• (GFD-2024-15049) CEK FAKTA: Uji Klaim Prabowo Soal Usia Pakai Alat Perang Sekitar 25-30 Tahun

    Sumber:
    Tanggal publish: 08/01/2024

    Berita

    Bisnis.com, JAKARTA -- Calon Presiden (Capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto mengatakan bahwa usia pakai alat perang kurang lebih 25-30 tahun. Hal itu disampaikan oleh Prabowo pada Debat Capres ketiga di Istora Senayan GBK, Jakarta, Minggu (7/1/2024).

    "Jadi alat perang itu usianya kurang lebih 25-30 tahun, pesawat terbang, kapal perang, dan lain sebagainya. Jadi, bukan soal bekas dan tidak bekas. Tetapi usia pakai. Kemudahan," ujarnya.

    Prabowo mencontohkan bahwa pesawat Mirage 2005 dari Qatar yang ingin diakusisi masih berusia pakai 15 tahun. Namun, teknologinya mengarah ke yang lebih canggih dan terbaru.

    "Tapi kalau kita beli baru, datangnya Pak, baru 3 tahun dan operasionalnya baru 7 tahun," terangnya.

    Hasil Cek Fakta

    Sebagai perbandingan, Dosen Asisten Ahli Hubungan Internasional dan Hubungan Ekonomi Politik Internasional Universitas Tidar Bonifasius Endo Gauh Perdana menjelaskan bahwa negara dengan produksi produk pertahanan terbesar, yakni Amerika Serikat (AS), memiliki alutsista dengan usia pakai rata-rata 30 tahun.

    "Benar. Di Amerika Serikat, usia pakai alutsista adalah rata-rata 30 tahun," ujarnya. Secara terpisah, dia juga menyebut bahwa di AS setidaknya membutuhkan waktu 29 bulan untuk memproduksi kebutuhan domestik alusista mereka.

    Hal tersebut lantaran perlunya persetujuan dari Kongres atau DPR AS. "Seringkali, hanya alusista bekas yang diizinkan untuk dijual ke negara lain kecuali ada pertimbangan lain. Oleh karena itu, seringkali negara-negara pengimpor alutsista hanya bisa mendapatkan alutsista bekas yang masih layak pakai," kata Bonifasius.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15048) Sebagian Benar, Klaim Ganjar Tentang Keamanan Laut Indonesia Butuh Sonar dan Sensor

    Sumber:
    Tanggal publish: 08/01/2024

    Berita

    Calon Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo menyebutkan bila prioritas keamanan laut Indonesia saat ini adalah pengadaan sonar dan sensor. Hal ini karena ancaman serangan akan masuk ke darat lantaran Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago).

    “Mana pilihannya dari matra itu? Proporsional, Pak. Tapi tidak ada serangannya akan masuk melalui darat karena kita negara archipelago. Maka yang mesti diperkuat hari ini adalah laut prioritas, laut mereka butuh sonar mereka butuh sensor-sensor dan hari ini mereka menyampaikan kepada saya kebutuhan itu nomor satu,” ucap Ganjar Pranowo saat Debat Capres ketiga, Minggu, 7 Januari 2024.

    Hasil Cek Fakta

    Penelitian Fitriana Cahyani Ardi dari Politeknik Angkatan Laut yang berjudul “Implementation of Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) Technology for the Indonesian Navy in Increasing the Security of the Jurisdictional Marine Area” seperti dilansir dalam International Journal of Social And Management Studies (IJOSMAS) volume 4, mengatakan dengan Integrated Maritime Surveillance System dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam meningkatkan pemantauan maritim, deteksi ancaman, dan respon cepat terhadap insiden keamanan di wilayah perairan yurisdiksi TNI Angkatan Laut.

    Integrasi sensor canggih seperti radar, sonar, dan kamera kamera, IMSS dapat secara efektif melacak dan mengidentifikasi kegiatan ilegal seperti penyelundupan narkoba, pencurian ikan dan pergerakan kapal asing yang mencurigakan. Selain itu, penggunaan analisis data dan kecerdasan buatan (AI) dan kecerdasan buatan (AI) dalam IMSS memungkinkan pemrosesan data yang cepat dan akurat, serta penyaringan informasi yang relevan untuk memandu tindakan operasional TNI AL.

    IMSS juga dapat meningkatkan kerja sama lintas lembaga dan internasional internasional melalui pertukaran informasi yang lebih efektif dengan negara-negara mitra. Untuk mengimplementasikan

    Penelitian Faris Al-Fadhat dan Naufal Nur Aziz Effendi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta seperti dikutip dalam Jurnal Ketahanan Nasional Universitas Gadja Madja, volume 25, nomor 3, Desember 2019, halaman 373-392 menyebutkan bila Indonesia sebagai negara yang menganut politik pertahanan defensif, dituntut untuk memiliki strategi alutsista yang sesuai dengan kondisi geografisnya.

    Oleh karena itu, kerjasama dengan negara-negara yang memiliki industri pertahanan maju merupakan sebuah kebijakan strategis. Salah satunya adalah kerjasama Indonesia dengan Korea Selatan di bidang pengembangan kapal selam. Kerja sama Indonesia-Korea Selatan akan turut mengikutsertakan proses transfer teknologi untuk menjamin keberlanjutan kemandirian maritim Indonesia.

    Menurut Ludiro Madu, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta, dengan luas wilayah Indonesia yang mencapai 93 ribu km persegi, pengawasan keamanan di wilayah laut Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Karena itu benar, Indonesia membutuhkan peralatan keamanan yang sesuai dengan kondisi geografis. “Sonar dan sensor berperan penting untuk mendeteksi dan memantau berbagai aktivitas di wilayah perairan yang luas ini,” kata Ludiro.

    Di samping itu, Bonifasius Endo Gauh Perdana, Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Tidar menambahkan bahwa sonar dan sensor memang dibutuhkan. Namun menurut sebuah riset, yang terpenting bagi sistem pertahanan maritim di Indonesia adalah integrasi dari sistem sonar dan sensor yang sudah ada.

    “Maritime surveillance system terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain air surveillance, surface surveillance, dan underwater surveillance yang alatnya dapat berupa sensor system, satelit, LRC (label Surveillance Camera), radar, dan sonar. Sebagian benar Indonesia membutuhkan itu,” ujar Bonifasius.

    Prasetia Anugrah Pratama, peneliti Data dan Democracy Research Hub Monash University, Indonesia mengungkapkan jika merujuk pada data coast guard Jepang sebagai negara yang memiliki lautan yang luas, pengadaan sonar dan sensor memang merupakan sesuatu yang vital. Namun bentuk pengawasan lainnya, mulai dari penggunaan kapal hidrografi dan Unmanned Submarine Vehicle, juga menjadi equipment yang dibutuhkan dalam meningkatkan pertahanan dan keamanan laut.

    “Jadi, sebagian benar bila Indonesia membutuhkan sonar dan sensor,” ungkap Prasetia.

    Kesimpulan

    Hasil pemeriksaan fakta Tempo, klaim Ganjar Pranowo yang menyebutkan bila prioritas keamanan laut Indonesia saat ini membutuhkan sonar dan sensor adalah sebagian benar.

    Beberapa riset menyimpulkan Indonesia membutuhkan sensor dan sonar yang terintegrasi dalam Integrated Maritime Surveillance System. namun menurut sebuah riset, yang terpenting bagi sistem pertahanan maritim di Indonesia adalah integrasi dari sistem sonar dan sensor yang sudah ada.

    Bentuk pengawasan lainnya, mulai dari penggunaan kapal hidrografi dan Unmanned Submarine Vehicle, juga menjadi equipment yang dibutuhkan dalam meningkatkan pertahanan dan keamanan laut.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15047) Sebagian Benar, Klaim Ganjar Pranowo tentang Target Essential Force Indonesia yang Tidak Tercapai

    Sumber:
    Tanggal publish: 08/01/2024

    Berita

    Calon Presiden Republik Indonesia nomor urut 3, Ganjar Pranowo menyebutkan bila essential force target di tahun 2024 tidak tercapai hanya berkisar 65,49 persen. Anggaran itu dianggap belum ideal.

    “Anggaran pertahanan belum ideal,tadi sampaikan kita perlu 1-2 persen dari PDB. Sekarang masih 0,78 persen dari PDB, 20,7 miliar dollar menjadi 25 miliar, minimum essential force di tahun 2024 tidak tercapai karena sekarang hanya 65,49 persen dari target program”

    Hasil Cek Fakta

    Dalam webinar bertajuk “Towards 2024 and TNI Post-MEF Modernisation: Opportunities and Challenges” yang diselenggarakan Universitas Binus pada Rabu 22 Juni 2022, Curie Maharani Savitri, Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Bina Nusantara (BINUS) berargumen TNI tidak meninggalkan modernisasi militer pasca-2024, namun mengubahnya dari kerangka Minimum Essential Force (MEF).

    Karena itu MEF sudah pasti tidak akan tercapai pada 2024, karena tantangan ekonomi pertahanan, kondisi alat utama sistem senjata (alutsista), dan berbagai faktor global, seperti dampak perang Rusia-Ukraina, dampak Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) dan sanksi lainnya, serta risiko geopolitik di kawasan Indo-Pasifik.

    Dikutip dari katadata, minimum essential force (MEF) sendiri adalah standar kekuatan pokok minimum TNI, yang menjadi salah satu program pembangunan sektor pertahanan Indonesia. Sasaran utama program MEF adalah membangun komponen utama TNI hingga mencapai kekuatan pokok minimum sebagai postur pertahanan yang ideal dan disegani di level regional maupun internasional.

    Berdasarkan dokumen Rencana Strategis Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Tahun 2020-2024, target MEF terus dinaikkan setiap tahun dengan proyeksi bisa mencapai 100 persen pada 2024. Realisasinya, selama periode 2015-2018 capaian MEF sempat berhasil menyentuh bahkan melampaui target. Namun, pada 2019 capaian MEF hanya 63,19 persen, gagal mencapai targetnya yang dipatok di level 68,90 persen. Pada 2020 bahkan capaiannya justru turun menjadi 62,31 persen, makin jauh dari targetnya yang ditingkatkan ke level 72 persen.

    Nota Keuangan APBN 2024 bahkan mencatat, capaian MEF akan sulit meningkat karena banyak alutsista yang sudah habis masa pakainya tapi belum diperbarui, mengingat anggaran yang dibutuhkan untuk membeli alutsista memerlukan porsi APBN yang cukup besar.

    Dilansir dari Media Indonesia, target 100 persen Minimum Essential Force (MEF) TNI pada 2024 kemungkinan tidak tercapai karena saat ini MEF baru mencapai 65,06 persen. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menerangkan belum maksimalnya pencapaian target MEF tersebut karena ada beberapa faktor yang terkait. Salah satunya adalah prioritas pemerintah terhadap anggaran dukungan pemenuhan alutsista TNI yang dialihkan pada kebutuhan lain sesuai prioritas nasional.

    Bonifasius Endo Gauh Perdana, Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Tidar mengatakan selama itu tidak ada bukti terkait capaian MEF. Data terakhir terkait MEF hanya tersedia sampai tahun 2020. Pada tahun 2019 capaian MEF hanya 63,19 persen, sedangkan targetnya 68,90 persen. Pada 2020 capaian nya 62,31 persen. “Sedangkan targetnya Indonesia berada pada angka 72 persen. Oleh karena itu, capaian untuk tahun 2024 belum bisa dibuktikan,”kata Bonifasius.

    Menurut Alwafi Ridho Subarkah, peneliti isu Hubungan Internasional Universitas, Pusat Studi Filsafat Metajurdidika Universitas Mataram, bila MEF TNI dikatakan tidak tercapai sebenarnya sebagian benar. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, kekuatan pokok minimum essential TNI pada 2024 ditargetkan mencapai 100 persen.

    “Namun target 100 persen Minimum Essential Force (MEF) TNI pada tahun 2024 kemungkinan tidak tercapai karena saat ini MEF baru 65,06 persen,”ujar Alwafi.

    Prasetia Anugrah Pratama, peneliti Data dan Democracy Research Hub Monash University Indonesia mengungkapkan, tidak tercapainya capaian MEF tidak lepas dari perkembangan geopolitik dan Pandemi global. Hingga saat ini benar

    MEF belum tercapai dan hanya berada pada kisaran 65 persen. “Dengan demikian memang terdapat kondisi yang meragukan bahwa Indonesia dapat mencapai target 100 persen,”kata Prestia

    Kesimpulan

    Hasil pemeriksaan fakta Tempo, klaim Calon Presiden Republik Indonesia nomor urut 3, Ganjar Pranowo yang menyebutkan bila essential force tidak tercapai adalah sebagian benar.

    Berdasarkan dokumen Rencana Strategis Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Tahun 2020-2024, target MEF setiap tahun terus dinaikkan hingga mencapai 100 persen pada 2024.

    Realisasinya pada 2019 capaian MEF hanya 63,19 persen, gagal mencapai targetnya yang dipatok di level 68,90 persen. Pada 2020 bahkan capaiannya justru turun menjadi 62,31 persen, makin jauh dari targetnya yang ditingkatkan ke level 72 persen. Sedangkan untuk capai essential force pada 2024 belum diketahui karena masih memasuki awal Januari 2024.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15046) CEK FAKTA : Anies Sebut SBY Lebih Sering Naikkan Gaji PNS Dibandingkan Jokowi, Ini Datanya

    Sumber:
    Tanggal publish: 08/01/2024

    Berita

    Bisnis.com, JAKARTA -- Calon Presiden (Capres) nomor urut 01 Anies Baswedan mengatakan bahwa kenaikan gaji TNI terjadi lebih banyak di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dibandingkan dengan era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu disampaikan oleh Anies pada Debat Capres ketiga di Istora Senayan GBK, Jakarta, Minggu (7/1/2024).

    Anies menyampaikan bahwa TNI dan Polri bekerja dengan baik di lapangan sehingga perlu diberikan rasa hormat dan terima kasih. Namun, di sisi kebijakan lebih parah. "Pada era Pak SBY, kenaikan gaji sembilan kali. Selama era ini, naik gaji hanya tiga kali. Nanti naik lagi tahun depan, mungkin karena mau Pemilu," ujar Anies.

    Kemudian, mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menyinggung bahwa kesejahteraan prajurit TNI tidak dipikirkan dengan serius. Dia menyebut tunjangan kinerja masih lebih rendah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian PUPR.

    fakta anis

    Hasil Cek Fakta

    Dilansir dari dataindonesia.id, kenaikan gaji PNS yang berarti termasuk TNI/Polri terjadi hampir setiap tahun pada masa pemerintahan SBY. Selama 2004-2014, hanya pada tahun 2005 dan 2006 tidak ada penaikan gaji PNS.

    Sementara itu, Presiden Jokowi pertama kali menaikkan gaji PNS yakni pada 2015 sebesar 6%. Kemudian, dia juga menaikkan gaji PNS sebesra 5% di 2019 dan 8% di 2024. Kemudian, penaikan gaji PNS diketahui selalu dilakukan pada tahun Pemilu. Penaikan itu terjadi sebesar 15% pada 2004, 15% (2009), 6% (2014), 5% (2019) dan 8% (2024).

    Rujukan