• (GFD-2021-8520) Keliru, Artikel Berjudul Warga AS Ingin Dipimpin Jokowi karena Kecewa dengan Biden

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/03/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah artikel yang berjudul "Kecewa Dengan Biden, Warga Amerika Ingin Dipimpin Oleh Jokowi" beredar di media sosial. Artikel yang diklaim dimuat pada 29 Februari 2021 pukul 12.00 WIB itu dilengkapi dengan dua foto, yakni foto Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi dan foto Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
    Di Facebook, gambar tangkapan layar artikel tersebut dibagikan salah satunya oleh akun ini pada 28 Februari 2021. Akun itu pun menulis, "Karomah sang pemimpin besar Nusantara. Gas Jokowi jadi presiden Amerika periode 2069-3021 #amin." Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 14 reaksi dan 4 komentar.
    Unggahan di Facebook yang berisi gambar tangkapan layar sebuah artikel berita tentang Presiden AS Joe Biden yang merupakan hasil suntingan.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri berita dengan judul "Kecewa Dengan Biden, Warga Amerika Ingin Dipimpin Oleh Jokowi" di mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan berita dengan judul tersebut yang pernah dimuat oleh situs-situs media.
    Tempo kemudian menelusuri jejak digital kedua foto dalam gambar tangkapan layar artikel itu. Hasilnya, ditemukan bahwa foto Joe Biden dalam gambar tersebut pernah dimuat oleh salah satu situs media di Indonesia, yakni Tempo, dalam beberapa beritanya.
    Setelah berita itu ditelusuri satu per satu dan dibandingkan dengan artikel dalam gambar tangkapan layar di atas, ditemukan bahwa artikel dalam gambar tersebut merupakan hasil suntingan dari berita Tempo yang berjudul "Joe Biden Dikritik karena Tidak Hukum MBS Terkait Pembunuhan Jamal Khashoggi".
    Kesamaan terlihat pada nama reporter, "Non Koresponden", dan nama editor, "Eka Yudha Saputra", yang tercantum. Selain judul, terdapat penyuntingan pada tanggal terbitnya berita itu, menjadi "Senin, 29 Februari 2021". Hal ini janggal karena bulan Februari 2021 hanya memiliki 28 hari, bukan 29 hari.
    Gambar tangkapan layar artikel yang disunting (kiri) dari berita Tempo yang berjudul "Joe Biden Dikritik karena Tidak Hukum MBS Terkait Pembunuhan Jamal Khashoggi" (kanan).
    Suntingan juga terdapat pada bagian foto. Dalam gambar tangkapan layar artikel tersebut, di sebelah foto Biden, ditempelkan foto Presiden Jokowi. Dalam foto aslinya, di sebelah Biden, berdiri pula Wakil Presiden AS Kamala Harris. Dengan ditempelkannya foto Jokowi, Harris menjadi tidak terlihat.
    Foto itu merupakan foto jepretan fotografer kantor berita Reuters, Carlos Barria. Foto tersebut diambil ketika Biden menyampaikan pernyataan resmi tentang situasi politik Myanmar di Gedung Putih, Washington DC, AS, pada 10 Februari 2021.
    Adapun foto Jokowi dalam gambar tangkapan layar artikel itu pernah dimuat oleh Kompas.com dalam beritanya pada 23 September 2020. Foto itu merupakan gambar tangkapan layar video ketika Presiden Jokowi menyampaikan pidato secara virtual dalam Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September 2020 malam waktu New York, AS.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, gambar tangkapan layar artikel yang berjudul "Kecewa Dengan Biden, Warga Amerika Ingin Dipimpin Oleh Jokowi" tersebut keliru. Gambar itu merupakan hasil suntingan dari berita Tempo yang berjudul "Joe Biden Dikritik karena Tidak Hukum MBS Terkait Pembunuhan Jamal Khashoggi". Tidak ditemukan pula berita dengan judul tersebut yang dimuat oleh situs-situs media.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8519) Keliru, Terbit SK Menag Larang Bahasa Arab Usai SKB 3 Menteri Larang Jilbab

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/03/2021

    Berita


    Klaim bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat keputusan (SK) yang melarang bahasa Arab beredar di media sosial. Menurut klaim itu, SK tersebut dikeluarkan usai terbit Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri, yakni Menag, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang melarang jilbab.
    Di Facebook, klaim itu dibagikan oleh akun ini pada 16 Februari 2021. "Setelah SKB3Menteri larang jilbab sekarang muncul SK Menag larang bahasa Arab, negeri sedang digiring kearah sekuler dan komonis," demikian narasi yang ditulis oleh akun tersebut. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 71 reaksi dan 55 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait Menteri Agama dan SKB 3 Menteri.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri keterangan resmi maupun pemberitaan terkait lewat mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan informasi, baik di situs resmi Kementerian Agama maupun di situs media, soal Menag Yaqut Cholil Qoumas  yang menerbitkan SK pelarangan bahasa Arab. Justru, ditemukan sejumlah artikel yang menyatakan bahwa informasi itu hoaks.
    Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kemenkominfo ), klaim yang menyatakan bahwa Menag Yaqut mengeluarkan SK terkait larangan bahasa Arab keliru. Menurut penjelasan Kemenkominfo, yang mengutip situs media Medcom.id, tidak terdapat informasi yang valid dan resmi mengenai hal tersebut.
    Pada Juli 2020 lalu, sempat beredar klaim bahwa Kemenag resmi menghapus mata pelajaran (mapel) Agama dan Bahasa Arab di madrasah. Menurut klaim ini, penghapusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab di Madrasah. Namun, Tempo telah memverifikasi klaim itu dan menyatakannya keliru.
    Kemenag memang menerbitkan KMA Nomor 183 Tahun 2019, bersama KMA Nomor 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah. Terkait pelaksanaan KMA itu, Kemenag mengeluarkan surat edaran tersebut bagi para Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota, serta Kepala Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madarasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) se-Indonesia.
    Dalam surat ini, terdapat tiga poin yang disampaikan. Pertama, pengelolaan pembelajaran di RA berpedoman pada KMA Nomor 792 Tahun 2018 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Raudhatul Athfal. Kedua, pengelolaan pembelajaran di MI, MTs, dan MA berpedoman pada KMA Nomor 183 Tahun 2019 serta KMA Nomor 184 Tahun 2019. Kedua KMA ini secara serentak berlaku di semua tingkatan kelas mulai tahun pelajaran 2020/2021.
    “Sehingga, tidak ada lagi madrasah yang masih menggunakan Kurikulum 2006,” demikian isi poin kedua. Sementara poin ketiga, dengan berlakunya KMA 183 Tahun 2019 dan KMA 184 Tahun 2019, mulai tahun pelajaran 2020/2021, KMA Nomor 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran PAI dan Bahasa Arab di Madrasah sudah tidak berlaku lagi.
    Menurut Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag, Ahmad Umar, surat yang dikirim ke kanwil dan kantor Kemenag merupakan surat edaran biasa, bukan perintah menghapus mapel PAI dan Bahasa Arab. Surat itu berisi pelaksanaan KMA Nomor 183 tahun 2019 yang menggantikan KMA 165 tahun 2014. "Itu surat biasa yang bersifat mengingatkan tentang pelaksanaan kurikulum sesuai KMA 183 dan KMA 184 Tahun 2019," katanya.
    SKB 3 Menteri Tidak Larang Jilbab
    Pada awal Februari 2021, terbit SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Seperti dikutip dari Kompas.com, SKB tersebut ditandatangani oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas, Mendikbud Nadiem Makarim, dan Mendagri Tito Karnavian.
    SKB 3 Menteri itu mengatur bahwa pemerintah daerah maupun sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Dalam SKB tersebut, pemerintah memperbolehkan siswa dan guru untuk memilih jenis seragamnya. Artinya, siswa dan guru dibebaskan untuk memilih mengenakan pakaian dan atribut yang memiliki kekhususan agama ataupun tidak.
    Mendikbud Nadiem mengatakan SKB 3 Menteri ini hanya berlaku bagi sekolah negeri, sehingga tidak mengatur ketentuan berpakaian di sekolah swasta. “Sekolah negeri adalah sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk semua masyarakat Indonesia, dengan agama apapun, dengan etnisitas apapun, dengan diversifitas apapun. Berarti semua yang mencakup SKB 3 menteri ini mengatur sekolah negeri,” tutur Nadiem.
    Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri, juga telah menegaskan bahwa SKB 3 Menteri itu tidak melarang peserta didik memakai jilbab ataupun kalung salib sebagai identitas agamanya. "Jadi, SKB ini tidak melarang peserta didik untuk mengenakan pakaian seragam yang berkarakter keagamaan di antara anak-anak. Tidak melarang," kata Jumeri pada 11 Februari 2021 seperti dikutip dari arsip berita Tempo.
    Menurut Jumeri, yang tidak diperbolehkan oleh SKB 3 Menteri itu adalah mewajibkan peserta didik maupun melarangnya mengenakan sesuatu yang sesuai karakter keagamaannya. "Jadi, kepala sekolah, sekolah, maupun daerah tidak boleh mewajibkan, tapi juga tidak boleh melarang," ujarnya. SKB 3 Menteri, kata Jumeri, memberikan kesempatan seluas-luasnya pada anak-anak sesuai agama yang dianutnya.
    Selain itu, pihak sekolah juga tetap dibolehkan menjalankan fungsi pendidikan keagamaan agar murid belajar dan mengamalkan ketakwaan kepada Tuhan. Misalnya, ia mencontohkan, guru agama mengajarkan agama sesuai yang dianut peserta didik untuk diamalkan. Namun, mereka tidak boleh memaksakan pemakaian seragam pada peserta didik.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan SK yang melarang bahasa Arab usai terbit SKB 3 Menteri yang melarang jilbab, keliru. Tidak ditemukan informasi, baik di situs resmi Kemenag maupun di situs media, soal Menag Yaqut yang menerbitkan SK pelarangan bahasa Arab. Selain itu, SKB 3 Menteri tidak memuat larangan jilbab. SKB tersebut mengatur bahwa pemerintah daerah maupun sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8518) Keliru, Klaim Ma'ruf Amin Sebut Jual Miras Hukumnya Boleh untuk Bantu Kas Negara

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/03/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah artikel yang berjudul “Jual Minuman Keras Hukumnya Boleh Untuk Membantu Kas Negara” beredar di media sosial. Artikel ini dilengkapi dengan foto Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang juga menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
    Artikel itu diklaim berasal dari Kompas.com dan terbit pada 17 Februari 2021. Di Facebook, gambar tangkapan layar tersebut dibagikan oleh akun ini pada 28 Februari 2021. Hingga artikel cek fakta ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 60 reaksi dan 60 komentar serta dibagikan sebanyak 13 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan investasi miras.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memasukkan judul artikel dalam gambar tangkapan layar di atas ke kolom pencarian di situs Kompas.com. Namun, tidak ditemukan artikel dengan judul “Jual Minuman Keras Hukumnya Boleh Untuk Membantu Kas Negara” di Kompas.com. Begitu pula saat Tempo menelusurinya di mesin pencari Google, tidak ditemukan berita dari media lain bahwa Wapres Ma'ruf Amin pernah menyatakan hal tersebut.
    Tempo kemudian menelusuri foto Ma'ruf Amin dalam gambar tangkapan layar artikel tersebut denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, ditemukan bahwa foto itu pernah dimuat oleh Kompas.com dalam tiga artikelnya. Namun, tidak ada satu pun dari ketiga artikel itu yang diberi judul “Jual Minuman Keras Hukumnya Boleh Untuk Membantu Kas Negara”.
    Ketiga artikel Kompas.com tersebut berjudul "Wapres Ma'ruf Amin Disuntik Vaksin Covid-19 Sinovac Pagi Ini", "Ma'ruf Amin Siap Divaksin, tapi Tunggu Keputusan Tim Dokter Kepresidenan", dan "Maruf Amin Ingin Kolaborasi Antar Lembaga Majukan Ekonomi Syariah".
    Dengan membandingkan tanggal dimuatnya ketiga artikel ini dengan artikel dalam gambar tangkapan layar yang beredar, ditemukan bahwa gambar itu merupakan hasil suntingan dari artikel Kompas.com yang berjudul "Wapres Ma’ruf Amin Disuntik Vaksin Covid-19 Sinovac Pagi Ini". Artikel ini dimuat pada 17 Februari 2021 pukul 08.34 WIB, sama seperti yang terlihat dalam gambar di atas.
    MUI juga telah menyatakan gambar tangkapan layar itu sebagai hoaks. Dilansir dari situs resminya, merujuk pada tanggal dan waktu artikel dalam gambar tersebut diterbitkan, 17 Februari 2020 pukul 08:34 WIB, Tim Komisi Informasi dan Komunikasi MUI menemukan bahwa gambar ini mencatut Kompas.com. Mereka tidak menemukan artikel di Kompas.com dengan judul seperti pada gambar itu.
    Aturan Investasi Miras
    Gambar tangkapan layar di atas beredar di tengah pro-kontra terbitnya Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 10 Thaun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, di mana di dalamnya terdapat aturan terkait investasi miras di sejumlah provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua. Berdasarkan arsip berita Tempo pada 28 Februari 2021, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan perpres tersebut pada 2 Februari 2021.
    "Untuk penanaman modal baru industri minuman keras mengandung alkohol dapat dilakukan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat," demikian tertulis dalam lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tersebut. Apabila berlangsung di luar daerah-daerah itu, penanaman modal baru harus mendapatkan penetapan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.
    Ketua Fraksi PAN di DPR, Saleh Partaonan Daulay, meminta pemerintah mengkaji ulang perpres yang mengatur soal investasi miras  itu. "Saya yakin bahwa manfaat dari investasi dalam bidang industri miras sangat sedikit, sementara mudaratnya sudah pasti lebih banyak. Karena itu, Perpres tersebut perlu di-review, kalau perlu segera direvisi, pasal-pasal tentang miras harus dikeluarkan," katanya pada 28 Februari 2021.
    Saleh menuturkan, kalau investasi miras hanya diperbolehkan di beberapa provinsi, pertanyaannya adalah apakah nanti miras itu tidak didistribusikan ke provinsi lain. Menurut dia, ketika belum ada aturan khusus seperti Perpres Nomor 10 Tahun 2021, perdagangan miras banyak ditemukan di masyarakat. Dengan perpres tersebut, dikhawatirkan peredaran miras lebih merajalela.
    Anggota Komisi IX DPR itu juga menilai mayoritas masyarakat Indonesia menolak miras, karena dikhawatirkan dapat memicu tindakan kriminalitas. Menurut dia, para peminum miras sering melakukan kejahatan di luar alam bawah sadarnya. "Kalau alasannya untuk mendatangkan devisa, saya kira pemerintah perlu menghitung dan mengkalkulasi ulang. Berapa pendapatan yang bisa diperoleh negara dari miras tersebut, lalu bandingkan dengan mudaratnya."
    Sebelumnya, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menilai perpres tersebut dapat mendorong investasi yang lebih berdaya saing, sekaligus pengembangan bidang usaha prioritas. "Kalau dibandingkan dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016, ada 515 bidang usaha yang tertutup. Artinya, dia lebih ke orientasi pembatasan bidang usaha. Dengan perpres baru, kita ubah cara pikirnya, lebih berdaya saing dan mendorong pengembangan bidang usaha prioritas," katanya.
    Adapun pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu berpotensi menarik masuknya modal asing. Menurut Agus, perpres tersebut sudah sesuai dengan kearifan lokal, terutama di wilayah yang mendapatkan kedatangan wisatawan mancanegara dalam jumlah besar. "Dan melibatkan tenaga kerja yang banyak juga. Seperti Sababay Winery di Bali, itu sudah kelas dunia. Kalau ditutup, investor tidak mau datang," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Wapres Ma'ruf Amin menyebut menjual miras hukumnya boleh untuk bantu kas negara, keliru. Gambar tangkapan layar artikel yang memuat klaim itu, yang berjudul “Jual Minuman Keras Hukumnya Boleh Untuk Membantu Kas Negara”, merupakan hasil suntingan dari artikel di Kompas.com yang berjudul "Wapres Ma'ruf Amin Disuntik Vaksin Covid-19 Sinovac Pagi Ini". Di situs-situs media lain pun, tidak ditemukan bahwa Ma'ruf Amin pernah menyatakan hal tersebut.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8517) Keliru, Anosmia Bukan Gejala Khas Virus dan Bisa Diobati dengan Mecobalamin

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/03/2021

    Berita


    Unggahan yang berisi klaim bahwa anosmia bukan gejala khas virus dan bisa diobati dengan mecobalamin beredar di Instagram pada 17 Februari 2021. Klaim itu dilengkapi dengan foto obat mecobalamin.
    "Anosmia Bukan Gejala khas Virus. Memangnya dari dulu gak pernah ada yg merasakan gejala ini?? Jangan mau di takut2i otak dengkul! Minum aja Mecobalamin. 5 cap setiap 1 jam sampai diare ringan," demikian narasi di bagian awal unggahan tersebut.
    Kemudian, unggahan itu menyinggung soal Covid-19. "Covid19 cuma kurang vitamin dosis tinggi dan mineral elektrolit. Tidak ada virus ganas! Obat penyebab bergejala berat dan kematian!"
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim keliru terkait anosmia dan obat mecobalamin.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mewawancarai dokter spesialis penyakit dalam, Sally Aman Nasution. Menurut Sally, para peneliti telah mengumpulkan data berbagai gejala Covid-19 selama pandemi terjadi dalam setahun terakhir. Lewat pengumpulan data ini, para peneliti menemukan bahwa Covid-19 memunculkan bermacam-macam gejala, tidak hanya pneumonia.
    “Di awal pandemi, gejala yang diketahui adalah pneumonia, karena penderita mengalami gangguan paru-paru dan saluran pernapasan. Ternyata sekarang makin bermacam-macam, atau disebut penyakit seribu wajah. Ada yang demam, ada yang tidak. Ada yang batuk kering, ternyata tidak semua mengalami batuk. Termasuk diare, ternyata mereka yang positif juga ada yang diare,” kata Sally saat dihubungi pada 1 Maret 2021.
    Menurut Sally, anosmia atau kehilangan penciuman juga menjadi salah satu gejala yang muncul pada mereka yang positif Covid-19. Di tengah pandemi seperti ini, kata dia, setiap orang yang mengalami anosmia harus waspada terinfeksi Covid-19, sebab setiap orang memiliki risiko yang sama.
    “Sebelum pandemi, anosmia memang bisa terjadi karena penyebab lain. Tapi, karena saat ini pandemi, kita harus waspada,” ujarnya. Namun, menurut Sally, mecobalamin bukan obat untuk anosmia. Di dunia medis, mecobalamin lebih sering digunakan sebagai obat penyakit saraf tepi. “Jadi, tidak ada kaitannya dengan anosmia.”
    Arsip berita Tempo pada 23 Januari 2021 juga melaporkan kehilangan kemampuan untuk mencium bau atau anosmia adalah salah satu gejala Covid-19. Untuk membantu mengembalikan indera penciuman, dokter spesialis paru Sylvia Sagita Siahaan menyarankan pasian untuk melakukan rehabilitasi penciuman.
    "Yang paling baik rehabilitasi penciuman, misalnya mencium sesuatu seperti minyak kayu putih. Jadi, kita rangsang saraf lagi, saraf-sarafnya untuk bisa beregenerasi supaya anosmianya menjadi perbaikan," ujar Sylvia saat dihubungi pada 23 Januari 2021.
    Peneliti anosmia sekaligus direktur rinologi di Massachusetts Eye and Ear, Eric Holbrook, juga mengatakan pasien dapat mencoba pelatihan aroma, yakni menemukan bau yang kuat dan menghirupnya sambil berfokus pada seperti apa aroma itu seharusnya. Pasien bisa mengumpulkan beberapa aroma yang kuat, seperti kayu manis, mint, jeruk, cengkih, dan wewangian mawar.
    Menurut dokter spesialis penyakit menular di Universitas Northeast Ohio, Richard Watkins, anosmia terjadi sebagai efek samping virus yang berkembang, biak di hidung dan tenggorokan. Virus dapat menyebabkan peradangan dan pembengkakan di saluran hidung sehingga tersumbat, juga menurunkan kemampuan indera. Tapi, mengapa gejala ini tak kunjung hilang pada beberapa orang, belum sepenuhnya bisa dipahami para ahli.
    "Reseptor virus telah ditemukan di lapisan khusus rongga hidung yang berisi saraf penciuman, yang pertama kali mendeteksi bau di udara. Meskipun reseptor ini belum ditemukan pada saraf itu sendiri, kerusakan di sekitarnya kemungkinan besar menyebabkan hilangnya bau," tutur Holbrook.
    Anosmia biasanya akan membutuhkan waktu untuk hilang, bisa berbulan-bulan, dan umumnya berbeda-beda antar pasien. Para peneliti menemukan sekitar 15 persen pasien Covid-19 belum bisa memulihkan indera perasa dan penciuman 60 hari setelah terinfeksi, sementara hampir 5 persen berada dalam situasi yang sama hingga enam bulan kemudian.
    Sylvia mengatakan para dokter yang menangani Covid-19 akan bekerja sama dengan spesialis THT dalam kasus anosmia. Penanganannya bisa tergantung derajat kerusakan saraf yang diakibatkan virus. "Kami bekerja sama dengan dokter THT karena saluran napas atas memang dipegang THT juga. Biasanya memang tergantung derajat kerusakan karena yang dirusak sarafnya," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa anosmia bukan gejala khas virus dan bisa diobati dengan mecobalamin, keliru. Anosmia adalah salah satu gejala Covid-19. Di tengah pandemi seperti ini, setiap orang yang mengalami anosmia harus waspada terinfeksi Covid-19. Selain itu, mecobalamin bukan obat untuk anosmia. Di dunia medis, mecobalamin lebih sering digunakan sebagai obat penyakit saraf tepi.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan