• (GFD-2021-8563) Keliru, Inggris Nyatakan Covid-19 Penyakit Menular Biasa karena Konspirasi dan Bisa Diobati Parasetamol

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/03/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berisi klaim bahwa pemerintah Inggris mengubah klasifikasi Covid-19 dari penyakit menular parah menjadi penyakit menular biasa beredar di grup-grup percakapan Whatsapp sejak Minggu, 28 Maret 2021. Klaim itu dilengkapi dengan artikel dari situs resmi pemerintah Inggris terkait Covid-19.
    Menurut pesan tersebut, pemerintah Inggris menyatakan bahwa virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, adalah virus yang umum. Virus itu, menurut pesan ini, bisa dilawan dengan parasetamol. Pesan tersebut pun mengklaim bahwa perubahan itu dilakukan oleh pemerintah Inggris karena Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) secara resmi terlibat dalam konspirasi.
    "Organisasi Kesehatan Dunia mencapai kesimpulan akhir bahwa pembawa virus Covid-19 dianggap orang yang tidak menular kepada orang lain, kecuali dalam kasus gejala, yang terpenting adalah suhu! Oleh karena itu, tidak disarankan untuk memeriksa yang tidak terinfeksi atau menyimpannya untuk karantina," demikian narasi dalam pesan tersebut.
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di WhatsApp yang berisi klaim keliru terkait pemerintah Inggris dan Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, pemerintah Inggris memang mengeluarkan Covid-19 dari daftar penyakit menular dengan konsekuensi tinggi atauhigh consequence infectious diseases(HCID). Meskipun begitu, pandemi Covid-19 tetap dinyatakan sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang serius dan tidak bisa disembuhkan dengan parasetamol.
    Dalam artikel di situs resmi pemerintah Inggris yang tautannya tercantum dalam pesan berantai itu menjelaskan, awalnya, Covid-19 ditetapkan sebagai HCID pada Januari 2020. Penetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, saat itu, dalam tahap awal pandemi, informasi mengenai virus dan penyakit tersebut belum tersedia secara mencukupi.
    Di Inggris, HCID ditetapkan dengan sejumlah kriteria, yakni penyakit infeksi akut dengan tingkat fatalitas (keparahan) kasus yang tinggi, tidak memiliki pengobatan yang efektif, dan seringkali sulit untuk dikenali serta dideteksi dengan cepat. Kriteria lain adalah kemampuan untuk menyebar di komunitas dan, dalam pengaturan perawatan kesehatan, memerlukan respons individu, populasi, serta sistem yang mesti ditingkatkan untuk memastikan penyakit tersebut dikelola secara efektif, efisien, dan aman.
    Beberapa penyakit yang termasuk HCID dengan tingkat kematian yang sangat tinggi antara lain virus Ebola, Middle East Respiratory Syndrom (MERS), dan Severe Acute Respiratory Syndrome ( SARS ).
    Kebijakan pemerintah Inggris terkait Covid-19 diubah dengan mengeluarkannya dari daftar HCID pada 19 Maret 2020. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa lebih banyak hal yang telah diketahui tentang Covid-19. Badan kesehatan masyarakat di Inggris telah menemukan lebih banyak informasi yang tersedia tentang angka kematian, serta terdapat kesadaran klinis yang lebih besar dan tes laboratorium yang spesifik dan sensitif, yang ketersediaannya terus meningkat.
    Dalam artikel di situs resmi pemerintah Inggris tersebut, tidak terdapat penjelasan bahwa pencabutan Covid-19 dari daftar HCID dilakukan karena bisa dilawan dengan paracetamol. Tidak disebutkan pula bahwa WHO telah mengambil kesimpulan di mana pembawa virus Covid-19 dianggap sebagai orang yang tidak menularkan penyakti tersebut kepada orang lain.
    Dikutip dari BuzzFeed, Brendan Wren, profesor dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, menjelaskan virus Corona memang sangat mudah menular antar manusia, seperti yang ditunjukkan oleh kecepatan pandemi. Akan tetapi, Covid-19 bukanlah patogen paling mematikan.
    Menurut Wren, hanya 1 persen dari orang yang terkena Covid-19 meninggal karena infeksi tersebut. Angka ini lebih rendah dibandingkan tingkat kematian SARS sebesar 11 persen dan virus Ebola sebesar 50 persen. Karena itu, status Covid-19 diturunkan untuk tujuan penelitian ilmiah.
    Namun, Wren melanjutkan, "Penurunan tersebut tidak mengurangi keseriusan infeksi Covid-19." Dia mengatakan mudahnya penyebaran virus ini menandakan bahwa Covid-19 telah menginfeksi dan membunuh lebih banyak orang daripada SARS dan Ebola.
    Juru bicara pemerintah Inggris juga menjelaskan kepada BuzzFeed, “HCID adalah klasifikasi teknis tanpa implikasi terkini tentang bagaimana pemerintah menanggapi wabah virus Corona."
    Mereka melanjutkan, “Kami selalu mengatakan bahwa kami akan mengambil tindakan yang tepat pada waktu yang tepat, berdasarkan bukti ilmiah terbaru, untuk memperlambat penyebaran virus, melindungi orang yang rentan, mengurangi permintaan pada Layanan Kesehatan Nasional (NHS) kami dan menyelamatkan nyawa.”
    Inggris menjadi salah satu negara dengan kematian akibat Covid-19 tertinggi di dunia. Berdasarkan data Worldometer hingga 29 Maret 2021, kasus Covid-19 di sana telah mencapai 4.333.042 orang dengan kematian 126.592 orang. Jumlah ini menempatkan Inggris di posisi ke-6 sebagai negara dengan kasus Covid-19 terbanyak setelah Amerika Serikat, Brasil, India, Prancis, dan Rusia.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pemerintah Inggris mengubah klasifikasi Covid-19 dari penyakit menular parah menjadi penyakit menular biasa karena hanya konspirasi dan bisa disembuhkan dengan parasetamol, keliru. Pemerintah Inggris memang mengeluarkan Covid-19 dari daftar penyakit menular dengan konsekuensi tinggi atauhigh consequence infectious diseases(HCID). Namun, kebijakan itu diambil karena telah semakin banyak informasi yang tersedia terkait Covid-19. Meskipun begitu, perubahan klasifikasi ini tidak memengaruhi keseriusan infeksi Covid-19.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8562) Keliru, Kebiasaan Minum Air Es Sebabkan Penyakit Jantung

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/03/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berjudul "Musuh Jantung adalah Air Es" beredar di Facebook dalam beberapa hari terakhir. Pesan ini berisi klaim bahwa kebiasaan minum air es menyebabkan penyakit jantung. "Jantung pantangannya adalah semua makanan dan minuman yang bersifat dingin. Jangan minum air es," demikian narasi di awal pesan itu.
    Menurut pesan berantai tersebut, informasi bahwa mengkonsumsi minuman dan makanan dingin dapat menyebabkan penyakit jantung ini berasal dari para dokter yang ahli di bidang penyakit jantung di berbagai belahan dunia. "Air dingin bisa membeku atau menggumpalkan minyak atau lemak makanan yang baru ditelan, bahkan bisa menyebabkan pencernaan dalam lambung menjadi lamban."
    Begitu gumpalan tersebut bertemu asam lambung, ia akan terurai dengan cepat dan diserap oleh usus, lalu menempel di dinding usus. Tak lama kemudian, gumpalan ini berubah menjadi lemak. "Jika terus-menerus seperti ini, lama-kelamaan akan menyebabkan penyakit, bahkan tumor atau kanker," demikian narasi dalam pesan itu yang dibagikan oleh akun ini pada 27 Maret 2021.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri informasi dan pemberitaan terkait yang pernah dimuat oleh sumber-sumber kredibel. Hasilnya, ditemukan bahwa pesan ini setidaknya telah beredar di Indonesia sejak Februari 2019. Ketika itu, situs kesehatan Klik Dokter telah menyatakan bahwa klaim dalam pesan tersebut hoaks.
    Menurut laporan Klik Dokter pada 15 Februari 2019, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Yoga Yuniadi, mengatakan bahwa suhu air sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegagalan organ jantung. Dia mengatakan semua jenis makanan, mulai dari es hingga makanan yang baru matang sekali pun (bersuhu panas), akan mengalami penyesuaian suhu ketika memasuki saluran pencernaan.
    Yoga pun menjelaskan timbulnya penyakit jantung bukan karena suhu air atau makanan yang dingin atau panas, melainkan kandungan zat di dalamnya. Misalnya, jika makanan yang dikonsumsi tinggi kolesterol dan lemak, baik dalam suhu panas ataupun dingin, akan tetap berpotensi meningkatkan risiko penyakit jantung.
    Dikutip dari artikel Kompas.com pada 22 Agustus 2019, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Tuko Srimulyo, mengatakan isi pesan berantai tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut dia, air dingin hanya berbahaya bagi penderita penyakit jantung koroner tidak stabil.
    "Dingin, udara maupun makanan dan minuman, hanya tidak baik bagi pasien penyakit jantung koroner tidak stabil. PJ koroner yang stabil tidak mengapa minum dingin. Pergi ke Swiss pun tidak masalah," kata Tuko. Jenis penyakit jantung memang beragam, mulai dari PJ katup, PJ hipertensi, PJ tiroid, PJ paru, PJ bawaan, hingga PJ koroner.
    Terkait klaim bahwa minum air dingin bisa menyebabkan lemak dalam tubuh menggumpal, menurut Tiko, hanya mitos. "Penggumpalan lemak dalam pembuluh darah, atau bahkan di dalam jantung akibat minum dingin, hanyalah mitos," ujar dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret ini.
    Meskipun begitu, menurut Tuko, minum air dingin bisa menyulitkan proses pencernaan lemak. "Tapi sebatas di lambung dan saluran pencernaan, sehingga pasien terasa kembung, begah, sensasi sesak yang timbul akibat penumpukan gas di lambung," katanya.
    Dilansir dari Australian Associated Press (AAP), pesan berantai itu sebenarnya telah beredar di internet sejak 2006. Yutang Wang, dokter spesialis penyakit kardiovaskular, menyatakan bahwa tidak ada penelitian ilmiah yang mendukung klaim bahwa minum air dingin akan menyumbat pembuluh darah jantung, dan menyebabkan serangan jantung.
    "Penyebab utama serangan jantung adalah penumpukan plak (aterosklerosis) di arteri. Ketika plak yang lepas tersangkut di arteri dan menghalangi suplai darah ke jantung, serangan jantung terjadi," ujar dosen ilmu alam di Federation University Australia ini.
    The Heart Foundation juga mengatakan bahwa tidak ditemukan bukti substantif yang menunjukkan bahwa minum air dingin dapat menyebabkan serangan jantung. Terkait klaim bahwa minum air dingin menyebabkan kanker, Clare Hughes, ketua komite aktivitas fisik dan nutrisi Cancer Council Australia pun mengatakan tidak ada bukti bahwa minum air dingin meningkatkan risiko kanker, termasuk kanker perut dan usus.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa kebiasaan minum air es menyebabkan penyakit jantung, keliru. Klaim tersebut telah dibantah oleh para ahli. Sejauh ini, tidak ada bukti yang mendukung klaim bahwa minum air dingin akan menyumbat pembuluh darah jantung, dan menyebabkan serangan jantung. Menurut dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Tuko Srimulyo, air dingin hanya berbahaya bagi penderita penyakit jantung koroner tidak stabil.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8561) Keliru, 5 Bulan usai Vaksinasi Covid-19 Dilarang Konsumsi Alkohol dan Tape

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 26/03/2021

    Berita


    Klaim yang menyebut bahwa 5 bulan setelah vaksinasi Covid-19 tidak boleh mengkonsumsi tape dan alkohol beredar di Facebook. Menurut klaim itu, konsumsi tape dan alkohol setelah menerima vaksin Covid-19 dilarang karena fungsi vaksin bakal hilang total.
    “Info setelah vaksin Covid-19 2021 buat yg ikutan Vaksin.. Gak boleh makan TAPE SINGKONG. Oh iya, selama 5 bulan tak oleh minum yg mengandung alkohol. Termasuk tape. Ini sangat penting. Krena fungsi vaksin akan hilang total jikalau kita konsumsi alkohol," demikian bunyi klaim yang beredar.
    Akun ini membagikan klaim tersebut pada 25 Maret 2021. Klaim itu beredar di tengah program vaksinasi Covid-19 di Indonesia yang telah berjalan sejak 13 Januari 2021 lalu.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru soal hubungan antara vaksin Covid-19 dan konsumsi tape serta alkohol.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, klaim bahwa 5 bulan setelah vaksinasi Covid-19 tidak boleh mengkonsumsi alkohol dan tape tersebut tidak didukung dengan bukti ilmiah. Sejauh ini, alkohol dan tape tidak mempengaruhi fungsi vaksin dalam melindungi seseorang dari infeksi Covid-19.
    Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI), Hindra Irawan Satari, menjelaskan klaim itu tidak benar. “Konsumsi alkohol tidak mempengaruhi fungsi vaksin, jadi tidak perlu memberi kabar ini kepada orang lain karena menyesatkan,” katanya saat dihubungi pada 26 Maret 2021. Menurut Hindra, seseorang yang telah menjalani  vaksinasi bisa minum dan makan sesuai dengan selera dan kebutuhannya.
    Penjelasan yang sama juga diberikan oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi. Menurut Siti, vaksin tidak berhubungan dengan alkohol. “Tidak benar, tidak ada data ilmiahnya,” katanya pada 26 Maret 2021.
    Meskipun begitu, seperti dilansir dari situs kesehatan Health Line, Christopher Thompson, profesor imunologi dan mikrobiologi dari Departemen Biologi Universitas Loyola Maryland, memperingatkan bahwa penggunaan alkohol yang berlebihan harus dihindari saat vaksinasi.
    Walaupun belum ada data spesifik soal hubungan antara alkohol dan vaksin Covid-19, menurut sebagian besar data yang tersedia, alkohol bisa mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Dengan demikian, seseorang harus menghindari minum alkohol yang berlebihan setidaknya seminggu sebelum menerima dosis pertama vaksin dan satu bulan setelah mendapatkan dosis kedua vaksin.
    "Terutama karena konsumsi alkohol yang berlebihan membuat sistem kekebalan tubuh tidak bekerja sebagaimana mestinya," kata Thompson. "Kami melihat disregulasi fungsional dari banyak sel kekebalan, juga melihat peningkatan peradangan dan molekul proinflamasi di seluruh tubuh," tuturnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa 5 bulan setelah vaksinasi Covid-19 tidak boleh mengkonsumsi  alkohol dan tape, keliru. Mengkonsumsi alkohol dan tape tidak mempengaruhi manfaat vaksin Covid-19. Meskipun begitu, peneliti juga mengingatkan bahwa mengkonsumsi alkohol yang berlebihan dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8560) Keliru, Video yang Sebut All England 2021 Dihentikan di Tengah Jalan

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 26/03/2021

    Berita


    Video yang berisi klaim bahwa turnamen bulu tangkis All England 2021 dihentikan di tengah jalan beredar di YouTube. Menurut klaim dalam video itu, All England dihentikan karena sikap diskriminatif yang dialami oleh Tim Nasional Bulu Tangkis Indonesia.
    Video tersebut diunggah oleh kanal ini pada 19 Maret 2021. Video itu diberi judul "Karma Berlaku!! All England 2021 Akhirnya Dihentikan di Tengah Jalan Jika Terbukti Diskriminatif/Tidak?". Hingga artikel ini dimuat, video itu telah ditonton lebih dari 1 juta kali.
    Gambar tangkapan layar video yang beredar di YouTube yang berisi klaim keliru soal All England 2021.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menonton video itu secara menyeluruh. Namun, dalam video itu, tidak ditemukan informasi bahwa All England 2021 dihentikan di tengah jalan. Video ini hanya berisi opini bahwa All England seharusnya dihentikan jika terbukti diskriminatif terhadap Tim Bulu Tangkis Indonesia.
    Berikut narasi lengkap yang dibacakan dalam video itu:
    "Seperti yang telah kita ketahui bersama jika Timnas Indonesia diperlakukan dengan tidak adil dalam ajang bergengsi Yonex All England Badminton Championships 2021. Namun, kalian tidak perlu khawatir gaes, pasalnya hukum karma pasti berlaku. Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih memberikan komentarnya terkait insiden Tim Indonesia di All England. Menurut beliau, seluruh kontingen bulu tangkis Indonesia sudah dipastikan bebas dari Covid-19 berdasarkan hasil tes PCR yang disyaratkan panitia begitu tim tiba di Birmingham. Bahkan, tambah Fikri, tim Indonesia juga sudah mengikuti pertandingan sejak Rabu, 17 Maret 2021. Menurut dia, hal tersebut menimbulkan penilaian di publik bahwa alasan panitia mendepak Indonesia dari All England sangat tidak logis. Kepada media, Abdul Fikri Faqih mengatakan jika, "Dari kronologi kejadian, kita dapat melihat dengan jelas. Sebenarnya, alasan panitia mendepak Indonesia dari kejuaraan All England sangat tidak logis, karena seluruh tim Indonesia terbukti bebas Covid-19," kata Fikri seperti yang dikutip dari Kompas.com, 19 Maret 2021. "Padahal kalau mau adil, seluruh ajang All England sudah terpapar. Hal ini karena sudah tampilnya Tim Indonesia yang mestinya dikarantina. Seluruh rakyat Indonesia pastinya kecewa dengan perlakuan panitia All England dan otoritas Inggris. Ini harus disampaikan ke dunia agar tidak terulang lagi di kemudian hari," ucap Abdul Fikri Faqih seperti dikutip dari Tribunnews.com pada 19 Maret 2021. Alasan di atas, menurut dia, menimbulkan pula dugaan diskriminatif karena hanya Tim Indonesia yang didepak dari kejuaraan. Ini artinya, bukan tidak mungkin jika Al England 2021 ditiadakan jika pihak-pihak tersebut memang terbukti diskriminatif terhadap Tim Indonesia. Tergantung juga keputusan BWF sendiri. So, kita tunggu saja kejutan apa yang akan terjadi di depan."
    Tempo kemudian menelusuri pemberitaan terkait gelaran All England 2021. Lewat cara ini, ditemukan informasi bahwa, meski Tim Bulu Tangkis Indonesia diminta mundur dari All England 2021, turnamen tersebut masih berlangsung hingga babak final terselesaikan. Tim Bulu Tangkis Jepang memborong empat dari lima gelar yang diperebutkan dalam ajang tersebut. Satu gelar lainnya menjadi milik Tim Malaysia.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Jepang sebenarnya sudah mengamankan tiga gelar juara sebelum laga final All England dimulai di Utilita Arena, Birmingham, pada 21 Maret 2021, di mana All Japan Finals tersaji dari sektor ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran.
    Rangkaian laga final All England 2021 dibuka dengan laga sesama ganda putra, Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe melawan Takeshi Kamura/Keigo Sonoda. Endo/Watanabe mempertahankan gelar juaranya setelah menang dengan skor 21-15, 17-21, 21-11, demikian catatan resmi BWF.
    Selanjutnya, pada duel di sektor ganda putri, unggulan pertama sekaligus juara bertahan Yuki Fukushima/Sayaka Hirota berjumpa unggulan kedua Mayu Matsumoto/Wakana Nagahara. Dalam pertandingan antara unggulan teratas ganda putri itu, Mayu Matsumoto/Wakana Nagahara berhasil merebut gelar juara setelah menang 21-18, 21-16.
    Di partai selanjutnya, pemain tunggal putri Jepang unggulan kedua Nozomi Okuhara menang atas wakil Thailand, Pornpawee Chochuwong. Pada pertandingan berikutnya, di sektor tunggal putra, pemain Malaysia Lee zii Jia yang menjadi unggulan keenam berhasil menaklukkan juara bertahan Viktor Axelsen dalam duel yang berlangsung sengit.
    All Japan Finals kembali berlanjut di partai penutup ketika Yuta Watanabe/Arisa Higashino menumbangkan Yuki Kaneko/ Misaki Matsutomo. Dengan hasil tersebut, Yuta Watanabe pun meraih dua gelar juara dalam ajang All England 2021.
    Kanal YouTube resmi Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), BWF TV, pun menayangkan seluruh hasil laga final ajang All England 2021 itu. Satu di antaranya adalah laga final ganda campuran yang mempertemukan sesama Tim Jepang, Watanabe/Higashino melawan Kaneko/Matsutomo, yang diunggah pada 22 Maret 2021 dengan judul "An all Japanese mixed doubles final where Watanabe/Higashino contest unseeded pair Kaneko/Matsutomo".
    Tim Bulu Tangkis Indonesia sendiri harus mundur dari All England 2021, walaupun sudah ada tiga wakil Indonesia yang bertanding dan lolos ke babak kedua. Berdasarkan arsip berita Tempo, Tim Indonesia diharuskan mundur dari turnamen BWF World Tour level Super 1000 itu setelah 20 dari 24 anggota menerima surat elektronik dari otoritas kesehatan Inggris (NHS) yang mengabarkan bahwa salah satu penumpang dalam pesawat yang mereka tumpangi dari Istanbul ke Birmingham dinyatakan positif Covid-19.
    Mereka diwajibkan menjalani isolasi mandiri di hotel selama 10 hari terhitung mulai 13-23 Maret. Skuad Merah Putih sebelumnya sudah menjalani tes Covid-19 setiba di Birmingham pada 13 Maret dan seluruhnya mendapati hasil negatif. Namun, sesuai dengan regulasi pemerintah Inggris tentang penelusuran kontak erat positif Covid-19, perjuangan timnas Indonesia harus berhenti di tengah jalan.
    BWF pun dinilai gagal menyelenggarakan kompetisi karena tidak dapat mengantisipasi kejadian tak terduga seperti yang harus dialami Tim Indonesia. Presiden BWF Poul-Erik Hoyer Larsen telah meminta maaf kepada masyarakat perihal insiden mundurnya Tim Indonesia dari ajang All England 2021. Permintaan maaf itu disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali.
    "Saya dengan tulus meminta maaf atas kesulitan dan kekecewaan yang ditimbulkan kepada para pemain dan tim Indonesia. Atas nama seluruh keluarga BWF, saya mohon maaf kepada Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Luar Negeri, Duta Besar untuk Inggris Raya, pejabat pemerintah, presiden PBSI dan rakyat Indonesia, serta khususnya komunitas dan basis penggemar bulutangkis Indonesia yang lebih luas," tulis Poul-Erik.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video yang berisi klaim bahwa All England 2021 dihentikan di tengah jalan itu keliru. Dalam video itu, tidak ditemukan informasi bahwa All England 2021 dihentikan di tengah jalan. Video ini hanya berisi opini bahwa All England seharusnya dihentikan jika terbukti diskriminatif terhadap Tim Bulu Tangkis Indonesia. Tim Indonesia memang diharuskan mundur dari turnamen tersebut setelah 20 dari 24 anggota menerima surat elektronik dari otoritas kesehatan Inggris (NHS) yang mengabarkan bahwa salah satu penumpang dalam pesawat yang mereka tumpangi dari Istanbul ke Birmingham dinyatakan positif Covid-19. Namun, All England 2021 tetap berjalan hingga seluruh laga final selesai.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan