• (GFD-2021-8829) Keliru, Video Keluarnya Lava dari Gunung Semeru

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/12/2021

    Berita


    Sebuah video yang diklaim keluarnya lava dari Gunung Semeru, beredar di Twitter pada 5 Desember 2021. Video ini beredar saat Gunung Semeru erupsi pada Sabtu sore, (4/12/2021) sekitar pukul 14:50 WIB.
    Video yang beredar di Twitter itu berdurasi 18 detik. Tampak dalam video itu, aliran lava berwarna merah mengalir cukup besar, disusul dengan asap pekat di sekitarnya.
    Pengunggah video itu menuliskan keterangan, “Nature is scary but beautiful..
    Mancuring Semeru's lava..”
    Unggahan tersebut telah dibagikan 228 kali dan disukai 664 akun. 
    Tangkapan layar unggahan video yang diklaim sebagai video keluarnya lava dari Gunung Semeru

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tempo menunjukkan, video tersebut adalah keluarnya lava dari Gunung Kilauea, Hawaii, antara akhir Januari hingga Februari 2017. 
    Dengan menggunakan reverse image tool milik Yandex, Tempo menemukan petunjuk dari foto yang identik dengan video tersebut. Foto itu berasal dari The United States Geological Survey (USGS) yang dimuat oleh commons.wikimedia.org, yang menulis tentang aliran lava Gunung Kilauea, Hawaii, yang diambil pada 27 Januari 2017. 
    Wikipedia memberikan keterangan, bahwa aliran lava terbuka terus mengalir dari tabung lava di tebing laut kemudian masuk ke laut. Aliran lava tersebut menghasilkan ledakan litoral yang melemparkan percikan air ke tebing laut.   
    Melalui petunjuk tersebut, Tempo mencari perbandingan berupa video pemberitaan di Youtube. Kanal Associated Press (AP) pada 2 Februari 2017, mempublikasikan video milik Shane Turpin yang mengelola Tour Lava Ocean untuk mengajak wisatawan melihat aliran lava tersebut dari laut. 
    “Aliran lava yang dramatis dan berbahaya dari Gunung Kilauea mengalir keluar dari tebing laut di Pulau Hawaii, memercik ke Samudra Pasifik di bawahnya dan meledak saat terjadi benturan.” tulis Associated Press
    Dari video AP tersebut terlihat jelas lava merah yang keluar dari tabung di tebing yang curam, lalu mengalir ke laut, seperti dalam video yang beredar di Twitter. 
    Dikutip dari The Seattle Time, aliran besar lava Kilauea itu berasal dari tabung lava di pintu masuk laut Kamokuna, di sisi tenggara Big Island. Lava menyembur dari tabung yang tersingkap ketika delta lava seluas 26 hektar runtuh ke laut di lokasi pada 31 Desember 2016. Runtuhnya daratan yang baru terbentuk memicu ledakan besar dan gelombang raksasa di daerah tersebut.
    Ketika lahar cair menghantam air laut yang dingin, ia bereaksi, menyebabkan ledakan yang dapat melemparkan bongkahan besar batu panas dan puing-puing ke daratan, tempat orang mendaki untuk melihat lahar, dan menuju laut, tempat perahu wisata berlayar di garis pantai.
    Kilauea telah meletus terus menerus sejak tahun 1983, dan aliran ventilasi terbaru yang mencapai laut telah berlangsung sejak musim panas lalu.

    Kesimpulan


    Dari hasil pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan, video yang diklaim keluarnya lava dari Gunung Semeru, adalah keliru. Video tersebut terjadi di Gunung Kilauea, Hawaii, antara akhir Januari hingga Februari 2017. 
    Tim Cek Fakta Tempo
  • (GFD-2021-8828) Keliru, Tabel Jadwal Peluncuran Varian Omicron dari WHO, John Hopkin University dan World Economic Forum

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 03/12/2021

    Berita


    Narasi munculnya varian virus baru Omicron yang telah dijadwalkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), John Hopkin University dan World Economic Forum beredar di Facebook, 29 November 2021.
    Unggahan di Facebook oleh salah satu akun, berisi daftar tabel nama varian dalam alfabet Yunani dan tabel berisi jadwal dalam bahasa Spanyol. Sebuah tanda biru diarahkan pada tabel abjad Omicron dengan keterangan tanggal May 2022. 
    Dokumen tersebut juga memuat logo WHO, John Hopkin University dan World Economic Forum. Pengunggah dokumen itu menulis, “Plandemi, #masih percaya?”
    Tangkapan layar unggahan tabel jadwal peluncuran varian Omicron dari WHO, John Hopkin University dan World Economic Forum

    Hasil Cek Fakta


    Unggahan ini telah beredar di media sosial pada Juli 2020, ketika varian virus Delta menyerang dan menyebabkan kenaikan jumlah kasus dan angka kematian di berbagai negara. 
    Akan tetapi dokumen yang diklaim jadwal peluncuran varian baru Covid-19 tersebut adalah dokumen yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Dikutip dari Reuters edisi 2 Agustus 2021, juru bicara World Economic Forum dan WHO membantah bahwa dokumen itu tidak terkait dengan organisasi mereka. 
    “Ini adalah dokumen palsu dan tidak ada hubungannya dengan Forum Ekonomi Dunia,” kata Peter Vanham, Kepala Komunikasi di Kantor Ketua Forum Ekonomi Dunia, mengatakan kepada Reuters melalui email. 
    Seorang juru bicara WHO juga mengkonfirmasi: “ini bukan dokumen WHO.”
    Tempo juga telah membantah klaim ini sebelumnya dalam konteks penyebaran varian Delta. 
    Alfabet Yunani seperti Delta dan Omicron digunakan oleh WHO sejak 31 Mei 2021 sebagai nama varian virus Covid-19. Cara ini dipilih untuk menghilangkan stigma dari penyebutan yang melekatkan dengan nama negara tertentu seperti varian India. 
    Selain itu, penamaan dengan alfabet Yunani lebih mudah digunakan dibandingkan dengan nama asli sainsnya.
    Varian virus baru bukan hasil ciptaan manusia. WHO dalam laporannya pada 25 Januari 2021, menjelaskan, evolusi pada virus merupakan sesuatu yang wajar terjadi sehingga memunculkan varian baru dari virus awalnya.  Mutasi tersebut dapat mengakibatkan virus menjadi lebih cepat menular, meningkatkan keparahan penyakit atau mempengaruhi kemanjuran diagnostik, terapeutik atau vaksin.
    Selain itu, Tempo menemukan tanggal ditemukannya varian baru virus Corona dalam tabel tidak akurat. Varian Delta misalnya, yang tertulis diluncurkan pada Juni 2021. Padahal varian ini ditemukan pertama kali di India pada Oktober 2020, menurut laporan Deutsche Welle (DW), Jerman.
    Kemudian varian Kappa, menurut Pusat Pencegahan dan Penanganan Penyakit ( CDC ) Amerika Serikat, virus ini pertama kali teridentifikasi di India pada Desember 2020. Sementara dalam unggahan, tertulis Desember 2021. 
    Varian Omicron sendiri tertulis Mei 2022, padahal varian ini telah diidentifikasi di Afrika Selatan pada 24 November 2021. 

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa varian virus baru Omicron yang telah dijadwalkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), John Hopkin University dan World Economic Forum adalah keliru. Dokumen itu disebut palsu oleh juru bicara World Economic Forum dan dibantah oleh WHO.
    Penggunaan alfabet Yunani untuk nama varian virus Covid-19 bukan berarti varian tersebut diciptakan oleh manusia. Menurut WHO, evolusi pada virus merupakan sesuatu yang wajar terjadi sehingga memunculkan varian baru dari virus awalnya
    Tim Cek Fakta Tempo
  • (GFD-2021-8827) Keliru, Poster Film The Omicron Variant yang Ditayangkan Tahun 1963

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 03/12/2021

    Berita


    Sebuah poster film berjudul The Omicron Variant yang diklaim telh ditayangkan pada tahun 1963 beredar di media sosial. Poster tersebut dibagikan seiring munculnya Covid-19 varian Omicron.
    Poster film tersebut memperlihatkan potongan tangan dengan seekor serangga serta sepasang pria dan wanita dengan posisi wajah menengadah.
    Di Facebook, poster tersebut dibagikan akun ini pada 2 Desember 2021. Berikut narasi lengkapnya:
    “Tidak ada sesuatu yang KEBETULAN di dunia ini. Film th.1963 "The Omicron Variant. DELTAOMICRON = MEDIACONTROL. Percaya atau tidak...itu terserah anda!”
    Hingga artikel ini dimuat, poster tersebut telah mendapat 17 komentar dan dibagikan sebanyak 41 kali. Apa benar ini poster film berjudul The Omicron Variant yang telah ditayangkan pada 1963?
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim Poster Film The Omicron Variant yang Ditayangkan Tahun 1963

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo menelusuri jejak digital poster tersebut dengan menggunakan reverse image tools Google dan Yandex. Hasilnya, poster tersebut merupakan suntingan poster film berbeda.
    Poster yang identik pernh dimuat situs Dcine.org dengan judul, ”Sucesos En La Cuarta Fase”. Keterangan poster menyebutkan bahwa ini merupkan poster resmi dari film berjudul “Sucesos En La IV Fase".
    Poster berbeda dari film Sucesos En La IV Fase juga muncul dalam versi yang menonjolkan gambar telapak tangan dengan serangga yang menempel pada bercak darah.
    Dilansir dari filmin.es, Sucesos En La IV Fase menceritakan bagaimana semut akan menjadi penguasa dunia jika mereka memiliki dasar intelektual yang sama dengan manusia.
    Film yang disutradarai oleh Saul Bass,mengisahkan fenomena astronomi yang aneh, para insinyur, mistikus, dan astronom dari seluruh dunia mulai mempelajari konsekuensinya. Tetapi efeknya tidak diperhatikan kecuali oleh seorang ahli biologi Inggris bernama Ernest D. Hobbs, seorang profesor di institut Colorado.
    Pengamatan di lembah Arizona menunjukkan bhwa permusuhan antara dua spesies semut telah berhenti, mereka mulai mengatur dan tiba-tiba pemangsa mereka menghilang dari lingkungan. Situasi itu dapat menyebabkan peningkatan populasi semut yang tak terhindarkan. Untuk alasan ini, ia menyarankan untuk membangun stasiun percobaan di tempat di mana peristiwa telah diamati.
    Reverse image juga menampilkan jejak digital sebuah poster film berjudul "Omicron” (bukan The Omicron Variant) dengan keterangan waktu 1963.
    Poster film Omicron sendiri juga muncul dalam setidaknya dua versi.
    Poster pertama beredar dengn gambar tiga wajah pria. Di poster tercantum nama pemeran utama yakni aktor berkebangsaan Italia bernama Renato Salvatori.
    Poster versi berbeda dari film Omicron pernah dimuat situs Cristaldifilm.com dengan judul yng sama. Bedanya, poster ini hanya menampilkan satu wajah tokoh dalam film tersebut.
    Film ini berkisah tentang seorang alien bernama Omicron yang mengambil alih jasad seorang pekerja pabrik bernama Trabucco. Omicron sendiri adalah alien penghuni planet Ultra yang tak terlihat, yang penghuninya berniat untuk menyerang Bumi.
    Omicron berhasil membuat otot, mata, telinga, kelenjar air mata dan pernapasan bekerja. Ia belum mampu mengurai bahasa manusia karena belum berhasil membangkitkan pengetahuan, namun sementara itu, karena kemampuan otomatisnya yang luar biasa, ia diringkas di pabrik tempatnya bekerja.
    Ketika dia menyadari dia mencintai Lucia dia mulai sadar kembali: sekarang Omicron ingin kembali ke planetnya tapi dia tidak bisa melakukannya sampai Trabucco terbunuh saat mendesak para pekerja untuk menyerang. Invasi ke bumi kini telah dimulai.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, poster yang diklaim sebagai poster film The Omicron Variant yang telah ditayangkan pada 1963,keliru. Poster tersebut merupakan hasil suntingan dari poster film Sucesos En La IV Fase. Judul film yang asli dihilangkan dan diganti dengan judul The Omicron Variant.
    Film berjudul Omicron sendiri memang pernah beredar pada 1963, namun film tersebut bukan berkisah mengenai virus, melainkan seorang alien yang mengambil alih jasad seorang pekerja pabrik.
    TIM CEK FAKTA TEMPO

    Rujukan

  • (GFD-2021-8826) Keliru, Varian Omicron Disebarkan untuk Memaksa Vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 03/12/2021

    Berita


    Narasi yang mengklaim bahwa menyebarnya varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika, menyebar di Facebook pada 28 November 2021. Unggahan ini beredar di tengah munculnya varian Omicron yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan. 
    “Tujuan utama dari propaganda varian Omicron di benua Afrika adalah sebagai pressure atau pemaksaan program vaksinasi copet-69 di benua Afrika,” tulis narasi tersebut. 
    Dalam narasi itu juga disebutkan, paksaan vaksinasi karena diklaim mayoritas penduduk di benua Afrika menolak program vaksinasi Covid-19. “Terbukti selama ini kasus Covid-19 di benua Afrika itu sangat rendah, jika dibandingkan dengan negara di benua lainnya yang selama ini menerapkan program vaksinasi dengan masif kepada masyarakat.”
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim bahwa Varian Omicron sengaja disebarkan untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

    Hasil Cek Fakta


    Hasil pemeriksaan fakta Tempo menunjukkan menyebarnya varian Omicron bukan bagian propaganda untuk memaksa vaksinasi Covid-19. Rendahnya tingkat vaksinasi di benua tersebut, disebabkan oleh banyak faktor. Namun ketidakmerataan akses dan cakupan vaksin Covid-19, mendorong munculnya varian virus baru. 
    Tempo memeriksa tiga klaim dari narasi yang beredar di Facebook tersebut dengan mengutip dari sejumlah pemberitaan dan analisa para pakar kesehatan. 
    Klaim 1: varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika
    Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, virus terus berubah melalui mutasi dan terkadang mutasi ini menghasilkan varian virus baru. Beberapa varian muncul dan menghilang sementara yang lain bertahan. Varian baru akan terus bermunculan.  
    Menurut CDC, dengan potensi munculnya varian virus baru, memberikan vaksinasi adalah cara terbaik untuk mengurangi penyebaran infeksi dan memperlambat varian baru. Vaksin justru dapat mengurangi risiko keparahan penyakit, rawat inap, dan kematian akibat COVID-19. Dengan demikian munculnya varian Omicron bukan bagian propaganda. Peningkatan vaksinasi Covid-19 di benua Afrika dibutuhkan untuk mengurangi risiko keparahan dan kematian akibat Covid-19. 
    Varian Omicron memang dideteksi pertama kali muncul di Afrika Selatan pada 24 November 2021. Akan tetapi, varian baru telah menyebar di Belanda, Belgia, Jerman, Perancis, Jepang, Hongkong dan Amerika Serikat. Sehingga munculnya varian virus baru ini menjadi ancaman global. 
    Klaim 2: mayoritas penduduk di benua Afrika menolak program vaksinasi Covid-19
    Dikutip dari Time, hingga 1 Desember 2021, tingkat vaksinasi dengan dosis penuh di benua Afrika baru mencapai 7,3 persen, jauh dibandingkan Eropa dan Amerika yang mencapai sebesar 58 persen. 
    Rendahnya tingkat vaksinasi tersebut, disebabkan oleh faktor yang cukup kompleks. Di antaranya karena koordinasi yang kurang dalam pengiriman vaksin, infrastruktur kesehatan yang lemah dan keragu-raguan penduduk.
    Sebagian besar negara Afrika mengandalkan COVAX, sebuah program yang dibuat untuk memasok vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah—untuk menyediakan pengiriman vaksin COVID-19. Namun, ketika produsen vaksin terbesar di dunia, Serum Institute of India, dilanda masalah produksi dan larangan ekspor menyusul lonjakan COVID-19 di India sendiri, pengiriman vaksin melambat hingga menetes. Hanya 245 juta dosis yang telah dikirim ke Afrika sub-Sahara, menurut pelacak vaksin UNICEF.
    Banyak negara Afrika terpaksa bergantung pada sumbangan. Tetapi pengiriman sering kali “tidak terkoordinasi dengan baik”, kata Dr. Lul Riek, koordinator Afrika bagian selatan untuk Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika. Lebih buruk lagi, beberapa pengiriman menyertakan dosis yang mendekati tanggal kadaluarsa.
    Bahkan ketika ada cukup dosis vaksin yang tersedia, keragu-raguan vaksin di seluruh benua tinggi—dipicu oleh kombinasi misinformasi online, ketidakpercayaan para pemimpin pemerintah dan sejarah eksperimen medis Barat di benua itu.
    Ketimpangan vaksinasi Covid-19 tersebut diduga menjadi penyebabnya munculnya varian baru Covid-19. “Apa yang terjadi saat ini sebagian besar tidak dapat dihindari. Varian saat ini, Omicron, adalah hasil dari kegagalan dunia untuk memvaksinasi warganya dengan cara yang adil dan efisien,” kata Dr. Ayoade Alakija, ketua Aliansi Pengiriman Vaksin Afrika Uni Afrika. “Perilaku tidak pengertian dan isolasionis dari Global North telah menciptakan situasi saat ini, dan sampai mereka dimintai pertanggungjawaban, saya khawatir Omicron mungkin baru permulaan,” kata dia menambahkan.  
    Klaim 3: Vaksinasi rendah mempengaruhi kasus Covid-19 di benua Afrika juga rendah
    Dampak pandemi Covid-19 di Afrika Sub-Sahara memang lebih rendah dibandingkan dengan Eropa, Amerika dan Asia. Namun hal itu tidak terkait dengan rendahnya tingkat vaksinasi, mengingat bagaimana vaksin dapat mengurangi tingkat keparahan dan kematian akibat Covid-19. 
    Dikutip dari The Conversation, dalam sebuah studi yang dipimpin analis kesehatan Janica Adam, memeriksa berbagai kemungkinan dengan peninjauan literatur untuk menjawab hal itu. Akan tetapi diperlukan lebih banyak penelitian untuk lebih memahami apa saja faktor-faktor yang berkontribusi pada rendahnya dampak Covid-19 di Afrika.
    Faktor pertama terkait demografi usia. Sebagian besar kematian terjadi pada mereka yang berusia 65 tahun atau lebih. Di Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan Asia, rata-rata usia penduduk berkisar antara 32 hingga 42,5 tahun. Kanada misalnya dengan usia rata-rata 41.1 dengan sekitar 18 persen populasi penduduk berusia 65 tahun. Kanada telah mencatat hampir 1,5 juta kasus Covid-19 dan 27 ribu kematian.
    Sedangkan struktur demografi usia penduduk Afrika sub-Sahara jauh lebih muda – usia rata-rata adalah 18 tahun. Misal di Uganda, dengan rata-rata usia penduduk 16,7 dan hanya 2 persen populasinya berusia 65 tahun atau lebih. Uganda hanya mencatat kasus Covid-19 kurang dari 100 ribu dan 3 ribu kematian. 
    Fakta kedua terkait fasilitas perawatan jangka panjang atau panti jompo. Di Afrika sub-sahara, kebanyakan orang lanjut usia tidak tinggal di fasilitas panti jompo, sebagaimana di Kanada. Orang lanjut usia di Afrika tinggal bersama keluarga yang mengurangi penularan penyakit. Berbeda dengan Kanada di mana 81 persen kematian terjadi di panti jompo.
    Ketiga, adanya keterbatasan pengujian SARS-CoV-2. Pengumpulan data yang tidak memadai dapat berarti kita tidak benar-benar mengetahui kasus dan prevalensi COVID-19.  
    Keempat, respons kesehatan masyarakat pemerintah yang efektif. Respon cepat dari beberapa pemerintah Afrika dan organisasi kesehatan mungkin telah memainkan peran penting. Pada awal pandemi, beberapa langkah dilakukan: screening, pembentukan Africa Task Force untuk Novel Coronavirus, penangguhan penerbangan dari China dan penutupan perbatasan di 40 negara Afrika. Program baru juga mempromosikan berbagi informasi COVID-19 di seluruh Afrika sub-Sahara.

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan, klaim menyebarnya varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika, adalah keliru. Munculnya varian baru sebagai sifat virus yang terus berubah melalui mutasi dan terkadang mutasi ini menghasilkan varian virus baru. Beberapa varian muncul dan menghilang sementara yang lain bertahan.  
    Tingkat vaksinasi Covd-19 di Afrika paling rendah karena disebabkan berbagai faktor. Di antaranya karena koordinasi yang kurang dalam pengiriman vaksin, infrastruktur kesehatan yang lemah dan keragu-raguan penduduk akibat misinformasi, ketidakpercayaan para pemimpin pemerintah dan sejarah eksperimen medis Barat di benua itu.
    Tim Cek Fakta Tempo