• (GFD-2021-8784) Sesat, Video Para Nakes Berjoget untuk Merayakan Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 13/10/2021

    Berita


    Sebuah video yang memperlihatkan sejumlah orang dengan baju hazmat tengah berjoget beredar di media sosial. Video tersebut dibagikan dengan narasi bahwa para Tenaga Kesehatan (nakes) tengah merayakan Covid-19.
    Di Facebook, video berdurasi 45 detik tersebut dibagikan akun ini pada 18 Juni 2021.
    Dalam video itu terdapat template bertuliskan ANI. Video yang dibagikan melalui aplikasi SnackVideo juga tertera teks bertuliskan “Coba perhatikan mereka lagi ngerayai apa..? Yg punya ikiran logic pasti faham…!! Apakah kita masih percaya kalau Covid itu betul2 ada…? Sadar sebenarnya kita diperdaya untuk dijadikan alat untuk mendapatkan uang.”
    Apa benar ini video sejumlah nakes berjoget untuk merayakan Covid-19?
    Tangkapan layar unggahan video dengan klaim nakes berjoget untuk merayakan Covid-19

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusi jejak digital video tersebut di internet dengan menggunakan kata kunci “ANI video health workers dance”. Hasilnya, para tenaga kesehatan tersebut berjoget dalam sebuah acara hiburan untuk merayakan satu tahun berdirinya pusat pelayanan Covid-19 di Mumbai, India, tepatnya pada 2 Juni 2021.
    Video yang identik pernah diunggah ke Twitter oleh akun @ANI pada 4 Juni 2021. Akun inipun menuliskan keterangan bahwa para profesional perawatan kesehatan dari pusat COVID-19 Nesco di Goregaon Mumbai terlihat memamerkan gerakan tarian mereka di dalam bangsal pasien selama program hiburan yang diselenggarakan pada 2 Juni 2021 untuk menandai satu tahun beroperasinya pusat tersebut.
    Namun, musik dalam video ini terdengar berbeda dengan musik pada video di atas.
    Dilansir dari India Today, video petugas kesehatan menari dengan lagu Marathi Zingaat di pusat Covid-19 Nesco di Goregaon, Mumbai telah membuat heboh di media sosial. Sebuah program diselenggarakan pada 2 Juni 2021 untuk menandai satu tahun beroperasinya pusat tersebut. Dalam video yang kini menjadi viral, beberapa profesional kesehatan terlihat asyik dengan lagu dari film Marathi 2016 Sairat.
    Sejak awal pandemi Covid-19 tahun lalu, para profesional kesehatan telah bekerja tanpa lelah untuk pasien yang terkena virus di bawah tekanan besar. Selama beberapa bulan terakhir, beberapa video dokter menari mengikuti lagu di ruang gawat darurat untuk menghibur pasien juga menjadi viral di media sosial.
    Dalam video tersebut, terlihat para dokter dan perawat dengan perlengkapan APD memamerkan gerakan tarian mereka. Video tersebut diposting oleh kantor berita ANI.
    Selama beberapa bulan terakhir, ketika India bergulat dengan gelombang kedua Covid-19 yang menghancurkan, beberapa video tenaga kesehatan muncul secara online, di mana mereka terlihat menari dan bernyanyi baik untuk menghibur pasien atau untuk menghilangkan stres mereka. Kali ini, tampaknya perayaan dadakan terjadi dalam rangka memperingati satu tahun pusat pelayanan Covid-19 tersebut.
    Mengenakan peralatan APD, para petugas kesehatan terlihat bersenang-senang, mengikuti lagu Peppy Number dari film Marathi pemenang Penghargaan Nasional Sairat 2016.
    Menurut kantor berita ANI, staf medis terlihat menari selama program hiburan yang diselenggarakan di fasilitas tersebut untuk menandai satu tahun beroperasinya pusat tersebut. Video itu muncul pada saat kasus di Mumbai turun secara signifikan, dan di bawah 1000 dalam hitungan harian.
    Dikutip dari indiatvnews.com, Pusat Covid telah menjadi tempat tekanan dan risiko ekstrem karena berurusan dengan pengobatan salah satu penyakit paling menular yang dihadapi umat manusia saat ini.
    Di tengah semua tantangan ini, pusat Covid-19 Nesco di Goregaon Mumbai menyelenggarakan program hiburan untuk menandai satu tahun beroperasi, juga membawa beberapa perubahan bagi staf layanan kesehatan.
    Sementara itu, Mumbai pada hari Kamis melaporkan 961 infeksi COVID-19 baru dan 27 kematian baru pada hari Kamis, sementara tingkat penggandaan kasus rata-rata meningkat menjadi 500 hari, menunjukkan gelombang kedua jelas berkurang, kata badan sipil kota.
    Menurut data terbaru Brihanmumbai Municipal Corporation (BMC), dengan penambahan 961 kasus, penghitungan COVID-19 di kota itu naik menjadi 7.08.968, sementara jumlah kematian meningkat menjadi 14.965 setelah 27 pasien lagi meninggal karena infeksi di kota tersebut. 24 jam terakhir.
    Sebelumnya, Kantor Berita ANI juga beberapa kali membagikan video yang memperlihatkan sejumlah tenaga kesehatan sedang menari bersama pasien di sejumlah rumah sakit berbeda di India. Video-video tersebut dibagikan melalui kanal Youtube.
    Pada 17 April 2021 kanal Youtube ANI News membagikan video berjudul, Watch: Dressed in PPE kits, doctors dance to cheer COVID patients.”
    Dijelaskan bahwa dengan mengenakan peralatan APD, staf medis sebuah rumah sakit di Vadodara Gujarat terlihat menari di depan pasien COVID. Para dokter dan perawat terlihat menyemangati pasiennya untuk bahagia melalui tindakannya. Para pasien yang berbaring di tempat tidur juga menikmati saat-saat itu.
    Sebulan kemudian, tepatnya pada 23 Mei 2021, kanal Youtube ANI News kembali membagikan video serupa dengan judul, “ Watch: Doctors dance to cheer up COVID patients in Bengaluru hospital.”
    Menurut Kantor Berita ANI, pandemi COVID juga membuat mental orang-orang menjadi keras. Meski bekerja siang dan malam, para pejuang COVID tetap memotivasi pasien. Baru-baru ini, dokter dan staf medis rumah sakit Disha di Bengaluru menari untuk menghibur para pasien COVID.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo video dengan klaim bahwa para tenaga kesehatan berjoget untuk merayakan Covid-19,menyesatkan. Video tersebut telah disunting dengan mengubah lagunya. Para petugas medis yang masih menganakan hazmat dalam video tersebut memang tengah berjoget, namun bukan untuk merayakan Covid-19 melainan untuk merayakan satu tahun berdirinya pusat layanan Covid-19 di Mumbai, India, pada 2 Juni 2021.
    Di India, sejumlah dokter dan tenaga kesehatan kerap menari untuk menghibur pasien atau sekedar mengurangi tekanan mental akibat beban kerja selama gelombang kedua Covid-19 menghantam negara mereka.
    TIM CEK FAKTA TEMPO

    Rujukan

  • (GFD-2021-8783) Sesat, Unggahan Jokowi adalah Presiden Pertama yang Menginjakkan Kaki di Tanah Papua

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/10/2021

    Berita


    Video berdurasi enam menit dengan judul Jokowi Adalah Presiden Pertama yang Menginjakan Kaki di Tanah Papua, diunggah akun Dukung Jokowi untuk 3 Periode sejak Mei 2021. Video itu berisi saat Presiden Joko Widodo berpidato tentang kunjungannya ke Kabupaten Nduga, Papua.
    Dalam pidato itu Jokowi menceritakan perjalanan ke Kabupaten Nduga membutuhkan waktu 4 hari karena sulitnya akses. Kesulitan ini yang mendorong pemerintah membangun jalan trans-Papua, termasuk datang beberapa kali ke Papua.
    “Jokowi Adalah Presiden Pertama yang Menginjakan Kaki di Tanah Papua,” tulis akun itu.
    Video tersebut telah ditonton 4 juta kali dan mendapatkan komentar 2,3 ribu. 
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim bahwa Jokowi adalah Presiden Pertama yang Menginjakkan Kaki di Tanah Papua

    Hasil Cek Fakta


    Dari hasil pemeriksaan Tempo, menunjukkan, bahwa sejumlah presiden sebelum Jokowi pernah datang ke Papua. Hanya saja tidak ada data yang cukup apakah mereka pernah datang ke Kabupaten Nduga atau tidak. 
    Video Jokowi ketika berbicara tentang Kabupaten Nduga itu, disampaikan saat acara Temu Kangen Masyarakat Indonesia di Selandia Baru pada Maret 2018. Video yang dibagikan oleh akun Dukung Jokowi untuk 3 Periode itu, hasil potongan dari video asli yang berdurasi 15:41 menit. Video asli tersebut diunggah di kanal Youtube Kementerian Sekretariat Negara RI
    Tempo memeriksa sejumlah pemberitaan terkait siapa saja presiden yang pernah datang ke Papua. Dari cara ini, setidaknya mulai Presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono pernah menginjakkan kaki di Papua.
    Dikutip dari Historia, situs sejarah populer Indonesia, Presiden Soeharto datang pertama kali ke Irian Barat (nama sebelum Papua) pada 1969. Kemudian pada 1973, Soeharto kembali datang. 
    Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menjabat pada 1999-2001, datang ke Papua pada 1999 dan tahun 2000. Dalam arsip pemberitaan Temp o, Gus Dur datang pada 31 Desember 1999. Saat itu, Gus Dur mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua.
    Saat presiden Indonesia dijabat oleh Megawati Soekarnoputri, dia mengunjungi Kota Jayapura pada perayaan Natal 25 Desember 2003. Saat itu, Megawati sempat melantunkan lagu My Way di depan sekitar seribu masyarakat yang memenuhi Gedung Olahraga Cenderawasih.  
    Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa kali juga diberitakan datang ke Papua. Menurut arsip Tempo, dia pertama kali datang pada 21 November 2010, 2012 dan 2014. 

    Kesimpulan


    Dari penelusuran di atas, unggahan bahwa Presiden Jokowi adalah Presiden RI pertama yang datang ke Papua adalah menyesatkan. Video pidato Presiden Jokowi tersebut memang benar disampaikan pada Temu Kangen Masyarakat Indonesia di Selandia Baru pada Maret 2018. Akan tetapi narasi yang menyimpulkan bahwa Jokowi adalah presiden pertama yang datang ke Papua tidak tepat. Dari sejumlah pemberitaan, setidaknya empat Presiden RI sebelumnya pernah menginjakkan kaki ke Papua.
    Tim Cek Fakta Tempo
  • (GFD-2021-8782) Keliru, CEO Pfizer Albert Vorla Menyatakan Tanpa Vaksin Seseorang bisa Mengimunisasi Dirinya Sendiri

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/10/2021

    Berita


    Sebuah foto flayer memperlihat pernyataan CEO Pfizer Albert Borla yang mengklaim orang tak divaksin akan dapat mengimunisasi dirinya sendiri beredar di instagram. Pada flayer tersebut bahkan ikut dicantumkan pula kutipan pernyataan penemu vaksin astrazeneca, Dame Sarah Gilbert dengan narasi “tidak ada alasan untuk berpikir kita akan memiliki COVID-19 versi 2 lebih ganas, pada akhirnya virus ini akan menjadi virus biasa yang menyebabkan flu” 
    Unggahan itu dibagikan akun _teluuur pada 10 Oktober 2021. Hingga artikel ini ditulis unggahannya telah mendapatkan respon 6482 disukai.  
    Lantas benarkah CEO Pfizer Albert Borla dan Dame Sarah Gilbert membuat pernyataan demikian? Dan benarkah orang yang tidak divaksin akan mengimunisasi dirinya sendiri dan COVID-19 akan menjadi virus biasa yang hanya akan menjadi virus flu biasa? 
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim tanpa vaksin, seseorang dapat mengimunisasi dirinya sendiri dari Covid-19

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo mula-mula menelusuri terlebih dahulu informasi melalui sejumlah sumber kredibel terkait pernyataan dua tokoh tersebut dan cara kerja vaksin serta sistem imun manusia.
    Klaim 1 : Pernyataan CEO Pfizer Albert Borla “orang tak divaksin akan dapat mengimunisasi dirinya sendiri”
    Fakta: Tempo tidak menemukan pernyataan CEO Pfizer Albert Borla tentang orang yang tidak divaksin akan mengimunisasi dirinya sendiri. Pernyataan ini justru berkebalikan dengan pernyataan Borla pada  8 September 2020, seperti yang dimuat oleh CNBC. Saat itu Bourla memperingatkan bahwa orang yang tidak divaksin, akan menjadi kelompok rentan terkena virus dan membuat virus terus menyebar.
    Selain itu, orang-orang yang memutuskan untuk tidak divaksin tidak hanya berdampak pada  hidup mereka sendiri, tetapi juga memberi dampak pada kehidupan orang lain. 
    Borla sendiri sudah mendapatkan dosis penuh vaksin Covid-19 pada 10 Maret 2021. Sebelumnya dia juga diserang informasi palsu berupa video dengan klaim “CEO Pfizer Menolak Vaksin” Dilansir dari apnews, sebelum suntikan vaksin kedua pada Borla, muncul video yang menyertakan spanduk palsu, "CEO PFIZER MENOLAK VAKSIN," telah dibagikan ribuan kali di Facebook. Beberapa huruf dalam kata "vaksin" telah diganti dengan gambar partikel virus corona dan jarum suntik.     
    Emily R. Smith, seorang ahli epidemiologi dan asisten profesor di Milken Institute School of Public Health di The George Washington University seperti dilansir USA Today mengatakan, orang yang telah mengikuti  vaksinasi  akan mengurangi risiko individu terkena kembali COVID-19 dan memberikan perlindungan kepada orang. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang yang divaksinasi, 800 persen lebih kecil kemungkinannya untuk mendapatkan COVID daripada orang yang tidak divaksinasi. 
    Susan Hassig, seorang ahli epidemiologi di Tulane University School of Public Health and Tropical Medicine, ikut menegaskan bahwa vaksin melindungi individu yang divaksinasi dengan sangat mengurangi risiko infeksi, penyakit, dan kematian. Vaksinasi individu itu kemudian melindungi komunitas yang lebih luas dengan membuat orang yang divaksinasi cenderung menjadi tuan rumah.
    Klaim 2  : Pernyataan Demi Sara Gilbert “tidak ada alasan untuk berpikir kita akan memiliki COVID-19 versi 2 lebih ganas, pada akhirnya virus ini akan menjadi virus biasa yang menyebabkan flu”
    Fakta: Pernyataan Sarah Gilbert ini pernah disampaikan saat seminar Royal Society of Medicine pada 21 September 2021. Pernyataan lengkap Sara Gilbert yakni: Dilansir dari The Times, menurut Sarah, virus corona biasanya tidak bermutasi ke varian yang bisa menlawan vaksin. Sebab, tak ada lagi tempat untuk menyebar dan berkembang. Sehingga bisa dikatakan varian Covid yang lebih ganas tidak akan ada lagi jika semua sudah divaksin.
    Dari pemberitaan Times itu diketahui bahwa konteks pernyataan Sarah Gilbert, bahwa, virus corona  tidak mungkin bermutasi menjadi varian ganas pada seseorang yang telah divaksin. Artinya Sarah menekankan pentingnya vaksinasi Covid-19. 

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan cekfakta Tempo, klaim CEO Pfizer Albert Borla yang mengatakan orang tak divaksin akan dapat mengimunisasi dirinya sendiri dan pernyataan Dame Sarah Gilbert bahwa  virus COVID-19 akan menjadi virus flu biasa, menyesatkan.
    Pernyataan Borla tentang orang yang tidak divaksin akan mengimunisasi dirinya sendiri  ramai menjadi diperbincangkan setelah muncul video yang menyertakan spanduk palsu CEO Pfizer menolak vaksin. Video tersebut mengutip wawancara stasiun TV CNBC pada 14 Desember 2020. Borla sendiri diketahui mendapatkan suntikan vaksin kedua pada 10 Maret 2021. 
    Sedangkan, pernyataan Sarah Gilbert ini ramai setelah ia menjadi pembicara di seminar Royal Society of Medicine pada 21 September 2021. Sarah mengatakan, virus corona biasanya tidak bermutasi ke varian yang bisa menlawan vaksin. Sebab, tak ada lagi tempat untuk menyebar dan berkembang. Sehingga bisa dikatakan varian Covid yang lebih ganas tidak akan ada lagi jika semua sudah divaksin. 
    TIM CEKFAKTA TEM
  • (GFD-2021-8781) Keliru, Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual di Luwu Timur Pesanan LSM untuk Menjatuhkan Institusi Kepolisian

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/10/2021

    Berita


    Narasi berisi klaim bahwa kasus kekerasan seksual yang dimuat situs berita projectmultatuli.org merupakan pesanan Lembaga Swadaya Msyarakat (LSM) untuk menjatuhkan insitusi kepolisian beredar di media sosial. Di Instagram, unggahan narasi tersebut dibagikan akun ini pada 7 Oktober 2021.
    Berikut narasi lengkapnya:
    “Sabar yaaa nanti gw buka-bukain semua itu siapa dibalik ormas pesenan tersebut. Berita yang soal anak di Luwu Timur Gw kasih tau itu pesanan LSM yg mau menjatuhkan institusi kepolisian. Dan kenapa pihak keluarganya tidak ada yang speak up ke publik dengan identitas aslinya. Kenapa harus pakai inisial.”
    Akun inipun menuliskan narasi, “Punya bukti bukti rekam jejak medis bahwa korban benar benar alami kekerasan atau tidak. Apa jangan jangan mau nyari duit ,,??? Buat netizen disini gw cuma mau imbangi berita yaaa
    Bahwa pihak anak tersebut sudah 2 kali di visum bahkan terakhir di visum di rumah sakit Bhayangkara Makassar.”
    Hingga artikel ini dimuat, klaim tersebut telah mendapat 123 komentar. Apa benar pemberitaan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur merupakan pesanan LSM untuk menjatuhkan institusi kepolisian?
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim bahwa pemberitaan soal kasus pelecehan seksual di Luwu Timur adalah pesanan LSM untuk menjatuhkan Polri

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait kasus tersebut ke sejumlah media kredibel. Hasilnya, Kasus kekerasan seksual di Luwu Timur pertamakali dimuat projectmultatuli.org, sebuah situs berita nonprofit yang menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data. Project Multatuli didirikan oleh empat jurnalis senior dari tiga media nasional yakni Kompas, Tirto.id dan The Jakarta Post.
    Laporan mendalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur pertama kali dimuat projectmultatuli.org pada 6 Oktober 2021 dengan judul, “ Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.”
    Namun, website Projectmultatuli.org diretas pada Rabu, 6 Oktober 2021 pulul 18.00 WIB. Sepanjang malam itu banyak pembaca mengeluh karena tidak bisa mengakses berita tersebut.
    Semula tim Project Multatuli mengira hal tersebut terjadi karena masalah kapasitas server yang tidak memadai, namun pada pagi 7 Oktober baru bisa dikonfirmasi ada serangan DDos terhadap website Projectmultatuli.org.
    Serangan terhadap Project Multatuli memantik solidaritas sejumlah media arus utama di Indonesia dengan memuat kembali laporan mendalam tersebut pada 7 Oktober 2021. Salah satunya oleh Tempo.co.
    Dilansir dari Kompas.com, artikel tersebut melaporkan kasus seorang ibu bernama Lydia (nama samaran) yang melaporkan dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak kandungnya.
    Kekerasan seksual itu diduga dilakukan mantan suaminya pada 2019 lalu. Lydia mengaku saat itu telah melaporkan perkara tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur, serta Polres Luwu Timur.
    Namun dalam cerita Lydia, ia tidak mendapatkan keadilan dari dua instansi tersebut dan malah disebut mengidap gangguan kesehatan mental. Pada 10 Desember 2019, Polres Luwu Timur menghentikan proses penyidikan.
    Mantan suami Lydia disebut merupakan aparatur sipil negara (ASN) di kantor pemerintahan Luwu Timur.
    Belakangan, Polres Luwu Timur sempat membantah dan menyatakan bahwa artikel tersebut hoaks. Namun, label hoaks itu kemudian mendapat kecaman dari insan pers, salah satunya disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen atau AJI.
    Project Multatuli
    Kepada Tempo, salah seorang pendiri sekaligus pemimpin umum Project Multatuli, Evi Mariani, mengatakan Project Multatuli merupakan satu inisiatif jurnalisme publik. Didirikan oleh empat jurnalis senior dari tiga media nasional—Kompas, Tirto.id dan The Jakarta Post- dengan visi melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan.
    “Kami sangat serius menjalankannya. sebagai jurnalis pelayan publik dan melayani orang yang dipinggirkan,” tegas jurnalis perempaun yang telah menjalani 18 tahun karir bersama The Jakarta Post.
    Lydia (nama samaran) dan tiga anaknya ini, kata Evi, adalah contoh dari masyarakat yang dipinggirkan. Dalam kasus ini polisi sebagai kekuasaan yang harus diawasi.
    “Kami berupaya transparan mengenai proses kami bekerja dan mengelola organisasi, kecuali dalam kasus tertentu di mana kerahasiaan dalam batas tertentu dibutuhkan untuk menjalankan prinsip minimize harm (meminimalisir bahaya) dan duty of care (kewajiban untuk melindungi),” jelas Evi.
    Evi balik mempertanyakan kredibilitas akun media sosial yang menuding laporan Project Multatuli merupakan pesanan LSM. Pasalnya, foto profil akun tersebut menggunakan topeng dengan nama yang mencantumkan deretan angka.
    “Kami di PM transparan. Semua yang perlu diketahui tentang kami ada di website,” tegasnya.
    Project Multatuli adalah jurnalisme nonprofit, menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data, dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
    Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menegaskan laporan mendalam yang dimuat situs projectmultatuli.org telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait, termasuk kepolisian Luwu Timur.
    Laporan tersebut, kata Erik, telah sesuai dengan pedoman liputan ramah anak yang diterbitkan Dewan Pers.
    “Yakni, jurnalis tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor. Menyebut inisial pun bisa membahayakan pelapor dan ketiga anaknya,” jelas Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 Oktober 2021.
    Pedoman Pemberitaan Ramah Anak pada poin (1) menyebutkan bahwa wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
    Ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal (5) Kode Etik Jurnalistik yakni wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menjelaskan, dalam kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual, terutama anak di bawah umur, tertuang dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, larangan menampilkan identitas korban, termasuk ibu korban.
    Selain itu, kasus pelecehan dan kekerasa seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga ditulis bahwa proses serta nama korban harus ditutup. Erasmus mengatakan, akan membawa dampak buruk kepada korban dan pelapor. Sebab, akan menimbulkan ketakutan tersendiri ketika timbul kasus serupa dan para korban enggan melaporkan.
    Desakan untuk Polri
    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Sulawesi Selatan, mendesak Mabes Polri kembali membuka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur. Kasus tersebut dihentikan Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan pada 2019 dan 2020.
    Kasus tersebut terkait atas laporan polisi dilaporkan RS mantan istri SA, 43, ASN di Inspektorat Pemkab Luwu Timur, sebagai terlapor atas dugaan kekerasan seksual dan pemerkosaan ketiga anaknya masing-masing berinsial AL 8; MR, 6; dan AL, 4; yang dihentikan pada 10 Desember 2019.
    Menurut dia, dari fakta-fakta yang dikumpulkan tim LBH kasus itu sangat penting untuk dibuka kembali. Sebab, penghentian kasus melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dinilai prematur. Hanya selang dua bulan setelah dilaporkan di Polres Luwu Timur pada 2019, langsung dibuat administrasi penghentian penyelidikan.
    ”Selain itu tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain, selain para korban sehingga tidak ditemukan petunjuk. Bahkan para korban tidak didampingi ibunya saat diperiksa serta pengacara atau lembaga sosial lain,” ucap Rezky Pratiwi seperti dikutip dari Jawa Pos.com, 8 Oktober 2021.
    Para korban dibawa ke Maka

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan Fakta Tempo, klaim bahwa pemberitaan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur merupakan pesanan LSM untuk menjatuhkan institusi kepolisian,keliru.
    Kasus kekerasan seksual di Luwu Timur yang diduga dilakukan seorang ayah terhadap tiga anaknya pertamakali dimuat projectmultatuli.org, sebuah situs berita nonprofit yang menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data.
    Project Multatuli didirikan oleh empat jurnalis senior dari tiga media nasional yakni Kompas, Tirto.id dan The Jakarta Post. Tidak disebutkannya identitas korban maupun pelapor dalam kasus tersebut sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang dikeluarkan Dewan Pers.
    TIM CEK FAKTA TEMPO

    Rujukan