdasarkan gejalanya. Pasien yang tidak bergejala akan diimbau untuk melakukan isolasi mandiri di rumah atau di rumah sakit darurat. Bagi pasien dengan gejala berat, mereka akan diisolasi di rumah sakit atau rumah sakit rujukan.
    Menurut epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, yang dikutip dari CNN Indonesia, jumlah kematian akibat Covid-19 yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh terlambatnya pemberian penanganan. Hal itu dipicu oleh faktor ketidaksiapan sistem kesehatan Indonesia untuk menangani pasien dengan gejala sedang hingga berat.
    ***
    Klaim 4: Virus Corona Covid-19 adalah virus flu biasa
    Fakta:
    Dilansir dari kantor berita Reuters, yang mengutip The Stanford Children's Health, virus Corona baru penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, belum pernah teridentifikasi sebelumnya. SARS-CoV-2 tidak sama dengan virus Corona yang umumnya beredar di antara manusia dan menyebabkan penyakit ringan, seperti flu biasa. Meskipun termasuk dalam keluarga virus Corona, SARS-CoV-2 adalah virus baru yang menyerang manusia.
    Flu biasa memiliki gejala pilek dan sakit tenggorokan yang umumnya ringan dan berlangsung antara 1-2 minggu. Sedangkan Covid-19 memiliki gejala kesulitan bernafas, demam, dan batuk kering. Beberapa pasien mengalami pneumonia dan memerlukan rawat inap. Jika pneumonia bertambah parah, bisa berakibat fatal.
    ***
    Klaim 5: WHO sudah tidak independen lagi, konsorsium utamanya adalah China komunis dan zionis Yahudi (Israel). Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang saja kewalahan tidak bisa melawan kekuatan elite global tersebut.
    Fakta:
    WHO berdiri pada 7 April 1948. Saat ini, WHO bekerja bersama 194 negara anggota. WHO memiliki lebih dari 7 ribu karyawan di 150 kantor negara, enam kantor regional, dan satu kantor pusat di Jenewa, Swiss. Majelis Kesehatan Dunia dihadiri oleh delegasi dari semua negara anggota, dan menentukan kebijakan WHO. Sementara Dewan Eksekutif WHO terdiri dari anggota yang secara teknis memenuhi syarat di bidang kesehatan, dan memberikan efek terhadap keputusan dan kebijakan Majelis Kesehatan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang menyebut pandemi Covid-19 hanya pembodohan tersebut keliru. Pesan berantai ini tidak ditulis oleh IDI. Klaim-klaim dalam pesan berantai itu pun keliru dan menyesatkan, mulai dari "tidak ada satu pun warga Swedia, Korea Utara, Chechnya, dan Tajikistan yang terkena Covid-19", "bila Covid-19 termasuk pandemi, seharusnya orang-orang sudah banyak yang mati bergelimpangan", "orang positif Covid-19 yang berada di rumah lebih aman ketimbang yang berada di rumah sakit, risikonya antara hidup dan mati", hingga "virus Corona Covid-19 adalah virus flu biasa".
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8553) Keliru, Klaim Ini Foto Drone Israel di Palestina yang Tertangkap Elang

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 23/03/2021

    Berita


    Foto yang memperlihatkan seekor elang yang menangkap sebuah drone beredar di Facebook. Foto itu diklaim sebagai foto drone pengintai milik Israel yang tertangkap oleh elang ketika terbang rendah di atas langit Gaza, Palestina.
    Di Facebook, foto beserta klaim tersebut dibagikan oleh akun ini pada 16 Maret 2021. Akun itu menulis, "Drone pengintai Israel terbang rendah diatas langit Gaza palestina.. Pertolongan Alloh drone Ditangkap Elang. Kita berharap semua manusia melihatnya."
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait foto elang yang menangkap drone yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto di atas dengan reverse image tool Google. Hasilnya, ditemukan bahwa foto itu bukan foto drone Israel di Palestina yang tertangkap elang. Foto tersebut diambil di Katwijk, Belanda, saat elang milik perusahaan Guard from Above menangkap drone dalam sebuah latihan polisi.
    Foto itu terdapat dalam database situs stok foto Getty Images, yang merupakan karya fotografer kantor berita AFP, Koen Van Weel. Foto ini diberi keterangan: "Seekor elang milik perusahaan Guard from Above menangkap drone dalam sebuah latihan polisi di Katwijk pada 7 Maret 2016. Burung pemangsa ini bisa mendapatkan drone yang terbang di udara dengan menangkap mereka menggunakan kakinya. Koen Van Weel/AFP via Getty Images."
    Situs media yang fokus pada perkembangan drone, Drone DJ, juga pernah memuat foto itu dalam artikelnya pada 5 Maret 2019. Menurut laporan Drone DJ, yang mengutip organisasi cek fakta Snopes, foto itu menunjukkan elang yang sudah terlatih milik perusahaan Guard from Above selama sesi pelatihan dengan polisi Belanda untuk mencegat drone.
    Kantor berita BBC pun pernah memuat video yang memperlihatkan elang milik perusahaan Guard from Above selama sesi pelatihan dengan polisi Belanda untuk menangkap drone tersebut. Video ini dimuat pada 5 April 2016 dalam artikelnya yang berjudul "The eagle that chases drones".
    Dalam perjalanannya, seperti dikutip dari Drone DJ, polisi Belanda merasa bahwa terlalu banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan dalam pelatihan dan pemeliharaan elang-elang penangkap drone ini. Polisi juga mengakui menangkap drone di udara tidak sepenuhnya aman bagi elang. Penggunaan elang untuk menangkap drone ini pun dihentikanoleh polisi Belanda pada 2017.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut adalah foto drone Israel di Gaza, Palestina, yang tertangkap elang, keliru. Foto itu diambil di Katwijk, Belanda, saat elang milik perusahaan Guard from Above menangkap drone dalam sebuah sesi pelatihan yang digelar oleh polisi Belanda.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8552) Sesat, Klaim Ini Grafik Antibodi usai Vaksinasi Covid-19 Dosis I yang Dekati Nol pada Hari ke-28

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/03/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah pesan berantai yang berisi grafik yang diklaim sebagai grafik antibodi usai vaksinasi Covid-19 beredar di media sosial. Menurut pesan itu, pada hari ke-7 setelah vaksinasi dosis pertama, antibodi akan mulai terlihat. Namun, pada hari ke-28 usai vaksinasi dosis pertama, antibodi bakal turun mendekati nol.
    "Ini grafik antibody setelah vaksin, hari ke 7 mulai kelihatan, puncak hari ke 10 kemudian turun sampai hari ke 28 sudah kecil sekali, kemudian di suntik, hasilnya antibody jadi melonjak. 7 hari setelah vaccine anti body menurun, jadi kalau bisa jangan keluar dulu. Itu sebabnya orang bisa kena covid beberapa hari sebelum vaksin ke 2, karena antibody sudah mendekati nol," demikian narasi dalam pesan tersebut.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar itu dibagikan oleh akun ini pada 17 Maret 2021. Akun tersebut juga menulis, “FYI, imun terbentuk sekitar 28 hr sejak vaksin *kedua* maka sebelum terbentuk imun sebaiknya isoman krn justru sedang drop. Apalagi hr ke 14, maka nya perlu vaksin k2. Setelah vaksin tetap hrs ikut prokes 5 M.”
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim sesat terkait antibodi usai vaksinasi Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri sumber dari grafik di atas denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa grafik dalam gambar tangkapan layar tersebut bukanlah grafik yang secara khusus menunjukkan tingkat antibodi setelah menerima vaksin Covid-19. Grafik itu telah beredar jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19, setidaknya sejak 15 Agustus 2017.
    Grafik tersebut pernah dimuat oleh blog Diary Chemistry pada 15 Agustus 2017 dalam artikelnya yang berjudul “Mekanisme Anti Bodi Sebagai Sistem Pertahanan Tubuh”. Dalam keterangannya, tertulis bahwa grafik itu menunjukkan karakteristik perjalanan waktu dari respons imun terhadap suatu antigen.
    Menurut artikel ini, paparan atau pemberian kedua dari antigen menimbulkan respons imun sekunder dan, seperti yang terlihat dalam grafik, respons kedua lebih efektif daripada respons pertama jika dipandang dari segi produksi antibodi. Dalam hal vaksinasi, respons sekunder yang efektif adalah respons yang melindungi terhadap infeksi jika terjadi paparan terhadap patogen hidup.
    Grafik yang sama juga pernah dimuat oleh situs Elinotes.com pada 28 Januari 2020 dalam artikelnya yang berjudul “Pengertian Sel Memory pada Mahluk Hidup”. Gambar tersebut diberi keterangan sebagai diagram cara kerja sel memori membentuk antibodi kekebalan tubuh.
    Tempo kemudian menghubungi dokter spesialis patologi klinis Tonang Dwi Ardyanto. Dia membenarkan pola pembentukan antibodi yang telihat dalam grafik tersebut. Namun, menurut Tonang, tidak bisa dimaknai bahwa turunnya antibodi pada semua orang harus di hari ke-28 usai vaksinasi dosis pertama seperti yang terlihat dalam grafik itu.
    Tonang membuat grafik serupa, dan menyebutnya sebagai ilustrasi respons pembentukan antibodi dalam hal vaksinasi. Dia menjelaskan, setelah suntikan pertama, tubuh melakukanprimingatau pengenalan. Kemudian, terbentuk sel plasma dan sel B-memori dengan cepat. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi.
    Tapi, karena baru dalam tahap pengenalan, sel plasma yang terbentuk ini bekerja hanya dalam waktu yang singkat. “Maka, setelah sekitar hari ke-7 mulai ada sel plasma, kemudian hari ke-10 sampai ke-12 mulai ada antibodi, antibodi akan turun. Saat antibodi sudah turun, hampir habis, itulah saat yang tepat disuntikkan dosis kedua,” kata Tonang pada 22 Maret 2021.
    Bila penyuntikan dosis kedua dilakukan saat antibodi masih relatif tinggi, vaksin justru akan "ditangkap" oleh antibodi Covid-19 tersebut. Akibatnya, dosis kedua ini bakal berkurang efektivitasnya. “Bila antibodi sudah menurun, ketika disuntikkan dosis kedua, sebagian tertangkap antibodi, tapi sebagian besar tetap berefek. Maka, segera diikuti terbentuknya antibodi secara cepat dalam jumlah besar,” katanya.
    Tonang mengingatkan bahwa, sebelum dan setelah menerima suntikan vaksin, seseorang tetap berisiko terkena Covid-19, apalagi sebelum tercapainya titer antibodi yang optimal. Ia pun menganjurkan penerima vaksin Covid-19 untuk tetap menerapkan protokol kesehatan.
    Dilansir dari Kompas.com, juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyebut antibodi atau imunogenitas tubuh terhadap virus Corona tak langsung terbentuk sesaat setelah vaksinasi Covid-19. Vaksin Covid-19 Sinovac misalnya, baru membentuk antibodi yang optimal dalam 28 hari pasca penyuntikan dosis kedua.
    Nadia menjelaskan, sekitar 14 hari pasca vaksinasi dengan vaksin  Sinovac dosis pertama, antibodi tubuh yang terbentuk terhadap virus Corona mencapai 60 persen. Sementara, sekitar 28 hari pasca vaksinasi dosis kedua, pembentukan antibodi bisa mencapai 95-99 persen. Oleh karenanya, Nadia menegaskan bahwa vaksinasi dosis kedua penting dilakukan.
    Menurut Nadia, meskipun sudah mengikuti vaksinasi Covid-19, seseorang tetap bisa terserang virus Corona. Namun, keberadaan vaksin akan membuat tubuh orang tersebut menjadi lebih kuat menahan rasa sakit. Meskipun begitu, Nadia mengingatkan agar masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan 3M sembari. Protokol yang dimaksud berupa memakai masker, rajin mencuci tangan, dan menerapkan jaga jarak.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa grafik di atas adalah grafik antibodi usai vaksinasi Covid-19 dosis pertama yang mendekati nol pada hari ke-28, menyesatkan. Grafik itu bukanlah grafik yang secara khusus menunjukkan tingkat antibodi setelah vaksinasi Covid-19. Menurut dokter spesialis patologi klinis Tonang Dwi Ardyanto, pola respos pembentukan antibodi dalam hal vaksinasi memang seperti yang terlihat dalam grafik tersebut. Namun, tidak bisa dimaknai bahwa turunnya antibodi pada semua orang harus di hari ke-28 seperti yang terlihat dalam grafik itu.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan