• (GFD-2020-8357) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Produk Prancis yang Dibuang oleh Negara-negara Timur Tengah?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 03/11/2020

    Berita


    Video pendek yang diklaim sebagai video produk Prancis yang dibuang oleh negara-negara Timur Tengah beredar di Facebook sejak akhir Oktober 2020 lalu. Video ini menyebar di tengah munculnya berbagai seruan boikot produk Prancis sebagai respons atas pernyataan Presiden Emmanuel Macron terkait Islam.
    Dalam video itu, terlihat sejumlah truk kontainer yang terparkir di gurun pasir, dan beberapa orang tampak membuang barang-barang yang terdapat dalam truk tersebut.
    Salah satu akun yang membagikan video beserta klaim itu adalah akun Apriel, tepatnya pada 30 Oktober 2020. Akun ini menulis, "Produk prancis Timur Tengah semua di Buang. Harta Melebihi Kecintaanya Kepada Rasulullah. Akibat pelecehanya Semua Produk² Prancis tidak Hanya di Kosongkan di Semua Supermarket tpi dibuang."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Apriel.
    Akun lain, Jastip Rezky Samboja, juga membagikan video yang sama, namun disematkan dalam gambar tangkapan layar berita dari Kompas.com yang berjudul “Perancis Desak Timur Tengah Hentikan Boikot Produknya di Tengah Kisruh Kartun Nabi Muhammad”.
    Apa benar video tersebut menunjukkan saat negara-negara Timur Tengah membuang produk Perancis?

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tim CekFakta Tempo menunjukkan video di atas tidak terkait dengan pemboikotan produk-produk asal Prancis oleh negara-negara Timur Tengah. Kompas.com juga tidak memuat video itu dalam beritanya yang berjudul “Perancis Desak Timur Tengah Hentikan Boikot Produknya di Tengah Kisruh Kartun Nabi Muhammad”. Video tersebut adalah video lama yang telah beredar sejak 2016, yang terkait dengan kebijakan pemerintah distrik Al Qasim, Arab Saudi, untuk memusnahkan ayam kemasan kedaluwarsa.
    Untuk mendapatkan fakta tersebut, Tempo mula-mula menelusuri berita Kompas.com yang berjudul "Perancis Desak Timur Tengah Hentikan Boikot Produknya di Tengah Kisruh Kartun Nabi Muhammad". Namun, berita yang terbit pada 26 Oktober 2020 tersebut tidak memuat video itu, melainkan foto Presiden Emmanuel Macron yang bersumber dari kantor berita Prancis Agence France-Presse (AFP).
    Tempo kemudian mencari jejak digital video tersebut, dengan mengambil gambar tangkapan layarnya dan menelusurinya dengan reverse image tool Yandex. Lewat cara ini, ditemukan video yang sama di kanal YouTube How Much yang dipublikasikan pada 7 Januari 2017. Video itu diberi keterangan "Pakistan Destroying Trucks Full of Indian Fake Currency | Modi's Demonetization Impact".
    Selanjutnya, Tempo memasukkan kalimat dalam judul video itu, "Pakistan Destroying Trucks Full of Indian Fake Currency", ke mesin pencari Google untuk menelusuri pemberitaan terkait. Lewat cara ini, ditemukan petunjuk lain dalam artikel di situs media India Times pada 23 Desember 2016. Menurut artikel ini, klaim bahwa video itu adalah video penghancuran mata uang India palsu yang diangkut oleh sejumlah kontainer juga tidak benar.
    Ketika itu, video tersebut memang banyak dibagikan di India lewat WhatsApp dengan klaim yang keliru tersebut, setelah pemerintah India mengumumkan demonetisasi semua uang kertas 500 dan 1.000 rupee dari seri Mahatma Gandhi pada 8 November 2016. Sebagai gantinya, pemerintah menerbitkan uang kertas 500 dan 2.000 rupee. Langkah ini diambil dalam rangka mengurangi peredaran uang tunai ilegal dan palsu yang kerap dipakai untuk mendanai kegiatan ilegal seperti terorisme.
    India Times menjelaskan bahwa video itu adalah video pembongkaran isi truk yang membawa ayam kemasan yang telah kedaluwarsa di luar Kota Mekkah, Arab Saudi. Dengan demikian, video tersebut tidak ada kaitannya dengan mata uang India palsu maupun pembuangan produk-produk asal Prancis.
    Tempo pun menelusuri pemberitaan terkait ayam kemasan kedaluwarsa di Arab Saudi pada 2016. Peristiwa ini pernah diberitakan oleh situs milik stasiun televisi berita Uni Emirat Arab, Al Arabiya, pada 17 November 2016. Situs ini menyertakan foto dan video dari YouTube yang sama dengan yang saat ini beredar.
    Menurut laporan Al Arabiya, video tersebut adalah video yang terkait dengan kebijakan pemerintah distrik Al Qasim, Arab Saudi, untuk memusnahkan sekitar 80 ribu ayam kemasan kedaluwarsa. Puluhan ribu ayam kemasan itu disita dari sekitar 25 truk kontainer berpendingin yang akan didistribusikan di dalam dan di luar distrik.
    Penyitaan itu dilakukan setelah pemerintah setempat menggerebek pusat distribusi ayam busuk di pinggiran kota Buraidah. Sebanyak 25 truk kontainer yang berisi ayam kedaluwarsa itu diminta parkir di sebuah padang pasir, dan terlihat para pekerja menurunkan muatan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video produk Prancis yang dibuang oleh negara-negara Timur Tengah keliru. Video tersebut telah beredar sejak 2016, jauh sebelum munculnya berbagai seruan boikot produk Prancis sebagai respons atas pernyataan Presiden Emmanuel Macron terkait Islam. Video itu memperlihatkan pemusnahan sekitar 80 ribu ayam kemasan kedaluwarsa di distrik Al Qasim, Arab Saudi. Gambar tangkapan layar berita Kompas.com yang terlihat memuat video ini pun merupakan hasil suntingan.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8356) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video saat Polisi Prancis Serang Muslim di Turki ketika Salat?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/11/2020

    Berita


    Video yang diklaim sebagai video saat polisi Prancis menyerang muslim yang sedang salat di sebuah jalan di Yuksekova, Turki, beredar di Twitter. Video ini menyebar di tengah munculnya berbagai kecaman terhadap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait pernyataannya soal Islam sebagai tanggapan atas pemenggalan terhadap seorang guru Prancis yang bernama Samuel Paty.
    Dalam video itu, terlihat momen ketika dua tank meriam air membubarkan puluhan orang yang sedang duduk beralaskan kardus dan plastik di tengah sebuah jalan. Terdengar pula suara tembakan beberapa kali, yang disertai dengan kepulan asap. Selain itu, tampak mobil polisi di mana teksnya tertulis dalam bahasa Turki, "Polis".
    Salah satu akun yang membagikan video beserta klaim itu adalah akun asal India, @PiyushTweets1, tepatnya pada 28 Oktober 2020. Akun ini menulis, "French police attacked muslims praying on the streets of Yüksekova! When India is going to come out with secularism band & when will we start similar practice in India!”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @PiyushTweets1.
    Apa benar video tersebut adalah video saat polisi Prancis menyerang muslim yang sedang salat di jalan Yuksekova, Turki?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVid. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya dengan reverse image tool Yandex dan Google.
    Hasilnya, ditemukan bahwa video tersebut memang memperlihatkan peristiwa di Turki, namun terjadi pada 2012, jauh sebelum munculnya berbagai kecaman terhadap Macron terkait pernyataannya soal Islam sebagai tanggapan atas pemenggalan terhadap Samuel Paty. Polisi yang membubarkan massa dengan tank dalam video itu pun bukan polisi Prancis, melainkan polisi Turki.
    Video yang sama pernah diunggah oleh akun Twitter @SaccoVanzetti3 pada 22 Mei 2020. Dalam cuitannya, akun ini menulis, “Mereka mengatakan bahwa seekor hewan pun tidak akan lewat di depan mereka yang berdoa, seperti yang terlihat di video ini. Selama sujud, biarkan hewan itu lewat di depan Anda, panzer mungkin akan melindas Anda. Jumat sipil. Hakkari 2012.”
    Di YouTube, video tersebut juga pernah diunggah oleh kanal Yuksekova Haber Portali pada 9 November 2012 dengan judul "Salat Jumat Sipil dengan bom gas - Yuksekova - Gever". Dalam keterangannya, tertulis bahwa video itu memperlihatkan peristiwa yang terjadi saat "salat Jumat sipil" di Distrik Yuksekova, Hakkari, Turki.
    Berbekal petunjuk waktu, lokasi, dan sebutan dari peristiwa tersebut, Tempo menelusuri pemberitaan terkait di berbagai media. Dilansir dari situs media Turki InternetHaber, pada 9 November 2012, memang terjadi aksi protes "Jumat Sipil" di Distrik Yuksekova, Provinsi Hakkari, Turki.
    Di tengah demonstrasi, polisi setempat mengintervensi sekelompok mahasiswa yang menutup jalan dengan melakukan aksi duduk untuk mendukung aksi mogok makan yang berlangsung di sebuah penjara di Yuksekova. Terjadi pula penembakan gas air mata dan air di tempat pelaksanaan salat "Jumat Sipil".
    Menurut laporan kantor berita Jerman Deutsche Welle pada 18 November 2012, lebih dari 700 tahanan Kurdi di penjara Turki melakukan aksi mogok makan selama 68 hari. Mereka menuntut pemerintah Turki memberikan perawatan yang lebih baik kepada pemimpin Partai Pekerja Kurdistan (PKK), Abdullah Ocalan, selama di penjara.
    Para tahanan berhenti mogok makan setelah Ocalan mengatakan bahwa tujuan protes mereka telah tercapai. "Atas dasar seruan pemimpin kami, kami mengakhiri protes kami pada 18 November 2012," ujar Deniz Kaya, juru bicara militan PKK yang dipenjara, seperti dikutip oleh sebuah organisasi yang mewakili keluarga para tahanan.
    Pemerintah Turki menyambut baik berita tersebut, setelah sebelumnya Perdana Menteri Turki saat itu, Recep Tayyip Erdogan, menyebut demonstrasi tersebut sebagai "pertunjukan". "Turki adalah negara demokratis. Apa pun tuntutan rakyat, pemerintah dan politikus dapat menyuarakannya di parlemen," ujar Wakil Perdana Menteri Turki Bulent Arinc.
    PKK dianggap sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Turki, serta Uni Eropa dan Amerika Serikat. Karena itu, mereka tidak diizinkan mengajukan calon anggota parlemen. Militer Turki dan pejuang PKK sering terlibat dalam konflik di wilayah selatan Turki yang dipadati oleh penduduk dari etnis Kurdi. Lebih dari 40 ribu orang tewas dalam hampir tiga dekade akibat pertempuran ini.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video saat polisi Prancis menyerang muslim yang sedang salat di jalan Yuksekova, Turki, keliru. Peristiwa dalam video itu terjadi pada 2012, jauh sebelum munculnya berbagai kecaman terhadap Presiden Emmanuel Macron terkait pernyataannya soal Islam sebagai tanggapan atas pemenggalan terhadap seorang guru asal Prancis bernama Samuel Paty. Video tersebut memperlihatkan polisi Turki yang sedang membubarkan demonstrasi yang mendukung aksi mogok makan tahanan Kurdi di sebuah penjara di Yuksekova.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8355) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Pembakaran Kantor Kedubes Prancis di Sudan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/11/2020

    Berita


    Video pendek yang diklaim sebagai video pembakaran kantor Kedutaan Besar Prancis di Sudan beredar di media sosial. Video ini menyebar di tengah munculnya berbagai kecaman terhadap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait pernyataannya soal Islam sebagai tanggapan atas pemenggalan terhadap seorang guru Prancis yang bernama Samuel Paty.
    Dalam video itu, terlihat puluhan warga kulit hitam yang berlari ke arah sebuah gedung. Kedatangan mereka ke bangunan tersebut dihadang oleh sejumlah petugas. Kericuhan pun terjadi. Massa melempari gedung tersebut dengan batu. Massa juga membakar sebuah bangunan kecil yang terdapat di halaman gedung itu.
    Salah satu akun di Facebook  membagikan video berdurasi sekitar 2 menit itu pada 27 Oktober 2020. Akun ini kemudian menulis, "Pembakaran kedutaan Perancis di Sudan untuk menolak gambar Nabi yang menghina, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan lebih dari 31 ribu reaksi dan dikomentari sebanyak 91 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook ????????? ????.
    Apa benar video tersebut adalah video pembakaran kantor Kedubes Prancis di Sudan?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, video tersebut bukanlah video pembakaran kantor Kedubes Prancis di Sudan, melainkan video unjuk rasa yang berakhir ricuh di Kedubes Jerman di Khartoum, ibukota Sudan, pada 14 September 2012.
    Untuk memeriksa klaim di atas, Tempo mula-mula memfragmentasi video itu menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Lalu, gambar-gambar tersebut ditelusuri jejak digitalnya dengan reverse image tool Yandex.
    Hasilnya, ditemukan foto yang dipublikasikan oleh situs media Australia, ABC, pada 14 September 2012 yang memperlihatkan seorang demonstran tengah berorasi di depan kobaran api. Momen ini sama dengan yang terlihat dalam video yang beredar, tepatnya pada menit 1:51.
    Gambar tangkapan layar video yang beredar pada menit 1:51 (kiri) dan foto yang diunggah oleh ABC pada 14 September 2012 (kanan).
    ABC menulis bahwa foto tersebut bersumber dari Reuters, dan diberi keterangan “A still image take from video footage shows demonstrators shouting next to the German embassy in Khartoum” atau "Foto yang diambil dari rekaman video yang menunjukkan para demonstran berteriak di sebelah kedutaan Jerman di Khartoum".
    Berbekal informasi ini, Tempo menggunakan kalimat “demonstrators shouting next to the German embassy in Khartoum” sebagai kata kunci pencarian di YouTube. Lewat cara ini, ditemukan video yang dipublikasikan CNN pada 14 September 2012. Cuplikan pada detik ke-8 hingga menit 1:15 video ini sama dengan cuplikan pada awal hingga menit 1:49 video yang beredar.
    Gambar tangkapan layar video yang beredar pada detik ke-2 (kiri) dan video yang diunggah oleh CNN pada detik ke-12 (kanan).
    Sama halnya dengan ABC, CNN memberikan keterangan bahwa, dalam video itu, para pengunjuk rasa mampu menembus pasukan keamanan yang berjaga dan menerobos masuk ke Kedubes Jerman di Khartoum, Sudan.
    Kantor berita Jerman Deutsch Welle melaporkan, pada 14 September 2012, sekitar 5 ribu pengunjuk rasa di ibukota Sudan menyerbu Kedubes Inggris dan Jerman. Mereka marah atas film amatir Amerika Serikat yang berjudul "Innocence of Muslims". Film ini menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang wanita, homoseksual, dan melecehkan anak-anak.
    Serbuan demonstran ini membuat pasukan kepolisian Sudan yang berjaga menggunakan gas air mata untuk menghentikan mereka. Namun, beberapa pengunjuk rasa tetap berhasil melewati gerbang Kedubes Jerman.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video pembakaran Kedubes Prancis di Sudan keliru. Video tersebut adalah video lama pada 14 September 2012, jauh sebelum Presiden Prancis Emmanuel Macron melontarkan pernyataan yang kontroversial soal Islam sebagai tanggapan atas pemenggalan terhadap seorang guru Prancis yang bernama Samuel Paty. Video itu memperlihatkan aksi protes warga Sudan di Kedubes Jerman pada 14 September 2012. Ketika itu, sekitar 5 ribu demonstran berunjuk rasa pasca rilisnya sebuah film amatir yang dianggap menghina Islam.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8354) [Fakta atau Hoaks] Benarkah CDC Sebut Covid-19 Tak Menyebar Lewat Udara sehingga Pakai Masker Tak Berguna?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/11/2020

    Berita


    Klaim bahwa Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyebut virus, dalam hal ini virus Corona penyebab Covid-19, tidak menyebar lewat udara beredar di Facebook. Karena itu, menurut klaim tersebut, CDC menyatakan bahwa pemakaian masker tidak berguna.
    Salah satu akun yang membagikan klaim tersebut adalah akun Facebook Nellie Niloufar Holden, tepatnya pada 18 Oktober 2020. Dalam unggahannya, akun ini menulis, “Here we go again. CDC says virus was never airborne rendering masks worthless.” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 68 reaksi dan dibagikan sebanyak 94 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Nellie Niloufar Holden.
    Apa benar CDC menyebut virus Corona Covid-19 tidak menyebar lewat udara sehingga pemakaian masker tidak berguna?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan kata kunci “CDC says virus was never airborne rendering masks worthless” di mesin pencarian Google. Namun, tidak ditemukan berita di situs media apa pun yang memuat informasi bahwa CDC menyebut virus Corona Covid-19 tidak menyebar lewat udara sehingga pemakaian masker tidak berguna.
    Tempo kemudian menelusuri informasi tentang penyebaran Covid-19 melalui udara di situs resmi CDC. Menurut penjelasan CDC yang diperbarui pada 28 Oktober 2020, Covid-19 paling sering menyebar melalui kontak fisik yang berdekatan, yaitu sekitar 6 kaki atau 1,8 meter. Saat penderita Covid-19 batuk, bersin, bernapas, berbicara, atau bernyanyi, mereka menghasilkan tetesan atau droplet.
    Droplet menyebabkan infeksi saat terhirup atau terpapar pada selaput lendir yang melapisi bagian dalam hidung dan mulut. Ketika terdapat jarak dengan penderita Covid-19, sehingga droplet bergerak lebih jauh, konsentrasi virus dalam droplet lebih rendah. Droplet dengan ukuran besar jatuh dari udara karena gravitasi. Adapun droplet dengan ukuran kecil bisa menyebar di udara.
    Menurut CDC, droplet berukuran kecil dapat bertahan di udara selama beberapa menit hingga jam. Terdapat bukti bahwa, dalam kondisi tertentu, penderita Covid-19 tampaknya telah menginfeksi orang lain yang jaraknya lebih dari 6 kaki. Transmisi ini terjadi di ruang tertutup yang memiliki ventilasi kurang memadai. Terkadang, orang yang terinfeksi mengalami sesak napas, misalnya saat bernyanyi atau berolahraga.
    Dalam keadaan ini, para ilmuwan percaya bahwa jumlah droplet berukuran kecil yang menular, yang diproduksi oleh penderita Covid-19, menjadi cukup terkonsentrasi untuk menyebarkan virus ke orang lain. “Orang-orang yang terinfeksi berada di ruang yang sama dalam waktu yang sama atau tidak lama setelah penderita Covid-19 pergi,” demikian penjelasan CDC.
    Meskipun begitu, CDC menegaskan bahwa data-data yang tersedia hingga saat ini menunjukkan penyebaran virus Corona Covid-19 lewat kontak dekat jauh lebih umum ketimbang lewat transmisi udara. Penjelasan CDC terkait potensi penularan Covid-19 melalui transmisi udara yang lebih detail dapat diakses di tautan ini, yang diperbarui pada 5 Oktober 2020.
    Selain CDC, Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) dalam pernyataannya pada 9 Juli 2020 menyatakan bahwa transmisi virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, melalui udara diakibatkan oleh penyebaran droplet nuclei (aerosol) yang tetap menular saat melayang di udara dan bergerak hingga jarak yang jauh. Namun, belum diketahui berapa banyak jumlah droplet nuclei yang dihembuskan serta dosis SARS-CoV-2 hidup yang diperlukan untuk menyebabkan infeksi pada orang lain.
    Laporan-laporan klinis terbaru, di mana tenaga kesehatan terpapar Covid-19 pada prosedur-prosedur yang menghasilkan aerosol, tidak menemukan transmisi nosokomial atau transmisi yang terjadi di lingkungan rumah sakit jika diterapkan kewaspadaan kontak atau jarak fisik serta mengenakan masker medis sebagai bagian dari alat pelindung diri (APD).
    Di luar fasilitas medis, beberapa laporan kejadian luar biasa (KLB) di ruangan yang padat dan tidak berventilasi cukup mengindikasikan kemungkinan transmisi aerosol, yang disertai transmisi droplet, misalnya dalam latihan paduan suara, di restoran, atau di kelas kebugaran. Dalam hal ini, kemungkinan terjadinya transmisi aerosol tidak dapat dikesampingkan, terutama jika kebersihan tangan tidak dijaga, masker tidak digunakan, dan jaga jarak fisik tidak dilakukan.
    Dalam Journal of American Medical Association (JAMA), CDC meninjau bukti ilmiah terbaru dan menegaskan bahwa masker kain adalah alat yang penting dalam mengurangi penyebaran Covid-19, terutama ketika digunakan secara universal dalam komunitas. Terdapat semakin banyak bukti bahwa masker kain membantu mencegah orang yang mengidap Covid-19 menyebarkan virus ke orang lain.
    Dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan pada 9 Juni 2020, anggota tim komunikasi publik Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro mengatakan, ''Pemakaian masker hanya dapat efektif apabila kita menerapkan protokol kesehatan lainnya dengan aktif, seperti cuci tangan pakai sabun dan jaga jarak fisik.''
    Dikutip dari BBC, Fernandez dan Amy Mueller, insinyur di Universitas Northeastern, meneliti efektivitas berbagai masker buatan sendiri. Menurut penelitian mereka, masker yang paling efektif memiliki banyak lapisan, meskipun sedikit kurang efektif jika dibandingkan dengan N95 dan masker bedah. Namun, menambahkan nilon pada lapisan masker dapat meningkatkan efektivitas, hingga mampu menahan 80 persen partikel.
    Dilansir dari Kompas.com, juru bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan masker scuba dan buff kurang efektif menangkal virus Corona Covid-19. "Masker scuba atau buff adalah masker dengan satu lapisan saja dan terlalu tipis, sehingga kemungkinan untuk tembus lebih besar," ujar Wiku.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa “CDC menyebut virus Corona Covid-19 tidak menyebar lewat udara sehingga pemakaian masker tidak berguna” keliru. CDC menyatakan bahwa salah satu penyebaran virus Corona Covid-19 adalah melalui transmisi udara, meskipun penyebaran lewat kontak dekat jauh lebih umum ketimbang lewat transmisi udara. Transmisi ini bisa terjadi dalam kondisi tertentu, terutama di ruang tertutup yang memiliki ventilasi kurang memadai. CDC juga menyatakan pemakaian masker kain penting dalam mengurangi penyebaran Covid-19, terutama ketika digunakan secara massal dalam komunitas.
    SITI AISAH
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan