• (GFD-2021-8792) Keliru, Model Omar Borkan Al Gala Dideportasi dari Arab Saudi

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/10/2021

    Berita


    Sebuah informasi di instagram menyebut tentang seorang pria bernama Omar Borkan Al Gala. Pria ini dikabarkan diusir oleh negaranya, Arab Saudi karena terlalu tampan.
    Informasi itu diunggah pada 18 Oktober 2021 dengan menyertakan foto Omar dan teks bertuliskan: “Pria bernama Omar Borkan Al Gala ini diusir dari negaranya di Arab Saudi karena dianggap terlalu tampan oleh pemerintah dan melihatnya ketampanannya bisa membuat wanita patah hati. Saat ini ia tinggal di Kanada.”
    Unggahan ini  telah disukai 14.282 kali oleh warganet.
    Tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim model Omar Borkan Al Gala dideportasi dari Arab Saudi

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tim Cek Fakta Tempo menunjukkan bahwa pemerintah Arab Saudi tidak pernah mendeportasi model dan aktor asal Dubai ini. Saat itu, Omar hanya diminta meninggalkan acara Jenadrivah Heritage & Culture Festival oleh polisi agama setempat. 
    Cerita tentang pendeportasian Omar sempat menjadi viral setelah sebuah media melaporkan pada April 2013, bahwa dia dan dua temannya diusir dari Arab Saudi karena terlalu tampan. Pejabat di festival tersebut takut wanita di sana bisa jatuh cinta mendadak pada mereka. 
    Dikutip dari Huffpost dari wawancara eksklusif dengan media Metro pada 2015, Omar mengungkapkan bahwa dia dan teman-temannya berada di festival di Riyadh ketika beberapa gadis mengenalinya. Saat mereka berkumpul untuk tanda tangan dan foto, kerumunan bertambah dan membuat polisi agama tidak menyukainya.
    "Mereka datang dan meminta saya dengan sopan untuk meninggalkan festival," kata dia. 
    Komisi Arab Saudi untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan memberlakukan aturan ketat yang membatasi interaksi antara pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan keluarga. Jadi Omar tidak pernah diminta untuk meninggalkan negara itu — hanya festival.
    Omar, yang berasal dari Dubai kemudian pindah ke Vancouver bersama orang tua dan tiga saudara laki-lakinya. 
    Latin Times pada  2 Juli 2013 juga mempublikasikan dengan mengutip pernyataan Omar dalam majalah Quién. Menurutnya, rumor bahwa dia telah dideportasi dari Arab Saudi bersama dengan dua pria lain karena "terlalu tampan" sebenarnya salah. 
    "Sungguh, saya hanya berjalan-jalan dan saya berakhir di tempat yang salah pada waktu yang salah," kata Omar kepada majalah itu.  
    Versi lain, dari sumber berbahasa Arab Al-Quds.com, Omar memang telah menyebabkan ketidaknyamanan karena "menari secara tidak pantas" di sebuah acara keluarga. Setelah itu dia dibawa oleh anggota garda nasional UEA, diinterogasi dan dibebaskan. Tapi dia tidak pernah diminta untuk pergi.

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa seorang pria bernama Omar Borkan Al Gala diusir dari negaranya, Arab Saudi karena terlalu tampan, adalah keliru.
    Pertama, Omar Borkan bukan warga negara Arab Saudi, melainkan berasal dari Dubai. Kedua, dia tidak pernah dideportasi oleh pemerintah Arab Saudi karena wajahnya. Pada April 2013, ia diminta meninggalkan sebuah festival budaya di Riyadh, saat ia menghadiri acara tersebut.
    Ada dua versi mengapa dia diminta meninggalkan festival. Pertama karena kedatangannya menyebabkan para perempuan berkerumun untuk berfoto dan meminta tanda tangan. Kedua, karena dia menari tidak pantas di sebuah acara keluarga. 
    Tim Cek Fakta Tempo

    Rujukan

  • (GFD-2021-8791) Keliru, Klaim Bahasa Cina Jadi Kurikulum Pendidikan di Halmahera Selatan

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/10/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berisikan tautan video dengan klaim bahwa bahasa Cina sudah masuk kurikulum sekolah di Halmahera Selatan, Maluku Utara beredar di aplikasi pengiriman pesan. Pesan tersebut juga diikuti narasi:
    “MIRIS ... !!!¸ BUKAN HOAX, Hari ini Kerja di Negeri Sendiri Wajib Pakai Bahasa China ÷Hersubeno Arief÷. Bahasa China Sudah Masuk Kurikulum Sekolah di Halmahera Selatan ... Untuk Memenuhi Syarat Masuk Kerja. Hanya Untuk Menjadi Buruh di Perusahaan-Perusahaan China, Kedaulatan Bangsa Kita Digadaikan, Harus Belajar dan Bisa Bahasa China. Seharusnya, Mereka Pendatang itu Yang Belajar Bahasa Indonesia ... !¸Ataukah Memang Kita, Bangsa Indonesia Secara Perlahan Tapi Pasti Akan Jadi Koloni China, Jajahan China .. ? Pengamat : SEBENTAR LAGI, CHINA AKAN KUASAI INDONESIA”.
    Benarkan bahasa Cina sudah masuk menjadi kurikulum sekolah di Halmahera Selatan, Maluku Utara?
    Tangkapan layar potongan vidoe yang mengklaim bahas aCina masuk kurikulum lokal Maluku Utara.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri terkait informasi tersebut pada beberapa media lokal di Maluku Utara. Hasilnya diketahui, informasi tersebut merupakan informasi yang muncul di media pada 14 Juli 2021. Informasi ini kembali viral setelah sebuah pesan berantai yang berisikan video yang mengklaim bahasa china sudah masuk kurikulum sekolah di Halmahera Selatan, Maluku Utara beredar di aplikasi pengiriman pesan. 
    Video tersebut merupakan video konten youtube yang diunggah akun redaksi islam pada 06 Oktober 2021. Akun ini menuliskan narasi “MIRIS.! Bukan Hoax Hari ini Kerja DiNegeri Sendiri Wajib Pake Bahasa China.? | Hersubeno Arief…”. Sejak diunggah video tersebut sudah ditonton 26 ribu kali. 
    Dikutip dari koran harian Malut Post edisi Rabu 14 Juli 2021, wacana memasukan bahasa cina dalam kurikulum sekolah mula-mula bergulir saat Kepala Dinas Pendidikan Halmahera Selatan, Safiun Radjulan, melakukan paparan konsultasi publik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diselenggarakan Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan dan  Halmahera Selatan, Selasa 13 Juli 2021.Pada paparannya, Safiun mengatakan, memasukan bahasa cina menjadi kurikulum sekolah bertujuan untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja lokal yang mampu menguasai bahasa asing. Kurikulum bahasa cina ini nantinya akan menggantikan kurikulum bahasa Inggris.
    Dilansir dari beritadetik.id, memasukan bahasa cina menjadi kurikulum sekolah ungkap, Safiun Radjulan, juga sebagai upaya menyiapkan tenaga kerja lokal yang berkualitas. Sebab bahasa Mandarin bagi calon pekerja di setiap perusahaan pertambangan masih menjadi kendala bagi putra daerah, karena itu Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan akan memasukkan Bahasa Cina atau Mandarin di sekolah di Halmahera Selatan. 
    Sementara itu, seperti dikutip penamalut, Safiun Radjulan sendiri membantah kebijakan memasukan bahasa cina menjadi kurikulum di sekolah sudah diterapkan. Di hadapan Komisi 1 DPRD Halmahera Selatan, Safiun mengatakan rencana menjadikan bahasa cina menjadi kurikulum sekolah baru sebatas gagasan yang bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia. 
    Sebelumnya isu serupa sempat pula menyeret mantan Menteri Agama Fachrul Razi pada Januari 2020. Saat itu, Ia dikabarkan meminta agar bahasa Mandarin menjadi salah satu syarat kelulusan siswa Madrasah Aliyah (MA).  

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta, klaim bahasa china sudah masuk kurikulum sekolah di Halmahera Selatan, keliru. Di hadapan komisi 1 DPRD Halmahera Selatan, Kepala Dinas Pendidikan, Safiun Radjulan mengatakan wacana memasukan bahasa cina dalam kurikulum di sekolah baru sebatas gagasan. Wacana ini disampaikan pada  paparan konsultasi publik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Halmahera Selatan. 
    TIM CEKFAKTA TEMPO

    Rujukan

  • (GFD-2021-8790) Keliru, Narasi Tentang Kenaikan Prevalensi Merokok Anak Tidak Terkait dengan Iklan Rokok

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/10/2021

    Berita


    Sebuah poster berisi klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak tidak terkait dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun, beredar di Twitter, 16 Oktober 2021. Salah satu akun mengunggah klaim itu setelah Pemprov DKI Jakarta menutup display penjualan rokok di minimarket.
    “Nah lo. Kalo emang datanya udah turun, terus kemarin pada nutupin warung rokok pake tirai berarti bukan karena alasan biar anak2 gak merokok kali, ya. Tapi buat laporan sama ndoro funding kali, ya,” tulis akun itu menyertai poster yang diunggah. 
    Poster itu berisi dua teks: “Kenaikan prevalensi perokok anak tidak disebabkan oleh iklan rokok, namun minimnya edukasi pemerintah.”
    Teks kedua memuat data tentang jumlah perokok anak mencapai 9,76 persen tahun 2018. Tahun 2019 menurun menjadi 3,87 persen dan jumlah 2020 menurun lagi menjadi 3,81 persen.  
    Tangkapan layar unggahan poster berisi klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak dikaitkan dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tempo menunjukkan, ada kaitan yang erat antara kenaikan iklan rokok dengan prevalensi merokok anak. Gencarnya iklan, promosi, dan sponsor rokok berdampak pada semakin meningkatnya prevalensi merokok pada anak-anak dan remaja. Dua penelitian berikut menunjukkan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok menimbulkan keinginan anak dan remaja untuk merokok.  
    Pertama, penelitian Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI), menunjukkan ada kaitan erat antara iklan rokok dan prevalensi perokok anak. Penelitian berjudul Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018), tersebut menemukan hubungan yang signifikan antara paparan iklan rokok di TV, radio, billboard, poster, dan internet dengan status merokok pada anak dan remaja usia dibawah 18 tahun. 
    Anak dan remaja usia dibawah 18 tahun lebih banyak terpapar iklan rokok melalui TV (85%), banner (76,3%), billboard (70,9%), poster (67,7%), tembok publik (57,4%), kendaraan umum (47,3%), internet (45,7%), koran/majalah (23,6%), radio (17,4%), dan bioskop (12,4%). 
    Sumber: Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI) dalam studi Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018).
    Sumber: Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI) dalam studi Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018).
    Selain itu, didapatkan pula hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian sampel rokok gratis, sponsor rokok di acara olahraga, logo pada merchandise, sponsor rokok di acara musik, dan harga diskon dengan status merokok pada anak dan remaja usia dibawah 18 tahun.
    Selain dari iklan, anak dan remaja usia dibawah 18 tahun pun lebih banyak terpapar promosi dan sponsor rokok di toko yang menjual rokok (74,2%), acara olahraga (46,6%), logo pada merchandise (39,1%), acara musik (39%), pembagian sampel rokok gratis (14,7%), harga diskon (12,3%), hadiah gratis atau diskon spesial (8,7%), kupon/voucher rokok (5,4%), dan surat (6,5%).
    Penelitian tersebut menggunakan desain potong lintang dengan metode pengambilan sampel dilakukan dengan Multistage Cluster Sampling. Studi dilakukan terhadap 5.234 responden atau 97,8% dari total sample yang berasal dari 16 kota/kabupaten, 139 kecamatan dan 279 desa/kelurahan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner.
    Kedua, penelitian oleh Yayasan Lentera Anak, Ruandu Foundation, Gagas, dan Komunitas Peduli Udara Bersih tahun 2021, juga memperkuat temuan dari TSCC-IAKMI. 
    Penelitian berjudul Survei Keterpaparan Iklan Rokok Elektrik pada Perokok Anak dan Hubungan Iklan Rokok Konvensional terhadap Preferensi Rokok yang Disukai Anak, itu melibatkan 180 anak yang merokok (laki-laki dan perempuan) di rentang usia 10-18 tahun di Jakarta, Solo, Jember, Padang dan Mataram.
    Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, mengatakan, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 99,4 persen anak mengaku pernah melihat iklan rokok dan 76,7 persen anak mengaku banyak terpapar iklan rokok.  Disebut banyak karena diasumsikan anak terpapar oleh iklan rokok lebih dari satu kali dalam sehari.  
    Selain itu 60,6 persen anak mengaku bahwa mereka terpapar oleh iklan rokok elektrik. Anak-anak paling banyak melihat iklan rokok elektrik di media sosial sebesar 88,1%. Sedangkan untuk yang lainnya melihat di berita online  sebesar 3,7%.
    Paparan iklan rokok tersebut juga mempengaruhi perilaku merokok anak. Menurut Lisda, setelah dilakukan analisis hubungan antara iklan rokok yang diingat anak dengan merek rokok yang paling disukai, nilai signifikansinya sebesar 0,003. Artinya terdapat hubungan yang besar antara iklan rokok dengan merek rokok yang paling disukai anak
     
    Klaim 2: jumlah perokok anak turun
    Sumber data yang tertulis dalam poster digital tersebut merujuk data Persentase Merokok Pada Penduduk Usia ≤ 18 Tahun, Menurut Jenis Kelamin (Persen), 2018-2020 oleh Badan Pusat Statistik. Menurut data tersebut, jumlah persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 secara nasional, mencapai 9,65 persen. Sedangkan pada 2019 mencapai 3,87 persen dan 3,81 persen pada 2020. 
    Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik, Ahmad Avenzora, menjelaskan data persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 dan 2019-2020, menggunakan sumber data yang berbeda. Tahun 2018 menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Sementara tahun 2019 dan 2020 dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). 
    “Ada perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas. Sebenarnya tidak apple to apple untuk membandingkan yang 2018 dengan 2019 dan 2020,” kata Ahmad kepada Tempo, 19 Oktober 2021. 
    Salah satu perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas, kata Ahmad Avenzora, terkait jenis rokok. Di Riskesdas, mencakup jenis rokok elektrik. Sedangkan pada Susenas, tidak memasukkan rokok elektrik.
    Menurut Ahmad, dengan perbedaan sumber data tersebut, tidak bisa disimpulkan bahwa jumlah perokok anak menurun signifikan dari tahun 2018 ke tahun 2019-2020.

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas,  klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak tidak terkait dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun, adalah keliru. Berdasarkan sejumlah penelitian, iklan rokok mempengaruhi prevalensi perokok anak, baik yang mengkonsumsi rokok konvensional maupun rokok elektrik. Kedua, terkait klaim jumlah perokok anak turun dari tahun 2018 ke tahun 2019 dan 2020 juga keliru. BPS telah menyatakan bahwa sumber data yang digunakan pada 2018 berbeda dengan 2019 dan 2020 sehingga tidak dapat digunakan sebagai perbandingan.
    Tim Cek Fakta Tempo

    Rujukan

  • (GFD-2021-8789) Sebagian Benar, Prevalensi Perokok Turun Sesuai Bps tapi Bukan Jumlah Perokok Anak

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/10/2021

    Berita


    Sebuah akun membuat thread di Twitter berisi klaim bahwa angka prevalensi  perokok anak turun dari 9,65 persen di tahun 2018 menjadi 3,81 persen di tahun 2020. 
    Sedangkan prevalensi perokok dewasa turun dari 32,2 persen di 2018 menjadi 28,69 persen di 2020. Data itu disebutnya berasal dari Badan Pusat Statistik.
    Cuitan tentang penurunan prevalensi perokok ramai di linimasa twitter di tengah rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan 2022. 
    “Kenapa kelompok anti-rokok ini selalu memakai data Riskesdas yg lebih lama? Kalau pakai data terbaru dari BPS jelas terlihat sdh ada penurunan prevalensi merokok. Sudah tidak relevan lagi pakai data Riskesdas 2018 utk menyuarakan cukai hrs naik demi menurunkan prevalensi merokok,” tulis akun tersebut dalam narasinya, 13 Oktober 2021. 
    Tangkapan layar thread di twitter tentang penurunan prevalensi perokok ramai di linimasa twitter di tengah rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan 2022.

    Hasil Cek Fakta


    Tempo melakukan verifikasi terhadap informasi yang disebut berasal dari BPS ihwal penurunan prevalensi perokok anak dan dewasa. Hasilnya, data yang disajikan oleh BPS tersebut tidak menunjukkan penurunan prevalensi perokok di Indonesia, karena data yang metode pengumpulan data yang disajikan pada 2018 berbeda dengan 2019 dan 2020. 
    Sumber BPS yang dirujuk oleh warganet tersebut bisa diakses di data Persentase Merokok Pada Penduduk Usia ≤ 18 Tahun, Menurut Jenis Kelamin (Persen), 2018-2020. Menurut data tersebut, jumlah persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 secara nasional, mencapai 9,65 persen. Sedangkan pada 2019 mencapai 3,87 persen dan 3,81 persen pada 2020. 
    Namun BPS memberikan keterangan tambahan. Data pada 2018 hasil dari Data Integrasi Susenas dan Riskesdas 2018. Sedangkan data 2019 dan 2020 adalah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. 
    Sedangkan, data BPS terkait prevalensi perokok dewasa merujuk pada Persentase Merokok Pada Penduduk Umur ≥ 15 Tahun Menurut Provinsi (Persen), 2018-2020. Dalam data ini, persentase merokok pada kelompok usia di atas 15 tahun secara nasional sebesar 32,20 persen. Sedangkan data 2019 sebesar 29,03 persen dan 28,69 persen pada 2020. Sumber data tersebut adalah hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional. 
    Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik, Ahmad Avenzora, menjelaskan data persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 dan 2019-2020, menggunakan sumber data yang berbeda. Tahun 2018 menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Sementara tahun 2019 dan 2020 dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). 
    “Ada perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas. Sebenarnya tidak apple to apple untuk membandingkan yang 2018 dengan 2019 dan 2020,” kata Ahmad kepada Tempo, 19 Oktober 2021. 
    Salah satu perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas, kata Ahmad Avenzora, terkait jenis rokok. Di Riskesdas, mencakup jenis rokok elektrik. Sedangkan pada Susenas, tidak memasukkan rokok elektrik.
    Menurut Ahmad, dengan perbedaan sumber data tersebut, tidak bisa disimpulkan bahwa jumlah perokok anak menurun signifikan dari tahun 2018 ke tahun 2019-2020. 
    Manajer Komunikasi Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi, mengatakan, data persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun yang disajikan BPS tahun 2018-2020, tidak setara karena menggunakan sumber yang berbeda. 
    Penyajian data tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman dari masyarakat awam, karena tidak tahu bahwa dua data tersebut tidak bisa dibandingkan. Publik akan menyangka Indonesia relatif aman dari perokok dan pemerintah sudah berhasil menurunkan prevalensi perokok anak. 
    “Kenyataannya bisa sebaliknya. Ini bisa merugikan pemerintah yang sedang mendorong penurunan prevalensi perokok. Ini bisa menggagalkan program pemerintah sendiri,” kata dia kepada Tempo, Senin 18 Oktober 2021. 
    Perbedaan Riskesdas dan Susenas
    Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) adalah survei lima tahunan oleh Kementerian Kesehatan RI melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, yang hasilnya dapat digunakan menilai perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan.
    Riskesdas dilaksanakan pada 2018 dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dengan kerangka sampel blok sensus dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret 2018 dari Badan Pusat Statistik ( BPS ). 
    Populasi adalah rumah tangga di Indonesia di seluruh provinsi dan kabupaten/kota (34 Provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota). Adapun jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 300.000 rumah tangga yang diperoleh dari 30.000 blok survei (masing-masing blok survei terdiri dari 10 rumah tangga). 
    Pelaksanaan Riskesdas Kemenkes 2018 dianggap memiliki kemajuan karena terintegrasi dengan Susenas BPS. 
    Sedangkan Susenas pertama kali dilaksanakan pada tahun 1963. Dalam dua dekade terakhir, sampai dengan tahun 2010, Susenas dilaksanakan setiap tahun. Susenas di desain memiliki 3 modul (Modul Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga, Modul Sosial, Budaya dan Pendidikan, serta Modul Perumahan dan Kesehatan) dan setiap modul dilaksanakan setiap 3 tahun sekali.
    Cara pengumpulan data Susenas 2019 melalui survei dengan jenis rancangan sampel multistage/phase. Jumlah sampel Susenas untuk estimasi kab/kota adalah 320.000 rumah tangga (32.000 Blok Sensus). Untuk Susenas estimasi provinsi, jumlah sampel adalah 75.000 rumah tangga (7.500 Blok Sensus).

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan, unggahan tentang prevalensi perokok anak dan dewasa turun menurut Badan Pusat Statistik, sebagian benar. Untuk klaim prevalensi perokok penduduk usia di atas 15 tahun turun sesuai data BPS tahun 2018 dan 2020 benar. Data tersebut berdasarkan hasil Susenas 2018, 2019 dan 2020. 
    Sedangkan klaim penurunan jumlah perokok anak, keliru. Sebab data tersebut menggunakan sumber yang berbeda. Data tahun 2018, menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan serta memasukkan jenis rokok elektrik. Sementara tahun 2019 dan 2020 berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang tidak mencakup jenis rokok elektrik.
    Tim Cek Fakta Tempo

    Rujukan